Rabu, September 30, 2009

Finding Perfect Ending


(pic taken from: edelweissbike.com)

Tetesan air dari air conditioner dan cahaya lampu meredup membuat irama lambat dalam atmosfer kamar losmen kelas melati. Layar monitor note book menunggu instruksi lewat sentuhan lembut pada tombol-tombol keyboard. Winamp memutar lagu Angel performed by Sarah Mclachlan, what a perfect god damned-cursed dark cold hotel room! Asap putih masih mengepul tipis dari sebatang kretek cukup lama tak terhisap yang terselip di sela jari telunjuk dan jari tengah abunya memanjang, gravitasi sudah gregetan ingin menariknya jatuh. Belum juga satu hurufpun terketik pada layar sementara dalam benakku puluhan kata yang terangkum berupa kalimat bertempur untuk dituangkan. Logo disket kecil pada bagian kiri atas layar tertekan, kursos bergerak menuju bagian kiri bawah layar, turn off computer klik, wall paper berubah warna menjadi shepia, turn off klik, layar monitor fade out lalu mati.

Selembar syal hitam, jaket kulit, tas back pack sudah menempel pada tubuh. Termos kecil stainless steel berisi black coffee tak lupa kuselipkan pada bagian kanan. Kunci kontak motor, dimana benda keparat itu? Selalu saja bersembunyi jika diperlukan! Kunci kamar kutitipkan pada penjaga losmen. Mesin motor serupa kendaraan taktis para BUSER kunyalakan, kutarik sekuat mungkin gengamanan tangan pada gas, motorku meraung keras sekedar menaikan oli pada sela-sela mesin dan memanaskannya. Sempat terdengar sumpah serapah pengguna losmen dari balik jendela. Aku tidak peduli.

Motor kupacu dalam kecepatan tinggi, suara ban dengan motif serupa potongan tahu kecil-kecil menggilas aspal hitam mengeluarkan nada sumbang, ban motorku seolah berteriak meminta tanah merah berlumpur kental, kuturuti keinginan ban motorku. Hutan kecil menuju bukit sudah kuincar tuk kujadikan lokasi. Kabut tipis masih malas mengambang bahkan belum bersedia menyentuh tanaman dan tanah tuk berubah wujud menjadi embun. Laju motorku membelah kabut pemalas itu, setidaknya terbelah menjadi dua bagian tergerak kearah sisi kanan dan kiri. Entah menjadi apa.

Cukup sudah memuaskan hasrat motor pada habibat sesungguhnya. Puncak bukit kecil ini begitu sunyi, lampu-lampu kota dari titik ini hanya serupa kunang-kunang berkedip lamban karena bukan waktunya musim kawin. Matras karet hitam tergelar, note book, rokok kretek, pemantik pemberian kawan berlogo menara Eiffel, termos stainless stell with black coffee inside, beberapa batang coklat kukeluarkan semuanya dari tas ranselku. Lalu apa yang kau inginkan wahai benak kecil? SELESAIKAN!... baiklah… tapi dimulai dari mana?

Rupanya sama saja tak diruang kerja, kamar mandi, museum, perpustakaan, kuburan Belanda, café-café, rumah sakit, pasar tradisional, tempat pembuangan sampah, losmen, dapur rumah makan cina, daerah aliran sungai, bendungan, air terjun, pinggiran kolam renang, tepi pantai, mercusuar, taman kota, asrama haji, daerah prostitusi, pinggir rel kereta api, halaman Sekolah Luar Biasa, pasar loak, pelabuhan, tempat pelelangan ikan, warnet, wartel, warteg, kamar mayat, apotik, gubuk kecil di tengah sawah dan puluhan lokasi lain yang niatnya kujadikan sebagai provokator suasana agar ending cerita ini keluar, tetap saja tidak bisa kuselesaikan tulisan keparat ini bahkan lokasi-lokasi itu menambah beban pikiranku yang tiba-tiba menjadi liar dan bernafsu menciptakan cerita baru yang kesemuanya juga menggantung mencari akhir cerita. Betapa keparatnya isi otakku ini!

