Jumat, November 20, 2009

Sepotong Sesuatu ... (potongan ke 4)


Macan Hitam Merapat pada Lokasi

Rabu, 6 Juni 2007. 12.31 WIB. Lokasi; Seputaran Mandalakrida

Bangun tidur sudah pasti matahari sudah tak ramah lagi dengan kulit kepala, sinarnya seperti menusuk bagian ubun-ubun, belum terkena radiasi matahari yang tak terhalangi akibat efek rumah kaca, rambut gondrong Raya sudah rewel meminta hair treatment, ah cukup sampo sachet saja tak perlu creambath apalagi tambah vitamin vitalitas penguat rambut, tak perlu terlalu dimanjakan, sudah dua hari ini memang rambutnya tak tersentuh air, sudah dua hari pula dirinya tidak digentayangi Reserse kenalan barunya itu. Ayo mandi kawan!

”Perpus…, bimbingan… atau ke internet ya…?” sepatu Converse sebelah kirinya telah terikat, kaki kanannya siap melangkah meski ragu, menanti keputusan dari otaknya yang mempunyai tiga pilihan. Handphone jadulnya telah men-dial, pada layar yang hampir buram tertera `calling DPS 1`.
“Assalamualaikum, Saya Raya, mahasiswa bimbingan Ibu, siang ini Ibu ada waktu untuk memberikan bimbingan skripsi bagi saya?” akhirnya Raya memberanikan diri menelpon Dosen Pembimbingnya.
Nomor hp ini dia dapatkan dari Pak Man yang biasa `mangkal` di Bagian Hukum Pidana kampusnya mengurusi semua tetek bengek berbau skripsi mahasiswa, ada informasi menggembirakan dia kabarkan lewat sms, “boss, untuk mahasiswa angkatan tuo bakal ada keringanan dalam proses skripsi, cepat hubungi DPS mu, selak tuo loh!”, entah sejak kapan istilah `boss` jadi panggilan khas bagi mahasiswa ber-semester tak berhingga.

“Raya? Siapa ya? Kamu dari kampus mana ya? Mahasiswa bimbinganku banyak loh De!” maklumlah dosen terbang, kalau tidak begini mana bisa nyicil kredit mobil Kijang baru.
“Saya, mahasiswa yang ambil skripsi tentang Forensik” Raya yakin password ini dapat mengingatkan memori sang dosen.
“Oooaallaahh, kamu toh! Memangnya kamu belum lulus toh? Sebentar…sebentar kalau ndak salah udah lama banget kamu ambil skripsi ini toh?”
“Hehehee… inggih Bu, saya saja sampai lupa dulu ngajuin judul ini kapan ya”
“Cckk…ccckkk… Mas…Mas… seingat saya dulu kamu mulai bimbingan dengan saya ketika saya sedang menempuh studi S2 toh, sekarang saya ini sedang menempuh S3 di UNDIP loh!, ya udah cepat kamu ke rumah saya saja, ini juga saya persiapan mau ke Semarang, jangan terlalu sore loh Mas”

Ini salahsatu sisi yang membuat Raya betah menjadi mahasiswa dampingannya, panggilan `De` dia koreksi menjadi `Mas`, pernah Ibu ini kesal dengan rekan-rekan dosennya karena hampir semua dosen memanggil mahasiswanya dengan panggilan `De`. Dosen ini asik menurutnya meski hal ini hampir semua mahasiswa yang skripsi menghindar menjadi mahasiswa dampingannya bahkan rela merubah haluan dari Pidana menjadi Hukum Tata Negara yang dapat selesai dalam tempo tiga bulan. Ah cemen!

Selepas bimbingan Raya mengayuh sepeda onthelnya dari seputaran Makam Pahlawan menuju utara membelah Jalan Kapas, melewati Pengadilan Tinggi belok kiri yang diujung pertigaan itu disebelah kanan dan kirinya terletak dua institusi penegakan hukum yang selalu miring akibat ulah oknumnya yang tergiur oleh godaan rupiah, sepeda masih kearah utara seolah tidak peduli dengan kebobrokan dunianya Raya mengarahkan sepedanya belok kanan hingga bertemu pada Lapangan Mandalakrida, lagi stang tua sepedanya diarahkan kekiri, di angkringan depan Instalasi Kesehatan bagi Usia Lanjut milik UGM, Bayu kecil yang sudah pulang sekolah setia menemani Mboknya menjajakan es teh dan jajanan kecil. Sepeda tua Raya telah bertengger di pohon dalam pekarangan tanah milik universitas tertua ini, tak banyak yang hadir di angkringan ini tapi tujuannya pasti hampir sama; menikmati pergantian hari sambil menikmati es teh di bawah lindungan pohon cemara berdaun lembut.

