Jumat, Februari 27, 2009

PAIDI GOES TO JAKARTA

(sebuah tulisan ngawur-awur)

“Kulonuwun…Yem..Yem..buka toh Yem.. aku kesini bukan untuk marah lagi..Yem, mbok kamu percaya toh dengan aku, aku sudah iklas koq Yem…tenan, suweer deh… kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu Yem, aku ndak bisa maksa kehendakku, biar aku yang mengalah, aku akui pemuda skater brondong itu jauh lebih baik dari aku yang cuma sekedar tukang parkir Malioboro, tapi aku sudah bertekad aku pasti akan jauh lebih baik kelak di masa depan. Yem sebenarnya aku kesini untuk pamit pergi ke Jakarta, besok numpak sepur (naik kereta)..” Paidi masih saja terdiam di depan pintu rumah si Iyem.



Istrinya ini minta cerai hanya karena dia tidak mampu memberikan kepuasan batin terutama urusan ranjang. Iyem selalu protes jika Paidi pulang bekerja setelah seharian jaga parkir di daerah Malioboro Yogyakarta, Paidi selalu pulang dalam keadaan mabuk dan langsung tertidur gak karuan, kalaupun tidak tertidur Paidi selalu minta jatah goyang ranjang pada Iyem dalam keadaan mabuk, sebenarnya Iyem tidak mempermasalahkan kondisi Paidi yang mabuk berat karena dengan begitu justru suaminya lebih kuat di ranjang tapi yang menjadi masalah adalah Paidi selalu menolak untuk mandi terlebih dahulu, sedangkan kerjanya seharian di lapangan parkir sudah pasti terpanggang matahari jogja yang tidak bersahabat.



Iyem pun terpaksa melayani sebagai bentuk kewajibannya sebagai istri meskipun dia menahan bau badan suaminya yang hampir mirip seperti kuda nil yang telah berendam dikubangan lumpur, terlebih postur tubuhnya tidak jauh berbeda, bisa dikatakan antara Paidi dan kuda nil seperti anak kembar identk hanya saja beda ayah dan beda ibu. Begitu parahnya bau badan Paidi sampi-sampai Iyem pernah pingsan ketika melayani Paidi, dasar Paidi pemabuk berat, saat itu justru dia menganggapnya sebagai kemenangannya di atas ranjang karena selama ini dia selalu KO lebih dulu melawan keganasan Iyem diatas ring tinju..eh diatas ranjang!

Semilir angin subuh hari bangunkan Paidi dari tidurnya, mungkin lebih tepatnya sadar dari pengaruh alkohol tadi malam. Ditangannya masih tergenggam sebotol Angur Orang tua (AO) dan dua bungkus Autan, bukan digunakan sebagai pengusir nyamuk semalam tapi Paidi lebih memilihnya untuk dijadikan campuran AOnya, dia sempat mengoplos dan mengocok campuran AO dan Autan itu dengan cara juggling layaknya gaya para bartender di café-café tapi apesnya Paidi bukanlah bartender, dia hanya tukang parkir Malioboro, walhasil kepalanya benjol tertimpa botol AO tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah isi botol itu tumpah lumayan banyak, Paidi menyesal.



“Loh, aku kok ketiduran disini?!” Paidi baru sadar ternyata dia tertidur didepan rumah Iyem hanya ditemani botol AOnya, sejak remaja dia memang tidak bisa jauh dari botol AO bahkan prinsip hidupnya adalah “LEBIH BAIK JAUH DARI ORANG TUA DARIPADA JAUH DARI ANGGUR ORANG TUA”, Paidi bahkan mengabdaikan prinsip hidupnya itu pada punggungnya dengan bantuan Kobis si tukang tato depan benteng Vredeburg Malioboro, tapi dasar Kobis suka jahil, dia membuat tattoo dipunggung Paidi dengan tulisan besarasekali hingga penuh dibagian belakang tubuh Paidi hingga pantatnya, jadi sisi sebelah kiri tertulis ‘ORANG’ dan sisi pantat sebelah kanannya yang ada bekas bisulnya tertulis ‘TUA’, tentu saja hal itu dia lakukan ketika Paidi mabuk berat dan tidak sadarkan diri. Paidi baru sadar dia memiliki tatttoo terbesar yang pernah ada setelah selesai makan dia melepas seragam oranye kebangganya karena kepanasan, semua orang yang melihat tattoo itu tertawa tak tertahankan, terlebih saat itu sifat usil Kobis kumat lagi, maka celana Paidi ditarik kebawah hingga terlihat dua sisi pantatnya…yang belang itu dan terbacalah semua isi tattoo itu.



Paidi bangkit dari posisinya yang bersandar dipintu rumah Iyem, sisa AO dari botolnya dijadikan untuk membasuh mukanya. Dia harus mengejar kereta api Fajar Utama tujuan Jakarta, tapi karena semalam dia tidak sempat pamit langsung dengan Iyem -calon mantan istrinya-, dia pun berusaha untuk menulis pesan tapi dia tidak mempunyai kertas, dicarinya dari tempat sampah, tidak ada selembar kertaspun yang dapat dijadikan perantara pesannya untuk si Iyem, satu-satunya benda berbahan dasar kertas adalah kotak kecil bergambar kondom yang aneh sekali, ada tonjolan-tonjolan tajam seperti paku (spikes) yang biasa ada di gelang atau kalung yang dipakai anak-anak punk. Paidi menginjak-injak kotak kondom itu karena dia tidak pernah menggunakan itu, seseorang telah menggunakanya saat berhubungan dengan Iyem.



Akhirnya Paidi menggunakan kertas karcis parkir yang biasa dia gunakan untuk parkir di Malioboro, tapi karena pesan yang ditulisnya cukup panjang akibatnya dia banyak menggunakan karcis parkir yang dia tulis dengan spidol; dua alat ini yang dapat menghasilkan uang bagi Paidi selain peluit warisan Eyangnya yang juga menjadi tukang parkir waktu jaman kompeni di benteng Vredeburg Malioboro, hanya saja jaman dulu yang dia parkiri berupa sepeda onthel dan kuda yang selalu meneteskan air liur disela-sela mulutnya karena kuda tidak bias meludah!. Kali ini Paidi bingung mencari cara agar pesannya itu terbaca oleh si Iyem, mengingat dia menulisnya pada lembar karcis tiket parkir kecil-kecil dan cukup banyak, dia tidak ingin selembar karcispun hilang terbawa angin karena bisa jadi ini sebagai pesan terakhir bagi calon mantan istrinya.


Paidi tidak kehilangan akal, dikeluarkannya kotak korek api batangan dari saku seragam oranye kebangganya itu, satu persatu karcis parkir itu dia temple di sela-sela pintu yang terbuat dari anyaman bambu (gedhek) dengan bantuan batang korek api sebagai penjepit pesannya. Setelah selesai Paidi membaca kembali pesannya yang tertulis diatas kertas karcis parkir yang dijepit batang korek ditempel di pintu gedhek pintu depan rumah Iyem. Paidi harus sedikit jongkok untuk membaca akhir dari pesannya “…surat cerai sudah kutandatangani dan kutitipkan dirumah si mbok. Hari ini aku merantau ke Jakarta. Yem aku kangen tempe penyetmu… with love.. Paidi”. Paidi sempat menitikkan air mata setelah membaca pesannya yang tertulis diatas kertas karcis parkir yang dijepit batang korek yang ditempel di pintu gedhek pintu depan rumah Iyem, cukup panjang dari setinggi bahunya hingga mata kaki. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Iyem ketika pulang dari pasar untuk membeli keperluan jual Pecel lele dan Tempe Penyet, bukan karena isi pesan itu tapi karena pintunya berubah menjadi merah karena pesan yang tertulis diatas kertas karcis parkir yang dijepit batang korek ditempel di pintu gedhek itu.


Tekad Paidi sudah bulat! Sebelumnya memang sempat berbentuk segi tiga sama kaki tapi Paidi tidak bisa menggambar segi tiga sama kaki karena biasanya Paidi menggambar segi tiga sama tangan bukan sama kaki!, sejak SD Paidi selalu menolak jika Gurunya memberi tugas untuk menggambar segi tiga sama kaki, tidak sopan protesnya. Saat ini Paidi duduk lemas diatas sambungan gerbong (bordes) kereta api Fajar Utama Jogja jurusan Jakarta. Dia duduk menunduk persis seperti anak babi yang berjalan menunduk malu karena bapaknya babi, pikiran melayang membayangkan kisah asmara memori Indah bersama Iyem, eh salah memori Paidi bersama Iyem,-karena Iyem bukan pasangan lesbi dengan Indah. Paidi menghisap dalam-dalam asap rokok Djarum 76nya, kepalanya masih menunduk, pandangan matanya terganggu oleh seekor katak yang melompat-lompat melewati rel kereta api, Paidi jadi tertarik dengan lompatan katak kecil itu,dalam benaknya muncul pertanyaan “kenapa katak itu harus melompat melewati rel kereta api?” pertanyaan it uterus bergema di kepalanya, “kenapa katak itu harus melompat melewati rel kereta api?” Sudah habis tiga batang rokok dia hisap tapi belum juga dia temukan jawabannya, apakah hal ini merupakan wangsit dari leluhurnya? Kembali pertanyaan itu muncul di benaknya, “kenapa katak itu harus melompat melewati rel kereta api?”