Kopi hitam mengeluarkan aroma khas dari kepulan uapnya, bibirku tak merasakan sensasi panas dari cairan mengandung cafein ini, udara dingin di puncak bukit yang menetralisir panasnya racikan kopiku. Batang ketiga rokok kretek habis terbakar tapi tetap juga belum ada kesepakatan kordinasi antara benak dan otot-otot jemariku. Indikator batere note book tersisa sepuluh persen saja, di sebelah kanannya terlihat angka 03.20, berarti sudah hampir dua jam aku disini. Baru tersadari suara alam dini hari begitu bisu, tak terdengar serangga yang berkerik, burung-burung nocturnal entah kemana? Semoga saja tak terdengar auman macan dari balik punggungku. Badanku sudah mulai menggigil bisa jadi masuk angin.

Kubaca lagi sekilas tulisanku, halaman pertama ada beberapa kata teredit ulang, halaman kelima puluh hampir saja kudekontruksi isinya jika kuteruskan akan menjadi certa baru lagi, sial! Halaman delapan tiga di bagian ujungnya belum kutelusuri catatan pengingatku untuk mencari bahan mengenai hasil analisis laboratorium forensik terhadap sample follicel rambut mayat pada fase Anagen-Telogen dan uji sinar ultra violet bercak sperma kering pada kain. Catatan pengingat pada halaman sembilan tujuh masih kupandangi, belum juga kudapatkan bahan rujukan mengenai efek racun sianida pada perubahan kulit post mortem yang dipengaruhi perubahan suhu ruang drastis dan pembandingnya jika mayat ditemukan pada lokasi basah, kering dan telah terkubur. Catatan-catatan pengingat lainnya pada halaman seratus dua puluh, seratus dua puluh enam, dua ratus tiga belas dan lainnya masih belum kutelusuri dan kutemukan jawabannya.

Ini saja belum kelar kenapa aku masih terobsesi mencari the perfect ending!

Kutekan fitur phone book pada hand phoneku, kuhubungi salah satu mahasiswaku yang juga bertugas sebagai Kepala Unit Reskrim, beruntung hand phone berantena mirip sirip hiu ini tidak menghalangi jalur komunikasiku meski aku berada di puncak bukit ini. Lokasi pertemuan sudah disepakati, kali ini aku akan minta agar mahasiswaku membuka jalan komunikasi antara aku dengan pakar forensik terkenal yang bertubuh kecil itu, tak apalah memanfaatkan jabatannya sekali ini saja, setidaknya aku mendapatkan rujukan dari orang paling tepat untuk melengkapi catatan pengingat tulisanku yang belum mendapatkan jawaban pasti.

Motor kupacu dengan kecepatan sedang, kali ini benakku tengah berdamai. Tidak mencari that perfect ending but to keep searching the source and keep writing, not yet for perfect ending! Aku tidak ambil pusing akan menjadi berapa halaman nantinya dan bagaimana bentuknya. I don`t care at all, just writing! Hempasan angin dini hari menyegarkan wajahku yang sempat menjadi tembaga padat yang menghitam. God! Nikmat sekali berada di atas motor saat dini hari begini.



* Koelit Ketjil *

Serang, 23 September 2009
- setelah membaca tulisan yang terbengkalai itu -

Minggu, September 20, 2009

Mohon Maaf Lahir Batin




Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin

Rabu, September 09, 2009

Layang-layang Ziki


Ziki berlarian senang dengan seutas tali dan sepotong layang-layang yang tak pernah terbang melewati kepalanya. Ketiga paman kecilnya dan dua teman sebayanya, mengikuti dari belakang. Terdengar suara tawa riang mereka di lapangan bulu tangkis, meminta pada Ziki agar bergantian bermain layang-layang itu. Ziki masih terus berlari sementara ketiga paman kecil dan dua sahabat sebayanya kelelahan mengejar dari belakang, Ziki masih saja berlari berharap lari kecilnya dapat menerbangkan layang-layang kertasnya yang sudah mulai sobek akibat beradu dengan permukaan tanah dan kerikil.



