Minggu, Agustus 17, 2008

Sepotong Sesuatu 1 (mungkin bisa disebut "Cerpen"??)

Garis Hidup versus Police Line
Selasa, 5 Juni 2007. 13.03WIB. Lokasi; Jalan Bayangkara

PYAAARRR!!! Buih bir dengan kandungan alkohol lima belas persen bercampur darah segar mengalir dari luka sepanjang lima senti tertutup rambut hitam panjang pemilik kepala, benturan dan rasa perih tak tertahan memaksa dirinya menyerah tak sadarkan diri, pingsan. Kilatan cahaya serupa lampu blitz kamera sepersekian detik menyilaukan kemudian gelap lebih berkuasa.
Sabar dan telaten perempuan tua itu membersihkan luka dikepala sang korban hanya dengan potongan mentimun hasil panen ladang kecil yang harus dijualnya setiap subuh di pasar sayur Beringharjo. Pecahan kaca terakhir sudah tercabut dari kulit kepala, luka lima senti itu ditutupinya dengan ramuan hasil tumbukan geliginya yang merah kokoh, campuran daun sirih, pinang dan tembakau. Perempuan tua itu yakin daun sirih merupakan obat segala macam penyakit tanpa mengetahui kandungan didalamnya. Perempuan tua itu merasa lega ketika darah segar tak lagi mengalir dari robekan luka itu.

Kejadian itu hampir dua minggu yang lalu, kini luka dikepala itu benar-benar kering tapi tidak luka batinnya, kepalanya masih terasa pusing namun rasa kecewanya lebih meradang, nasihatnya tak berguna bagi anak-anak jalanan yang berada dibawah pengaruh alkohol, mereka komunitas baru yang coba dia dekati. Tidak lagi terhitung ucapan terimakasih keluar dari bibir pemuda itu dan dengan iklas tak terhitung pula sang perempuan tua menimpalinya. Sebuah pelajaran berharga telah dia dapatkan bahwa pepatah `lain ladang, lain belalang` adalah benar adanya, lain komunitas lain pula perangai orang penghuni `ladang` baru yang didatanginya. Lain pula Souvenir diberikan tepat di kepalanya hasil perkenalan dari komunitas baru yang dia temui dari sudut kota dengan julukan BERHATI NYAMAN ini.
Baru separuh hari dijalani rotasi bumi pada porosnya, depan sebuah gereja tepat dipertigaan jalan Bayangkara banyak orang berkumpul, seorang dari mereka tampak mendominasi dengan perintah-perintah, beberapa orang berseragam coklat dilengkapi peluit dan pentungan karet berjaga dibalik pita plastik berwarna kuning, dua unit mobil patroli terparkir memblokir jalan utama.

“Baik, perhatian semuanya! Kita ulangi dari keterangan tersangka ketika tersangka berada di pinggir trotoar dan korban… mana petugas yang akan menggantikan korban tadi? Ah, coba cepat mana orang yang tadi bertindak sebagai korban!” yang dicari tidak juga muncul dari tengah kerumunan.
“Aih, bagaimana ini?!” kental logat keras sumatera keluar dari sepasang bibir hitam tertutup kumis tebal itu.
“Ya sudah kau saja, maju kesini, ayo! Ukuran badanmu hampir sama dengan korban, iya kau yang pake kaos hitam, ayo cepat tunggu apa lagi!” sementara si pemilik tubuh berkaos hitam masih juga belum mengerti bahwa di tempat itu sedang berlangsung rekontruksi pembunuhan oleh tersangka seorang tukang becak terhadap korban berstatus mahasiswa seminggu yang lalu.
“Ayo cepat, kau mau membantu tugas Polisi tidak? Ayo! Siapa namamu?”
“Saya pak? mmh.. eeehh… nama saya Raya, pak. Niras Raya tapi jangan saya pak, saya mohon pak, saya pusing pak, betul.” telapak tangan sebelah kirinya menutupi bekas luka dikepalanya itu.
“Ahh, sudah tak apalah, lagi pula kau cuma berdiri sebentar lantas kau berbaring dipojok situ.” arah telunjuknya pada pingggiran trotoar berbentuk gambar siluet tubuh dari kapur, sementara bercak darah mengering pada aspal hitam.

“Tolong yang lain kasih ruang lebih lebar lagi, jangan sampai mengganggu jalannya rekontruksi hari ini, oke!” penonton dadakan tanpa karcis bayaran itu mundur beberapa langkah, logat khas dengan tekanan pada vokal `e` dan konsonan `s` membahana, petugas membuat batasan-batasan. Jalan Bhayangkara seharusnya sudah ramai dengan lalu lalang pengguna jalan mulai bis kota, sepeda motor, mobil pribadi, becak dan andong, tapi tidak untuk siang ini. Pertigaan Jalan Ahmad Dahlan dan RSU PKU rupanya telah diblokir bagi siapa saja yang hendak menuju arah Malioboro. Rekontruksi kembali digelar.
“Oke, semua siap?! Eh, siapa tadi namamu hah? Oh ya Raya, coba kau pakai dulu itu dilehermu lalu kau kemari” selembar kertas karton bertuliskan `KORBAN` berpindah pada dada, masih juga Raya belum mengerti maksud semua ini. Sosok tubuh kurus, jauh lebih kecil dibandingkan tubuh Raya yang memiliki postur tubuh tegap dengan tinggi seratus delapan puluh lima sentimeter dan berat tujuh puluh kilogram. `TERSANGKA` di dada ringkihnya terpampang karton yang sama, mungkin saja umurnya empat puluh tujuh tahun namun rambut putih dikepala dan kerut wajah sayu memberi kesan lebih tua dari yang seharusnya.

Polisi bertugas dengan panduan foto-foto korban yang tergeletak bersimbah darah, belati lima belas senti mirip karya T. Kardin dalam plastik transparan dengan kode penomoran ditunjukkan pada tersangka sementara dalam gengamannya sebuah replika belati dari karton tergenggam lemah, Polisi juga menunjukkan tersangka foto sebuah goresan kapur berlekuk tubuh pada aspal hitam ada gambar lengan Polisi memegang tanda panah bertuliskan `IDENTIFIKASI` dan kotak karton berukuran sepuluh senti angka `1` berdiri diaspal dalam foto itu. Keterangan tersangka terkesan ragu membuat jalannya rekontruksi menjadi alot sementara matahari dilangit jogja tak ramah menyeringai, rentetan jalannya kejadian yang dibacakan petugas terasa ganjil bagi penilaian Raya yang ragu akan kemampuan tersangka dengan fisik selemah itu dapat melakukan sesuai dengan berita cara yang dibacakan petugas.

“Sepertinya tidak mungkin, jika benar korban memiliki postur tubuh yang sama dengan aku dapat tersungkur oleh pukulan tersangka,” dalam hatinya Raya meragukan hal itu, Raya hanya bergerak menuruti apa yang diperintahkan Polisi begitu juga pikirannya bergerak melakukan analisis. Dua kali pukulan mendarat ditubuh korban, pertama di bagian pipi sebelah kiri lalu pukulan berikutnya pada belakang leher korban. Tersangka memperagakan melayangkan pukulan kearah rahang Raya sementara petugas melakukan dokumentasi, Raya diberi aba-aba untuk roboh dari trotoar telungkup wajah menghadap jalan aspal, lalu replika belati menyentuh bagian tubuh Raya. Kilatan cahaya lampu blitz kamera berkali-kali mendera retina Raya, mulanya dari kamera Nikon F10 milik petugas tapi ada kilatan cahaya yang berdaya silau tinggi membawa Raya pada dimensi lain. Sepi.

“Tolong kau jelaskan pada mereka, tolong…” mata Raya membelalak sontak terduduk mundur beberapa jarak tanpa berdiri, setelah memutarkan badannya seratus delapan puluh derajat didapatinya sesosok tubuh tergolek tak berdaya bersandar pada tembok pagar pinggiran jalan. Mukanya pucat sementara lingkar matanya berwarna hitam, lengan kirinya mendekap erat perut sebelah kirinya penuh dengan bercak darah. Belum lagi Raya memahami maksud permintaan pertamanya kini Raya kembali harus mencerna maksud kata-kata yang semakin membuat bingung.

“Kau jelaskan pada mereka yang sebenarnya terjadi, tolong…hanya kau harapan satu-satunya…” suara paraunya menggambarkan perih tak terkira.
“Apa maksudmu? Menjelaskan apa? Pada siapa aku harus jelaskan maksud yang belum ku mengerti?” suasana jalan sepi luar biasa hanya mereka berdua saja, rembulan jogja muncul separuh, gumpalan awan beriringan, kemana perginya penonton dadakan? Kemana pula petugas berkumis tebal tadi? Mengapa gelap? Bukankah tadi? Ahh, entah apa lagi yang dihadapi Raya kali ini.
“Siapa kau? apa maksud semua ini? aku tidak paham!” kedua lengannya direntangkan memperhatikan alam dan keadaan sekitarnya yang tak terpahami. Kesadarannya mulai menyeruak meski ada sedikit keraguan tapi dia masih ingat dari foto-foto yang ditunjukkan petugas, sosok dihadapannya ini adalah sang korban, `the victim`.

“Baik, sekarang coba kesini mendekat, ayo tak usah ragu, kemarilah. Percaya aku, tolong…” telapak tangan kanannya disodorkan pada Raya yang harus menyamakan posisinya dengan sedikit terjongkok.
“Tolong kau pejamkan matamu”
“Untuk apa”
“Tolong ikuti saja”
“Oh Tuhan, apa maksud ini semua!”
“Sekarang, coba kau hilangkan pikiran yang lain,” sulit bagi Raya mengikuti perintahnya, ini bukan sesi meditasi seperti latihan olahrasa dalam teater yang biasa dia lakukan dalam kondisi yang harus betul-betul pasrah, Raya pun memahami kata kunci itu, pasrah!.
“Jika kau rasakan suatu perubahan tak usah kau terkejut,” kelopak matanya tertutup, hanya hitam yang ada, hawa yang semula hangat menjadi dingin, sangat dingin. Rupanya ini akan menjadi suatu pengalaman unik bagi Raya.

“Hey Mas!...hey bangun!!, halloo…coba ambilkan air putih, cepat!” telapak tangan besar lengkap dengan kapalan dan sedikit air menyeka wajah Raya, kontan sang pemilik wajah tersadar dari tidur singkatnya namun yang sadar saat itu menjelaskan jika Raya pingsan selama lima belas menit. Wajah-wajah sangar dengan pandangan keheranan didapati begitu kelopak matanya terbuka dan pupil menerima rangsangan cahaya berlebih, Raya pun tak kalah bingungnya.
“Ah, sudahlah cukup untuk hari ini rekontruksi pembunuhan terhadap korban Wisnu, status mahasiswa, usia dua puluh dua tahun dengan tersangka Wagino, tukang becak, usia empat puluh empat tahun. Petugas tolong semuanya disiapkan, dokumentasi bagaimana cukup hari ini?” bawahannya serempak teriak

“SIAPP, KOMANDAN!”.
“Oke, Mas, kamu ikut kami”
“Kemana pak?”
“Kekantor Polisi,”
“Kantor Polisi?, saya salah apa pak!”
“Oh, tenang saja, mas tidak punya kesalahan apapun, yang penting sekarang mas ke kantor dulu nanti kita bicarakan disana”
“Maaf, tidak perlu pak, terimakasih,” kecurigaan Raya cukup beralasan, dia tahu persis teknik Polisi ini biasa digunakan bagi para mahasiswa yang dituding sebagai provokator dalam berbagai demonstrasi, bicarakan dikantor bisa berarti tanpa bahasa verbal tetapi non-verbal, telapak tangan yang berbicara.
“Mas ini kan masih keliatan lemas dan lapar, ayo kita ke kantor sekedar minum es teh sambil makan siang, ayo jangan takut, memangnya kamu bersalah?!” Dua hal yang membuat Raya menyetujui tawaran petugas itu, pertama; dia tidak membuat kesalahan apapun, kedua; perutnya memang lapar.

