Jumat, November 20, 2009

Sepotong Sesuatu ... (potongan ke 1)



Garis Hidup versus Police Line

Selasa, 5 Juni 2007. 13.03WIB. Lokasi; Jalan Bayangkara

PYAAARRR!!! Buih bir dengan kandungan alkohol lima belas persen bercampur darah segar mengalir dari luka sepanjang lima senti tertutup rambut hitam panjang pemilik kepala, benturan dan rasa perih tak tertahan memaksa dirinya menyerah tak sadarkan diri, pingsan. Kilatan cahaya serupa lampu blitz kamera sepersekian detik menyilaukan kemudian gelap lebih berkuasa.


Sabar dan telaten perempuan tua itu membersihkan luka dikepala sang korban hanya dengan potongan mentimun hasil panen ladang kecil yang harus dijualnya setiap subuh di pasar sayur Beringharjo. Pecahan kaca terakhir sudah tercabut dari kulit kepala, luka lima senti itu ditutupinya dengan ramuan hasil tumbukan geliginya yang merah kokoh, campuran daun sirih, pinang dan tembakau. Perempuan tua itu yakin daun sirih merupakan obat segala macam penyakit tanpa mengetahui kandungan didalamnya. Perempuan tua itu merasa lega ketika darah segar tak lagi mengalir dari robekan luka itu.

Kejadian itu hampir dua minggu yang lalu, kini luka dikepala itu benar-benar kering tapi tidak luka batinnya, kepalanya masih terasa pusing namun rasa kecewanya lebih meradang, nasihatnya tak berguna bagi anak-anak jalanan yang berada dibawah pengaruh alkohol, mereka komunitas baru yang coba dia dekati. Tidak lagi terhitung ucapan terimakasih keluar dari bibir pemuda itu dan dengan iklas tak terhitung pula sang perempuan tua menimpalinya. Sebuah pelajaran berharga telah dia dapatkan bahwa pepatah `lain ladang, lain belalang` adalah benar adanya, lain komunitas lain pula perangai orang penghuni `ladang` baru yang didatanginya. Lain pula Souvenir diberikan tepat di kepalanya hasil perkenalan dari komunitas baru yang dia temui dari sudut kota dengan julukan BERHATI NYAMAN ini.


Baru separuh hari dijalani rotasi bumi pada porosnya, depan sebuah gereja tepat dipertigaan jalan Bayangkara banyak orang berkumpul, seorang dari mereka tampak mendominasi dengan perintah-perintah, beberapa orang berseragam coklat dilengkapi peluit dan pentungan karet berjaga dibalik pita plastik berwarna kuning, dua unit mobil patroli terparkir memblokir jalan utama.


“Baik, perhatian semuanya! Kita ulangi dari keterangan tersangka ketika tersangka berada di pinggir trotoar dan korban… mana petugas yang akan menggantikan korban tadi? Ah, coba cepat mana orang yang tadi bertindak sebagai korban!” yang dicari tidak juga muncul dari tengah kerumunan.
“Aih, bagaimana ini?!”
kental logat keras sumatera keluar dari sepasang bibir hitam tertutup kumis tebal itu.
“Ya sudah kau saja, maju kesini, ayo! Ukuran badanmu hampir sama dengan korban, iya kau yang pake kaos hitam, ayo cepat tunggu apa lagi!” sementara si pemilik tubuh berkaos hitam masih juga belum mengerti bahwa di tempat itu sedang berlangsung rekontruksi pembunuhan oleh tersangka seorang tukang becak terhadap korban berstatus mahasiswa seminggu yang lalu.
“Ayo cepat, kau mau membantu tugas Polisi tidak? Ayo! Siapa namamu?”
“Saya pak? mmh.. eeehh… nama saya Raya, pak. Niras Raya tapi jangan saya pak, saya mohon pak, saya pusing pak, betul.” telapak tangan sebelah kirinya menutupi bekas luka dikepalanya itu.
“Ahh, sudah tak apalah, lagi pula kau cuma berdiri sebentar lantas kau berbaring dipojok situ.” arah telunjuknya pada pingggiran trotoar berbentuk gambar siluet tubuh dari kapur, sementara bercak darah mengering pada aspal hitam.

“Tolong yang lain kasih ruang lebih lebar lagi, jangan sampai mengganggu jalannya rekontruksi hari ini, oke!” penonton dadakan tanpa karcis bayaran itu mundur beberapa langkah, logat khas dengan tekanan pada vokal `e` dan konsonan `s` membahana, petugas membuat batasan-batasan. Jalan Bhayangkara seharusnya sudah ramai dengan lalu lalang pengguna jalan mulai bis kota, sepeda motor, mobil pribadi, becak dan andong, tapi tidak untuk siang ini. Pertigaan Jalan Ahmad Dahlan dan RSU PKU rupanya telah diblokir bagi siapa saja yang hendak menuju arah Malioboro. Rekontruksi kembali digelar.