Paidi terganggu dari renungan katak-nya karena seseorang yang ikut duduk di bordes bersebelahan dengannya. Kereta api Fajar Utama belum juga bergerak, hal yang bisa terjadi pada alat transpotasi umum di negeri ini, persis seperti lagu Iwan Fals “…biasanya kereta terlambat // dua jam sudah biasa..” bahkan begitu biasanya telat sampai-sampai kereta api Fajar Utama yang sama tiba-tiba berubah namanya menjadi kereta api Senja Utama tetap dengan jurusan yang sama dan penumpang yang sama karena kereta yang seharusnya jalan kala fajar (pagi) namun akhirnya jalan saat senja (sore) hari karena telat!.



Paidi memberanikan diri untuk berkenalan dengan orang disebelahnya, “Nama saya Paidi, nama mas siapa ya? Mau ke Jakarta juga ya?” tangan Paidi sudah siap dengan posisi berjabat tangan, “Oh, nama saya Pangudi R Antono tapi teman-teman panggil saya PANGERAN karena males menyebutkan nama saya yang kepanjangan”. Senyumnya manis, orang ini cukup tampan, bersih dan murah senyum, tapi Paidi tidak mau memuji berlebihan kenalan barunya ini, takut-takut jadi tertarik malah jadi homo!. Kereta akhirnya menunjukkan tanda-tanda kehidupannya, mesin mulai menderu pertanda akan berjalan, beruntung hanya telat empat jam, yah orang Endonesa selalu beruntung meski telat empat jam, beruntung karena kereta api ini tidak berganti nama menjadi Senja Utama.



Petugas mulai mengangkat tanda bulatan berwarna hijau dan meniupkan peluitnya, mendengar suara peluit dengan cepat Paidi melompat turun dari bordes dan berteriak, “yaa…kiri…kiri…terusss…teruss…” Pangeran dan orang-orang yang melihat tindakan konyol Paidi tertawa tak tertahankan karena baru kali ini ada seseorang berseragam oranye bertindak mengatur jalannya kereta api, Paidi masih belum paham kenapa semua orang tertawa melihatnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya, sampai akhirnya tersadar setelah dipanggil Pangeran karena kereta telah bergerak maju.



Di atas bordes Paidi merasa malu luar biasa , entah kenapa tiba-tiba refleknya bergerak begitu mendengar suara peluit, mungkin karena kehidupannya sehari-hari yang berkutat dengan dunia per-parkir-an membuat dirinya bertindak diluar kesadarannya. Hal ini akan terjadi jika seseorang yang bias melatih dirinya dengan ilmu bela diri maka ketika keadaan terdesak secara reflek dengan cepat dia dapat memukul dan menedang seorang perampok karena otak dan ototnya telah terbiasa akan hal itu, akan tetapi hal ini sedikit berbeda jika melihat kasusnya Paidi, karena dia telah merebut kerja orang dan tidak sadar lapangan.



Pangeran menepuk-nepuk pundak Paidi memberikan dukungan moril agar Paidi melupakan tindakan memalukan tadi tapi Pangeran merasa menyesal duduk terlalu dekat dengan Paidi karena badannya bau sekali. Pangeran mulai membuka pembicaraan, “Mas tadi belum mandi ya?” Paidi menoleh kearah asal suara, “Memangnya kenapa toh mas?” Pangeran hanya tersenyum tipis, “Kalo mau pergi ya sebaiknya mandi dulu dong mas, ambunee!”, Paidi hanya mengendus-endus badannya yang dikerumuni lalat hijau, dia berpikir tidak ada masalah, biasa saja kok. Giliran Paidi yang membuka pembicaraan. “Mas tadi sebelum kereta api ini berjalan, saya dapat wangsit mas, tapi saya belum paham maksud dari wangsit itu!” Pangeran memperhatikan ekspresi wajah Paidi yang berubah menjadi serius.


Asap rokok Djarum 76 mengepul tebal keluar dari mulut Paidi yang baunya minta ampun; sisa alkohol, semur jengkol dan tongseng asu menguap bersama kepulan asap, Pangeran hampir pingsan saat itu juga. “Memangnya wangsit seperti apa mas? Kok sepertinya serius banget!” Pangeran terbawa rasa penasarannya. Paidi masih ragu untuk menceritakan wangsit yang tadi dia lihat, dia yakin hal itu adalah pesan dari leluhurnya. “Ini pasti wangsit dari leluhur saya mas, saya yakin seratus persen! Ini pasti ada kaitannya dengan kepergian saya merantau ke Jakarta numpak sepur iki (naik kereta ini)” tatap matanya membuat Pangeran tidak ragu dengan keyakinan Paidi, “Bagaimana saya bisa tahu arti wangsit itu kalo mas Paidi gak cerita”



Paidi akhirnya bercerita, “Tadi sebelm kereta ini berjalan saya diberi wangsit berupa penglihatan seekor katak yang melintasi rel kereta api dengan cara melompat, saya yakin ini wangsit dari leluhur saya. Apakah ini ada kaitannya dengan usaha saya merantau ke Jakarta ya mas? Tapi yang membuat saya tak habis pikir kenapa katak itu melompati rel kereta api menuju tempat yang dia inginkan? Nah berarti ini ada kaitannya dengan saya ke Jakarta naik kereta api bukan begitu mas?” Paidi berharap mendapat masukan dari Pangeran.



Pangeran menyalakan rokok Sampoerna Mild-nya dan menjawab pertanyan Paidi, “Mas, sebenarnya saya gak percaya dengan wangsit!” jawaban itu tidak memuaskan batin Paidi, “Tapi mas bukannya kaitannya jelas sekali, kalo kita misalkan katak itu sama dengan aku, trus aku juga sekarang naik kereta api yg berjalan di atas rel kereta api hanya bedanya katak itu melompati rel kereta api, ya toh mas?” Pangeran yang setidaknya pernah kuliah dan terbiasa berpikiran logis, tidak percaya dengan segala sesuatu berbau takhayul seperti yang diyakini Paidi, akhirnya Pangeran tidak tahan dengan desakan Paidi , “Benar nih mas mau tahu kenapa katak itu harus melompati rel kereta?” Paidi sudah tidak sabar menunggu jawabannya, “Ya mas, cepat kasih tau mas!” Pangeran sempat tidak yakin harus menjawab itu, dihisapnya rokok dalam-dalam, “Sebenarnya sederahan saja mas, kenapa katak itu harus melompati rel kereta api? Karena kalu katak itu gak melompati rel itu masak sih katak itu harus mengitari sepanjang rel itu, ketinmabng ambil jalan muter, bisa sepanjang pulau jawa dia jalan muter ikutin rel padahal Cuma mau kedepan situ aja, ya lebih mudah melompati rel kereta bukan?!” Pangeran menghembuskan asap rokoknya tanpa rasa dosa, sementara Paidi belum juga paham. Sepuluh menit kemudian…. “ ooo…iya..ya!!”



Kereta telah tiba di Jakarta dengan selamat, sudah pasti dengan selamat karea dikemudikan oleh masinis bernama Selamat Untung Widodo, mungkin akan lain ceritanya jika masinisnya bernama Kiki Sofyanto! Paidi yang baru pertama kali datang ke ibukota merasa kebingungan. Kebingungan yang pertama karena dia tidak tahu akan tinggal dimana, sementara dia tidak punya kerabat di Jakarta. Kebingungan kedua; Paidi belum tahu akan cari kerja apa di Jakarta, apakah kembali meniti karier sebagi tukang parkir? Kebingungan ketiga; dia masih bingung mencari kebingungan ketiganya (loh! Bingung juga kan?)



Pangeran memahami kebingungan tipikal orang-orang yang nekad merantau ke Jakarta tanpa perencanaan terlebih dahulu dan keahlian memadai untuk bertahan hidup di ibu kota. Pangeran menawarkan Paidi untuk tinggal di rumahnya yang juga berfungsi sebagai kos-kosan bagi pendatang, tapi tidak gratis bagi Paidi, karena tidak ada yang gratis di Jakarta ini, mungkin hanya kentut saja, tiu pun harus siap dihujat. Mereka pun meluncur imaah pinggiran Jakarta dekat Bandar Udara Soekarno-Hatta. Baru saja mereka sampai di tempat tujuan, handphone Pangeran berdering, dia pamit untuk menjemput saudara sepupunya di terminal Kalideres. Pangeran memperkenalkan Paidi dengan saudaranya, “Halo, namaku Agung!”



Pangeran, Agung dan Paidi menikmati suasana pergantian hari di temani kopi panas di beranda lantai satu. Lapangan kecil depan rumah menjadi ramai karena ada pasar malam dadakan kecil-kecilan, anak-anak kampung begitu antusias berbaris di wahana gelombang laut miniatur wahana seperti yang ada di DUFAN hanya saja wahana ini digerakkan secara manual dengan kekuatan ayunan tiga orang operator. Agung yang sedari tadi tertarik dengan apa yang dilihatnya, berkomentar “Coba lihat anak-anak itu seperti tidak sabar berbaris panjang serupa ular naga panjangnya bukan kepalang // berjalan-jalan selalu riang gembira // umpan yang lezat itulah yang dicari // ini lah dia yang terbelakang.. oops koq malah jadi nyanyi! Hehehe, tapi kalau kita cermati lagu tadi, ular naga itu kejam dan diskrimatif sekali ya?”