TKP menuju kantor Poltabes hanya berjarak sekitar lima puluh meter saja karena lokasi kantor Polisi ini berada dipertemuan Jalan Bayangkara dan Reksobayan yang merupakan wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Yogyakarta. Raya diperlakukan dengan ramah oleh petugas piket hari itu, tak disangka dalam hatinya, selama ini Polisi dan dirinya sebagai bagian dari barisan mahasiswa demonstran yang selalu diberbagai momen vis a vis dengan abdi negara pengayom masyarakat ini, tapi tidak saat ini, kesan ramah justru dia rasakan.
“Coba setiap kali demo kita diberi senyuman pasti tidak akan terjadi aksi dorong-mendorong,” senyum geli spontan begitu dia merasakan hal ini.
“Ada apa mas?” salah satu petugas bertanya atas gerunengan Raya,
“Tidak ada apa-apa pak! Anu… panas ya siang ini pak!” sekenanya saja Raya mengalihkan pembicaraan.

“Oh, boleh mas, silakan. Nanti njenengan jalan lurus, diujung situ kesebelah kiri, nah tepat dibawah tangga sebelah kana nada tulisannya `toilet`, kebelet po mas? Keluar yang `kecil` atau yang `besar`? cepat sana Mas nanti keburu keluar loh,” candanya justru menambah desakan cairan hasil sekresi metabolisme tubuh berontak keluar dari saluran kemihnya.
“Jadi dari sini ke sebelah kiri ya pak?” Raya berlari kecil menuju arah yang dituju,
“Anu Mas jangan lupa ya… disiram biar gak bau,” sial betul Raya terpaksa berhenti dari lari kecilnya menahan kebelet hanya untuk mendengar anjuran agar disiram.

****

Interogasi semu
Selasa, 5 Juni 2007. 15.20 WIB. Lokasi; Kantor Poltabes
Lega rasanya sisa metabolisme tubuhnya keluar terbuang. Selesai dari toilet dan tak lupa pesan terakhir petugas piket untuk menyiram urinenya yang berbau pesing telah dilaksanakan dengan baik, niatnya kembali pada ruang semula tergoda ketika Raya melewati satu ruang kerja, papan kayu mempertegas jika ruang didalamnya adalah ruang kerja Kanitreskrim, ia jadi teringat film seri favorit masa kecilnya dulu yang hanya ditayangkan satu-satunya stasiun televisi milik pemerintah, TVRI, film HUNTER dimana detektif Hunter dan partnernya Dede Mc call keluar masuk dari pintu ruangan bertuliskan `homicide`, Raya tertawa geli dalam benaknya sudah menebak pasti dibalik ruangan yang satu ini tidak akan ditemukan roti dengan lubang ditengah yang sangat digemari Polisi Amerika, yang ada pasti bakpia patuk, itu juga karena sentra pembuatan kue ini tidak jauh dari kantor Polisi ini, dari pertigaan TKP tadi menuju utara lalu berbelok kekiri maka akan terlihat berjejer toko-toko penjual hasil industri rumahan khas kota jogja ini.

Ajun Komisaris Polisi Erlangga, lulusan muda Akademi Kepolisian itu memanggil Raya yang melintasi ruang kerjanya, terkejut Raya melihat dihadapannya tampak duduk tenang dengan sebatang rokok putih terselip diantara jari telunjuk dan jari tengahnya, kopi hitam terletak disamping kayu berukirkan `Erlangga Satria Negara`, rambutnya sedikit gondrong, jelas berbeda dengan petugas piket tadi dengan model rambut satu dua tiga, -satu senti bagian samping, dua senti bagian belakang dan tiga senti bagian depan rambut- umumnya model rambut standar anggota Polisi dan TNI. Kesan yang dia terima tidak meyakinkan Raya bahwa yang duduk dihadapannya adalah seorang perwira muda Kepala Unit Reserse dan Kriminal.

“Saudara bernama Niras Raya?”
“Ya, benar pak, tapi cukup Raya saja,” mencoba senyum ramah tapi rasa takutnya belum dapat dia kuasai.
“Saya yakin anda sudah tahu nama saya karena anda pasti bisa membaca tentunya. Terimakasih tadi saudara telah membantu anggota kami dalam bertugas.”
Cara dia berjalan kalem saja dengan balutan kaos oblong dan jeans belel sobek pada bagian lutut, di kursinya juga tergolek jaket kulit, jelas bukan Pakaian Dinas Harian lazimnya seragam yang dikenakan seluruh anggota Kepolisian Republik Indonesia.
“Ahh, tidak masalah pak, saya sebagai Warga Negara Indonesia merasa wajib membantu aparat penegak hokum,” rasa gugupnya tak dapat disembunyikan akibat pancaran aura dari perwira muda itu
“Tolong panggil saja, Erlang, toh umur kita tidak beda jauh, usia saya dua puluh tujuh tahun bulan depan nanti, kalau saudara Raya,” `polisi preman` ini mencoba berkomunikasi ringan untuk memecahkan kekakuan yang ada.
“Saya, dua puluh tiga tahun sekitar dua minggu yang lalu,” bertambah lagi kekagumannya yang berteriak takjub, karir yang gemilang usia semuda itu sudah menjabat Kepala Unit dengan slogan `Sidik Siaga, Negara Raharja` yang sangat rumit tugasnya, bagaimana tidak? aman atau kacaunya sebuah Negara berada pada pundak intelijen yang pertama kali paling bertanggungjawab. Mata Raya berkeliaran memperhatikan seisi ruangan, pandangannya tertuju pada sebuah foto pada bingkai kayu hitam, foto seorang Taruna berambut cepak berjabat tangan dengan seorang Jenderal tertinggi Kepolisian Republik Indonesia.

“Itu saya dan disebelahnya anda pasti sudah tahu, foto itu diambil sewaktu wisuda Taruna angkatan saya,” di bawahnya tertulis dengan tinta emas `Wisudawan Taruna Akademi Kepolisian Terbaik Angkatan 2001` tak heran karirnya cemerlang.
“Apakah anda tidak merasakan hal yang ganjil dari kasus kematian korban itu, pak?” pertanyaan bernada serius dilontarkan Raya, padahal tidak sepantasnya dia membicarakan masalah kasus dari rekontruksi tapi rasa ingin tahu sudah tak terbendung lagi. Raya sadar sepenuhnya sejak dulu rasa ingin tahunya itu dapat membahayakan dirinya. Sewaktu kecil dulu nyawanya hampir terancam punah akibat rasa penasarannya trehadap kekuatan racun tikus.
“Ganjil? ada yang ganjil dari kasus tadi? Maksud kamu ganjil seperti apa?” tampaknya perwira muda ini tertarik dengan pernyataan Raya dan menghendaki percakapan panjang dengan menyodorkan sebungkus rokok yang telah sobek bagian tengahnya, sebentar saja kepulan asap putih dari dua batang rokok plat kuning.

“Pertama, dilihat dari perbandingan postur tubuh antara korban dengan tersangka bukankah dengan ukurannya saja sudah meragukan bahwa tersangka mampu merobohkan korban bahkan sampai mampu membunuh?” efek asap rokok mulai mencairkan rasa penasaran Raya.
“Loh, korban roboh bukan hanya karena pukulan tangan kosong semata tapi juga ditemukan luka bekas tusukan pisau belati” tangannya sambil memegang gelas mug dan dua bungkus kopi instant lalu memberikan air panas dari dispenser kemudian disuguhkan kepada Raya, jelas yang disuguhkan tersenyum manis.

“Begini Pak eh Mas… eh … Pak! Jika Bapak berpapasan dengan orang yang lebih rendah dari anda terlebih berada sekitar dua puluh lima senti lebih tinggi karena berjalan diatas trotoar sementara tersangka menyerang dari jalan yang lebih rendah posisinya, apa yang terjadi? Bukankah itu sulit dilakukan? Terlebih korban terpukul dibagian wajah sebelah kanan, terkecuali tersangka memiliki kecenderungan kidal, sepengamatan saya ketika nonton pertandingan tinju, tangan kiri akan lebih cenderung memukul bagian wajah lawan sebelah kanan dan untuk meruntuhkan lawan sebesar korban pastilah diperlukan bagian tangan paling dominan digunakan, begitu juga terlihat dalam memar di wajah korban pastilah diakibatkan benturan keras benda tumpul, jika tersangka dominan menggunakan tangan kanan maka tangan itu akan digunakannya,” tidak ada rasa ragu sama sekali dalam diri Raya mengutarakan analisisnya.

”Lantas bagaimana jika korban sedang menggengam belati?” Erlang memperagakan dengan menggunakan sendok yang diambilnya dari mug.
”Ahh, itu juga pak! Apa tidak terkesan ganjil dari belati itu pak?” entah menguji kemampuan analisis lawan bicaranya atau memang gaya bicara Raya yang lugas
“Maksud kamu belati seperti buatan T. Kardin itu?” ahha! Perangkap Raya berhasil mengungkap sisi analisis Erlang, nakal sekali anak muda ini.

“Betul Pak!, bukankah itu biasa digunakan bagi teman-teman yang menyukai petualangan alam atau juga teman-teman Bapak dari kesatuan lain itu sementara tersangka hanya seorang penarik becak” senyum puas Raya seolah menandakan dirinya berada pada lingkaran orang-orang yang menggunakan belati hasil karya T. Kardin ini. Erlang paham maksud Raya karena Ayahnya berasal dari Korps Baret Merah yang menggunakan belati dari Empu yang sama.
Tak terasa sudah satu batang rokok mereka habiskan, bahasa tubuh Erlang menandakan bagi Raya untuk menikmati sebatang lagi plat kuning dari bungkusnya, tawaran menarik tidak pernah dia sia-siakan langsung disusul kopi yang telah terasa hangat-hangat kuku, begitu juga diskusi menjadi hangat.

“Kamu bilang tadi ada banyak kejanggalan, dalam sepengamatanmu bagian mana lagi yang masih menjadi misteri?” kini Erlang tidak ragu memberikan ujian analisis TKP kepada Raya.
“Begini Mas, ehm maaf ku panggil Mas gak masalahkan? Biar akrab!” yang dipanggil Mas cuma senyum tipis, sudah semakin terasa atmosfer keakraban dalam ruang kerja berukuran 5 kali 5 ini.
“Saya yakin berkas memar pada wajah korban terjadi sudah cukup lama ketika korban menerima benturan benda tumpul itu,”
“Maksud kamu! Bagimana kamu bisa yakin akan hal itu? Apa dasarnya jika memar pada korban tidak terjadi pada saat pembunuhan?” Erlang semakin tertarik dengan lawan bicaranya.
“Anu Mas, korban ditemukan oleh anggota anda tidak begitu lama tergelatak pada TKP, benar?”
“Ya, benar. Lantas!”
“Jika korban langsung diketemukan berarti anggota telah langsung melakukan identifikasi dan mengambil beberapa gambar dari korban dan keadaan sekitar TKP, bukan begitu?” bara api semangat terlihat dari kesan mata yang berbinar sementara kedua tangan Raya tidak diam, sebagai salah satu ciri ketika dia berkomunikasi cukup serius, bahasa tubuhnya memperkuat penjelasannya.

Erlang terpaksa membuka sedikit jendela ruang kerjanya yang tembus pada kebun kecil dengan kolam kecil dan beberapa ikan koi berenang tenang di siang yang terik ini, ditambah lagi diskusi yang semakin hangat.
“Sesuatu prosedur pelaksaan identifikasi TKP, anggota saya pasti melakukan itu?”
“Maaf Mas, metode yang dilakukan oleh anggota anda dalam melakukan Crime Scene Processing?Apakah dengan Metode Spyral, Metode Zone, Metode Strip atau Metode Roda?” rasa keingintahuannya begitu terfasilitasi siang ini.
“Hahaha…saya rasa kamu lebih tahu mengenai hal ini! Terlebih kamu sudah melihat bagaimana karakter dari Crime Scene tadi” Erlang tidak meragukan lagi dengan kemampuan Raya, pengetahuan setingkat ini tidak akan didapatkan oleh mahasiswa hukum maupun mahasiswa kedokteran yang sekedar hadir diperkuliahan terlebih terkantuk-kantuk di kelas saat dosen menerangkan materi. Kini Raya yang geragapan, dia merasa telah jauh berbicara dan tidak sadar dengan lawan bicaranya.