Pengunjung tetap adalah para salesman dan distributor consumer goods yang selalu melakukan konsolidasi perkembangan distribusi barang-barang dagangannya, ada juga segerombolan pelajar SMK yang dimiliki Yayasan salah satu Ormas Islam yang menjadi sorotan golongan Islam lainnya yang menuduh aliran mereka sesat, ahh Raya pasti gak ambil pusing untuk satu ini, ada juga seorang yang seperti habis jogging sore dengan kostum olahraga cassual bertopi hitam dan kacamata sport hitam juga, ditangannya dililitkan handuk kecil dan telinganya tersumpal earphone kecil, tapi Raya langsung menuju orang ini, duduk disampingnya dengan posisi membelakangi orang itu, membakar rokok sambil memesan es teh pada si Mbok.

”Capek ya Pak? Habis olahraga atau pengintaian?” nada bicaranya sedikit berbisik tapi badannya tetap kearah berlawanan dengan orang itu, aneh telinganya tersumpal earphone tapi dapat mendengar nada bicara sedikit berbisik, orang berkostum sport itu hanya menolehkan kepalanya sedikit saja.
“Ganti topi dong kalau mau melakukan pengintaian,” dengan cuek Raya berceloteh semi berbisik sebelum ditimpali orang itu.
“Ahh, rupanya kamu! Ngapain kamu koq bisa sampai sini?” sikapnya tetap waspada tanpa mengendorkan pantauan disekitarnya.
“Hehhehe… rahasia dong! Belum pernah toh pengintai tapi diintai balik?” polos saja.
“Oke deh salut lagi untuk kamu! Ahh, besok aku harus ganti topi neh” merasa keadaan sekitar aman, barulah Erlang memberanikan diri berkomunikasi layaknya orang biasa.
“Kita pindah dibawah pohon dekat tembok itu yuk! Kamu paham toh,” Erlang minta ijin pada si mbok untuk menggeser kursi kayu panjang itu.
“Oh, ndak apa-apa Den Bagas, lagian sore ini sepi kok” si Mbok memberi ijin sambil tetap membuatkan pesanan es Nutrisari.
“Den Bagas…hah Bagas! Hiihiiihii...” Raya tak tahan menahan geli begitu mendengar nama samaran Erlang, pemilik nama samaran Bagas hanya menatap Raya, seketika itu juga tawanya terhenti.

“Kamu juga sering kesini toh? Koq aku gak pernah liat ya!” matanya tetap siaga.
“Aku memang jarang kesini Mas”
“Oh ya!”
“Mungkin pas Mas ngintai dimana gitu, nah pas kebetulan aku kesini”
“Ahh bisa aja kamu!” kali ini tangannya memegang kaos bagian lehernya mendekatkan kearah mulutnya.
Entah apa yang diucapkan tapi setelah itu pandangannya menuju arah utara dekat mess PSIM, tiba-tiba diujung sana seorang petugas kebersihan mendorong gerobak sampahnya tapi sebentar mengangguk lalu pergi, sementara seorang petugas parkir tepat di gerbang masuk Mandalakrida, dari pojok sini terlihat memegang telinganya, menyerahkan tumpukan karcis parkir lalu pergi menggunakan motor Tiger hitam, padahal sore ini Mandalakrida ramai ada latihan salahsatu pembalap Jogjakarta.

“Ooo…” Raya mencermati gerak-gerik orang yang bisa jadi dia simpulkan sebagai anak buah Erlang.
“Hey, kok bengong! Kamu belum cerita tadi darimana toh?” Erlang coba mengalihkan perhatian, dia sadar gerak-gerik anak buahnya sempat terlihat oleh pengawasan Raya.
“Anu Mas, tadi aku dari rumah kawanku yang sedang semangat kerjakan skripsinya, setelah diskusi dengan Mas Erlang siang tadi aku jadi kepikiran terus skripsiku yang mandek! Makasih loh Mas”
“Loh kok?! Memangnya aku kasih kamu apa?” Erlang hanya tersenyum.
“Aku jadi terpacu untuk kembali lagi garap skripsiku, sukur-sukur bisa bantu pecahin kasusnya Mas Erlang atau justru semakin membuat rumit kasusnya, hehehe”
“Kebetulan banget nih, kami hanya tahu pelaksanaan penegakan hukum di lapangan sementara kami kekurangan anggota yang memahami di bidang forensik karena tiga dari lima anggota kami sedang menempuh pendidikan selama 3 bulan di Singapura, dua lagi tenaga ahli kami sedang diperbantukan untuk melakukan pemeriksaan otopsi korban kecelakaan pesawat terbang Garuda,” kali ini Raya sempat menangkap sinyal pengharapan pada mata Erlang.