Pangeran terheran-heran dengan pernyataan Agung, “Maksudnya kejam dan diskrimatif?” Agung meminum sedikit kopi dan menjawab, “Ya, kenapa ular naga itu tidak mau memakan anak yang normal? Tapi justru lebih memilih anak yang idiot dijadikan umpan yang lezat!” Pangeran masih belum paham dengan maksud Agung tadi, “Kenapa bisa begitu?” Agung harus menjelaskan lebih rinci, “Coba perhatikan diujung lagu itu, ..umpan yang lezat itulah yang dicari inilah dia yang terbelakang. Nah berarti naga itu hanya memakan anak yang terbelakang alias idiot!” Pangeran memprotes, “Hey bukan itu maksudnya..” Agung langsung memotong pembicaraan “maksudnya anak yang berada di belakang? Kenapa gak bilang..inilah dia yang dibelakang, hayoo”



“Berbicara tentang lagu anak-anak, sungguh menyedihkan ya anak-anak jaman sekarang tidak mempunyai lagu bagi mereka sendiri” kali ini Agung seperti hendak mengajak berdiskusi serius, “Coba lihat disana? Ada sekitar seratus anak yang menikmati wahana komedi putar tapi coba dengar lagu-lagu yang diputar!” Pangeran baru memperhatikan ternyata lagu-lagu yang diputar sedari tadi hanya lagu Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih, itupun dari album lawas! Tidak ada satupun lagu anak-anak yang diputar.



“Kasihan anak-anak jaman sekarang, mereka telah terbiasa menikmati lagu orang dewasa dan remaja seperti Ungu, ST12, dMasiv, Peter Pan dan lain-lain. Aku saja yang setua ini hanya mendapatkan warisan lagu anak-anak yang juga pernah dinikmati kakek-nenek kita sewaktu kecil, ini artinya sangat sedikit sekali orang peduli untuk menciptakan lagu anak-anak, parahnya lagi banyak lagu anak-anak yang ada justru membohongi anak-anak itu sendiri. Kalian percaya?” Agung menantang kepercayaan mereka berdua. Pangeran menggelengkan kepala, Paidi kali ini ikut berbicara, “Aku gak percaya dengan kamu mas!” dengan logat Jogja-nya yang kental. Agung justru terkejut, “Kenapa kamu gak percaya?” Paidi menjawab sekenanya, “Aku cuma percaya dengan Tuhan, kalau aku percaya dengan kamu berarti aku musyrik mas!” Agung dan Pangeran terkekeh geli dengan kepolosan Paidi


“Apa buktinya kalau lagu anak-anak itu pembohong?” Pangeran menantang Agung untuk membuktikan ucapannya. “Oke, kalian pasti tau lagunya `BALONKU`? coba nyanyikan!” Agung tersenyum sinis kepada mereka yang mulai bernyanyi serempak;

Balon ku ada lima

Rupa-rupa warnanya

MERAH

KUNING

KELABU

MERAH MUDA dan

BIRU

Meletus balon HIJAU…doorr!! Hati…”



Agung menghentikan mereka yang bergembira menyanyikan lagu itu, saat itu juga masa bahagia kanak-kanak mereka hilang akibat dihentikan seketika. Paidi jadi penasaran, “Bagian mana yang membohongi anak-anak mas?” Agung meminta Paidi bernyanyi lagi, Paidi langsung bernyanyi dengan wajah sumringah tapi kali ini jari-jari Agung memberi tanda seperti menghitung ketika Paidi menyebutkan warna-warni balon dalam lagu itu. “Betul apa kataku, lagu ini pembohong!!” Pangeran dan Paidi masih belum mengerti. “Kok, bisa sih mas!” Paidi garuk-garuk kepala walau tak gatal. “Perhatikan bait awal lagu itu… balon ku ada lima.. tapi lihat jariku ini menunjukkan ada berapa balon?” Agung mengangkat lima jari yang terbuka ditangan kiri dan satu ibu jari terangkat disebelah kiri. “ENAMM!!” Pangeran dan Paidi masih ragu, mereka pun menyanyikan lagi lagu itu dalam hati sambil menghitung jumlah balon. “Oh..iya..ya!!” mereka pun serempak seperti telah menemukan kebenaran yang sejati.



“Apa kubilang! Katanya balon itu ada lima tapi kenapa ada balon hijau keenam? Hehehehe” Agung terlihat puas telah membukakan mata mereka yang telah tertipu puluhan tahun. “Bukan hanya itu, masih ada lagi! Kalian hapal lagu POK AME-AME?” Paidi dan Pangeran mengangguk ragu seolah tidak siap menjadi korban penipuan lagi. “Nah, apa kalian pernah lihat ada belalang dan kupu-kupu makan nasi di siang hari dan kalau malam mereka minum susu?” Agung menggoda keyakinan mereka dengan senyuman, sementara Pangeran merasa geram karena telah ditipu mentah-mentah sejak usia balita. “Betul ya mas, kalau ada belalang dan kupu-kupu makan nasi dan minum susu, berarti mereka binatang paling sehat sedunia!” kepolosan Paidi menciptakan tawa kekeh ceria.



“Begitu juga lagu BINTANG KECIL, pernahkah kalian melihat bintang kecil dilangit yang biru? Bukankah bintang dapat kita lihat ketika malam hari, benarkah langit saat itu terlihat berwarna biru? Jika bintang itu kecil, dapatkah terlihat dari jarak jutaan kilo meter dari sini? Dan konyolnya lagi lagu itu mengajak anak-anak mati kehabisan oksigen dengan menari ditempat bintang berada yang hampa udara itu! Hehehe” Agung semakin menjadi-jadi membuat Paidi dan Pangeran tertohok dengan kenyataan penipuan ini. “ya, begitulah lagu anak-anak kita, bahkan lagu anak-anak terakhir yang ku ketahui sama saja koq. Siapa yang hapal lagunya Joshua yang berjudul DIOBOK-OBOK?”



Paidi dan Pangeran saling bertatapan karena tidak hapal lagu itu. Pangeran memanggil seorang anak dari atas beranda, “Hey Tong, lu apal lagu DIOBOK-OBOK kagak?” seorang bocah mendongak kearah asal suara, “Apal bang! Mang kenape abang pake tanye segale?” logat Betawi keluar dari mulut bocah kecil itu. “Coba lu nyanyiin Tong”, “Ogah ah bang! Lagian iseng banget abang ini” anak itu bersiap melengos pergi, Pangeran yang masih penasaran, mencoba menyuap anak itu, “Hoy, kalo lu mau nyanyi gue kasih gopek deh!” anak itu berhenti, “Yah cuma gopek mah buat ape bang! Bakal beli permen aje kagak dapet” sial anak ini mempunyai posisi tawar yang bagus, “Ya udeh, seceng (seribu) deh!” bocah itu sepakat. Uang lembaran seribu rupiah pun terbang melayang dan ditangkap dengan sigap oleh sang bocah “HAPP!!” (hehehe..pasti jadi ingat lagunya CICAK DI DINDING ya?)



“Nah kalian dengar sendiri lagu tadi…mas Pay kamu pasti tahu jenis air apakah yang bikin mabuk?” pertanyaan Agung yang ditujukan pada Paidi langsung dijawab cepat, “ALKOHOL mas!” “Benar gak? Masak sih ada ikan yang hidup di alkohol, gak perlu diobok-obok juga tuh ikan dah pasti mabuk, parahnya lagi Joshua ikut mandi pake air itu dan kebohongan berikutnya Joshua pasti gak cuma kedinginan dan masuk angin tapi pasti dia juga ikut mabuk!..wakakakakkakk..hehehehe..hihii…” Pangeran hanya tersenyum kecut. “Ah bisa aja lu!”





“Ngemeng-ngemeng kalian mau ikut gak jalan-jalan keliling kota?” Pangeran memberikan tawaran yang menarik terutama bagi Paidi. “Anu mas, kalau boleh saya usul neh, bisa gak kita pergi ke Monas? Soalnya saya ingin tau seperti apa sih Monas dari dekat, masak cuma liat di tipi aja, di Jogja Monas-nya gak tinggi mas!” Pangeran dan Agung sepakat, mereka pun meluncur kearah pusat kota. Singkat cerita mereka telah sampai di Monas, Paidi tidak dapat menutupi kekagumannya melihat Monas, dia baru tahu jika di puncaknya terdapat emas murni dan konyolnya dia berniat untuk mengambil emas itu untuk dijual. Setelah puas mengagumi Monas, perut mereka berteriak protes minta untuk segera diisi.



“Kita makan malam dimana neh?” Pangeran bertanya kepada penumpangnya sambil tetap mengendalikan mobil Honda seri dangdut, ehh Jazz ding!. “Maap mas kalo boleh usul lagi, bisa gak cari warung pecel lele? Aku kepingin makan tempe penyet” Paidi sudah kangen dengan tempe penyet si Iyem yang panas dan pedas yang biasa disajikan special untuk makan malam Paidi. Pangeran tertawa geli, “Oi mas ini bukan Jogjakarta, hapus”JOG”nya kamu sekarang lagi di Jakarta, susah cari makan kayak gitu, disini yang ada pizza, spaghetti, hamburger, kwetiau, capcay, gaul dong” Paidi merasa asing dengan makanan yang disebutkan tadi kecuali capcay. “Wah makanan apa itu mas? Ya sudah makan capcay juga aku gak protes koq!” Agung sepakat dengan usul itu, Pangeran bahkan dapat ide baru dari usul Paidi, “Wah cocok! Makan capcay bakal lebih seru lagi kalo makannya bareng Tuan Putri dari negeri China nih, tar deh gue kenalin dengan kalian, dia pasti tau restoran capcay paling enak. Oke kita meluncur menjemput Tuan Putri negeri china” mobil Honda seri dangdut ..eh Jazz pun meluncur gesit kearah perumahan elit.



