Rabu, Oktober 28, 2009

Titik Damai

(foto courtesy: rakyatpekerja.org)



Tepat di bundaran persimpangan jalan protokol, sekumpulan kecil mahasiswa tengah melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang mengambil momentum Hari Sumpah Pemuda. Satrio tak kuat menahan tubuhnya bergetar hebat. Tak pernah sekalipun badannya tidak merinding jika mendengar lagu Darah Juang berkumandang, lampu merah beberapa menit yang menghentikan laju kendaraannya dimanfaatkan sebisa mungkin untuk menghayati lagu itu. Tak terasa tangan kanannya mengepal pasti dan diletakkan di dada kirinya, menghayati serapan lagu itu dalam hatinya. Hampir saja kepalan tangan kirinya hendak dia acungkan tinggi ketika sekumpulan mahasiswa itu menyanyikan bait “Mereka dirampas hak…tergusur dan lapar… bunda relakan darah juang kami…” darahnya langsung berdesir membangunkan seluruh bulu-bulu kuduknya, pikirannya langsung melayang membawa dirinya pada situasi beberapa tahun silam, ketika dia berada pada barisan terdepan demonstrasi besar-besaran penggulingan rezim Soeharto, berlari kemuka mengibarkan selembar bendera besar berwarna merah bergambar bintang.



Suara klakson kendaraan-kendaraan lain di belakang membangunkan dirinya dari mimpi indah masa lalunya, sempat terdengar gerutu seorang pemuda yang melintasi motor patrolinya “Ooo..Buser koq ngelamun di lampu merah!”



****



Dea masih terlentang damai menikmati setiap detiknya di hamparan padang rumput ini. Kepalanya bertumpu pada kedua lengannya, ribuan batang rumput menunduk-melambai tertiup sepoi angin serupa gulali putih pada pasar malam, langit biru cerah, kumpulan burung pipit terbang membentuk formasi, tubuh-tubuh ringan puluhan capung berwarna keemasan melayang ringan di hadapan pandangannya, sebuah pesawat terbang melintas lambat jauh di atas, tangan usilnya membuat penghalang imaginer bagi pesawat yang melintas itu. Senyumnya merekah lebar, hatinya lega seluas padang rumput ini, sebuah lagu dari handphonenya diputar berulang dengan setting loudspeaker, sore ini Dea tertidur di padang rumput belakang rumah. Puluhan panggilan tak terjawab tidak dia hiraukan, begitu juga beberapa sms bernada mengancam tak ada yang terbalas satupun, “Dea, kamu dimana sih?! Mamah dan Papah malu menghadapi keluarga besar Noto Raharjo. Kamu ini niat untuk bertunangan atau tidak?!!!”


Sanggul itu dilepasnya dan dilempar tinggi-tinggi, sebungkus rokok dikeluarkan dari balik kebayanya, mirip mbok-mbok di pasar tradisional ketika membayar tempe bacem pilihannya, dihisapnya dalam-dalam rokok slim itu dan dihembuskan sepuas mungkin ke udara bebas, botol pipih tipis berbahan stainless stell berpindah tempat setelah menyentuh bibir tipisnya. Dea berteriak keras, “I`m single but i`am very happy!!!!!” aroma alkohol menyeruak, hari ini usianya tepat tiga puluh lima tahun. Senyumnya semakin merekah.