“Hehehe…” Raya melakukan aksi kamuflase dengan tertawa seperti orang idiot sambil garuk-garuk kepala, tapi itu sudah terlambat, dia baru menyadari bahwa sepanjang pembicaraan tadi dia sedang dalam sejenis proses interogasi oleh perwira muda ini, parahnya Raya terbius suasana akrab.
“Oke kembali lagi pada dugaanmu terhadap berkas memar pada korban,” tangannya menyalakan pemantik, membakar rokok ketiga.
“Menurut saya, ehm…hehhehe… bisa jadi salah loh Mas!”
”Gak masalah ayo teruskan,”
‘Hehehe… jadi malu nih, anu Mas, jika korban langsung diambil foto mengenai posisi korban dan berkas-berkas luka, sementara tersangka tadi mengakui telah melakukan pemukulan langsung di TKP, bukankah berkas memar atau lebam itu tidak akan berwarna hijau kekuning-kuningan? Lagipula bukankah TKP tidak jauh dari Mapoltabes ini, berarti anggota anda juga akan segera mengetahui jika ada perkelahian itu?” Raya jadi meragu.

”Mengenai keadaan Mapoltabes yang minim anggota, memang saat itu kecuali petugas piket, hampir semua anggota saya dikerahkan pada sekitar daerah Keraton karena ada kunjungan RI 1 kedalam Keraton, tapi mengenai berkas memar, saya salut dengan pengamatan kamu! Padahal tadi kamu cuma dikasih liat sekilas saja foto-foto identifikasi korban, bagaimana kamu bisa tahu warna dari memar itu?”
Erlang menyodorkan beberapa lembar foto-foto korban, perhatian Raya lebih tertarik pada foto close up wajah korban, disamping wajah korban ada sebatang korek api, pasti ini dijadikan sebagai skala ukuran dari memar di wajah dengan perbandingan panjang batang korek api.
“Nah, ini Mas maksud saya tadi!” jari telunjuk Raya mengarah pada bagian memar pada wajah.
“Bukankah kontusi atau memar yang baru terjadi dipermukaan kulit diakibatkan kerusakan jaringan tanpa diskontunitas akan berwarna merah kebiruan?sementara di foto ini saya perhatikan luka memar sudah berwarna kuning kehijauan! Artinya luka ini bisa saja terjadi empat atau lima hari sebelum terjadinya kasus ini.” tepuktangan keras memecah lima detik kesunyian setelah penjelasan Raya.

Raya baru tersadar atas apa yang dia lakukan dan segera meminta maaf atas kesan menggurui sementara lawan bicaranya hanya menepuk-nepuk bahunya sebagai tanda salut. Raya harus pamit saat itu juga, sudah cukup lama dirinya berada diruangan itu.
“Oke kalau begitu, bagaimana jika kita lanjutkan diskusi kita lain waktu, besok malam kita ngopi joss di langkringan Lek Man? Kalau kamu tidak sibuk, pastinya tau dong Lek Man!”

****

Jogja; Romansa dan Misteri
Hari yang sama. 20.47 WIB. Lokasi; Angkringan Lek Man

Sepeda onthel, celana jeans belel warna hitam dan kaos berwarna hitam pula, seolah sudah menjadi kostum cir khas Raya, ritual membersihkan rambut panjangnya yang sudah menyentuh daerah tulang iganya memang memakan waktu yang cukup lama dan dibutuhkan kesabaran ekstra, belum ada niat untuk memangkas rambutnya itu, mungkin jika sudah pasti keluar jadwal pendadaran yang dinanti-nanti, sudah hampir tahun kedelapan dirinya bergentayangan di kampus. Keluar kos selepas Isya menuju timur kemudian onthel diarahkan belok kanan dari perempatan pingit melewati sepanjang jalan Tentara Pelajar, memang jam segini belum muncul para penggoda birahi berwujud waria yang menawarkan alternatif kepuasan seks.

Melewati bundaran SAMSAT, onthel bergerak belok kiri, pada pertemuan Jalan Wongsodirjan dan Jalan Pangeran Mangkubumi inilah banyak orang terbius oleh romansa Jogjakarta dengan budaya social gathering, lesehan ditemani teh hangat atau kopi yang dicampur dengan arang panas membara yang akan menimbulkan efek bunyi… jooossss. Ini mungkin mengapa minuman racikan Lek Man terkenal dengan sebutan kopi joss. Inilah Jogjakarta dengan sejuta gelar, selain kota pelajar, kota pariwisata juga dikenal sebagai kota pengamen dan kota sejuta kuliner lesehan, bagamana tidak unik kota ini, bahkan untuk menjual minuman keras pun tetap dalam format lesehan! Hebatnya lagi lokasi yang berada dibagian barat Jalan Malioboro ini tak pernah terdengar berita razia miras, “hla wong jamu koq mas, piye jal!” Untuk lokasi ini sudah tidak lagi Raya jadikan tujuan mencairkan malam dalam keriangan denting gelas, masih lekat trauma yang terjadi pada kawan akrabnya yang terpaksa menghentikan kuliahnya akibat bahaya laten lapen Pajeksan. Lima ribu perak dalam satu liter, lesehan pula! tapi efeknya mumet endase, eneg wetenge wis pokokmen remuk!

Teh panas, dua potong jadah bakar, tempe mendoan, tahu susur dan sebungkus sego kucing, siap saji dihadapan Raya yang duduk lesehan di atas selembar tikar, tikus wirog sudah mengincar dari balik pagar, setiap menit terdengar deru kereta api, sebelah selatan situ stasiun tugu dan Lek Man bersandar pada pagar tembok pembatasnya.
“Wah… wah! Udah abis berapa gelas teh nih?” suara dari sebelahnya mengganggu kenikmatan sego kucing dan tahu susur dalam mulut Raya, ternyata Erlang sudah duduk disampingnya.
“Jadi dari tadi sampeyan dah disini toh!” topi hitam yang semula menutupi hampir sebagian matanya diangkat sedikit, ah dasar Serse, hampir mirip siluman!

Tak terasa mereka telah larut dalam diskusi serius, kali ini reserse muda ini yang banyak mengutarakan kasus posisi yang sedang ditanganinya.
“kasus ini terkesan mudah tapi sebenarnya sulit, jadi kami gak boleh sembrono, bisa saja kasus ini langsung masuk pengadilan dan diputuskan karena kami sudah punya tersangka utama dan tunggal, selain itu juga kami sudah memegang pengakuan tersangka yang telah mengakui perbuatannya membunuh korban tapi kami tidak begiu saja mempercayai, ingat prinsip hukum paling utama?” Erlang menatap penuh harap pada pemuda satu ini.

“Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali!” mulutnya mengunyah jadah bakar.
“Oya, satu lagi; Presumption of Innocent!” Erlang menambahkan lagi satu prinsip; seseorang dianggap tidak bersalah sebelum diajtuhkannya putusan hakim.
“Aku sepakat Mas, pihak Kepolisian gak boleh sembrono dalam kasus ini, dalam Pasal 184 KUHAP mengatur bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan dirinya bersalah, tetap dibutuhkan barang bukti pendukung lainnya, bukan begitu Mas?” jadah bakar telah terdorong teh manis kental dan panas masuk tenggorokan melalui proses peristaltik.

“Bolehlah untuk mahasiswa semester lima belas, pantas saja pernah terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa!” kali ini Erlang menguliti jati diri Raya, posisi duduknya bergeser menghadap Intel muda ini hampir saja Raya merasa heran mengapa Erlang bisa mengetahui data dirinya tapi ini pasti hal mudah bagi seorang Intel.
“Sudahlah! Itu mengapa sebabnya aku gak ragu berdiskusi mengenai kasus ini dengan kamu, cocok dengan skripsimu toh!” Erlang hanya tertawa tipis saja.
“Iya nih Mas, aku dah hampir mencapai tahap menyerah…” gelas teh panasnya berhenti sejenak di depan bibirnya, pikirnya menduga-duga, info jati dirinya didapatkan oleh Intel muda ini dari Bagian Akademik kampus, teman kampusnya atau dosen-dosennya yang menjadi pengacara pasti sering berhubungan dengan pihak Kepolisian. Ah, masa bodoh!
“Jarang loh ada mahasiswa yang ambil skripsi tentang Forensik dan Perspektif Viktimologi, kenapa kamu ambil ini?” kesan penasarannya tidak tertangkap oleh Raya
“Aku ngerasa disini besar tantangannya Mas, padahal di kampusku baru aku satu-satunya mahasiswa yang ambil skripsi ini,”
“Terserah kau lah!” Erlang berkomentar singkat. Raya mengerinyitkan dahinya, jadah bakar ditangannya batal masuk mulut, ekspresi spontan itu sama persis apa yang dikatakan Dosen Pembimbingnya.

“Oh ya Mas, semalaman aku terus kepikiran dengan kondisi mayat korban,”
“Kenapa? Kamu kenal dengan korban?”
“Bukan itu Mas, ada satu lagi kejanggalan dalam kondisi mayat korban yang kaku”
“Maksud kamu rigor mortis? Teruskan, untuk hal ini aku belum begitu paham”
“Sepengetahuan saya dari buku-buku yang saya baca, kaku pada mayat atau rigor mortis akan terjadi akan terjadi lebih kurang enam jam setelah kematian”
“Apa kondisi ini hanya terjadi setelah enam jam?” Erlang semakin tertarik

“Oh, ada kondisi pengecualian Mas, ada beberapa faktor yang dapat mempercepat proses ini, bisa jadi faktor kejiwaan korban yang mengalami ketakutan hebat, seperti misalnya korban di teror terlebih dahulu sebelum meninggal atau otot korban telah melalukan aktivitas berlebihan misalnya habis berolahraga berat atau bisa juga karena korban melarikan diri dari kejaran pelaku, nah untuk yang terakhir ini maka penyebabnya dua; teror dan kerja otot berlebihan tapi jika melihat postur tubuh korban, aku ragu jika tersangka dapat melakukan teror dan intimidasi terhadap korban” Erlang menyimak serius penjelasan Raya sementara tangannya mendekatkan jadah bakar kemulutnya.

“Satu lagi Mas, bisa jadi dalam perut korban hanya terdapat sedikit sekali sisa makanan atau karbohidrat tapi untuk hal ini harus dilakukan proses otopsi tentunya. Sudah dilakukan proses otopsi pada mayat korban?” Raya menanti jawaban
“Untuk satu ini kami masih kesulitan mendapatkan Informed consent dari keluarga korban, ada kesan dari pihak keluarga yang siap mengiklaskan kematian korban, bagi keluarga hidup matinya seseorang berada di tangan Tuhan, bagaimanapun proses kematian itu, artinya proses otopsi akan sangat sulit dilakukan, terlebih Ibu dari korban tidak rela tubuh anaknya dibedah oleh Dokter Forensik” Erlang tidak menunjukkan sama sekali ekspresi bahwa dia menghadapi kendala besar, mungkin dia yakin akan ada jalan keluar untuk menghadapi ini.

“Ada perkembangan dari latar belakang belati itu Mas?”
“Anggota saya sedang dalam tahap pencarian info melalui toko-toko Adventure Equipment dan distributor senjata tajam berijin. Kamu melihat ada yang menarik dari barang bukti satu itu?” lagi-lagi Erlang menguji ketajaman pengamatan Raya, tapi Raya paham betul dalam hal ini dan mencegah adanya dominasi forum diskusi ini.
“Aku cuma curiga dengan jenis spesifik belati itu,” matanya melirik kearah Erlang dan siap mendengarkan.
“Kalau kamu cermati foto belati itu pasti kamu akan melihat banyak lagi kejanggalan”
“Seperti apa Mas?” kali ini Raya menerapkan jurus teaternya.
“Belati itu tergeletak tidak jauh dari tangan kanan korban, selain bercak darah korban terdapat juga sidik jari korban tapi tidak diketemukan sidik jari pelaku”

“Mungkin pelaku menggunakan sarung tangan atau menghapus sidik jarinya pada belati?” Raya coba menduga
“Kalau coba menghapus sidik jari pastinya bercak darah akan hilang begitu juga sidik jari korban”
“Berarti tersangka menggunakan sarung tangan Mas!” Raya mengambil kesimpulan singkat
“Hahaha... tadi kamu ragu kalau tersangka mampu melakukan itu, ingat pelaku pembunuhan ini belum tentu tersangka loh! Keraguan kita terhadap tersangka masih sama bukan?” Erlang yakin intuisi penyidiknya benar, intuisinya ini semacam sikali sense sering membantu dalam memecahkan berbagai kasus yang dihadapinya.