“Aduh Mas kok tiba-tiba jadi serem ya?” Raya sadar betul kemampuannya di bidang ini masih sangat jauh dari paham!
“It`s oke koq, kami juga gak akan terlalu maksa kamu dan meminta pertanggungjawaban besar, tapi peluang untuk kamu bisa menerapkan aplikasi ilmu tetap terbuka koq, oke gini aja aku minta nomor hp mu nanti aku hubungi kalau kami perlu bantuan kamu,” senyumnya menegaskan bahwa tawarannya ini bukan sekedar basa-basi.
“Oke deh kalau gitu, ini nomor hp ku, saya boleh minta nomor hp Mas?”
“Tenang aja pasti aku hubungi kamu tapi pastinya nomorku akan selalu berubah jadi kamu gak usah simpan nomor telponku” gerakan alis matanya memberi sinyal `paham!`.

Sebuah mobil jeep milik salahsatu kawan Raya baru saja parkir setidaknya ada tiga orang didalam mobil itu, jaraknya hanya beberapa meter saja dari tempat duduk Raya dan Erlang. Rasa khawatir Raya mulai merambati perasaannya, bagaimana jika kawan-kawannya mengetahui dirinya sedang ngobrol dengan seorang intel? Tangannya membalas lambaian Ikal, Atmo dan Jede begitu mereka keluar dari mobil.
“Gawat nih!, Mas lebih baik pergi aja du…” Erlang sudah tidak berada di sebelah Raya, “Ahh, dasar siluman!” Raya merasa lega
“Hah siapa yang siluman?! Enak aja lu bilang kami siluman” Ikal protes
“Terus apa namanya kalau bukan siluman? Liat sendiri bentukmu itu, rambur acak-acakan, mata merah, muka kusut pasti belum mandi juga,” sekenanya Raya mengalihkan
“Hehehe… gak cuma itu Bro, belum tidur juga! Nih gara-gara Jede, insomnianya kumat lagi, kita berdua jadi korban” Ikal berjalan sempoyongan mendekati kursi, jelas terlihat sisa-sisa tidak tidur atau setidaknya hanya beberapa menit saja dalam bentuk Ikal.

“Kok kursinya jauh banget Bro?”
“Pengen aja duduk deket sini, gak boleh nih? Ya udah kita pindah lagi ke depan situ, ayo angkat!” Raya paham akan ada yang protes lagi
“Ahh gila lu! Gak liat apa kalo aku nih lagi lemes!” dengan sisa tenaga yang ada mereka mengangkat kursi kayu itu.
“Kamu pesen apa Kal? Kalau kamu, masih mau pesen lagi Bro?” Jede menawarkan mereka berdua.
“Aku pesen apa ya? Kayaknya semua minuman dah ku coba tadi malam, kopi sudah, teh panas sampe tiga gelas, wedang jahe juga udah, oooya, anu, aku pesen a-mir aja, hehehe” ekspresi wajah itu membuat sebal Jede
“Sorry no alcohol as long you stay with me. Understand!” terkadang Jede muak dengan kebiasaan buruk kawannya satu itu, Raya dan Atmo cuma ketawa-ketawa aja
“Oke deh mister londo! Aku pesen… terserah ah!” badannya disandarkan pada pohon
“gak ada minuman terserah disini Kal” Atmo nyeletuk.

“Gimana tadi bimbingan skripsinya tadi Bro?” Jede membuka perbincangan yang sebenarnya dia hindari, tabu untuk dibicarakan, pasti kedua kawannya ini akan mengejek Raya.
“Hahh, apa aku gak salah denger nih? Kamu bimbingan skripsi Bro! hahahhaa…Niat banget, dah mau lulus apa? Hahaha, berita paling heboh abad ini!” Atmo paling sirik jika ada diantara kawan-kawan serius garap skripsi
“Hoy jangan gitu Mo, kawan kita satu ini harus kita dukung dong, bukan begitu Bapak Sarjono Hukum eh Sarjana Hukum ding! Kalau Sarjono kan gak ambil Ilmu Hukum tapi Ilmu Kungkum alias ilmu berendam! Hehehe…”
“Eh, jangan-jangan kamu jadi niat bimbingan skripsi setelah ikut berendam terus dapat ilham di sungai tadi malam bareng Dosen Universitas Lek Man ya!” Ikal bukannya menolong justru memperparah keadaan.

“Tar dulu Kal, emang tadi malam tuh Selasa Kliwon po? Hehehe… kalau kliwon berarti tidak diragukan lagi Kal!” Atmo juga sama seperti Ikal bahkan prinsip dia hampir sama dengan Duncan Macleod dalam film Highlander, hanya perbedaannya jika Atmo mengejek orang maka tenaga dia akan bertambah bahkan usia juga.
“Kalian ini aneh! Ada kawan mau serius kok malah digarapi toh! Cuekin aja Bro” dalam lingkaran persahabatan ini hanya Jede yang bisa diajak serius yang lainnya cuma bisa diajak serius tapi serius untuk bercanda, maklum Jede blasteran Jogja-Australia.