****

(foto courtesy: daenggassing.com)


Jayadi Rahmat, melonggarkan ikatan dasinya yang terlalu ketat dan menghambat sirkulasi oksigen pada saluran pernapasannya, kancing manset dilepas lalu melinting kemejanya setinggi ujung sikunya. Butiran keringat yang mengalir deras dari dahi dia seka dengan setangan yang mengeluarkan semerbak harum bunga lavender tapi Jayadi Rahmat menikmati teriknya matahari dan debu yang beterbangan di sekelilingnya. Terbiasa dalam ruangan AC membuat tubuhnya menjadi rapuh. Bagaimana tidak? Masuk rumah sudah disambut sejuknya pendingin ruangan, begitu juga hendak istirahat di kamar tidurnya, duduk di kursi belakang mobil mewahnya juga bersuhu sama, begitu juga ketika pegawainya membukakan pintu kantor tempatnya bekerja sudah terasa menghembuskan kesejukannya, sama halnya ketika hendak makan siang pada restoran berkelas sudah pasti tak kalah sejuknya. Lama-lama tubuhnya serupa ikan bandeng yang dibeli tiga hari lalu, tergolek kaku pada lemari pendingin.



Senyum-senyum sumringah yang menunjukkan geligi berwarna kuning kecoklatan dari anak-anak kecil berbau aroma matahari yang menguap dari sela-sela ribuan helai rambut mereka yang sudah berwarna coklat kusam itu semakin membuat Jayadi bersemangat untuk terus membacakan cerita anak. Gitar-gitar kecil dan sepotong kayu pendek dengan rangkaian tutup botol pipih saat ini tidak berbunyi sama sekali. Lampu lalulintas beberapa kali berwarna merah terabaikan, padahal detik-detik selama lampu itu berwarna merah adalah detik pengharapan kehidupan mereka. Seorang berpenampilan perlente dengan jas mahal mendekati Jayadi Rahmat dan berbisik penuh hormat, “Pak Menteri mohon maaf mengganggu, saat ini Bapak Presiden sudah menunggu di istana, rapat kordinasi mengenai pembatalan program sekolah gratis sudah dimulai dua jam yang lalu.” Jayadi Rahmat dan anak-anak tidak merasakan kehadiran orang itu, hiruk pikuk jalan raya Ibu Kota pun tak terdengar sama sekali. Hanya sayup-sayup suara radio dari balik bajaj butut yang mangkal memutarkan sebuah lagu milik Iwan Fals, “Oleh karena itu bebaskan biaya pendidikan. Biar kita pandai mengarungi samudera hidup. Biar kita tak mudah dibodohi dan ditipu. oleh karena itu biarkan kami sehat. Agar mampu menjaga kedaulatan tanah air ini. Negara...negara...negara harus seperti itu”



-Koelit Ketjil, 28 Oktober 2009-
apa kabar Pemuda-Pemudi Endonesa ini hari?

Senin, Oktober 19, 2009

Terpisah diantara dua Carrefour (baca: terjajah oleh bentuk kolonialisme baru Perancis)

Malam ini (Minggu, 18 Oktober 2009 pukul 20.30an) Aku janjian ketemu dengan Kika Syafii (KS). Waktu dan tempat telah kami sepakati, maka meluncurlah kami ke titik pertemuan. Aku sudah di Tangerang, begitu juga KS. Aku sudah di depan Carrefour, begitu juga KS. KS bilang sudah di halaman parkir, begitu juga Aku. KS kasih deskripsi tentang kendaraan yang dia gunakan; mobil pick up Panther warna hitam, kudekati mobil pick up Panther hitam.. mobil bergerak lambat. Lewat komunikasi handphone kukatakan, “aku sudah lihat mobilmu, jangan bergerak! coba berhenti” handphone kumatikan, aku bergerak menuju mobil pick up Panther hitam itu tapi mobil hitam itu terus melaju cepat! Aku terdiam bengong setelah teriak-teriak melambaikan handphone yang sengaja kuangkat agar terlihat tanganku dengan nyala layar handphoneku tapi mobil pick up Panther hitam itu terus melaju semakin cepat. Ku SMS, KS (sialan) itu sambil menggerutu dalam hatiku; “kukejar koq malah bablas trus!” tak lama handphone berdering, “itu bukan mobilku!” Oaaalaaaahhhhhhhhhh…. Biyung…biyung.. tobat..tobat.. makan soto campur babat!!!!! ternyata Aku di Cikokol sementara KS di Pamulang meskipun kami sama-sama di depan Carrefour...Juancukk!!!!