Tuan Putri telah siap di gerbang rumahnya dengan pakaian santai berbahan kaus super irit, mungkin untuk menyesuaikan kondisi krisis global, saking iritnya maka hampir semua bagian kulitnya tubuhnya yang berwarna kuning bangs… oops kuning langsat terlihat berkilau terkena pantulan cahaya. Paidi pun tak dapat menahan air liurnya yang mengalir tak terkontrol, saat in Paidi lebih mirip kuda yang selalu mengeluarkan air liurnya karena sulit untuk meludah! Pangeran memperkenalkan Tuan Putri kepada kedua mahluk aneh yang masih terkagum-kagum dengan kecantikan Tuan Putri yang berwajah khas oriental eksotik. Mereka meluncur kearah restoran yang menyajikan capcay rekomendasi Tuan Putri.



Empat porsi makanan khas negeri mandarin telah tersedia dihadapan mereka. Sepuluh menit kemudian ludes berpindah kedalam perut mereka, terkecuali Paidi, satu porsi tadi hanya mengisi temboloknya saja, tidak cukup membuat perutnya kenyang. Agung tiba-tiba bertanya ragu kearah Tuan Putri, “Eh, maaf nih Tuan Putri, tadi makanannya dijamin halal gak?” Tuan Putri tertawa geli “Ahh gimana sih! Makanan dah habis koq baru tanyanya sekarang… tenang aja yang punya restoran ini dah pernah naik haji tiga kali loh, jadi gak mengandung zat-zat haram pasti halal deh” senyum manis Tuan Putri membuat Agung menjadi lega.



“Hhumm..ada yang tau gak, binatang apa yang paling haram yang pernah kena fatwa haram MUI?” Agung mencoba menghangatkan suasana dengan lelucon-leluconnya yang kadang tidak lucu tapi tetap membuat orang tertawa karena ke-tidak lucu-annya itu. Tuan Putri menjawab dengan cepat “Ya udah pasti babi dong!”, “Salah Non! Masih ada yang lebih haram lagi!” Agung berhasil membuat penasaran calon korbannya, kecuali Paidi yang masih sibuk menghabiskan makanan porsi keduanya. Pangeran mulai terjebak “Memang ada yang lebih haram dari babi? Oh aku tau, pasti jawabannya Politikus yang ngajak GOLPUT! GOLPUT kan dah difatwa haram oleh MUI” oops jawaban Pangeran mengandung muatan politis banget, lagi pula politisi kan bukan binatang, mereka adalah badut!. “Masih salah Bro, ada yang lebih haram lagi” Tuan Putri semakin penasaran “truss apaan dong?.” Agung memegang kendali forum “Ah masak gitu aja nyerah..”



Agung menikmati setiap detik ekpresi penasaran mereka. “Udah kasih tau aja jawabannya, males nebak-nebak tapi tetap salah juga jawabannya” Pangeran sedikit jengkel sambil menyedot teh dari botolnya. “Mau tau nih jawabannya?” Agung masih menggoda. “Ya iyalah cepetan kasih tau dong!” Tuan Putri siap dengan jurus cubitannya. “Oke deh… binatang paling haram yang pernah kena fatwa haram MUI adalah anak babi yang lahir dari hubungan gelap diluar nikah alias anak haram, parahnya lagi sejak kecil gak pernah diolesin minyak kayu putih tapi pakai minyak babi, hehehe” respon para korban berbeda-beda, Agung tak kuasa menghindar dari serangan jurus seribu cubitan yang mendarat ditangannya, “Ah bisa aja lu!” rasa gemesnya terbayar dengan cubitan itu. Paidi sempat memuntahkan capcaynya setelah mendengar jawaban itu, giliran Pangeran yang protes karena tekena hujan lokal berupa kuah capcay “Oooii.. gue gak pesan pake kuah kale” suasana malam direstoran china itu menjadi hangat, suara tawa mereka pun pecah... pyaarr!!!!



“Kalau cuma tebakan jayus gitu sih gue juga punya” kali ini Tuan Putri mencoba peruntungannya didunia tebak-menebak. “Binatang apa yang punya alat kelaminnya sepuluh bahkan bisa lebih?!” Tuan Putri memasang taruhan berupa senyum manisnya pada mereka. “Kucing beranak sepuluh sedang menyusui!” Agung cepat menjawab. “SALAH!” Tuan Putri pun tak kalah cepatnya menilai. “Mungkin kucing dalam karung?” Pangeran menjawab dengan ragu. “Maksud lu?!” Tuan Putri menunjukkan ekspresi wajah yang menegaskan bahwa `jawaban anda salah bung.` “Ayo mas Paidi coba jawab dong! Koq diam aja gak seru nih” Tuan Putri melihat Paidi hanya memegangi perutnya. “Aduh apa ya? Gajah cacat ya mbak?” Paidi hanya nyengir menunjukkan rangkaian giginya yang beraksesoris hijau daun sawi dan merah cabe.



“Ah, payah kalian semua, masak sih gak ada yang tau! Binatang yang kelaminnya ada sepuluh ato lebih adalah Ular Naga Barongsai! Kalo lu pada gak percaya coba liat pas imlek, eh gak ding tuh liat foto itu! Hiihhiihii” Tuan Putri menunjuk pada sebuah foto barongsai dalam perayaan imlek, ekspresi ceria kembali muncul setelah jawaban itu keluar. Mereka masih santai direstoran tertawa riang sambil menikmati asap rokok, Paidi memainkan asap rokoknya dengan membentuk bulatan-bulatan asap rokok. “Ah itu sih dah kuno Pay! Nih aku bisa KOTAK-KOTAK” Agung sudah mulai beraksi lagi membuat yang lain penasaran menanti, Agung ambil ancang-ancang menghisap asap rokok dalam-dalam, Paidi menajamkan pandangannya tidak mau melewatkan momen menarik ini, Agung kemudian menghembuskan asap sambil mengucapkan “ K O T A K.. K O T A K… K O T A K…” penonton kecewa “Hhuuu. Bassii!” Agung pun terbatuk-batuk tersedak asap rokok yang tidak keluar semuanya karena mulutnya ditutup oleh tangan Pangeran sementara yang lain menghujani dengan pukulan.



Handphone Pangeran berdering, dilayar Hpnya yang berkedip-kedip tertera tulisan `Putri Solo calling` Pangeran pun menjawab, setelah itu dia ijin untuk menjemput Putri Solo yang baru saja mendarat di bandara. Agung, Tuan Putri dan Paidi ditinggalkan, kami janjian bertemu lagi di Mall depan restoran tapi sebelum pergi Pangeran memberikan amanat kepada Agung dan Paidi untuk menjaga Tuan Putri baik-baik. Agung dan Paidi pun menjawab serempak “Siap Pangeran!”



Bergaya layaknya body guard professional, Agung dan Paidi berjalan dibelakang Tuan Putri mengikuti kemana pun langkah kaki indah itu menuju. Kali ini Tuan Putri masuk kedalam toko yang menjual sepatu, Paidi dengan sigap memeriksa sepatu yang akan dicoba Tuan Putri. “Iih.. apa-apan sih kalian ini, gila ya?” Tuan Putri hanya tersenyum tipis, “Bukan begitu Tuan Putri, ini demi keselamatan Tuan Putri sesuai amanah Pangeran dan prosedur standar kami, siapa tau ada teroris yang simpan bom di sepatu tadi gimana?” Agung berlogat lagaknya pasukan khusus pengawal presiden, Putri kembali tersenyum geli. “Ada juga kalian tuh terorisnya, pake kacamata hitam lagi, lepas!” Agung menolak perintah itu.




Puas melihat-lihat semua model sepatu, Tuan Putri berpindah ke gerai aksesoris, lagi-lagi tindakan Agung dan Paidi yang berlebihan dan sedikit norak membuat kecerian tersendiri bagi Putri, namun kali ini Tuan Putri ikut aktif dalam sandiwara ala Srimulat ini. Putri memaksakan mereka agar mau memakai semua aksesoris pilihannya yang sangat cewek sekali, mereka tidak bisa menolak. Topi yang biasa dipake tante-tante satu persatu berpindah ke kepala mereka, sementara tangan mereka penuh dengan aksesoris gelang batu imitasi berwarna-warni dan tas tangan berwarna mencolok. Tuan Putri terlihat puas tertawa geli dapat mempermainkan mereka bahkan penjaga gerai pun ikut menambahi mereka dengan berbagai aksesoris dengan warna-warni yang saling bertabrakan..duuerr!!




