Kamis, November 19, 2009

Sepotong Sesuatu ... potongan ke

Rencana B, Siap Laksanakan!
Menjelang malam. Lokasi; Sel tahanan

Pintu baja berderit terbuka sebentar kemudian tertutup kembali dengan dua gembok besar dan tambahan rantai tergantung mengunci pintu sel tahanan. Pak Jono terduduk menunduk sendirian pada sebuah sudut sel tahanan itu meratapi nasibnya. Pertanyaan-pertanyaan di ruang interogasi tadi masih terbayang dalam selnya kesendiriannya sepanjang sore. Setiap teringat dengan cengkraman, teriakan dan mata merah Yanto wajahnya semakin tenggelam pada posisi duduk dengan tangan menggenggam erat kedua kakinya.
”Kena kasus apa sampeyan sampai masuk bui ini?” Pak Jono terkejut bukan main mendengar suara itu, dia tidak memperhatikan ada orang masuk sel yang sama dia tempati ketika pintu itu terbuka tadi.
Posisinya tambah merapat pada sudut itu, teman satu selnya itu berpenampilan besar, seram dan beberapa hiasan tato jelas terlihat mengisi lengan bagian atas kanan dan kiri begitu membuka baju tahanan. Bayangan tentang cerita-cerita mengerikan dari balik jeruji yang sering terjadi sesama tahanan membuat Pak Jono semakin takut, hari ini dia harus berbagi dengan orang lain dalam sel itu.
”Kenapa Pak? Jangan takut, aku gak akan ngapa-ngapain sampeyan!” baju tahanannya digunakan sebagai kipas untuk sedikit mengurangi hawa panas yang terasa menguap di sel tahanan.
”Sudah lama di masuk sini pak? Hey, sampeyan dari tadi belum kasih tau kena kasus apa?” orang yang ditanya menjawab singkat tetap tenggelam dalam ketakutannya.

”Tolong perhatikan kalau ditanya, lihat saya pak! Hey, jangan nunduk terus gitu, sini kamu!” gelegar ucapannya membuat gemertak tulang pada kaki Pak Jono, mendekat ragu kearah kawan satu selnya.
”Ampun Pak, jangan pukul saya Pak, tolong kasihani saya” posisinya menggapurancang rapuh dengan getaran halus seluruh tubuhnya, membayangkan apa yang akan dialami setelah ini.
”Loh, sampeyan kira saya ini penjahat apa? Diluar sana saya memang penjahat, perampok dan pembunuh tapi sekarang saya cuma mau dipijat, itu saja! Tolong pijat bahu saya ini pak, rasanya pegel banget.”

Tangan kasar Pak Jono terampil dalam mengatasi otot-otot yang bermasalah, disela-sela menunggu penumpang yang menggunakan jasa angkutan genjotnya Pak Jono juga menawarkan jasa pijat atau urut, lewat karton bekas mie instan yang ditulisi `Jasa Pijat dan Urut` yang dia gunakan sebagai media promosi layanan jasanya yang biasa dia gelar disebelah becaknya. Penghasilan tambahannya ini justru lebih menguntungkan, dia hanya mengeluarkan sedikit tenaga menyusuri setiap jalur-jalur otot manusia jika dibandingkan pekerjaan utamanya mengayuh becak yang berjarak kiloan meter belum lagi beban penumpang dan barang bawaan demi lembaran ribuan rupiah.

”Nama asliku Sardi tapi sampeyan gak akan nemuin nama Sardi kalau tanya ke preman-preman Jogja atau sepanjang daerah Jawa Tengah, mereka panggil aku Izroil karena urusan cabut-mencabut nyawa sudah jadi keahlianku. Kadang-kadang aku juga disebut sebagai Jagal dari Jagalan, gara-gara isu usaha potong kerbau dan sapi milik keluargaku bangkrut makanya aku jadi jagal manusia. Nama sampeyan siapa Pak? Kerja apa dijogja?”

Tekanan psikologis yang diderita Pak jono rupanya sedikit teralihkan dengan adanya kawan ngobrol yang baru masuk dalam selnya itu. Awalnya Pak Jono hanya sekedar menjawab pertanyaan pasien pijatnya ini tapi keterbukaan kawan satu selnya ini yang menceritakan masa lalunya yang kelam telah membunuh banyak orang hanya demi menaikkan statusnya dan mendapatkan gelar bergengsi dimata sesama preman, namun bagaimanapun sadisnya dia ketika menghabiskan korbannya, sebagai manusia dia pun sering menghadapi teror-teror mental lewat mimpi yang membuatnya menangis jika terbangun ditengah malam.

