Kamis, November 19, 2009

Sepotong Sesuatu ... potongan ke

Firasat Buruk
Kamis, 14 Juni 2007. 18. 45 WIB. Lokasi; Kontrakan Nadhien.

Gelas berisi teh panas itu tiba-tiba terlepas begitu saja dari genggaman Raya menghantam lantai keramik, membuat Nadhien terkejut mendengar suara pecahan gelas itu sementara Raya hanya terdiam kaku melihat pecahan gelas. Gerimis belum juga berhenti sejak sore tadi, rupanya hujan kecil ini merata membasahi wilayah Jogjakarta, bulan yang seharusnya bersinar terang tertutup awan tipis. Nadhien merawat kaki Raya yang berdarah akibat terkena pecahan gelas, lagu berjudul Firasat yang dilantunkan oleh Marcel, terdengar dari laptop Nadhien menambah kuatnya kekhawatiran perasaan dalam hati Raya yang masih terkesan shock tidak banyak berbicara seperti biasanya.

Nadhien menawarkan Raya segelas air putih kali ini, baru kali ini dia melihat Raya berprilaku tidak sebagaimana mestinya yang selalu ceria. Air putih digelas itu berisi tinggal separuh, Nadhien memberanikan diri memegang tangan Raya yang menggenggam erat gelas itu khawatir akan jatuh lagi. Sentuhan lembut tangan Nadhien memberikan sebentuk suport mental bagi Raya untuk menjawab pertanyaan Nadhien yang berulang-ulang dilontarkan namun belum juga dia jawab sejak menjatuhkan gelas tadi.
”Mas, Mas Raya baik-baik saja? Ayo dong ngomong, kenapa toh? Koq dari tadi cuma diam aja.” sorot mata teduh Nadhien baru tersadarkan oleh Raya setelah dagunya terangkat oleh tangan Nadhien yang masih penasaran dengan kondisi anehnya itu. Nadhien melihat sorot mata Raya seperti kosong tetapi pergerakan pupil dan kornea menunjukkan ada aktifitas otak yang berlebih dan gerakan jantung yang bekerja dengan cepat. Nadhien menangkap sinyal kecemasan dalam diri Raya kali ini meskipun tubuhnya tidak melakukan pergerakan yang menunjukkan hal itu misalnya berjalan mondar-mandir seperti orang bingung.

”Non, kurasa ada sesuatu hal buruk yang terjadi pada orang dekatku saat ini, aku yakin tapi belum pasti siapa orang itu” mata Raya kali seperti menyala menatap Nadhien yang belum memahami maksud ucapannya.
”Tapi kamu baik-baik saja kan? Apa hal seperti pernah terjadi sebelumnya Mas?” kekhawatiran dan rasa ingin tahu Nadhien bercampur.
”Ya, aku baik-baik aja cuma aku perlu waktu sebentar untuk menstabilkan diriku. Sering sekali aku merasakan hal ini terutama jika orang-orang terdekatku sedang dalam musibah. Aku boleh minta tolong gak?”
”Ya, apa pun Mas, gak masalah”
”Aku harus berada dalam posisi setenang mungkin, supaya aku mengetahui siapa yang sedang mengalami musibah. Bisa minta tolong matikan musik itu sebentar saja.” Nadhien melakukan sebagaimana permintaan Raya.

”Boleh aku melakukan meditasi disini sebentar saja, selain itu aku juga perlu bantuanmu untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa menggangu konsentrasiku, bisa?”
”Bi..bisa.. Mas, tapi untuk apa?” Nadhien tergagap masih belum juga memahami kehendak Raya.
”Nanti aku ceritakan setelah ini” Raya sudah mengambil posisi meditasi, duduk bersila dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri yang terlipat menyentuh lantai, badannya tegak namun tidak tegang, kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya sementara jari-jarinya membentuk cincin, nafasnya teratur ringan.

Nadhien hanya diam memperhatikan, dia terkejut melihat sekeliling tubuh Raya bersinar lembut terutama didahinya ada titik bersinar terang, seperti ada aura transparan menyelimuti tubuh itu. Penuh konsentrasi Raya mengatur nafasnya berada dalam hitungan tujuh ketukan setiap tarikan, tahan dan hembusan nafasnya. Dia mencoba menyatukan unsur pribadi, bumi dan angkasa sebagaimana biasa dia lakukan setiap kali berlatih pernapasan pada sebuah Paguyuban Seni Pernapasan dan Meditasi. Alam bawah kesadarannya dipanggilnya untuk mengetahui firasat apa yang dia rasakan. Citra-citra seluruh keluarga serta orang terdekatnya dia tampilkan dengan kekuatan pikirannya, dengan cara inilah dia dapat mengetahui keadaan mereka meskipun berjauhan jaraknya. Dia percaya ada media yang dapat menghubungkan antara dirinya dengan mereka melalui cara meditasi.