Hampir semua barang yang ada di toko dipegang dan dicoba Tuan Putri ternyata yang dibeli hanya berupa bando kecil penghias kepalanya. Agung dan Paidi hanya saling berpandangan gelengkan kepala. Belum cukup sampai disitu penderitaan mereka, langkah kaki jenjang itu menuju kearah gerai kosmetik, untuk satu ini Agung sedikit mundur menghindar tapi apes bagi Paidi yang tidak cekatan, dia menjadi korban percobaan kosmetik. Paidi sempat menolak namun suara lembut Putri tapi tegas tidak dapat dilawan, “Eits, tugas kamu tadi kan melindungi Tuan Putri benar gak? Nah ayo sini!” Paidi meronta dari cengkraman Putri tapi tetap tak berdaya, mengharap bantuan dari Agung yang berdiri diluar gerai kosmetik sambil tersenyum, “tapi Tuan Putri inikan.. aduh jangan dong Putri.. tolong..” jeritan iba Paidi tidak berpengaruh bagi Putri yang sudah siap menyapukan warna hijau perona mata, kemudian warna pink pada pipinya dan merah marun pada bibir tebal Paidi. “Udah diam… nanti kalau kosmetik ini beracun gimana? Kecantikanku bisa luntur, makanya kamu harus coba dulu” senyumnya kali tidak terlihat manis dimata Paidi.





Tuan Putri meminta pendapat Agung yang berdiri diluar tentang warna-warni kosmetik pilihannya, Agung memberikan tanda jempol diangkat tapi kemudian dibalikan. Putri keluar gerai itu dengan tawa puas menggandeng tangan Agung, sementara Paidi menjadi bahan tertawaan anak-anak kecil yang berada disitu. “Mamah…mamah..coba liat deh ada kuda nil waria!” bocah mungil itu menarik tangan bundanya demi menunjukkan kuda nil waria temuannya. Agung dan Putri hanya sesekali menengok kebelakang melihat Paidi yang sibuk menghapus bekas kosmetik diwajahnya. Tawa lepas Tuan Putri pun pecah membahana dalam Mall itu..pyaaarr!!!



Kaki jenjang terawat milik Tuan Putri terasa lelah, sudah tiga jam keliling Mall sambil menunggu kehadiran Pangeran dan Putri Solo yang belum juga menunjukkan penampakkannya. Mereka menikmati es krim, beristirahat menunggu. “Maap ya honey…hiihihi.. tapi kamu cantik deh kalo mau pake kosmetik..sueerrr..hiihiii” godaan Putri belum menciptakan senyum pada bibir Paidi karena mulutnya sibuk melahap es krim ukuran jumbo. “Sadis! Anak kecil tadi sampe bilang aku nih kuda nil waria tau gak” mulutnya kembali sibuk menelan es krim. “Apa Pay?! Kuda Nil Waria! Wah cocok juga tuh untuk jadi nama baptismu..hahahaha” Agung tertawa puas mendengar itu, dia memang paling senang melihat kawannya menderita dan ditambahnya dengan hinaan karena dengan begitu menambah power baginya.



“Guys, aku merasa terimakasih banget dengan kalian nih dan mau nemani aku belanja bahkan pake pengawalan khusus lagi, hihihi. I feel save n fun banget. Btw kayaknya kita harus call si Pangeran cabul itu deh, lama banget neh! Aku dah bosen disini, pengin cari suasana baru. Bagaimana kalau kita ke pantai malam ini yuks!” senyum manisnya memperkuat tawaran menarik yang tidak bisa ditolak bagi Agung dan Paidi. Pangeran calling memberitahu sudah siap di parkir depan. Mereka pun meluncur kembali kearah pantai menggunakan mobil Honda seri hip-hop, eeh Jazz maksudnya. Sepanjang perjalanan menuju Pantai Ancol terdengar suara tawa riang keluar dari mulut mereka, terkecuali Paidi mengeluarkan suara misterius… “Dhhuttt….prrett….preet…duuuttt!!!!”.


AMBUNEEEE…….



THE END OF THIS PART

(PLEASE DON`T EXPECT THE NEXT PART!)

-cerita ngawur ini terinspirasi oleh genk ambuneers dan sebuah film dengan format 3G (gak perlu tau judulnya tapi bisa ditebak apa warna filmnya)-



Kaloran Pena, 22 Januari 2009

Rabu, Februari 25, 2009

Sajak Untuk Ayip Heriyana

KAPAN WISUDA KAWAN?


1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999

2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001

2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002

2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003

2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004

2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005

2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006

2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007

2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008

2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009

N O

D O

Minggu, Februari 01, 2009

Lir handaya paseban jati

Aku kenang dia dalam suatu masa
Dianya tersenyum, melambaikan tangannya
Kusayangi dia dalam segalanya
Tapi kini dia pergi entah kemana…


Kenikmatanku mendengarkan lagu aransemen Erwin Gutawa yang bergema lewat ear phone dari alat pemutar musik digital seukuran ibu jari terganggu ketika motorku tiba-tiba berjalan oleng akibat pecahnya ban depan motor Binter Mercy tua ini. Kuhentikan motorku pada pinggiran jalan, sama halnya seperti tipikal orang Indonesia umumnya, sudah tahu ban motorku meletus masih juga kutekan karet bulat yang tidak lagi tersisa angin didalam situ. Langit sore semenjak siang tadi menunjukkan pertanda alam akan turun hujan masih juga menggelayutkan awan hitam penuh dengan hasil penguapan zat cair, siap menunjukkan siklus perputaran air secara alamiah.



Pertanyaanku pada pengatur alam sederhana saja, mengapa harus Kau tunjukkan siklus alam itu justru ketika ban motorku pecah? Penyakit akut motor tua ini pasti akan kambuh jika terkena air, benar saja busi yang seharusnya tertutup aman oleh karet klepnya tak kunjung memercikkan api dari ujung kepalanya. Lengkap sudah penderitaan, belum kering luka hati akibat kacaunya hubungan dengan kekasih, aku masih harus menerima perlakuan tidak adil dari Sang Maha Adil, sementara aku berada di suatu titik entah dimana, middle of no where, yang dapat kupastikan aku belum melintasi batas wilayah NKRI. Entah telah berapa kilo meter aku berjalan mendorong motor tua warisan pamanku ini, siraman hujan lebat dan kabut dingin menambah beratnya beban yang sedang kutanggung, belum juga ada tanda-tanda kehidupan di sepanjang jalan, hanya berjajar deretan pohon karet dan sawit. Kilatan petir berwarna perak terang memberi kesan kontras langit yang menghitam, suara gelegarnya sempat membuat nyaliku ciut, terasa dekat sekali.



Lututku mulai bergetar, kupaksakan tetap mendorong motor ini, setidaknya menahannya jika tidak ingin terkena imbas hukum gravitasi, tanjakan yang cukup panjang mau tak mau harus kuhadapi, setelah ini aku sudah dapat menerka jalan turun curam akan kuhadapi di ujung tanjakan nanti. Aku menikmati hukum gravitasi kali ini, duduk sejenak di atas motorku meluncur menyaingi derasnya hujan, yang perlu kuperhatikan adalah cekatan dalam menekan rem kaki itu saja. Beberapa detik meluncur menyadarkanku bahwa ini adalah nikmat Sang Pemberi Kuasa, bukan penderitaan. Tuhan telah buktikan kuasaNya, tepat ketika hukum gravitasi tidak lagi menunjukkan pengaruhnya pada laju motorku, di sebelah kanan jalan kulihat gubuk tua.



Untung saja gubuk kosong ini tidak banyak memiliki celah pada atapnya, terkesan cukup terawat meski aku tidak melihat ada orang lain disini. Mungkin ini biasa dijadikan tempat menunggu truk pengangkut hasil panen sawit, kulihat beberapa butir biji sawit berwarna merah dan sebagian lagi menjadi busuk betebaran dekat sebuah pasak kayu yang biasa digunakan untuk menimbang setiap janjang tempat puluhan buah sawit bergerombol dalam satu kesatuan. Dibawah dipan kulihat tumpukkan kayu dan ranting kering, kuambil beberapa batang untuk kujadikan penghangat tubuhku yang mulai menggigil, bibir biru dan kulit jemari semakin keriput. Layaknya anak kecil yang mencuri mangga dari sebuah kebun, aku meminta ijin agar dapat menggunakan ranting kering ini, aku diperbolehkan, tentu saja ucapan pengabulan ijin itu keluar dari mulutku sendiri.



Kunikmati sensasi hangat dari ranting kering yang membara ini, sambil kutunggu air dalam cangkir stainless mendidih akan kuseduh dengan kopi instan. Aroma kopi instan hitam pekat cukup melumerkan sebongkah penderitaanku. Pemutar lagu digital kembali mengeluarkan suara berupa musik, kepalaku mengikuti irama ketukan musik genre rock and rollI, lantunkan lagu The Rolling Stones. Kuhirup minuman hasil campuran serbuk hitam mengandung kafein dan gula ini. Kuserap kehangatan yang memancar dari cangkirku

……
I can get no satisfaction!
I can get no satisfaction!
.....


Seikat ranting basah tiba-tiba terjatuh tepat di depan api unggun buatanku, kuperhatikan sosok yang berdiri di hadapanku mulai dari sepatu boot karetnya, celana pangsi hitam dan sebilah parang tergenggam. Terlihat jelas siluet sosok di hadapanku ketika kilatan petir kembali menyala terang disusul gemuruh guntur yang menggetarkan nyaliku. Pikiran burukku tiba-tiba menjadi teroris bagi diriku, kusesali kuputar lagu itu terlampau keras sehingga aku lengah tidak mendengar langkah sosok yang masih berdiri di depan pintu gubuk dengan parang di genggamannya. Apakah aku akan menjadi korban dari parang panjang itu?