“Selain itu juga ada temuan yang menarik dari hasil penelitian labkrim kami, ada semacam alur tidak beraturan pada bercak darah, teori ku begini..” malam sudah semakin larut kondisi sepanjang jalan sudah mulai sepi, Erlang melihat kondisi sebentar lalu memberikan intruksi kepada Raya untuk mendekat.
“Kita ibaratkan sendok ini adalah belati yang digunakan pelaku, jika aku pelaku menusuk korban seperti ini,” Erlang memperagakan menusukkan sendok pada bagian perut korban.
“Jika kamu sebagai korban, apa yang akan kamu lakukan?”
“Ehhm.. jika aku masih kuat menahan pasti aku cabutlah Mas! Jelas terasa sakit sekali dan aku akan berupaya untuk menghilangkan sumber sakit itu” penjelasan Raya menyiratkan kesakitan korban, sementara Erlang cuek dengan tangannya memegang gelas berisi kopi joss.

Budaya minum kopi joss disini bisa dijadikan identifikasi sosial, bisa jadi si peminum kopi joss merupakan orang baru yang nongkrong di Lek Man, baru mendengar gaung nama besar kopi joss sehingga tertarik untuk mencoba racikan Lek Man atau bisa jadi si peminum sudah betul-betul ketagihan kopi joss, tapi untuk opsi kedua ini sangat jarang terjadi karena bagi mereka yang telah lama nongkrong disini pasti lebih memilih teh yang nasgitel (panas, legi tur kentel) dan kelebihan lainnya bisa tambah teh tanpa kena tambahan biaya alias `nge-jok`. Pengecualian bisa jadi untuk kasus jika si peminumnya adalah anggota Reserse terutama sekelas Erlang, bisa jadi ini sebagai motif kamuflase, agar orang sekitar menebak dirinya orang yang baru-baru ini nongkrong di Lek Man. Malam ini Raya tidak bergabung bersama kawan-kawannya di meja panjang Lek Man, dia memilih lesehan jauh dibagian barat agar tidak terlihat kawan-kawannya, dia yakin kawan-kawannya seperti memiliki radar keberadaan Intel dalam radius tertentu, sehebat apapun Intel itu berkamuflase.

Pernah suatu waktu ada seorang pengamen yang selama ini tidak pernah menjajakan suaranya disekitaran Lek Man, anehnya lagi pengamen ini menghadap pada penikmat suaranya tapi matanya berkeliaran seolah mencari target operasi, kemudian reaksi kawan-kawan satu persatu dengan gayanya masing-masing yang cukup elegan pamit pulang padahal saat itu kami tidak sedang membahas rencana untuk melakukan kudeta Republik ini, lagipula apa untungnya dan kekuatan apa yang kami miliki untuk melakukan itu, apalagi salahsatu diantara kami gembong atau pengedar narkoba, gak mungkinlah!, bisa saja ada orang lain yang dijadikan target operasi tapi begitulah reaksi mereka. Keesokan malamnya ketika kami berkumpul lagi secara serentak berbisik “aku tau kenapa kalian buru-buru pulang kemarin malam?” serentak pula kami menjawab “ooo… Assuuu!”
Malam semakin larut…. Jogja pun letih menemani para insomnia addicted.

***

Macan Hitam Merapat pada Lokasi
Rabu, 6 Juni 2007. 12.31 WIB. Lokasi; Seputaran Mandalakrida

Bangun tidur sudah pasti matahari sudah tak ramah lagi dengan kulit kepala, sinarnya seperti menusuk bagian ubun-ubun, belum terkena radiasi matahari yang tak terhalangi akibat efek rumah kaca, rambut gondrong Raya sudah rewel meminta hair treatment, ah cukup sampo sachet saja tak perlu creambath apalagi tambah vitamin vitalitas penguat rambut, tak perlu terlalu dimanjakan, sudah dua hari ini memang rambutnya tak tersentuh air, sudah dua hari pula dirinya tidak digentayangi Reserse kenalan barunya itu. Ayo mandi kawan!

”Perpus…, bimbingan… atau ke internet ya…?” sepatu Converse sebelah kirinya telah terikat, kaki kanannya siap melangkah meski ragu, menanti keputusan dari otaknya yang mempunyai tiga pilihan. Handphone jadulnya telah men-dial, pada layar yang hampir buram tertera `calling DPS 1`.
“Assalamualaikum, Saya Raya, mahasiswa bimbingan Ibu, siang ini Ibu ada waktu untuk memberikan bimbingan skripsi bagi saya?” akhirnya Raya memberanikan diri menelpon Dosen Pembimbingnya.
Nomor hp ini dia dapatkan dari Pak Man yang biasa `mangkal` di Bagian Hukum Pidana kampusnya mengurusi semua tetek bengek berbau skripsi mahasiswa, ada informasi menggembirakan dia kabarkan lewat sms, “boss, untuk mahasiswa angkatan tuo bakal ada keringanan dalam proses skripsi, cepat hubungi DPS mu, selak tuo loh!”, entah sejak kapan istilah `boss` jadi panggilan khas bagi mahasiswa ber-semester tak berhingga.

“Raya? Siapa ya? Kamu dari kampus mana ya? Mahasiswa bimbinganku banyak loh De!” maklumlah dosen terbang, kalau tidak begini mana bisa nyicil kredit mobil Kijang baru.
“Saya, mahasiswa yang ambil skripsi tentang Forensik” Raya yakin password ini dapat mengingatkan memori sang dosen.
“Oooaallaahh, kamu toh! Memangnya kamu belum lulus toh? Sebentar…sebentar kalau ndak salah udah lama banget kamu ambil skripsi ini toh?”
“Hehehee… inggih Bu, saya saja sampai lupa dulu ngajuin judul ini kapan ya”
“Cckk…ccckkk… Mas…Mas… seingat saya dulu kamu mulai bimbingan dengan saya ketika saya sedang menempuh studi S2 toh, sekarang saya ini sedang menempuh S3 di UNDIP loh!, ya udah cepat kamu ke rumah saya saja, ini juga saya persiapan mau ke Semarang, jangan terlalu sore loh Mas”

Ini salahsatu sisi yang membuat Raya betah menjadi mahasiswa dampingannya, panggilan `De` dia koreksi menjadi `Mas`, pernah Ibu ini kesal dengan rekan-rekan dosennya karena hampir semua dosen memanggil mahasiswanya dengan panggilan `De`. Dosen ini asik menurutnya meski hal ini hampir semua mahasiswa yang skripsi menghindar menjadi mahasiswa dampingannya bahkan rela merubah haluan dari Pidana menjadi Hukum Tata Negara yang dapat selesai dalam tempo tiga bulan. Ah cemen!

Selepas bimbingan Raya mengayuh sepeda onthelnya dari seputaran Makam Pahlawan menuju utara membelah Jalan Kapas, melewati Pengadilan Tinggi belok kiri yang diujung pertigaan itu disebelah kanan dan kirinya terletak dua institusi penegakan hukum yang selalu miring akibat ulah oknumnya yang tergiur oleh godaan rupiah, sepeda masih kearah utara seolah tidak peduli dengan kebobrokan dunianya Raya mengarahkan sepedanya belok kanan hingga bertemu pada Lapangan Mandalakrida, lagi stang tua sepedanya diarahkan kekiri, di angkringan depan Instalasi Kesehatan bagi Usia Lanjut milik UGM, Bayu kecil yang sudah pulang sekolah setia menemani Mboknya menjajakan es teh dan jajanan kecil. Sepeda tua Raya telah bertengger di pohon dalam pekarangan tanah milik universitas tertua ini, tak banyak yang hadir di angkringan ini tapi tujuannya pasti hampir sama; menikmati pergantian hari sambil menikmati es teh di bawah lindungan pohon cemara berdaun lembut.

Pengunjung tetap adalah para salesman dan distributor consumer goods yang selalu melakukan konsolidasi perkembangan distribusi barang-barang dagangannya, ada juga segerombolan pelajar SMK yang dimiliki Yayasan salah satu Ormas Islam yang menjadi sorotan golongan Islam lainnya yang menuduh aliran mereka sesat, ahh Raya pasti gak ambil pusing untuk satu ini, ada juga seorang yang seperti habis jogging sore dengan kostum olahraga cassual bertopi hitam dan kacamata sport hitam juga, ditangannya dililitkan handuk kecil dan telinganya tersumpal earphone kecil, tapi Raya langsung menuju orang ini, duduk disampingnya dengan posisi membelakangi orang itu, membakar rokok sambil memesan es teh pada si Mbok.

”Capek ya Pak? Habis olahraga atau pengintaian?” nada bicaranya sedikit berbisik tapi badannya tetap kearah berlawanan dengan orang itu, aneh telinganya tersumpal earphone tapi dapat mendengar nada bicara sedikit berbisik, orang berkostum sport itu hanya menolehkan kepalanya sedikit saja.
“Ganti topi dong kalau mau melakukan pengintaian,” dengan cuek Raya berceloteh semi berbisik sebelum ditimpali orang itu.
“Ahh, rupanya kamu! Ngapain kamu koq bisa sampai sini?” sikapnya tetap waspada tanpa mengendorkan pantauan disekitarnya.
“Hehhehe… rahasia dong! Belum pernah toh pengintai tapi diintai balik?” polos saja.
“Oke deh salut lagi untuk kamu! Ahh, besok aku harus ganti topi neh” merasa keadaan sekitar aman, barulah Erlang memberanikan diri berkomunikasi layaknya orang biasa.
“Kita pindah dibawah pohon dekat tembok itu yuk! Kamu paham toh,” Erlang minta ijin pada si mbok untuk menggeser kursi kayu panjang itu.
“Oh, ndak apa-apa Den Bagas, lagian sore ini sepi kok” si Mbok memberi ijin sambil tetap membuatkan pesanan es Nutrisari.
“Den Bagas…hah Bagas! Hiihiiihii...” Raya tak tahan menahan geli begitu mendengar nama samaran Erlang, pemilik nama samaran Bagas hanya menatap Raya, seketika itu juga tawanya terhenti.

“Kamu juga sering kesini toh? Koq aku gak pernah liat ya!” matanya tetap siaga.
“Aku memang jarang kesini Mas”
“Oh ya!”
“Mungkin pas Mas ngintai dimana gitu, nah pas kebetulan aku kesini”
“Ahh bisa aja kamu!” kali ini tangannya memegang kaos bagian lehernya mendekatkan kearah mulutnya.
Entah apa yang diucapkan tapi setelah itu pandangannya menuju arah utara dekat mess PSIM, tiba-tiba diujung sana seorang petugas kebersihan mendorong gerobak sampahnya tapi sebentar mengangguk lalu pergi, sementara seorang petugas parkir tepat di gerbang masuk Mandalakrida, dari pojok sini terlihat memegang telinganya, menyerahkan tumpukan karcis parkir lalu pergi menggunakan motor Tiger hitam, padahal sore ini Mandalakrida ramai ada latihan salahsatu pembalap Jogjakarta.

“Ooo…” Raya mencermati gerak-gerik orang yang bisa jadi dia simpulkan sebagai anak buah Erlang.
“Hey, kok bengong! Kamu belum cerita tadi darimana toh?” Erlang coba mengalihkan perhatian, dia sadar gerak-gerik anak buahnya sempat terlihat oleh pengawasan Raya.
“Anu Mas, tadi aku dari rumah kawanku yang sedang semangat kerjakan skripsinya, setelah diskusi dengan Mas Erlang siang tadi aku jadi kepikiran terus skripsiku yang mandek! Makasih loh Mas”
“Loh kok?! Memangnya aku kasih kamu apa?” Erlang hanya tersenyum.
“Aku jadi terpacu untuk kembali lagi garap skripsiku, sukur-sukur bisa bantu pecahin kasusnya Mas Erlang atau justru semakin membuat rumit kasusnya, hehehe”
“Kebetulan banget nih, kami hanya tahu pelaksanaan penegakan hukum di lapangan sementara kami kekurangan anggota yang memahami di bidang forensik karena tiga dari lima anggota kami sedang menempuh pendidikan selama 3 bulan di Singapura, dua lagi tenaga ahli kami sedang diperbantukan untuk melakukan pemeriksaan otopsi korban kecelakaan pesawat terbang Garuda,” kali ini Raya sempat menangkap sinyal pengharapan pada mata Erlang.