Citra yang pertama kali dia hadirkan adalah Ibunya kemudian Bapaknya dan kedua saudaranya, dari alam bawah sadarnya Raya mengetahui mereka semua baik-baik saja. Konsentrasinya kini menampilkan citra kawan-kawan akrabnya, dia bertemu Jane disana bahkan sempat berkomunikasi karena Jane memiliki keistimewaan bawaan lahir. Hampir semua keluarga dan teman terdekatnya sudah dia hubungi dengan cara ini tapi dia masih belum mendapatkan jawaban atas kegelisahannya tadi. Kali ini dia memaksa penuh kemampuan dirinya, lintasan bola warna-warni beterbangan dihadapan Raya.

Nadhien menjadi semakin khawatir ketika tubuh Raya yang semula hanya diam tenang kini perlahan bergetar hingga seperti terguncang-guncang tubuhnya meski tetap dalam posisi meditasi awalnya. Ada keinginan untuk memegang Raya dan menghentikan ini tapi tiba-tiba dia seperti mendengarkan suara Raya yang berbisik, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, percayakan pada dirinya. Di alam pikirannya Raya merasakan sinyal penyebab firasatnya itu, dia seperti berada disuatu tempat gelap penuh dengan kabut tipis, berjalan perlahan mencari apapun yang tertemui. Sebuah bola cahaya berwarna emas sejenis orb menjadi pemandu pada sesosok tubuh yang tergeletak lemah, dia kenali sosok itu meski hanya berupa bentuk tubuh berwarna merah dan hitam terutama dibagian wajah menyala merah.

Raya menyandarkan sosok yang ditemukannya pada sebuah batu besar, telapak tangan Raya bersinar keemasan terang kemudian mencabut sesuatu dari dikaki itu dan berkonsentrasi pada bagian luka dikepala dan paha dari sosok yang ditemukannya, dia percaya energi murni dalam tubuhnya yang merupakan hasil olahan Adenossin Tri Pospat dapat digunakan sebagai penyembuhan alternatif yang dapat ditransfer pada siapapun. Energi hangat mengalir keluar dari titik pusat Kundhalini berputar menjulur melewati titik-titik cakra tubuhnya kemudian disalurkan melalui tangan kepada titik-titik yang diinginkan untuk memperbaiki jaringan yang rusak disitu.

Nadhien masih memperhatikan tubuh Raya yang kini bergetar halus sementara sekujur tubuhnya dibasah keringat. Suasana kamar menjadi panas padahal sejak sore tadi suhu kamar cukup dingin akibat turun hujan. Getaran tubuh Raya mulai mereda dan berhenti, tubuhnya terkulai lemah dari posisi meditasi awalnya, membuka kelopak matanya dan melihat wajah Nadhien yang begitu cemas akan keadaan Raya. Segelas air putih habis diteguk menggantikan cairan tubuhnya yang keluar cukup banyak.

Kondisi Raya masih lemah tapi seperti ada hal penting yang harus dia lakukan saat itu juga, Nadhien mencegah Raya yang hendak keluar dari kamarnya. Dia khawatir kondisinya saat ini dapat membahayakan dirinya terlebih malam ini hujan mulai turun cukup deras diselingi angin kencang. Raya mengalah dengan tatapan Nadhien tapi bukan berarti menghentikan niatnya, dia mengambil handphonenya yang berukuran cukup besar biasa digunakan bagi penggemar kegiatan petualangan alam terbuka, berteknologi kurang canggih namun memiliki kelebihan kekuatan sinyal. Nomor Erlang coba dia hubungi tapi gagal, kali ini dia mencoba menghubungi Yanto tapi tidak ada jawaban sementara handphone milik Yanto hanya bergetar tak terdengar oleh siapapun yang ada disitu. Hanya ada satu kesempatan lagi, nomor Hari.
Suara dering monoponik dari handphone bermerk dan seri yang sama seperti milik Raya terangkat oleh Hari, menjawab pangilan masuk.
”Maaf Mas jangan sekarang, nanti saja hubungi saya lagi. Saya ada keperluan penting” suara Hari terdengar cukup jelas dengan backsound suara hujan, angin dan gelegar petir yang memberikan gambaran disekitar situ. Hari memutuskan hubungan telepon, masih bingung menentukan arah mana yang harus dia ambil dipinggir sungai setelah keluar dari terowongan. Raya terkejut setelah Hari memutuskan hubungan teleponnya, dia menekan kembali tombol panggilan keluar.

”Hallo Mas Hari, dengarkan dulu sebentar, tolong jangan dimatikan! Saya tahu dimana lokasi Mas Erlang” suara Raya terdengar sangat jelas ditelinga Hari membuat dirinya terkejut. Bagaimana Raya bisa mengetahui posisi Erlang sedang mereka saja tidak dapat menghubungi Komandannya itu, terlebih Operasi Penyergapan itu bersifat rahasia jadi tidak mungkin Raya mengetahui dimana posisi Erlang.
”Apa maksud kamu Mas?” Hari masih belum mengerti, langkahnya terhenti tapi tangannya memberi kode agar dua anggotanya mencari petunjuk sekecil apapun sementara dia mendengarkan Raya.
”Percaya saya Mas!, sekarang Mas Hari dan kedua anggota cepat menyeberangi sungai itu kearah timur terus lewati bebatuan, nanti disebelah kanan batu paling besar disitu ada pohon jati yang kering pada akarnya ada sebilah belati, ambil saja mungkin berguna sebagai bukti.” Kali ini ada dua orang, Hari dan Nadhien, yang tercengkang kebingungan mendengarkan perintah Raya. Segera Hari memerintahkan anggotanya untuk bergerak.