”Rupanya ada orang disini?” suara khas itu jelas milik orang tua tetapi getar suaranya didominasi akibat dingin yang menggigilkan tubuhnya, wajah tuanya baru sempurna kulihat ketika dia sedikit berjongkok mendekat api, tersenyum ramah dengan geligi depan tanggal beberapa diantaranya, kubalas dengan senyuman canggung. Hujan masih belum juga memberikan tanda akan reda, kakek tua itu menyodorkan sebatang rokok lintingan hasil racikan tembakau, klembak, cengkeh dan candu kemenyan. Aku menolaknya karena pernah kucoba racikan yang sama buatan Lik Dirjo, pamanku yang memberi naungan selama aku hidup di Sumatera, tapi aku terbatuk-batuk tak kuat menahan asap yang seolah memukul dada dan menyobek tenggorokanku. Kutawarkan kopi panasku, aku sambut plastik berisi ramuan rokok tradisional, kali ini aku cukup menambahkan bubuk cengkeh saja, itu pun hanya seujung kuku.



Pak Ngabidin, lelaki tua ini diberi tugas merawat dan mengambil hasil panen kebun sawit pada lahan seluas sepuluh hektar, sementara pemiliknya orang kaya di Jakarta sana. Pertemuan awal sudah dapat kunilai betapa bersahajanya lelaki tua ini, pasti kehidupannya sederhana saja tapi tak pernah merasa kekurangan sedikitpun. ”Kalau boleh tau, siapa namamu anak muda? Kenapa bisa ada di hutan sawit saat hujan lebat seperti ini?” asap rokoknya mengepul tebal dengan aroma kemenyan pekat, seolah memanggil mahluk halus dengan aroma mistisnya. Praktis dalam gubuk kecil ini hanya berisi asap; asap dari pembakaran ranting dan dari dua batang linting tembakau.



“Ganda Manggala Hanacaraka tapi teman-teman memanggil saya dengan sebutan Raka.” kusebutkan nama pemberian kakek dari ayahku. ”Nama yang bagus sekali anak muda! Apa kamu mengerti arti dari nama itu?” parang panjang kakek tua itu memotong tali pengikat ranting tadi, mengeluarkan beberapa batang singkong yang dia selipkan diantara ranting-ranting bawaannya kemudian membakarnya. Gelengan kepalaku disambut kekeh kecilnya, aku tidak pernah menanyakan arti nama pemberian kakekku, ayahku sendiri tidak memahaminya meskipun dia keturunan Jawa, kepergiannya ke Jakarta sejak SMP membuatnya lupa akan akar budayanya. Sayangnya lagi ayah tidak sempat menanyakan arti namaku, kelahiranku bertepatan dengan wafatnya kakek.



”Betul kamu tidak tahu arti namamu? Tapi setidaknya kamu pernah mendengar istilah HANACARAKA bukan?” tangannya masih sibuk memutar-mutar lintingan tembakau yang sering lepas. Gelengan kepalaku hanya disambut dengan anggukan-anggukan kecil kepala berambut putih itu. ”Hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga adalah aksara Jawa, pasti bapakmu asli Jawa” pandangan kakek tua kearahku memancarkan keteduhan, bukan karena bola matanya yang sudah tersaput warna putih di lingkar hitam korneanya. ”Saya tidak pernah tahu arti nama saya, apa Bapak mengerti artinya? Nama itu pemberian almarhum kakek saya.” Rasa penasaranku semoga terjawab dari penjelasan kakek ini, apapun yang akan dia terangkan pastinya sebuah ilmu yang tidak akan kudapatkan dari bangku sekolah. Alat digital pemutar musik itu kurubah setting fungsinya sebagai alat perekam suara, tak mungkin akan ada pengulangan kuliah singkat ini.



”Aksara Jawa tersebut bagi sebagian orang Jawa memiliki nilai falsafah luhur, memiliki arti yang mendalam sebagai perwakilan hubungan antara Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai mahluk ciptaannya dan kewajiban manusia dalam menyelaraskan hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam tempat tinggalnya.” Kuhirup kopiku, penjelasan padat makna ini harus kuikuti dengan seksama. ”Kamu pasti anak kedua bukan?” pertanyaan itu kujawab dengan singkat, mungkin dia menerka dari nama depanku. ”Kata Hanacaraka dapat dipisahkan menjadi masing-masing suku kata yang dapat berdiri sendiri dengan makna di setiap suku kata itu, Ha-Na-Ca-Ra-Ka, sedangkan jika digabungkan Hanacaraka sendiri juga mempunyai filosofi yang dalam, yaitu bermakna adanya "utusan" yakni utusan hidup, kamu tahu kira-kira utusan hidup itu?” pertanyaannya membuat aku jadi tersedak, lintingan rokok itu kumatikan. Untuk menjawab pertanyaan berbentuk falsafah hidup aku tidak boleh menjawab sembarangan.



Memori biologisku berusaha mengaitkan kata-kata kunci, ”Tuhan,” ”Manusia,” ”Hidup” dan ”Utusan.” Meski kudapati titik temu tapi ragu kujawab pertanyaan itu, ”Mungkin maksud utusan hidup itu Nabi, benar Pak?” aku menunggu penilaian atas jawabanku tetapi respon senyum lepas yang memamerkan gigi yang terputus rangkaiannya itu meyakinkanku bahwa aku tidak tepat menjawab. ”Hahaha anak muda Nabi diutus untuk kemaslahatan umat banyak, utusan yang kumaksud adalah utusan masing-masing diri kita pribadi, utusan itu berupa nafas! Dimana nafaslah yang menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Ada tiga unsur atau kalau orang intelek bilang semacam trilogi; ada yang memberikan kepercayaan itu sendiri, maka ada yang dipercaya oleh si pemberi dan tentunya harus ada yang dijalankan dari kepercayaan yang telah diberikan. Singkatnya ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia.” Tatapan matanya seolah menganalisa kemampuan daya tangkapku.



Kulihat alat perekam digitalku, masih berjalan merekam dengan baik setiap pembicaraan kami. Tenang saja Pak Tua meski aku belum sempurna memahami ilmumu, setelah ini bisa kuputar berulang kali sampai kupahami betul apa yang telah kau ucapkan. Kukeluarkan tiga batang singkong yang sudah tercium aromanya dari bara api, tepat sekali sebagai pengisi perut kami yang mulai kelaparan ini. Kutiup singkong bakar bagianku sekedar mengurangi panasnya, Pak Ngabidin sibuk meracik lintingan keduanya. Sejenak teralihkan segala permasalahan yang telah kuhadapi sejak pagi tadi hingga aku mengambil keputusan untuk kembali menuju Pulau Jawa tinggalkan Pulau Sumatera ini yang kurasa tidak ramah bagiku. Lain halnya dengan lelaki tua dihadapanku, sudah hampir separuh hidupnya dihabiskan di daerah perantauan sebagai transmigran, bedol desa, mengikuti program pemerataan penduduk yang dipaksakan oleh pemerintah baginya dan seluruh warga desanya. Kemudian mereka ketahui desa tercintanya terendam air karena telah berubah menjadi bendungan, itupun dengan cara paksa bagi mereka yang menolak untuk ”di-transmigrasi-kan”, sebagai konsekuensi dari penolakan program pemerintah maka nyawa dan rumah mereka hilang tenggelam menjadi penghuni dasar waduk.



Aku tidak peduli lagi dengan arti namaku, aku belum merasa puas dengan ilmu falsafah Jawa yang telah diberikan Pak Ngabidin. Cerita masa lalunya memutuskan kuliah singkat dalam gubuk tua ini. ”Maaf tadi Bapak bilang hanacaraka datasawala padhajayanya maghabathanga memiliki makna yang dalam tapi Bapak baru menjelaskan makna dari hanacaraka saja kepada saya, jika tidak keberatan bisa Bapak jelaskan lanjutannya Pak?” kuperhatikan ekspresi wajahnya yang menandakan senang karena aku begitu antusias. ”Hahaha, saya kira kamu ndak tertarik dengan hal-hal yang berbau kuno ini. Oh ya sampai mana tadi ya? Jadi lupa! keasyikan cerita kampung halaman. Ehmm, baru hanacaraka ya!” dehemnya telah dinetralisir dengan air kopi.



“Setelah hanacaraka dilanjutkan dengan kata Da-Ta-Sa-Wa-La yang merupakan gabungan suku kata yang dapat juga berdiri sendiri. Makna yang terkandung adalah bahwasanya manusia setelah diciptakan Tuhan sampai dengan “data” yang berarti saatnya dipanggil dan tidak bisa mengelak atau “sawala” karenanya manusia sebagai mahluk dengan segala kekurangan dan kelebihannya harus menunjukkan ketaatnya kepada Sang Khaliq dengan cara menerima, melaksanakan dan menjalankan kehendakNya.” Mendengar penjelasan ini, rasanya menyesal aku tidak sempat bertemu dengan kakekku.