Namanya aneh; Jane Doe Sinten Kulo, menurut gosip, Bapaknya yang asli Australia dapat ilham memberi nama Jede ketika liat foto di kotak susu tentang anak yang diketemukan tanpa identitas. Itu sebabnya Jede gak suka minum susu.
“Jane, apa kabarnya Kodok, Kampret ama Jack ya? Dah lama banget gak ada kabar dari mereka?” Raya meminum es tehnya penuh perasaan.
“Kenapa kamu tiba-tiba ingat mereka semua Bro?” Jede paham dalam benak Raya, dalam waktu dekat dia pasti akan menghilang beberapa lama.
“Kemarin aku lihat kembang api dari kos ku, temen-temen bilang sih ada pembukaan Festival Kesenian Yogyakarta” nada bicaranya seperti menahan sesuatu tapi tidak ada yang tidak bisa terbaca oleh Jede

“Kamu kangen mereka atau Genta? Mau ngilang kemana lagi? Bukannya kamu harus fokus dengan skripsimu? Sudahlah jangan terlalu sentimentil gitu, life must go on Bro!” Jede yakin hal ini tidak akan meruntuhkan niat Raya tapi apa salahnya mencoba. Ikal dan Atmo terkapar meski kopi mikali dalam gelas mereka hampir tak tersisa.
“Gak tau nih Jane! Kadang-kadang aku merasa terlalu bersemangat tapi tiba-tiba bisa ngedrop begitu aja, aku sadar tugas utama ku harus segera ku selesaikan, Genta beberapa hari ini datang dalam mimpiku tapi aku gak bisa dengar suaranya, jauh banget!” langit sore ini menjadi kelabu. Bayang-bayang Genta bisa jadi diakibatkan kasus pembunuhan yang sekarang menjadi perhatian Raya.

“Terus mau kamu gimana?”
“Gak perlu aku kasih tahu juga kamu sudah tahu kan?”
“Aku gak yakin Bro…”
“Oke deh gini aja, aku bisa denger harapanmu tapi kamu juga tahu, kamu gak bisa cegah aku pergi”
“So?..”
“Hhmm…”
“I`m waiting Bro!”
“Oke, aku janji akan aku selesaikan, lagipula tadi dosenku kasih keringanan dalam proses penelitianku, gimana kalau aku pinjam perangkat teknologi canggihmu? Jadi aku bisa pergi tapi aku juga bisa garap penelitianku” diantara semua kawannya hanya Jede yang memiliki akses teknologi canggih.

“Well, apa aja yang kamu butuhkan?” Jede merasakan kesan serius dalam diri Raya
“Aku perlu laptop dengan internal modemmu, Nikon D100 mu and flash disk yang ada recordernya”
“Cuma itu?are you sure! Fresh money?” hampir tidak ada batasan dan kecurigaan dalam persahabatan mereka.
“Actually, I need it but i`ll figure it out! Positive!” sebenarnya Raya ragu untuk hal ini dan Jede pun bisa membacanya tapi dia bukan tipe orang pemaksa
“Kapan kamu ambil pesananmu ini?” pastilah tidak lama lagi, batin Jede menerka
“Besok siang aku kerumahmu, kamu ada dirumah?”
“Oke, biasa ya nanti kamu masuk lewat pintu sebelah Timur”
“Thanks Jane”
“No problemo Bro!” Raya tidak meragukan lagi senyum iklas Jede
“Terus bagaimana aku harus jelasin pada mereka tentang hilangmu?”
“Aku gak pernah meragukan kecerdasanmu Jane, menghadapi rengekan mereka adalah hal sepele bukan?” senyum Raya kali ini bisa menjadi beban bagi Jede. Raya sudah siap dengan sepeda onthelnya
“see you tomorrow Bro!” tangan kanan terangkat. Membangunkan kedua kawannya bukanlah hal mudah terlebih mereka belum tidur semalaman.

“Loh Raya kemana Jane?” rambut Ikal jadi semakin liar, matanya masih berat. Mahluk gondrong ini sudah melewati fly over Lempuyangan menuju utara tepat diperempatan Galeria belok kiri mengarah barat kota Jogja, santai mengayuh sepeda tuanya.“huaatsyii!!” Raya menutupi hidungnya
“hhhuaaatttssyyyiiii!!!!!, ahh pasti Ikal dan Atmo mengutukku disana” pemuda ini terus melaju, Tugu Jogja baru saja dia sapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!