“Oke, semua siap?! Eh, siapa tadi namamu hah? Oh ya Raya, coba kau pakai dulu itu dilehermu lalu kau kemari” selembar kertas karton bertuliskan `KORBAN` berpindah pada dada, masih juga Raya belum mengerti maksud semua ini. Sosok tubuh kurus, jauh lebih kecil dibandingkan tubuh Raya yang memiliki postur tubuh tegap dengan tinggi seratus delapan puluh lima sentimeter dan berat tujuh puluh kilogram. `TERSANGKA` di dada ringkihnya terpampang karton yang sama, mungkin saja umurnya empat puluh tujuh tahun namun rambut putih dikepala dan kerut wajah sayu memberi kesan lebih tua dari yang seharusnya.

Polisi bertugas dengan panduan foto-foto korban yang tergeletak bersimbah darah, belati lima belas senti mirip karya T. Kardin dalam plastik transparan dengan kode penomoran ditunjukkan pada tersangka sementara dalam gengamannya sebuah replika belati dari karton tergenggam lemah, Polisi juga menunjukkan tersangka foto sebuah goresan kapur berlekuk tubuh pada aspal hitam ada gambar lengan Polisi memegang tanda panah bertuliskan `IDENTIFIKASI` dan kotak karton berukuran sepuluh senti angka `1` berdiri diaspal dalam foto itu. Keterangan tersangka terkesan ragu membuat jalannya rekontruksi menjadi alot sementara matahari dilangit jogja tak ramah menyeringai, rentetan jalannya kejadian yang dibacakan petugas terasa ganjil bagi penilaian Raya yang ragu akan kemampuan tersangka dengan fisik selemah itu dapat melakukan sesuai dengan berita cara yang dibacakan petugas.

“Sepertinya tidak mungkin, jika benar korban memiliki postur tubuh yang sama dengan aku dapat tersungkur oleh pukulan tersangka,” dalam hatinya Raya meragukan hal itu, Raya hanya bergerak menuruti apa yang diperintahkan Polisi begitu juga pikirannya bergerak melakukan analisis. Dua kali pukulan mendarat ditubuh korban, pertama di bagian pipi sebelah kiri lalu pukulan berikutnya pada belakang leher korban. Tersangka memperagakan melayangkan pukulan kearah rahang Raya sementara petugas melakukan dokumentasi, Raya diberi aba-aba untuk roboh dari trotoar telungkup wajah menghadap jalan aspal, lalu replika belati menyentuh bagian tubuh Raya. Kilatan cahaya lampu blitz kamera berkali-kali mendera retina Raya, mulanya dari kamera Nikon F10 milik petugas tapi ada kilatan cahaya yang berdaya silau tinggi membawa Raya pada dimensi lain. Sepi.

“Tolong kau jelaskan pada mereka, tolong…” mata Raya membelalak sontak terduduk mundur beberapa jarak tanpa berdiri, setelah memutarkan badannya seratus delapan puluh derajat didapatinya sesosok tubuh tergolek tak berdaya bersandar pada tembok pagar pinggiran jalan. Mukanya pucat sementara lingkar matanya berwarna hitam, lengan kirinya mendekap erat perut sebelah kirinya penuh dengan bercak darah. Belum lagi Raya memahami maksud permintaan pertamanya kini Raya kembali harus mencerna maksud kata-kata yang semakin membuat bingung.

“Kau jelaskan pada mereka yang sebenarnya terjadi, tolong…hanya kau harapan satu-satunya…” suara paraunya menggambarkan perih tak terkira.
“Apa maksudmu? Menjelaskan apa? Pada siapa aku harus jelaskan maksud yang belum ku mengerti?” suasana jalan sepi luar biasa hanya mereka berdua saja, rembulan jogja muncul separuh, gumpalan awan beriringan, kemana perginya penonton dadakan? Kemana pula petugas berkumis tebal tadi? Mengapa gelap? Bukankah tadi? Ahh, entah apa lagi yang dihadapi Raya kali ini.
“Siapa kau? apa maksud semua ini? aku tidak paham!” kedua lengannya direntangkan memperhatikan alam dan keadaan sekitarnya yang tak terpahami. Kesadarannya mulai menyeruak meski ada sedikit keraguan tapi dia masih ingat dari foto-foto yang ditunjukkan petugas, sosok dihadapannya ini adalah sang korban, `the victim`.