Kakek itu masih bersemangat memuaskan rasa haus keingintahuanku menjelaskan padat makna falsafah Jawa. Asap tembakau lintingan dengan tambahan racikan klembak, cengkeh dan candu kemenyan yang mengepul tebal dari mulutnya dijadikan sebagai bahan bakar lokomotif pembicaraan malam ini, sementara aku menjadi pendengar budiman hanya sesekali menganggukan kepala sebagai tanda sedikit paham dan kekagumanku terhadap pembicara di hadapanku. ”Pa-Dha-Ja-Ya-Nya memberikan gambaran sebuah proses penyatuan antara Sang Khaliq sebagai sumber pemberi hidup dengan makhluk sebagai yang diberi hidup itu sendiri. Sehingga pada suatu titik menjadi ”padha” atau bahasa Indonesia-nya berarti sama atau sesuai, jumbuh, cocok. Kesatuan batin yang tercermin dalam setiap perbuatan yang menjunjung tinggi nilai keluhuran dan keutamaan. Nah, jika Padha secara harafiah berarti sama, kamu pasti mengerti arti kata Jaya, bukan?” Kakek tua ini rupanya menerapkan metode diskusi dua arah yang egaliter, tidak ingin merasa dia lebih tahu akan segalanya.



Aku mencoba menjawab dengan mantap, ”Jaya berati unggul atau menang, sebagaimana kata kejayaan yang berarti kemenangan atau kesuksesan tapi saya yakin menang yang bukan sekedar mengalahkan sesuatu atau mendapatkan nilai lebih tinggi dari yang lain, melainkan kemenangan sejati karena berdasarkan penjelasan Bapak tadi mengenai padha yang berarti penyatuan antara Tuhan dan mahluk, kalau tidak salah seperti istilah manunggaling kawulo gusti sebagaimana juga ajaran Syekh Siti Jenar. Berarti dengan begitu manusia memiliki sifat ke-ilahi-an, tidak sekedar mencari kemenangan yang tanpa arti, bukan begitu Pak?” aku telah terpancing sifat egaliter Pak Ngabidin sehingga aku dapat memberikan jawaban yang aku sendiri merasa heran darimana kudapatkan rangkaian kata yang kuucapkan tadi, seolah-seolah keluar begitu saja. Pak Ngabidin tidak dapat menutupi kekaguman atas ucapanku.

Pak Ngabidin meneruskan penjelasan berikutnya mengenai Ma-Ga-Ba-Tha-Nga, bahwa menurutnya manusia harus mampu menjauhi segala laranganNya dan yang utama menjalankan perintahNya. Lebih jauh Pak Ngabidin mengingatkan bahwa meski manusia terlahir dengan keistimewaan dan kemampuan untuk berusaha dan terus berusaha tapi manusia seyogyanya harus mampu berserah diri ketika telah melakukan dengan segala upaya tersebut karena manusia tidak bisa menghindar dari ketentuan nasib. ”Ingat sehebat apapun manusia memiliki rencana tapi Tuhan yang memegang kendali kehendakNya, kita memang diberi keistimewaan mewiradat tapi juga harus sumarah pada garis kodrat.” Falsafah padat makna ini masih kuproses dalam dangkalnya pemahamanku. Aku masih mengulang-ulang ucapannya terakhir. Mewiradat...sumarah...garis kodrat. Coba kuhubungkan dengan keberadaanku saat ini, apakah Tuhan juga telah menentukan garis nasibku menuju gubuk kecil ini hingga dapat bertemu Pak Ngabidin dengan ilmu ke-pujangga-annya.



”Ada apa anak muda? Mas Raka masih heran kenapa bisa terdampar di tengah hutan dalam gubuk reyot ini? Tenang saja, kalau tidak ada hujan mungkin kita tidak pernah mengenal satu sama lain, jadi hujan adalah berkah bagi alam, begitu juga pertemuan kita adalah berkah bagi kita sendiri. Setidaknya saya bisa nikmati kopi panas dan ada temannya pula dalam gubuk ini. Coba kalau ndak ada kamu, berarti saya sendirian disini, kehujanan hanya bisa makan singkong bakar tanpa kopi.” Kekeh renyahnya cepat menular kepadaku, menciptakan kehangatan tersendiri. Diluar sana hujan mulai sedikit mereda meskipun masih cukup deras. Lokasi perkebunan ribuan hektar yang sedianya hutan hujan tropis alami ini masih terlihat basah oleh hujan kawasan tropis meski hutannya telah berubah menjadi hutan homogen. Tidak ada lagi keaneka ragaman hayati, hanya satu-dua jenis tanaman yang dominan sepanjang puluhan ribu hektar, sebuah harga mahal yang harus dibayar atas nama pemerataan penduduk.



Rasa ingin tahuku kembali tergugah setelah kami terdiam cukup lama menikmati singkong bakar ronde kedua, kini persediaan singkong milik Pak Ngabidin tersisa dua batang lagi setelah tiga batang berikutnya masuk kedalam bara api di hadapan kami. Udara dingin seperti malam ini memang memaksa tubuh manusia membakar kalori cukup banyak untuk menstabilkan metabolisme tubuh. Untungnya Pak Ngabidin datang membawa singkong yang padat akan zat karbohidrat, bagus untuk proses pembakaran dalam tubuh. Malam belum juga memberikan tanda hujan akan berhenti total, sempat kutanyakan pada Pak Ngabidin perihal rumah dan keluarganya yang mungkin menunggu kedatangannya malam ini tapi dia menjelaskan di rumahnya tidak ada siapapun. Dia lebih memilih untuk tidur di gubuk malam ini, selain masih jauh menuju rumahnya ada alasan lain yang cukup penting berkaitan keselamatanku jika ditinggal sendirian disini. Minggu lalu seorang petani sawit tewas diterkam Harimau Sumatera.



Kali ini Pak Ngabidin menjelaskan secara cepat arti setiap suku kata yang membentuk rangkaian aksara tersebut Ha-na-ca-ra-ka da-ta-sa-wa-la pa-dha-ja-ya-nya ma-ga-ba-tha-nga.” Hampir keseluruhan penjelasannya tidak dapat kuikuti kecuali ketika menjelaskan arti aksara Ha; Hana hurip wening suci yang bermakna adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci dan aksara terakhir yaitu Nga; Ngracut busananing manungso, Pak Ngabidin memberikan wejangan khusus ketika memberikan penjelasan makna yang terkandung pada akhir aksara ini. ”Jika kita ingin hidup sentausa dalam bermasyarakat maka ada baiknya kita harus bisa mendahulukan kepentingan orang banyak, jangan mengutamakan sikap egoisme untuk kepentingan pribadi, karena manusia hidup tidak sendiri.”



Akal sehatku pasti tidak akan membantah hal itu tapi memang tidak dapat dipungkiri manusia sering lupa, termasuk aku sendiri. Terkadang manusia menganut pepatah Martial; Nec possum tecum vivere, nec sine te; I am able to live, neither with you, nor without you. Itu sebabnya aku pergi tinggalkan Pulau Sumatera, meninggalkan semua yang ada dalam genggamanku karena aku merasa apa yang ada dalam genggamanku begitu rapuh bahkan tidak lagi berupa bulat utuh, terlihat retak disana-sini dan mulai melapuk, terutama perihal kepercayaan. Ajaran cinta kasih antara manusia dengan pencipta, antar sesama manusia dan hubungan harmonis-sinergis manusia dengan manusia lainnya yang telah disampaikan oleh Pak Ngabidin seolah menohok kebodohanku yang lari dari kenyataan. Mungkin ini yang diharapkan dari almarhum kakekku dengan memberi namaku yang sarat makna ini.



Tidak kulihat rasa letih dari tubuh kecilnya, sepanjang hari ini pasti dia berkeliling lahan seluas sepuluh hektar, melakukan pekerjaan rutin seperti memangkas pelepah daun pohon sawit menggunakan galah panjang terbuat dari besi dengan sejenis arit tajam di ujungnya. Memastikan tidak ada hama ulat api yang bias menjadi penyakit tnaman sawit, membersihkan lingkar tanah dari berbagai jenis gulma agar tidak terlalu dekat dengan batang pohon, memastikan diameter lingkarnya sama dengan luas ujung pelepah daun, menaburkan pupuk serta menyemprot obat penghambat perkembangan gulma yang tumbuh liar, terkadang dia tidak terlalu suka dengan zat kimia keras yang dapat mematikan tumbuhan liar itu hingga menjadi kering seperti habis terbakar tetapi sepuluh hektar tidak akan pernah selesai jika hanya menggunakan parang. Hari ini membabat tumbuhan liar maka tiga hari kemudian sudah tumbuh lagi padahal belum tentu satu hari dia dapat membersihkan satu hektar dari sepuluh hektar lahan tanggung jawabnya.



”Mas Raka pasti suka dengan puisi atau jenis sastra lainnya?” tiba-tiba topik pembicaraannya beralih dari seputar perawatan sawit berganti kearah sastra. ”Ya sedikit sih, saya cuma penikmat karya sastra saja Pak! Memangnya ada apa Pak?” kejutan apa lagi yang dapat menghangatkan pembicaraan tengah malam di tengah hutan ini? Aku yakin Pak Ngabidin bukan sekedar petani sawit biasa yang melulu berkutat dengan lahannya. ”Kalau Mas Raka paham dengan arti nama tengahnya pasti akan lebih menyukai lagi karya sastra terutama dengan karya-karya pujangga nusantara tempo dulu.” Senyumnya cukup provokatif, memaksa aku untuk bertanya mencari tahu tentang apa yang telah dia lontarkan baru saja.