”Korbanku terakhir adalah seorang bocah berusia empat tahun, sebenarnya dia bukan sasaranku tapi terpaksa kuhabisi karena dia melihat aku ketika membantai keluarganya. Waktu itu aku panik karena tangisan bocah itu sangat keras, entah setan apa yang merasuk ketubuh aku, tiba-tiba dia sudah berlumuran darah dan parang yang kupegang meneteskan darah dari bocah tidak bersalah itu. Aku jadi teringat anakku yang seusia dia tapi terlambat bocah itu sudah meninggal waktu aku coba mengangkat tubuhnya. Kupikir aku bisa menyelamatkan dan kubawa lari kerumah sakit saat itu juga, temanku mengajak aku segera kabur dari situ tapi bayangan bocah itu terus menghantui selama masa pelarianku.”

”Akhirnya aku menyerahkan diri karena aku sudah tidak tahan lagi. Dipersidangan aku lebih tak tahan lagi mendengar jeritan histeris isteri dan anakku yang mendengar putusan hakim bahwa aku dijatuhi hukuman mati. Jantungku terasa berhenti saat itu juga. Tujuh tahun aku menjalani masa hukumanku sambil menunggu waktu eksekusi tapi kemudian aku melarikan diri setelah mendengar kabar anakku sakit keras, aku harus bertemu dengan anakku saat itu juga tapi dasar apes setelah dua minggu menunggu di rumah sakit akhirnya aku tertangkap lagi seminggu kemarin. Hukuman matiku dipercepat setelah aku tertangkap terlebih tambahan hukuman akibat dua penjaga yang kubunuh saat melarikan diri. Sekarang yang kupikirkan hanya nasib anakku, aku gak tega ninggalin isteriku menanggung ini semua, ahh...”

Lengan Pak Jono berhenti sejenak dari aktivitasnya ketika suara sang jagal sedikit bergetar terbata-bata menceritakan masa lalunya dan kerinduannya terhadap anaknya yang telah berusia dua belas tahun yang harus ditinggalkan karena keberadaannya didalam sel. Pak Jono memperhalus pijatan tangannya menjadi usapan pada punggung, sedikit menghibur ketika emosi Sardi menjadi tak terkendali tenggelam dalam isak tangisnya sementara kepala tangannya memukul-mukul lantai, Pak Jono merasakan penyesalan mendalam.

Sardi merubah posisi duduknya dan dengan cepat menguasai emosi begitu mendengar suara langkah sepatu lars penjaga sel yang mengantarkan bungkusan nasi, air putih dan kopi hitam, dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan penjaga. Mereka menikmati nasi dan tempe penyet, cukup telat untuk disebut sebagai makan malam. Kopi hitam kini menemani mereka yang hanya terdiam beberapa saat setelah makan, bibir Pak Jono bergetar seperti hendak berbicara namun tidak satu pun kata yang terucap. Tegukan kopi hangat ditenggorokannya membuat dia memberanikan diri bercerita tentang detail kasusnya kepada kawan satu selnya itu, kepalanya masih tetap tertunduk selama menceritakan bagaimana dia hinga masuk sel ini, rasa penyesalan mendalam keluar begitu saja. Sardi hanya tersenyum. Malam semakin melarutkan mereka kedalam tragedi hidup yang tidak mereka duga sama sekali.

Adzan subuh menghentikan cerita Pak Jono, Sardi mengajak untuk beribadah subuh berjamaah. Derit pintu baja kembali terdengar menggangu mereka berdua yang khusuk dalam doa, seorang penjaga masuk dan meminta Sardi agar keluar dari sel karena ada hal penting yang harus diselesaikan. Satu jam kemudian Sardi kembali masuk dengan langkah lunglai kemudian terduduk lemas sementara kertas pada tangan yang terselip cincin perak berbentuk rantai kecil di jari kelingkingnya tak kuat menahan lembar surat itu, kemudian melayang jatuh ke lantai. Pak Jono mendekat, memungut kertas itu, setelah membaca isi surat itu muka menunjukkan ekspresi terkejut. Kawan satu selnya akan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan dan eksekusi hukuman matinya akan dilaksanakan satu bulan lagi terhitung hari ini. Kertas itu pun melayang kembali terlepas dari tangan.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!