Ketiga paman kecil dan dua sahabat sebayanya berteriak memanggil Ziki tapi dia terus saja berlari, hingga sampai pada bibir tebing, Ziki tidak merasa lelah namun sedikit jengkel sebab layang-layangnya tak kunjung terbang. Ziki kecil menantang langit dengan dagu mungilnya, berteriak sekeras mungkin. “Hey angin kemana kamu pergi? Kenapa tidak ajak layangan Ziki terbang tinggi?!” belum ada jawaban atau pertanda alam, sudah berkali-kali juga bibir kecilnya berusaha menciptakan suara siul tapi angin tak kunjung berhembus, mungkin karena suara siulnya tidak tepat.


Ziki kecil terduduk pada tanah merah tepi bibir tebing, memperbaiki layang-layangnya yang sobek di bagian ujung, direkatkan kembali kertas itu dengan sedikit air liurnya, berdiri sigap dengan dada membusung berlari kecil memutar sekitar tepi tebing sambil terus memanggil-mangil angin. Layang-layangnya tak kunjung terbang melewati ketinggian kepalanya, Ziki yang sedang diterpa putus asa kembali terduduk pada tanah merah tak peduli celana seragamnya menjadi kotor oleh bercak lumpur sisa hujan semalam. Kembali membetulkan kertas yang tersobek, kali ini dia menggunakan sedikit lumpur tanah merah basah agar lekatnya lebih lama.


Telapak tangannya yang terlanjur berlumur lumpur merah disapukan pada kulit pipi putih dan sedikit tembem itu, membuat tiga garis merah pada sebelah kiri dan tiga lagi di sebelah kanannya. Semangat kembali berkobar seperti Rambo kali ini. Di tatapnya tanah miring tidak begitu curam menuju arah kampungnya tepat di bawah tebing yang di dominasi batu besar dan tanah merah labil. Berlari sekencang mungkin dengan panduan kaki-kaki kecil tak bersandal dan teriakan tak hentinya…

“Hey angin!!! Bawa terbang layangan Ziki… ajak terbang tinggi Ziki juga!!!”….

“Hey angin!!! Bawa terbang layangan Ziki… ajak terbang tinggi Ziki juga!!!”….

“Hey angin!!! Bawa terbang layangan Ziki… ajak terbang tinggi Ziki juga!!!”


Alam memberi pertanda lewat pergeseran lempeng bawah bumi, menciptakan gelombang pada permukaan tanah dan menggoncang seisi tebing hingga berurai bebatuan, disambut gelontoran tanah merah yang merayap turun dengan cepat. Layang-layang Ziki terbang melayang tinggi lepas dari gengaman Ziki yang terperosok dan tergulung bersama ribuan kubik tanah merah yang menimbun seluruh isi perkampungannya.


Layang-layang Ziki terus melayang tinggi, singgah di Jakarta memberi kabar kampung halaman Ziki, tertiup angin kembali kearah Depok dengan kabar yang sama, melayang tak tentu arah hingga tergeletak pada halaman rumahku. Kupunguti layang-layang lusuh dengan noda merah… bukan tanah tapi darah!



Banten, 8 September 2009, 23.45 WIB

-ketika telinga hampir pekak mendengar panggilan itu-

Untuk Ziki-ziki kecil yang tak tertimbun why don`t you have wings to fly me.. like the swallows so proud and free (taken from Donna Donna song by Joan Bartez)




(foto ketika street perform utk Tsunami Aceh... mungkin seharusnya kuhapus foto ini agar tidak terulang lagi bencana yg sama!)