”Apa hubungannya nama tengah saya, Manggala, dengan karya sastra tempo dulu?” rasa penasaranku tidak bisa kusembunyikan. ”Dulu sewaktu masih muda saya pernah bekerja sebagai tenaga honorer di perpustakaan daerah, jadi teman saya hanya buku-buku lama saat itu. Menurut buku tulisan Piet Zoetmulder yang pernah saya baca, manggala erat kaitannya dengan seni sastra-puisi Jawa kuno yang disebut ”kalangwan” yang mengandung arti keindahan, karena dengan membacanya kita akan terseret arus indahnya karya itu sampai-sampai seperti mabuk kepayang.” Misteri jati diri intelektualitasnya perlahan dia buka sedikit demi sedikit. ”Puisi Jawa kuno sesungguhnya sebagai salah satu media pendekatan dan pengalaman spiritual sang pujangga dengan dengan Istadewata-nya, yaitu dewa pilihan sang pujangga itu.”



”Nah, untuk dekat dengan Istadewata maka sang pujangga perlu menciptakan manggala yang memiliki kemampuan sedemikian kuatnya sehingga dapat membuat senang, mensucikan bagi siapa saja yang membaca atau mendengarkan karyanya itu. Agar mendapatkan berkah dari dewata maka diperlukan lelaku dengan memuji manggala itu sendiri yang fungsi sebagai patokan hidup bagi sang pujangga itu sendiri sehingga mampu mencipta karya yang berdaya magis religius.” Asap rokoknya menandingi derasnya padat makna yang keluar dari mulut keringnya. Pak Ngabidin meminta konfirmasi apakah aku dapat mengikuti penjelasannya, semampuku jujur kukatakan sedikit bingung mengikuti penjelasannya, sikap humble-nya dia tunjukkan sekali lagi dan mengulangi dengan memberikan kaitan arti manggala dengan suku kata aksara Jawa. ”Manggala memiliki empat suku kata. Ma; Madep mantep manembah maring Ilahi, kurang lebih artinya keyakinan kuat manusia ketika berhadapan dengan penciptanya atau beribadah itu harus khusyuk. Suku kata kedua, Ng; Ngracut busananing manungso yakni membuang semua hal yang bersifat egoisme manusia, suku kata berikutnya Ga; Guru sejati sing muruki bahwa hakikatnya guru yang paling sejati adalah hati nurani kita, karenanya dengarkan hati nuranimu. Suku kata terakhir adalah La; Lir handaya paseban jati karena hidup ini seperti air yang mengalir dimana titik awal mata air dan samudera luas tempat air itu bersatu kembali adalah Tuhan, maka untuk mengalir mengikuti arus hidup, manusia harus mengikuti tuntunan Tuhan agar tidak terseret arus jaman.” Pemaknaan yang mendalam ini disampaikan dengan santainya sambil sesekali mengepulkan asap tembakau lintingannya. Aku coba meraba kesimpulan dengan hanya mencari kata kuncinya saja, lagi-lagi tak lepas dari; Tuhan, manusia dan hidup!


”Berupa apakah lelaku yang dilakukan oleh sang pujangga? Sepengetahuan saya selama tinggal di Jogja saya sering melihat masyarakat sana melakukan banyak ritual dan laku, seperti misalnya mencuci benda pusaka, puasa mutih, tapa bisu keliling benteng, bahkan sampai bertapa di tempat-tempat yang dianggap keramat.” Satu pertanyaan kulontarkan sambil melinting tembakau, rasanya kurang seru jika berdiskusi seperti ini tapi tidak ditemani asap tembakau meskipun berkali-kali aku masih terbatuk. ”Ooh sikap, tindakan atau perilaku masing-masing pujangga bisa saja berbeda-beda, saya sendiri tidak tahu secara persis apa yang mereka lakukan namun intinya adalah peleburan kesadaran diri untuk dapat bertemu dengan apa yang diharapkan, bisa berupa perwujudan sesuatu atau seseorang, bisa juga berupa perlambang atau sekedar suara. Mungkin secara sederhananya apa yang banyak orang sebut sebagai mencari wangsit tapi sesungguhnya lebih dari itu karena ada upaya pencarian kesejatian diri lewat pertemuan dengan dewata atau bahkan lebih tinggi lagi manunggaling dengan dewata itu sendiri, sebagaimana penjelasan saya mengenai manggala.” Pandangannya menduga-duga tingkat pemahamanku.


”Mungkin hampir sama dengan seperti yang dilakukan masyarakat Hindu-India yaitu dengan jalan melakukan Yoga, begitu Pak!” pernyataanku mendapat persetujuan dari Pak Ngabidin. ”Ingat budaya Hindu-India sangat dekat sekali dengan budaya Jawa kuno, selain juga pengaruh ajaran Budha, terutama seputar hal religiusitas masyarakat dalam memahami dan menjalankan hidup dengan alamnya, bahkan usaha untuk mempertemukan diri dengan Istadewata tersebut dikenal dengan istilah yoga tantris, dimana dengan upaya lelaku atau istilahnya Mas Raka tadi; yoga, dengan tujuan untuk bertemu dengan dewa yang bersemayam dalam sebuah media yang disebut dengan Yantra.” Tak kusangka perjalanan panjangku yang terdampar pada gubuk kecil ini memberikan banyak ilmu yang luar biasa adiluhung. Ilmu yang kudapati justru bukan dari seorang bergelar profesor dalam kesastraan kuno, melainkan dari seorang petani sederhana di hadapanku ini.



Cercicit burung-burung dan sinar matahari yang menembus celah-celah dinding bambu membangunkanku yang masih nyaman bersembunyi di dalam kantung tidur, kehangatan dalam sleeping bag ini membuatku malas untuk bangun. Aku baru tersadar bahwa aku tidak sedang di rumah Lik Dirjo ketika mataku tertuju keluar jendela gubuk ini, kulihat batang-batang pohon sawit. Tidak kutemui lagi kawan berdiskusiku tadi malam suntuk, di dekat perapian yang masih mengepulkan asap tipis sudah tersedia secangkir kopi dan dua batang singkong bakar, Pak Ngabidin pasti mempersiapkan ini sebagai sarapanku. Kunikmati betul setiap detik pagi ini, lengkap ditemani secangkir kopi, singkong bakar hangat bahkan selinting tembakau racikan tangan Pak Ngabidin tanpa klembak dan candu kemenyan.

Kuputar ulang rekaman diskusi bersama Pak Ngabidin semalam. Sampai pada akhir perbincangan sebelum aku meminta maaf untuk tidur terlebih dahulu, aku jadi teringat sesi terakhir diskusi semalam adalah semacam konsultasi permasalahan hidupku, Pak Ngabidin dengan sikap bersahajanya tidak memberikan saran yang seolah-olah menjadi solusi mujarab dengan nasihat-nasihat yang tidak membumi. Dia justru menceritakan masa lalunya, ”Saat itu saya akui gejolak darah muda lebih dominan. Seolah saya sanggup menantang matahari sekalipun demi mempertahankan pendirianku maka semua yang kupunya tidak lagi dipedulikan, saya tinggalkan semua itu. Saat kesadaran mulai datang akhirnya saya mengambil keputusan untuk kembali lagi pada semua yang telah ditinggalkan, saya terlambat! Mas Raka harus bisa Ngracut busananing manungso jika tidak ingin menyesal sepanjang hidup nanti. Ikuti kata guru sejatimu” setelah akhir kalimat itu kulihat pada layar kecil alat perekam digitalku ini, tertera keterangan bahwa sudah tidak ada tempat lagi untuk menyimpan data.



Semua peralatan telah kukemas dalam tas ranselku, kurenggangkan otot-otot tubuh sekedar mempersiapkan diri untuk mendorong motor tuaku yang mogok dan pecah ban. Betapa terkejutnya aku melihat ban motor bagian depan itu telah terisi angin lagi, tidak ada tanda-tanda seseorang telah menambalnya, bahkan seperti tidak pernah bocor sebelumnya. Aku menduga pasti tidak ada lagi dengan permasalahan pengapian pada busi juga, ternyata benar! Motor ini langsung saja meraungkan suara dari knalpotnya. Berkah apa yang telah Tuhan siraman padaku di pagi yang cerah ini? Aku masih merenungkan pengalaman hidupku, kilasan gambaran-gambaran tempo hari kembali muncul. ”Ya, benar ucapan Pak Ngabidin, aku harus mengikuti kata nuraniku, my inner voice, guru sejatiku!”



Keputusan telah kuambil dengan mantap. Motor tuaku kembali meraung dengan semangat berputar arah menuju jalan yang telah dilewati kemarin, menuju segala yang pernah kugenggam, akan kuperbaiki meski telah lapuk! Semilir angin menampar lembut wajahku dengan riang kusapa langit pagi yang cerah, berpacu dengan sekumpulan burung sriti yang melayang ringan terbang mengikuti arus angin sejuk hari ini. Alat pemutar musik digital teman perjalananku kali ini menyajikan lagu salah satu soundtrack film ”Gie”.

.....
Stop complaining, said the farmer
Who told you a cow to be,
Why don`t you have wings to fly me
Like the swallows so proud and free
…….
Donna…donna…donna…donna
Donna…donna…donna…donna
Donna…donna…donna…donna
……..
Never knowing the reason why
But who ever treasured freedom like a swallow has learn to fly
Like a swallow has learn to fly.


-Kaloran Pena, Jum`at-Sabtu penghujung Januari 2009-