“Aduh Mas kok tiba-tiba jadi serem ya?” Raya sadar betul kemampuannya di bidang ini masih sangat jauh dari paham!
“It`s oke koq, kami juga gak akan terlalu maksa kamu dan meminta pertanggungjawaban besar, tapi peluang untuk kamu bisa menerapkan aplikasi ilmu tetap terbuka koq, oke gini aja aku minta nomor hp mu nanti aku hubungi kalau kami perlu bantuan kamu,” senyumnya menegaskan bahwa tawarannya ini bukan sekedar basa-basi.
“Oke deh kalau gitu, ini nomor hp ku, saya boleh minta nomor hp Mas?”
“Tenang aja pasti aku hubungi kamu tapi pastinya nomorku akan selalu berubah jadi kamu gak usah simpan nomor telponku” gerakan alis matanya memberi sinyal `paham!`.

Sebuah mobil jeep milik salahsatu kawan Raya baru saja parkir setidaknya ada tiga orang didalam mobil itu, jaraknya hanya beberapa meter saja dari tempat duduk Raya dan Erlang. Rasa khawatir Raya mulai merambati perasaannya, bagaimana jika kawan-kawannya mengetahui dirinya sedang ngobrol dengan seorang intel? Tangannya membalas lambaian Ikal, Atmo dan Jede begitu mereka keluar dari mobil.
“Gawat nih!, Mas lebih baik pergi aja du…” Erlang sudah tidak berada di sebelah Raya, “Ahh, dasar siluman!” Raya merasa lega
“Hah siapa yang siluman?! Enak aja lu bilang kami siluman” Ikal protes
“Terus apa namanya kalau bukan siluman? Liat sendiri bentukmu itu, rambur acak-acakan, mata merah, muka kusut pasti belum mandi juga,” sekenanya Raya mengalihkan
“Hehehe… gak cuma itu Bro, belum tidur juga! Nih gara-gara Jede, insomnianya kumat lagi, kita berdua jadi korban” Ikal berjalan sempoyongan mendekati kursi, jelas terlihat sisa-sisa tidak tidur atau setidaknya hanya beberapa menit saja dalam bentuk Ikal.

“Kok kursinya jauh banget Bro?”
“Pengen aja duduk deket sini, gak boleh nih? Ya udah kita pindah lagi ke depan situ, ayo angkat!” Raya paham akan ada yang protes lagi
“Ahh gila lu! Gak liat apa kalo aku nih lagi lemes!” dengan sisa tenaga yang ada mereka mengangkat kursi kayu itu.
“Kamu pesen apa Kal? Kalau kamu, masih mau pesen lagi Bro?” Jede menawarkan mereka berdua.
“Aku pesen apa ya? Kayaknya semua minuman dah ku coba tadi malam, kopi sudah, teh panas sampe tiga gelas, wedang jahe juga udah, oooya, anu, aku pesen a-mir aja, hehehe” ekspresi wajah itu membuat sebal Jede
“Sorry no alcohol as long you stay with me. Understand!” terkadang Jede muak dengan kebiasaan buruk kawannya satu itu, Raya dan Atmo cuma ketawa-ketawa aja
“Oke deh mister londo! Aku pesen… terserah ah!” badannya disandarkan pada pohon
“gak ada minuman terserah disini Kal” Atmo nyeletuk.

“Gimana tadi bimbingan skripsinya tadi Bro?” Jede membuka perbincangan yang sebenarnya dia hindari, tabu untuk dibicarakan, pasti kedua kawannya ini akan mengejek Raya.
“Hahh, apa aku gak salah denger nih? Kamu bimbingan skripsi Bro! hahahhaa…Niat banget, dah mau lulus apa? Hahaha, berita paling heboh abad ini!” Atmo paling sirik jika ada diantara kawan-kawan serius garap skripsi
“Hoy jangan gitu Mo, kawan kita satu ini harus kita dukung dong, bukan begitu Bapak Sarjono Hukum eh Sarjana Hukum ding! Kalau Sarjono kan gak ambil Ilmu Hukum tapi Ilmu Kungkum alias ilmu berendam! Hehehe…”
“Eh, jangan-jangan kamu jadi niat bimbingan skripsi setelah ikut berendam terus dapat ilham di sungai tadi malam bareng Dosen Universitas Lek Man ya!” Ikal bukannya menolong justru memperparah keadaan.

“Tar dulu Kal, emang tadi malam tuh Selasa Kliwon po? Hehehe… kalau kliwon berarti tidak diragukan lagi Kal!” Atmo juga sama seperti Ikal bahkan prinsip dia hampir sama dengan Duncan Macleod dalam film Highlander, hanya perbedaannya jika Atmo mengejek orang maka tenaga dia akan bertambah bahkan usia juga.
“Kalian ini aneh! Ada kawan mau serius kok malah digarapi toh! Cuekin aja Bro” dalam lingkaran persahabatan ini hanya Jede yang bisa diajak serius yang lainnya cuma bisa diajak serius tapi serius untuk bercanda, maklum Jede blasteran Jogja-Australia.

Namanya aneh; Jane Doe Sinten Kulo, menurut gosip, Bapaknya yang asli Australia dapat ilham memberi nama Jede ketika liat foto di kotak susu tentang anak yang diketemukan tanpa identitas. Itu sebabnya Jede gak suka minum susu.
“Jane, apa kabarnya Kodok, Kampret ama Jack ya? Dah lama banget gak ada kabar dari mereka?” Raya meminum es tehnya penuh perasaan.
“Kenapa kamu tiba-tiba ingat mereka semua Bro?” Jede paham dalam benak Raya, dalam waktu dekat dia pasti akan menghilang beberapa lama.
“Kemarin aku lihat kembang api dari kos ku, temen-temen bilang sih ada pembukaan Festival Kesenian Yogyakarta” nada bicaranya seperti menahan sesuatu tapi tidak ada yang tidak bisa terbaca oleh Jede

“Kamu kangen mereka atau Genta? Mau ngilang kemana lagi? Bukannya kamu harus fokus dengan skripsimu? Sudahlah jangan terlalu sentimentil gitu, life must go on Bro!” Jede yakin hal ini tidak akan meruntuhkan niat Raya tapi apa salahnya mencoba. Ikal dan Atmo terkapar meski kopi mikali dalam gelas mereka hampir tak tersisa.
“Gak tau nih Jane! Kadang-kadang aku merasa terlalu bersemangat tapi tiba-tiba bisa ngedrop begitu aja, aku sadar tugas utama ku harus segera ku selesaikan, Genta beberapa hari ini datang dalam mimpiku tapi aku gak bisa dengar suaranya, jauh banget!” langit sore ini menjadi kelabu. Bayang-bayang Genta bisa jadi diakibatkan kasus pembunuhan yang sekarang menjadi perhatian Raya.

“Terus mau kamu gimana?”
“Gak perlu aku kasih tahu juga kamu sudah tahu kan?”
“Aku gak yakin Bro…”
“Oke deh gini aja, aku bisa denger harapanmu tapi kamu juga tahu, kamu gak bisa cegah aku pergi”
“So?..”
“Hhmm…”
“I`m waiting Bro!”
“Oke, aku janji akan aku selesaikan, lagipula tadi dosenku kasih keringanan dalam proses penelitianku, gimana kalau aku pinjam perangkat teknologi canggihmu? Jadi aku bisa pergi tapi aku juga bisa garap penelitianku” diantara semua kawannya hanya Jede yang memiliki akses teknologi canggih.

“Well, apa aja yang kamu butuhkan?” Jede merasakan kesan serius dalam diri Raya
“Aku perlu laptop dengan internal modemmu, Nikon D100 mu and flash disk yang ada recordernya”
“Cuma itu?are you sure! Fresh money?” hampir tidak ada batasan dan kecurigaan dalam persahabatan mereka.
“Actually, I need it but i`ll figure it out! Positive!” sebenarnya Raya ragu untuk hal ini dan Jede pun bisa membacanya tapi dia bukan tipe orang pemaksa
“Kapan kamu ambil pesananmu ini?” pastilah tidak lama lagi, batin Jede menerka
“Besok siang aku kerumahmu, kamu ada dirumah?”
“Oke, biasa ya nanti kamu masuk lewat pintu sebelah Timur”
“Thanks Jane”
“No problemo Bro!” Raya tidak meragukan lagi senyum iklas Jede
“Terus bagaimana aku harus jelasin pada mereka tentang hilangmu?”
“Aku gak pernah meragukan kecerdasanmu Jane, menghadapi rengekan mereka adalah hal sepele bukan?” senyum Raya kali ini bisa menjadi beban bagi Jede. Raya sudah siap dengan sepeda onthelnya
“see you tomorrow Bro!” tangan kanan terangkat. Membangunkan kedua kawannya bukanlah hal mudah terlebih mereka belum tidur semalaman.

“Loh Raya kemana Jane?” rambut Ikal jadi semakin liar, matanya masih berat. Mahluk gondrong ini sudah melewati fly over Lempuyangan menuju utara tepat diperempatan Galeria belok kiri mengarah barat kota Jogja, santai mengayuh sepeda tuanya.“huaatsyii!!” Raya menutupi hidungnya
“hhhuaaatttssyyyiiii!!!!!, ahh pasti Ikal dan Atmo mengutukku disana” pemuda ini terus melaju, Tugu Jogja baru saja dia sapa.

****


(picture taken from www.mayslaw.net)



Face to Face to the Dead
Kamis, 7 Juni 2007. 10.12 WIB. Lokasi; Rumah Jane



Semua perlengkapan yang dibutuhkan Raya telah berpindah pada ransel dekil, Jede merasa berat untuk melepaskan bukan karena peralatan yang dipinjam Raya karena masih ada peralatan yang sama dalam kamarnya melainkan dia menangkap perasaan yang aneh dalam diri kawannya ini.
“Oke Jane terimakasih untuk teknologi canggihmu ini, aku pasti akan menjaganya, tenang aja gak akan ku jual kok, meskipun aku perlu duit, hehehe”
“Ya, aku percaya, aku justru khawatir kamu akan menjual dirimu kalau duitmu habis!”
“Hahaha.. apa orang seperti aku ini punya nilai jual Jane? Bisa aja kamu ini, oh ya, sekalian titip sepeda ya tapi kalau bisa kamu taruh aja di gudang, bahaya kalau ketauan dua mahluk aneh itu”, Raya yakin jika Ikal dan Atmo mengetahui sepedanya berada di rumah Jane maka akan sulit bagi Jane mencari alasan bahkan bisa jadi menuduh Jane telah memfasilitasi hilangnya Raya dari Jogja.
“Where ever you go, just take care out there, Bro! call me when you need a hand, oke!” sorot mata iklas terpancar dari bola mata berwarna biru dan yang satu lagi berwarna coklat, campuran warisan genetikal antara Ayah dan Ibunya. Keunikan pada matanya ini yang diyakini Eyang kakungnya bahwa Jane memiliki keistimewaan dalam dirinya.
“Thanks a lot Sis!”.


Baru saja Raya menutup gerbang besi itu, handphonenya sudah berbunyi, tidak ada keterangan nomor si penelepon.
“Hallo, Selamat siang, benar Saya berbicara dengan Saudara Raya?” suaranya terdengar tegas tapi lembut
“Maaf, anda ingin berbicara dengan siapa? Anda salah sambung, kalau ini bukan nomor Saudara Raya, ini nomor saya sendiri kalau nomor saudara saya ya lain lagi” suara Raya dibuat serius tapi tersenyum kecil, dia menduga ini pasti suara kawannya yang sering kali iseng mengaku sebagai petugas marketing salah satu bank yang menawarkan kartu kredit bahkan terkadang mengaku sebagai petugas Kepolisian.
“Ya, saya ingin berbicara dengan anda, saudara Raya.”
“Loh, anda ini gimana toh! Mau berbicara dengan saya atau saudara saya?” Raya hampir tak kuat tahan tawa
“Aah, berarti benar saya sedang berbicara dengan Saudara Raya kalau begitu. Begini Saudara Raya, komandan saya berharap untuk dapat bertemu dengan anda di Markas Poltabes, kalau bisa siang ini, penting!” si penelepon sedikit bersabar dengan gaya bicara Raya yang mempermainkan dirinya



“Oo, maaf, apa kesalahan saya sehingga saya harus menghadap komandan anda, lagipula yang perlu `kan komandan anda jadi kenapa saya yang harus datang, bukan begitu opsir Atmo?” Raya mengambil kesimpulan singkat bahwa si penelepon adalah kawannya karena dia yakin dengan logat jawa yang kental itu.
“Maaf, saya bukan opsir Atmo, begini saja Mas, anda secepatnya ke Mapoltabes karena komandan saya, Bapak Erlangga sudah menunggu anda siang ini, penting!” suaranya kemudian menjadi tegas tidak ada lagi kesan lembut, Raya baru menyadari bahwa ini bukanlah telpon iseng dari kawannya dan meminta maaf.