Lokasi; Pengejaran Target Operasi yang lolos

Erlang sudah sepenuhnya menguasai dirinya, berjalan terseok diantara bebatuan kecil yang menjadi licin akibat guyuran hujan dan lumpur. Sebuah bangunan kecil yang sebagian terkubur pasir dan bebatuan pada jarak puluhan meter terlihat berkat kilatan petir yang membelah gelapnya malam, panduan lampu senter kecil ditangannya membimbing langkah Erlang diantara bebatuan. Lampu senternya dimatikan ketika jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari sisi bagian kiri bungker itu dia tidak ingin kehadirannya diketahui target operasinya. Merapatkan tubuhnya pada dinding bungker, Erlang memastikan peluru dalam magazinenya masih ada dan melepaskan tombol pengaman pelatuk pada pistolnya. Terdengar suara dari dalam bungker yang gelap gulita.

Batu sebesar kepalan tangannya dilemparkan pada pintu baja yang tidak lagi dapat tertutup sempurna akibat desakan material vulakinik Merapi, menunggu reaksi dari dalam. Sebuah batu dilemparkan sekali lagi, tiba-tiba dia seperti melihat kelebatan dari arah dalam berlari menyeruak kegelapan malam. Teriakannya terdengar keras memberikan peringatan agar orang yang dicarinya itu berhenti dan memberi tahukan identitasnya bahwa dia adalah seorang Polisi. Kilatan petir membantu Erlang yang sesaat melihat targetnya yang lari diantara bebatuan, Erlang berlari mengejarnya tapi sayang kondisinya yang belum pulih dan licinnya medan membuat dirinya terperosok, lampu senter kecilnya terlepas dari tangannya dan tidak menyala. Erlang menunggu dengan posisi membidik diatas bebatuan berharap kilatan petir, satu-satunya bantuan penglihatannya, agar datang kembali. Doanya terkabul, petir mengelegar dan membuat terang dalam hitungan beberapa detik saja. Terdengar dua suara letusan senjata api, kemudian gelap kembali.

Rasa sakit dan panas luar biasa dibagian depan bahu kirinya menyebabkan darahnya mengalir kembali, rupanya bukan hanya dia yang melepaskan tembakan tapi dia juga yakin pelurunya tepat mengenai sasaran karena terdengar suara orang terjatuh. Erlang terus memaksa dirinya untuk tetap melangkah mengejar sasarannya, lima belas meter dari posisinya melepaskan tembakan terdapat bercak darah pada sebuah batu tapi dia tidak menemukan siapapun disana. Erlang melompat bersembunyi kearah batu setinggi satu meter, jantungnya berdetak kencang, luka baru dibahunya membuat dirinya sangat menderita, sekarang dia dan pistolnya harus mempersiapkan diri setelah mendengar suara dari belakangnya.

Badannya yang bersandar membelakangi batu pelindungnya, beberapa sorot lampu senter terlihat. Tiga orang, setidaknya dia memperkirakan serangan dari belakangnya, Erlang menekan tombol untuk mengeluarkan magazine dari body colt 45nya, mengecek kembali jumlah peluru yang ada, minimal harus ada tiga peluru didalam situ, lebih banyak lebih baik lagi. Suara langkahnya semakin jelas, perkiraannya sekarang mungkin mereka berada tepat didepan bungker tadi, berarti sekitar dua puluh meter jarak dia dengan orang-orang yang baru saja datang dan semakin mendekat. Erlang merubah posisinya dari balik batu itu dengan pistol mengarah kepada asal suara, berharap kembali petir yang membantu dirinya tadi dapat datang kembali.

Jari telunjuknya sudah siap pada pelatuk, membidik sasaran yang dapat saja muncul dalam hitungan detik dari balik gelapnya malam. Kilatan petir seperti akar terang yang menjalar cepat dihamparan langit hitam muncul kembali. Suara letusan kembali terdengar dari pistol Erlang yang masih mengeluarkan asap efek yang diciptakan akibat letusan mesiu, diujung laras pendeknya. Erlang berteriak menyebutkan identitasnya dari balik batu itu dan menanyakan keadaan sasaran baru bidikan pistolnya tadi. Untung saja Hari berteriak sesaat sebelum kilat menyambar, refleknya merubah bidikan kearah lebih tinggi lagi telah menyelamatkan anggotanya dari serangan Komandannya sendiri. Erlang dan ketiga anggotanya merasa lega.

Hari meminta ijin melakukan pengejaran sementara dia harus meninggalkan seorang anggota untuk merawat Erlang dan memanggil bantuan. Informasi terakhir Komandannya mengenai status sasaran yang terluka tembak membuat Hari dan satu orang anggota menjadi lebih bersemangat tapi pesan Erlang agar mereka tetap berhati-hati karena sasaran membawa senjata api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!