“Baik, sekarang coba kesini mendekat, ayo tak usah ragu, kemarilah. Percaya aku, tolong…” telapak tangan kanannya disodorkan pada Raya yang harus menyamakan posisinya dengan sedikit terjongkok.
“Tolong kau pejamkan matamu”
“Untuk apa”
“Tolong ikuti saja”
“Oh Tuhan, apa maksud ini semua!”
“Sekarang, coba kau hilangkan pikiran yang lain,” sulit bagi Raya mengikuti perintahnya, ini bukan sesi meditasi seperti latihan olahrasa dalam teater yang biasa dia lakukan dalam kondisi yang harus betul-betul pasrah, Raya pun memahami kata kunci itu, pasrah!.
“Jika kau rasakan suatu perubahan tak usah kau terkejut,” kelopak matanya tertutup, hanya hitam yang ada, hawa yang semula hangat menjadi dingin, sangat dingin. Rupanya ini akan menjadi suatu pengalaman unik bagi Raya.

“Hey Mas!...hey bangun!!, halloo…coba ambilkan air putih, cepat!” telapak tangan besar lengkap dengan kapalan dan sedikit air menyeka wajah Raya, kontan sang pemilik wajah tersadar dari tidur singkatnya namun yang sadar saat itu menjelaskan jika Raya pingsan selama lima belas menit. Wajah-wajah sangar dengan pandangan keheranan didapati begitu kelopak matanya terbuka dan pupil menerima rangsangan cahaya berlebih, Raya pun tak kalah bingungnya.
“Ah, sudahlah cukup untuk hari ini rekontruksi pembunuhan terhadap korban Wisnu, status mahasiswa, usia dua puluh dua tahun dengan tersangka Wagino, tukang becak, usia empat puluh empat tahun. Petugas tolong semuanya disiapkan, dokumentasi bagaimana cukup hari ini?” bawahannya serempak teriak

“SIAPP, KOMANDAN!”.
“Oke, Mas, kamu ikut kami”
“Kemana pak?”
“Kekantor Polisi,”
“Kantor Polisi?, saya salah apa pak!”
“Oh, tenang saja, mas tidak punya kesalahan apapun, yang penting sekarang mas ke kantor dulu nanti kita bicarakan disana”
“Maaf, tidak perlu pak, terimakasih,” kecurigaan Raya cukup beralasan, dia tahu persis teknik Polisi ini biasa digunakan bagi para mahasiswa yang dituding sebagai provokator dalam berbagai demonstrasi, bicarakan dikantor bisa berarti tanpa bahasa verbal tetapi non-verbal, telapak tangan yang berbicara.
“Mas ini kan masih keliatan lemas dan lapar, ayo kita ke kantor sekedar minum es teh sambil makan siang, ayo jangan takut, memangnya kamu bersalah?!” Dua hal yang membuat Raya menyetujui tawaran petugas itu, pertama; dia tidak membuat kesalahan apapun, kedua; perutnya memang lapar.

TKP menuju kantor Poltabes hanya berjarak sekitar lima puluh meter saja karena lokasi kantor Polisi ini berada dipertemuan Jalan Bayangkara dan Reksobayan yang merupakan wilayah hukum Kepolisian Kota Besar Yogyakarta. Raya diperlakukan dengan ramah oleh petugas piket hari itu, tak disangka dalam hatinya, selama ini Polisi dan dirinya sebagai bagian dari barisan mahasiswa demonstran yang selalu diberbagai momen vis a vis dengan abdi negara pengayom masyarakat ini, tapi tidak saat ini, kesan ramah justru dia rasakan.
“Coba setiap kali demo kita diberi senyuman pasti tidak akan terjadi aksi dorong-mendorong,” senyum geli spontan begitu dia merasakan hal ini.
“Ada apa mas?” salah satu petugas bertanya atas gerunengan Raya,
“Tidak ada apa-apa pak! Anu… panas ya siang ini pak!” sekenanya saja Raya mengalihkan pembicaraan.

“Oh, boleh mas, silakan. Nanti njenengan jalan lurus, diujung situ kesebelah kiri, nah tepat dibawah tangga sebelah kana nada tulisannya `toilet`, kebelet po mas? Keluar yang `kecil` atau yang `besar`? cepat sana Mas nanti keburu keluar loh,” candanya justru menambah desakan cairan hasil sekresi metabolisme tubuh berontak keluar dari saluran kemihnya.
“Jadi dari sini ke sebelah kiri ya pak?” Raya berlari kecil menuju arah yang dituju,
“Anu Mas jangan lupa ya… disiram biar gak bau,” sial betul Raya terpaksa berhenti dari lari kecilnya menahan kebelet hanya untuk mendengar anjuran agar disiram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!