****



Kamis, 7 Juni 2007. 11.27WIB. Lokasi; Kantor Poltabes


Erlang telah menunggu di ruang kerjanya, menyambut Raya kemudian mengajaknya pada suatu ruangan, sedikit gelap, hanya ada meja dengan empat kursi, kipas angin pada langit-langit, white board, satu unit komputer dan LCD projector. Dua orang petugas tidak berseragam masuk dan memberikan tanda hormat kepada Erlang.
“Perkenalkan ini kedua petugas kami yang secara khusus menyelidiki kasus pembunuhan kemarin itu, kamu bisa panggil mereka Mas Hari dan ini MasYanto, sengaja saya minta Mas Raya untuk membiasakan diri dengan panggilan `Mas` karena dalam waktu dekat ini kalian akan sering bertemu dan untuk mencegah kesalahan kecil dalam lapangan nantinya yang bisa jadi berakibat fatal, misalnya tiba-tiba Mas Raya tidak sengaja mengucapkan “Siap Pak Polisi, maka akan sia-sia penyidikan kita kedepan nantinya”, bisa dipahami Mas Raya?”



Sebenarnya Raya masih ragu ketika di ruang kerja tadi dia menyanggupi tawaran Erlang untuk masuk kedalam tim penyelidikan pembunuhan itu, Raya menyadari kemampuan dirinya yang sangat minim pengalaman, dia pun sadar betul status dirinya yang sekedar warga sipil biasa terlebih sekarang dia dihadapkan dengan dua orang intel yang nantinya akan terus bersama dia selama menghadapi kasus ini, bagaimana jika kawan-kawannya yang alergi terhadap mereka ini nantinya mengetahui bahwa Raya bersahabat dengan mereka.



“Bagaimana, saudara Raya?” Erlang masih menunggu jawaban Raya yang sedari tadi menunduk
“Oh, iya Pak, eh Mas, oke saya siap!” Raya harus memantapkan komitmennya, keputusannya untuk masuk dalam tim tidak bisa ditarik lagi begitu dia memasuki ruangan ini, Erlang memberikan tawaran berulang-ulang di ruang kerjanya tadi dan memberikan kesempatan untuk menolak tawarannya sebelum mengajak Raya kedalam ruang khusus ini. Jiwa petualang Raya lah yang mendorong dirinya mengambil keputusan, terkadang dia merasa bisa terjebak akibat rasa penasarannya itu, seperti saat ini.



“Oke bisa kita mulai? Mas Hari, tolong dipersiapkan semuanya”
“Siap Dan!” petugas satu itu dengan cekatan mempersiapkan perintah komandannya, menyalakan komputer dan LCD projector. Erlang menjelaskan dengan terperinci setiap gambar foto yang terpampang pada lembar layar putih, sementara Yanto memberikan penjelasan kasus posisi berdasarkan Berkas Acara Perkara. Foto-foto korban dengan berbagai posisi dan beberapa alat bukti mengingatkan kembali posisi Raya yang telah mengikuti rekontruksi pembunuhan tempo hari, tiba-tiba dadanya berdegup keras, kepalanya berdenyut, terasa aliran darah mengalir cepat dari pembuluh darah di dahi kanannya menghasilkan keringat dan perasaan gugup yang luar biasa.
Berada diruang itu saja sudah membuat dirinya menjadi sedikit tidak nyaman terlebih foto-foto yang kembali dilihatnya itu memaksa harus menguasai dirinya menjadi stabil kembali, bukan karena posisi korban yang berlumuran darah melainkan gambaran yang begitu nyata ketika dia bertemu dengan korban dan meminta tolong kepadanya di alam tidak sadarnya saat dilokasi TKP.



“Mas Raya baik-baik saja?” Yanto menawarkan segelas air mineral
“Oh…ehhm.. saya.. baik-baik saja Mas, terimakasih,” air mineral itu sudah habis, perlahan Raya telah menguasai dirinya sendiri.
“begini, Mas Hari dan Mas Yanto perlu diketahui, beberapa hari lalu saya sudah sedikit mendapat pertolongan dari Mas Raya ini seputar kejanggalan yang ditemukan dalam tubuh korban, mungkin Mas Raya bisa kembali menjelaskan,” Erlang memberikan kesempatan kepada Raya.



“Terimakasih Mas Erlang, sebelumnya saya minta ijin untuk dapat merokok sambil menjelaskan, boleh?” ketiga petugas itu memahami keadaan Raya yang masih gugup dan canggung, Erlang menepuk ringan pada bahu Raya seolah memberikan semangat dan bahasa tubuhnya yang mempersilahkan Raya untuk maju kedepan.
“Terimakasih atas kepercayaan besar terhadap saya ini tapi sebelumnya saya minta maaf karena pengetahuan saya juga sangat terbatas dan kalaupun ada sedikit yang saya ketahui tidak ada bermaksud untuk menggurui Mas-mas semua,” kini Yanto mendekatkan secangkir kopi panas dan asbak.




Raya dengan sopan meminta tolong pada Hari untuk dapat menampilkan kembali foto nomor 58 yang mengabadikan berkas luka pada bagian perut korban dan beberapa lembar foto pada bagian wajah korban, kemudian menjelaskan sebagaimana pernah dia jelaskan kepada Erlang tapi kali ini Raya mengeluarkan flash disk kecilnya dan meminta Hari untuk memasukan kedalam komputer dan menayangkan pada projector file-file yang dia minta.



“Foto-foto berikut ini sebagai perbandingan dengan foto korban yang memberikan penjelasan tentang perbandingan waktu atau usia luka pada korban, oh ya sebelumnya foto ini saya copy dari beberapa situs kepolisian Amerika dan beberapa dikirim dari blog dan mailing list kawan-kawan saya yang sama-sama menyukai dunia forensic,” Raya memberikan kode pada Hari untuk menampilkan gambar berikutnya.



“Kita bisa lihat ketiga foto ini, korban mengalami benturan benda tumpul pada bagian pipi kanannya tapi bisa kita perhatikan pada foto ini ada keterangan waktu pengambilan foto yang berbeda hari dan juga ada perubahan warna lebam pada berkas benturan tersebut”, Raya telah menguasai penuh dirinya dan telah beradaptasi dengan ruangan itu dengan baik.



“Oke, Mas Hari sekarang saya minta tolong lagi untuk ditampilkan file berikutnya,” belum sempat permintaan Raya dilaksanakan tiba-tiba seorang petugas mengetuk pintu dan memberikan laporan bahwa telah diketemukan lagi korban pembunuhan dengan indikasi yang hampir sama dengan korban sebelumnya.



Erlang membuktikan dihadapan Raya bagaimana dirinya memimpin anggotanya, dengan sigap dia meminta agar anggotanya segera bergerak menuju lokasi tetapi sebelumnya memerintahkan salahsatu anggota untuk menyiapkan surat permohonan permintaan petugas forensik dari RSUP Sardjito dengan permintaan khusus agar petugas yang sama memeriksa korban sebelumnya yang dikirim pada TKP. Petugas yang melapor tadi diminta untuk menghantarkan Erlang, Raya dan Hari kelokasi TKP.

(picture taken from www.fbi.gov)



***

5 menit perjalanan menuju lokasi; Bekas Pabrik Ubin-TKP. 14.04 WIB.


Suara sirene pada mobil patroli telah dipadamkan namun lampu berwarna merah dan biru itu masih berputar-putar. Lokasi TKP ternyata tidak jauh dari Markas Poltabes, beberapa petugas telah siap dilokasi dan membuat pherimeter dari pita kuning, pekarangan bekas pabrik ubin itu telah resmi hanya dapat dimasuki orang-orang yang berkepentingan saja. Raya semula ragu untuk memasuki pekarangan itu, tapi setelah Erlang menjelaskan kepada petugas yang berjaga pada TKP bahwa Raya bersama dirinya maka Raya berhak untuk dapat memasuki lokasi TKP. Seorang petugas mendatangi Erlang, memberikan tanda hormat dan menjelaskan temuannya sore ini.



“Siap Dan, korban diketemukan tiga puluh menit lalu oleh seorang gelandangan, menurut keterangan saksi posisi korban masih dalam keadaan yang sama seperti sekarang karena dia tidak berani mendekat namun dia yakin korban telah mati. Sebelumnya saksi mencium bau busuk yang semula diperkirakan bangkai tikus,” dengan tegas petugas itu memberikan rincian.


“Sekarang saksi berada dimana? Siapa petugas pertama kali datang ke lokasi dan mengecek keadaan korban?” posisi Erlang mendekati korban
“Siap Dan, saksi sekarang sedang dimintai keterangan lanjut di kantor, saya dan dua orang petugas lain yang pertama kali mendatangi TKP,”
“Apakah kamu melihat ada orang lain ketika datang tadi dan apakah kamu telah merubah posisi korban?!” Erlang bertanya pada petugas dengan nada sedikit khawatir jika petugas telah merubah posisi korban dan ada kemungkinan merusak TKP akibat keteledoran dan minimnya pengetahuan penanganan korban dan TKP. Sering kali dia merasa kesal terhadap petugas yang pertama kali datang pada lokasi TKP bertindak diluar prosedur yang mengakibatkan banyaknya petunjuk yang menjadi rusak dan hilang.



“Dimana petugas identifikasi? Cepat hubungi Yanto! Dimana posisi dia dan Dokter Forensik yang akan memeriksa korban dan TKP?” Erlang memberikan perintah pada Hari untuk segera melaksanakannya.


“Siap Dan! petugas identifikasi sedang dalam perjalanan kemari sementara rekan Yanto ada sedikit masalah birokrasi dengan pihak Rumah Sakit,” Hari dengan cepat memberikan laporan bahwa perintah telah dilaksanakan
“Ahh, birokrasi sialan! Coba hubungi Direktur rumah sakit itu saya mau bicara! Berapa lama lagi petugas labfor sampai disini memangnya dari mana mereka berangkat?” nadanya tegas.
“Petugas identifikasi ketika saya hubungi sedang berada di Polda. Sebentar saya hubungi Direktur Sardjito dulu, Dan.” Hari menekan tombol pada handphonenya, Raya mendekati Erlang yang gusar melihat anggotanya yang lambat bergerak.
“Mas, saya bawa kamera, kalau diijinkan boleh saya mengambil beberapa gambar?” Raya sudah siap dengan nada penolakan dari Erlang



“Apa?” Erlang menatap sebentar pada Raya kemudian memberi kode pada Hari menanyakan perkembangan tapi Hari hanya mengangkat bahunya tanpa melepas posisi handphone dari telinganya. Erlang mempertimbangkan sebentar lalu mengambil keputusan.
“Oke, tapi hati-hati jangan sampai merusak TKP dan ingat hasil dokumentasimu akan menjadi milik kami” Erlang memberikan ijin tapi dengan pengawasan ketat dirinya
“Siap Dan! Saya tahu sedikit tentang prinsip identifikasi TKP dan korban. Yang pertama INTERVIEW, kemudian EXAMINE, PHOTOGRAPH, SKETCH dan terakhir PROCESS. Lagipula saya hanya melakukan tugas Photograph jadi ambil foto aja kok, gak akan merubah apapun.” Tangan Raya masih berada disamping dahi memberikan tanda hormat pada `komandan sementara`nya.



Raya memulai pendokumentasian menggunakan Nikon D100 milik Jane. Angle luas pertamakali diambil untuk memberikan keterangan situasi TKP, beberapa kali lampu blitznya menyala karena ruangan bekas pabrik ubin itu sedikit gelap meski beberapa genteng pada atap dengan leluasa memberikan cahaya sore hari. Struktur bangunan tua menjadi sasaran lensa, potongan kayu tua yang mungkin lepas dari atap, beberapa cetakan buis beton yang terbuat dari besi kini berkarat tak terurus, tumpukan ubin reject, puntung rokok, beberapa ekor tikus yang berkumpul pada suatu pojok berebut sisa makanan, gambaran lokasi yang pengap terekam cukup detail.



Lensa kamera mengarah pada lokasi ditemukan korban, kamera diarahkan pada seluruh tubuh korban dengan posisi sedikit berlutut hampir bugil menghadap kedepan terikat pada salahsatu tiang besi penyangga atap gedung, kini Nikon D100 mencari fokus di bagian bawah tubuh korban pergelangan kaki, kemudian mencari detail pada bagian lutut yang sobek, bagian perut korban yang penuh dengan luka sayat dan lebam menjadi sasaran fokus mata Raya melalui lensa 38mm itu, Raya berjalan memutari tubuh korban tanpa melepas kameranya menuju lengan korban yang terikat sejenis tali berdiameter yang biasa dipakai untuk perlengkapan memanjat, perhatiannya tertuju pada tiang besi berdiameter sekitar 17senti itu, ada semacam tulisan dari bekas seperti kapur berwarna kuning yang belum dia pahami maksud dari tulisan itu, kamera D100nya dibiarkan tergantung didepan dada Raya.



Matanya mendekati pada tulisan itu mencoba menduga-duga kemudian hendak melaporkan temuannya pada Erlang tapi komandan itu sedang sibuk melakukan negosiasi lewat telpon, kameranya kini mencari fokus pada bagian bawah tiang yang terdapat beberapa keping pecahan ubin berwarna merah dan kuning, sebelum menekan tombol shutter dia mengambil uang logam dari sakunya menaruh disamping kepingan ubin itu kemudian mendokumentasikan, sekarang jari-jari korban menjadi perhatian Raya, lensa diatur pada posisi zoom sehingga terlihat jelas detail dari telapak tangan dengan luka sayatan, jari dan kuku korban, kamera mengarah pada ikatan simpul mati kemudian mencari fokus pada siku korban yang tertumpu pada palang besi yang di las pada tiang utama tapi karena palang besi itu lebih panjang dari lebar tiang maka ada kelebihan besi di sisi kanan dan kirinya, matanya meneliti struktur tiang yang tinggi itu, ternyata palang besi itu ada disetiap ketinggian 1 meter pada tiang utama.



Raya mengambil pena dari jaketnya lalu ditaruh pada palang kedua berada tidak jauh dari kepala korban dari balik lensa Raya berpikir pena ini berguna sebagai perbandingan skala panjang palang besi hal ini sama dilakukannya ketika menaruh uang logam tadi. Raya kini mengambil foto korban tampak samping yang terikat pada tiang itu, dia mengganggap perlu mengambil foto ini jika dugaannya sementaranya benar maka akan sangat berguna nantinya. Keraguan kini muncul dalam diri Raya ketika dia hendak mengambil foto bagian wajah korban, dia pernah melihat wajah orang yang meninggal dunia beberapa kali, wajah neneknya tercinta, guru favorit SMAnya dulu kawan-kawannya yang telah mendahului dia dan yang tak lepas dari ingatannya adalah kawan akrabnya, Genta, tapi baru kali ini dia berada dekat sekali dengan wajah orang mati yang diduga korban pembunuhan. Ada sedikit kemiripan struktur wajah korban dengan wajah Genta.



“Bagaimana kerjamu disini?” tiba-tiba tangan Erlang mencengkram bahu Raya sehingga dia tersentak kaget.
“Sejauh ini gak ada masalah Mas,” Raya tergagap karena serangan tiba-tiba itu
“Ada hal yang menarik atau mencurigakan?” sebenarnya Erlang memperhatikan kerja Raya dari jauh ketika dia menelepon tadi.
“Ada Mas, seperti misalnya in..” belum sempat Raya menunjukkan yang dimaksudnya, seorang petugas melaporkan bahwa tim labfor, tim Dokter Forensik sudah datang dan juga wartawan mulai bermunculan.
“Ahh, kenapa para wartawan itu datang kesini? Tau saja mereka itu jika disini ada mayat busuk, tajam juga penciuman mereka. Tahan dulu mereka semua di gerbang terutama wartawan jangan sampai ada yang bisa masuk!” Erlang sebenarnya tidak membenci wartawan namun dia pernah marah ketika menanggani kasus terdahulu wartawan bertindak terlalu jauh seperti masuk kedalam TKP dan merubah struktur TKP bahkan telah melakukan wawancara terhadap tersangka padahal masih dalam tahap pengembangan kasus.



Sementara Erlang menyambut tim Dokter Forensik dan menghadapi wartawan, Raya dengan cepat mengambil beberapa foto lagi karena dia yakin posisinya akan tergusur dengan petugas identifikasi TKP, kemudian memasukan kamera kedalam ranselnya, Raya menghormati kerja tim identifikasi meskipun dia mendapat ijin dari Erlang. Hujan deras tiba-tiba turun dan membasahi lokasi TKP dari celah-celah atap tanpa genteng itu. Petugas labfor, tim Dokter Forensik dan Erlang yang semula digerbang depan bergegas masuk menuju lokasi diketemukannya korban.



“Cepat siapkan plastik yang agak lebar, sebelum kondisi korban semakin basah!” Raya berteriak kepada rombongan yang baru saja memasuki ruangan. Yanto menyambar kantung mayat dan dengan cepat berlari kearah Raya, resleting kantung mayat itu dibuka lebar, Yanto dan Raya memegangi kedua sisi kantung mayat melindungi korban dari tetesan air hujan. Erlang memberikan perintah lewat handy talkienya kepada seluruh anggota untuk segera mengambil sebanyak mungkin kantung mayat juga mencari terpal secepat mungkin. Beberapa anggotanya bergegas memberikan kantung mayat seperti yang diperintahkan komandannya itu dan menghamparkan diatas kepala mereka untuk melindungi mayat korban dari kerusakan lebih parah lagi akibat hujan.



“Ini tidak cukup Pak, saya dan tim harus segera melakukan pemeriksaan secepatnya dan tidak bisa dalam kondisi seperti ini!” Tim Dokter Forensik meminta pada Erlang agar anggotanya bergerak lebih optimal lagi mencegah kerusakan TKP
“Terpal… adanya sudah dapat terpal tadi?” Erlang bertanya kepada anggotanya
“Maaf Dan, cuma ini yang kami dapat. Maaf lagi komandan dari mana kami mendapatkan terpal dekat-dekat sini?” salahsatu anggota mengharapkan pengertian dari komandannya atas kondisi darurat ini.



“Angkringan Mas, coba cari diangkringan!” Raya memberi usul sementara dia harus mengangkat plastik kantung mayat berwarna kuning itu dan melindungi tasnya yang berisi laptop dan kamera, meskipun ranselnya waterproff tapi dia tidak mau gegabah dengan peralatan elektronik mahal didalam ranselnya itu,
“Kamu jangan becanda! Ini kondisi serius, kamu paham tidak?!” Erlang membentak dengan suara yang menggelegar.
“Saya serius Mas, maksud saya coba pinjam terpal milik penjual angkringan didepan toko-toko bakpia itu Mas, kalau gak salah tadi saya lihat ada 3 penjual angkringan disekitar sana,” mendengar penjelasan Raya tadi, Erlang langsung memberikan perintah lewat handytalkienya lagi, kali ini penekananannya jelas pada kata `cepat!`.




****

Hari dan Lokasi yang sama. 16.33 WIB


Sudah lebih dari 1 jam tim Dokter Forensik melakukan pemeriksaan terhadap mayat korban. Erlang mendekati Raya, menyodorkan rokok dan pemantiknya.
“Maaf tadi aku membentak kamu, keadaannya terlalu panik seperti kamu lihat tadi kita semua panik,” kalimat tulus itu harus keluar dari mulut Erlang karena memang dia sadari solusi dari Raya cukup efektif sementara Erlang menanggapi dengan responsif emosional.
“Ahh, gak masalah kok Mas. Kita semua panik tadi,” rokok tadi sudah mengeluarkan asap tapi dalam hati Raya mengeluarkan unek-uneknya `panik sih panik, tapi jangan sampai hilang kejernihan pikir dong,” hanya dalam hati tidak ada yang dapat mendengar.



Raya memperhatikan cara kerja tim labfor yang melakukan pendokumentasian terhadap lokasi dan korban, hampir sama prinsip kerja yang dilakukannya tadi hanya saja petugas itu menambahkan beberapa alat bantu seperti kotak kecil penomoran alat bukti, tanda panah dan alat ukur yang digunakan sebagai pembanding skala, sementara petugas lain melakukan pencarian sidik jari terhadap barang-barang yang masih kering karena akan sia-sia mereka menyapukan serbuk khusus untuk menemukan sidik jari, pasti akan kesulitan jika dalam keadaan basah. Dua orang petugas berunding menentukan titik-titik yang harus mereka gambar menjadi sketsa TKP.



Teliti mereka melakukan pemeriksaan dan olah TKP karena prinsip kerja mereka sekecil apapun keterangan yang dihimpun akan sangat berguna, mereka mencatat semua temuan, tidak merubah posisi apapun yang ada disekitar lokasi, kalau pun harus merubah posisi mereka terlebih dahulu mengambil gambar posisi awal, mengangkat apa yang ada dibalik itu kemudian menaruh kembali pada posisi semula.



Salah seorang dari mereka mendekati Erlang dan terlihat seperti membicarakan suatu hal yang penting,
“Komandan, sepertinya ada yang hilang dari TKP ini dan ini sangat penting. Apakah sebelum petugas lain datang kemari ada orang lain yang sudah ada dilokasi?” Erlang masih memerlukan informasi lebih dari petugas itu
“Tolong lebih jelas lagi maksud kamu itu, kira-kira apa yang hilang?” Erlang tak dapat menutupi rasa penasarannya
“Saya yakin pakaian korban sebelumnya berada disini tapi sekarang tidak ada, setidaknya sebelum petugas kita datang dilokasi ini,” petugas itu menegaskan keyakinannya dengan menunjukkan pada satu sudut berdebu tebal yang kering tak jauh dari mayat korban, dengan bantuan penerangan lampu senter genggam petugas itu menemukan jejas bekas celana panjang dan beberapa jejak telapak kaki.
Petugas kembali mengambil dua gambar jejak telapak kaki dengan menggunakan alat skala, foto pertama diambil pada jejak sepatu dan berikutnya jejak telapak kaki tanpa alas. Erlang berpikir sebentar.



“Jika perkiraanku tidak salah, berarti…” matanya menatap yakin petugas disebelahnya lalu menghubungi anggotanya di kantor.
“Coba kamu tanyakan kepada saksi apakah dia menemukan pakaian dari lokasi tadi?”
“Siap laksanakan!” tak lama kemudian laporan segera diterima Erlang
“Lapor, saksi mengaku menemukan pakaian berupa kaos berwarna biru muda, celana jeans berwarna hitam dan sepasang sepatu olahraga berwarna coklat tua. Saksi memasukan kedalam karung yang biasa dia bawa karena saksi merupakan pemulung. Laporan selesai!” laporan itu membuat lega Erlang
“Sekarang ada dimana karung itu?” Erlang ingin memastikan jika alat buktinya masih berada ditempat yang aman
“Siap Dan, saksi mengaku bahwa karung itu dia taruh dalam karung berwarna putih di sebelah utara dari posisi korban, dibalik sepotong papan. Laporan selesai” sebelum laporan itu selesai Erlang sudah berlari menujuh arah ordinat yang dijelaskan anggotanya.



Perhatian Raya kini tidak lepas dari cara bekerja tim Dokter Forensik yang tidak terhalang dengan kondisi bekerja dibawah lindungan terpal yang diikatkan pada tiang-tiang bangunan, ini merupakan pengalaman berharga bagi dirinya dan dapat mendukung skripsinya nanti. Kotak perlengkapan Tim Dokter Forensik menjadi perhatian Raya, Nikon D100nya dikeluarkan lagi kemudian mengambil objek menarik itu, disamping kotak tersebut semua perlengkapan tergelegar pada sejenis alas terbuat dari karet berwarna kuning terang. Long shoot pada lensa diatur Raya untuk mendapatkan keseluruhan gambar perlengkapan.




Satu persatu peralatan kini menjadi objek bidikan lensanya: Apron tahan air dan sarung tangan satu unit lagi yang tidak terpakai oleh petugas, Termometer, beberapa unit suntikan semprit dan jarum, swab steril, tempat darah dan cairan tubuh, beberapa botol formalin yang mungkin nantinya digunakan untuk sampel histologi, satu tumpukan kantong plastik, amplop, kertas, pena dan pensil, yang paling menarik perhatian Raya adalah satu unit alat bedah termasuk gergaji kecil.



Raya yang tenggelam dalam kameranya sehingga menjadi lengah dengan kondisi sekitar, tiba-tiba salah seorang dari petugas forensik yang juga menggunakan kamera dan video kamera yang masih tergantung didepan dadanya itu melarang Raya mengambil gambar. Petugas ini menyampaikan protes terhadap pimpinan pemeriksaan dan olah TKP, mempertanyakan status Raya dan dianggap menggangu kerja tim forensik, Erlang terpaksa harus melindungi kembali Raya dari ancaman petugas yang memintanya untuk keluar dari lokasi.



”Maaf Dok, dia salah satu anggota kami, dia memang anggota baru jadi mungkin sedikit ceroboh, tapi tolong diijinkan karena dia juga bekerja untuk mendukung kerja kita bersama ini,” bahasa persuasif diplomatis Erlang menjelaskan status Raya,
”Tapi seharusnya anda memberitahukan pada anggota anda tentang batasan wilayah kerja dong.” Dokter muda ini masih dengan nada tinggi.



Seorang dokter senior pimpinan tim pathology forensic yang semula melakukan pemeriksaan korban dan mendokumentasikan temuannya pada alat rekorder kecil, sempat tergangu dengan nada bicara dokter muda itu kemudian mendekati mereka. Menatap Raya sejenak sementara pemuda yang ini hanya senyum ragu.




”Saya pikir, anggota ini tidak menggangu kerja kita Dok, saya tidak merasa terganggu, apakah anda terganggu? Atau jangan-jangan anda merasa tersaingi? Tapi mari kita sama-sama menghormati kerja masing-masing, maaf memang ada betulnya juga pendapat anggota kami jadi mohon agar anda bisa jaga jarak kerja kami kecuali anda ingin masuk dan membantu karena kami juga kekurangan satu anggota kami. Untuk anda dok, tolong suara anda justru bisa mengganggu konsentrasi kita sendiri. Bagaimana komandan saya bisa meminta bantuan anggota anda?” suara dokter senior ini begitu lembut, Erlang mengijinkan agar Raya dapat bergabung.



”Anda mengetahui prinsip kerja ini bukan?” pertanyaan dokter senior ini menuju pada Raya,
”Saya paham Dok dan saya akan membantu sebisa saya!” jawabannya tegas, senyumnya mengembang, dalam hatinya bergumam rasa kagum terhadap dokter idolanya ini.
”Oke, bisa kita mulai semua ini? Maaf nama anda?” terpancar keramahan dokter senior ini, mungkin prinsip ilmu padi selalu dia terapkan.
”Panggil saja Raya, Dok” sebuah kehormatan bagi Raya bisa berkenalan bahkan dapat bekerja bersama dengan dokter senior ini.
”Oke, anda juga bisa panggil saya, Widjaja. Oh ya satu lagi, kamera anda tidak diperlukan lagi dalam tugas ini, sekarang anda menggunakan ini” sebuah alat penerangan genggam dengan daya pancaran ultra violet diberikan pada Raya.



Hujan belum juga menandakan akan berhenti meskipun sudah mulai mereda. Semua orang di lokasi TKP sibuk dengan tugas masing-masing. Raya bergerak berdasarkan instruksi Dokter Widjaja, mengarahkan alat itu sementara sang dokter meneliti, merekam temuannya dari ujung kaki korban hingga kepala korban, banyak yang membuat Raya tercengang dalam temuannya melalui alat itu yang tidak dia lihat melalui lensa kameranya.




Wajah korban kini menjadi pusat pemeriksaan, dokter itu meminta anggota melakukan pemotertan fokus pada wajah dan kain berupa bandana yang diikatkan pada mulut korban. Setelah kain penutup mulut itu terbuka, Raya semakin kaget begitu melihat disekitar bagian mulut korban terlihat kerusakan jaringan sekitar bibir yang bersifat korosif. Raya semakin penasaran dengan temuan ini dan memberanikan diri untuk melihat lebih dekat ketika dokter itu merekam temuannya dan memerintahkan anggotanya mengambil alat swab beserta plastik sample.



Tangan dokter itu cepat mencengkram bahu Raya dan menariknya kebelakang.
”Hati-hati! Jangan terlalu dekat berbahaya, kamu lihat ini,” dokter itu menunjukkan kulit korban yang berwarna merah cenderung gelap.
”Saya menduga penyebab kematian bisa jadi diakibatkan oleh racun Sianida, lihat kulit korban berwarna sianotik merah muda gelap, jika dugaan saya benar maka akan berbahaya jika terhirup nanti meskipun kamu menggunakan masker.” Analisis dokter senior ini justru membuat Raya menjadi sedikit gemetaran.



Kali ini dokter memeriksa suhu tubuh korban tapi gelengan kepalanya membuat dirinya ragu untuk dapt menemukan data perkiraan waktu kematian. Raya memperhatikan ekspresi wajah Dokter Widjaja.
”Ada apa dok?” rasa penasarannya tidak dapat dibendung
”Mas Raya, tadi saya lihat anda berada di lokasi ini sebelum saya datang, kira-kira saat itu keadaan suhu ruang seperti apa?” kacamata kecil itu berubah posisi turun dibawah bagian hidungnya



”Sesaat sebelum hujan suhu ruang ini memang cukup panas tapi sedikit lembab Dok, kira-kira 30 sampai 35 derajat celcius tapi kemudian turun hujan dan seperti kita ketahui keadaannya menjadi dingin” Raya memberikan sedikit penjelasan pada dokter
”Sudah beberapa minggu memang tidak turun hujan tapi mengapa hari ini turun hujan ya? Perubahan suhu ruang yang cukup drastis ini akan sedikit membuat hambatan dalam perkiraan waktu kematian terlebih korban kondisinya juga menjadi basah seperti ini.”
Dokter Widjaja menjelaskan sementara tangannya seperti mencari sesuatu pada kotak peralatannya.



”Apakah tidak ada cara lain untuk solusi ini dok?” pertanyaan Raya hanya dijawab dengan senyuman dokter senior itu kemudian memberikan kode untuk mengarahkan senter kepada bagian telinga korban. Sebuah thermometer masuk kedalam telinga korban, hal ini harus dilakukan oleh dokter untuk medapatkan informasi lebih akurat mengenai suhu tubuh korban yang telah terkontaminasi suhu ruangan yang berubah drastis, pnegukuran suhu pada bagian mulut dan axilla korban dirasakan kurang memberikan akurasi informasi suhu tubuh, selain itu juga dugaan adanya uap racun Sianida dari tubuh korban dapat berkibat buruk.



Hari semakin gelap, tampak terlihat kelelahan pada wajah semua orang yang berada di lokasi. Dokter Widjaja melaporkan pada Raya bahwa pemeriksaan dirasakan cukup pada lokasi TKP dan akan segera membawa korban pada laboratorium forensik untuk pemeriksaan lebih lanjut tapi harus ada prosedur penting terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 134 yaitu pemberian ijin dari keluarga korban untuk dilakukan otopsi terhadap mayat korban. Dokter Widjaja hampir yakin dengan hipotesa awal penyebab kematian korban. Erlang menyanggupi untuk mencari keluarga korban setelah mendapatkan data diri korban yang telah diketemukan dalam karung milik pemulung tadi.



Erlang memberikan instruksi untuk segera menyelesaikan tugas dan membawa semua yang diperlukan. Tim forensik sudah memasukan mayat korban kedalam murde bag berwarna kuning yang sebelumnya dibungkus plastik dan diberi plester dan meminta ijin meninggalkan tempat tapi tetap mengunggu perkembangan pencarian keluarga korban dan ijin untuk melakukan pemeriksaan otopsi lanjut. Mayat korban telah dimasukan kedalam mobil tim forensik menuju rumah sakit, sesaat kemudian suara sirene kembali meraung. Erlang menawarkan Raya untuk makan malam bersama di kantor tapi terpaksa ditolaknya, cukup baginya aktivitas melelahkan hari ini tapi Erlang tetap memaksa Raya untuk singgah sebentar ke kantor ada beberapa hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu terutama memindahkan data foto-foto yang diambilnya tadi.



Tim telah berkumpul kembali keruangan semula, sementara Erlang memberikan instruksi kerja yang harus diselesaikan malam ini dan esok hari, Raya berada dibelakang komputer memindahkan foto-foto kedalam file komputer.
”Ingat loh Ray, foto-foto itu milik kami jadi nanti semua data yang ada dalam memory card itu harus kamu hapus, oke! Tapi kami berterimakasih, apa jadinya kalau kamu tadi tidak ambil foto-foto itu sementara kita tahu semua hujan telah sedikit merusak TKP, foto kamu nanti bisa dijadikan komparasi dengan hasil petugas kami.” Erlang mengingatkan kembali perjanjian ketika Raya diijinkan mengambil foto pada lokasi TKP.

****
Setelah dari TKP. Lokasi; Kantor Poltabes. 22.46 WIB.
Erlang mendekati Raya dan memastikan semua data dari memory card itu telah terhapus dan berpindah kedalam file komputer tapi Raya cukup cerdik, sebelum menghapus data itu dia juga telah meng-copy semua data kedalam flash disknya yang tertinggal sejak siang tadi masih menancap pada komputer, pengawasan Erlang luput pada benda kecil itu. Raya meminta ijin untuk dapat pulang tapi Erlang mencegah lagi, kali ini Erlang memberikan kunci motor agar dapat digunakan Raya karena dia tidak mau geraknya menjadi terganggu akibat menunggu Raya.
”Wah, terimakasih banyak nih Mas!” ekspresi bahagia tidak dapat dibendung Raya
”Terus STNK motornya mana?” Erlang hanya tersenyum mendengar pertanyaan Raya, lalu memerintahkan Hari untuk menjelaskan,
”Nanti Mas Raya ambil motor Shogun berwarna hitam dekat pos piket bilang dengan petugas piket bahwa kamu mengambil motor itu atas perintah komandan, kalau nanti ada razia motor kamu tinggal kasih kode lampu dua kali kepada petugas, pasti kamu tidak perlu dimintai SIM dan STNK,” Hari menjelaskan sambil tersenyum.
”Yakin nih Mas?!” ketiga petugas dalam ruangan itu tertawa cukup keras, cukup untuk menghancurkan kerasnya beban tugas hari ini.

****

Jumat, 8 Juni 2007. 01.35 WIB. Lokasi; Kos Raya
Jarum jam telah menunjukkan bahwa waktu telah bergulir menuju pergantian hari, suara handphone akhirnya membangunkan Raya dari nyenyak tidurnya setelah lelah berkutat di lokasi TKP seharian tadi. Layar handphone berkedip-kedip `Ikal calling`
”Gila jam berapa ini?” belum penuh kelopak mata itu terbuka tapi cukup jelas jam dinding menunjukkan pukul 01.35. Raya sudah bisa menerka kawan-kawannya telah menunggu di angkringan Lek Man. Jede pasti tidak bisa menjelaskan bahwa dia untuk waktu dekat ini tidak bisa berkumpul bersama kawan-kawannya atau memang mereka yang kepala batu, tidak mau percaya ucapan Jede. Handphonenya itu terus berdering dan berkedip, Raya kembali terlelap.
”Ahh, apalagi manusia keriting ini! Sialan, ganggu tidur!!” Raya mengangkat handphonenya tanpa membuka mata
”Aduh Kal, aku ngantuk banget nih! Malam ini aku gak bisa kumpul dulu, masih ngantuk, semalaman aku garap skripsi, bilang sama kawan-kawan malam ini aku absen. Aku mau tidur lagi,” kawannya berambut keriting itu memang tak kenal lelah untuk membujuk Raya mengikuti semua keinginannya.”hallo... hallo... Mas Raya... Saya Hari. Ayo bangun, inikan sudah siang loh! Komandan sudah menunggu di kantor, sebentar lagi kita akan pergi ke Sardjito untuk melihat proses otopsi mayat korban. Semalam Mas Yanto berhasil menemui keluarga korban bahkan mendapatkan ijin itu. Mas Raya mau ikut gak? Atau nanti menyusul saja ke Sardjito” ternyata bukan Ikal yang menelpon dan parahnya lagi sekarang sudah siang, Raya langsung bangun dari tidurnya, meminta maaf dan berjanji akan segera menuju Sardjito.



(bersambung)

Tubuh berapi...

Mei

: Jakarta, 1998

Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.

Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai
dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.

Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei
Kau sudah selesai mandi, Mei.


Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur
dan lebur dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.

(2000)

(Joko Pinurbo)
from www.jokopinurbo.com

Penghuni Kos Kajor


KOS-KOSAN OPO KUBURAN KIYEK?!