Hehehehe…. Aku tertawa sejadi-jadinya bahkan ade sepupuku yang menunggu di kedai roti bolong Dunkin Donut (DD) tertawa puas melihat abangnya terlihat keringetan masuk DD (situ pikir ngejar mobil di halaman parkir kagak capek apa!) Begitulah dahsyatnya gaya penjajahan Perancis terbaru ini. Carrefour ada dimana-dimana... bayangkan jika Aku dan KS janjian bertemu di Alfamart (yang juga ‘milik’ Carrefour setelah berhasil meng-akuisisi Alfamart) bisa di setiap tikungan jalan tuh...hahaahahaa..


Mari kita lihat cuplikan data menarik yang kami copy dari artikelnya http://antinekolib.blogspot.com dan (kemudian) kami posting (kembali) dalam blog forum diskusi kami pada http://babadbanten.blogspot.com/2009/08/carrefour-sudah-monopoli.html


“……Dengan mengakuisisi Alfa, berarti Carrefour sudah memiliki 58 gerai, sebuah kekuatan besar dalam industri ritel Indonesia. Bila digabungkan dari segi pendapatan, Carrefour sebesar Rp 7,2 triliun dan Alfa sebesar Rp 2 triliun, itu sudah menjadi Rp 9,2 triliun. Sedangkan jumlah gerai hypermarket Giant adalah setengah dari jumlah outlet Carrefour dan Hypermart.


Paska akuisisi Alfa oleh Carrefour, kesenjangan omzet Carrefour melampaui sangat jauh dari pesaingnya, yakni Ramayana yang hanya memiliki omzet Rp 4,8 triliun pada tahun yang sama.”…….

Endonesa-ku tak sadar sedang dijajah oleh kolonialisme model baru-nya Perancis... mati sudah kejayaan warung-warung kecil milik entrepreneurs sejati Endonesa jika rakyatnya bangga melenggang keluar-masuk Alfamart walau hanya sekedar membeli sebungkus kecil kwaci matahari ketimbang membeli di warung reyotnya milik Mbok Surti!


Forum diskusi kami (babad banten) tengah mengkaji secara akademis mengenai Pembangunan Carrefour yang berdiri megah tepat di jantung Kota Serang. Entah bagaimana historisnya bagunan Carrefour itu dapat berdiri tegak tepat dipersimpangan jalan protokol kota tercinta kami ini? Entah siapa yang memberikan ijin pembangunannya? Mengingat Kota Serang barulah seumur jagung (setelah mendapatkan persetujuan pemekaran sebagai Kota baru sehingga terlepas dari Kabupaten Serang, induknya ini), begitu cepatnya kinerja Anggota Dewan dan Pemerintah Kota Serang yang baru ini dalam membuat regulasi pendirian bangunan Carrefour padahal masih banyak sekali yang harus dipikirkan terlebih dahulu (sekedar gambaran saja, jarak antara Gedung Pemerintahan Kota Serang dan Carrefour hanya berseberangan saja diantara persimpangan jalan protokol!!), bahkan tata adminstrasai dan sumber daya aparatur kota saja masih amburadul, banyak pegawai yang mengeluh belum mendapatkan honorarium dan gaji mereka setelah dimutasi ‘paksa’ dari instansi Kabupaten Serang kepada instansi Kota Serang.


Seyogyanya produk hukum daerah yang telah terbit harus terlebih dahulu masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda), jika melihat dari usia Pemerintahan Kota yang seumur jagung berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang maka Menteri Dalam Negeri Mardiyanto meresmikan kota pemekaran, yaitu Kota Serang, Provinsi Banten, pada tanggal 2 Novenber 2007 bersamaan dengan Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung maka sungguhlah luar biasa para pemimpin pemerintahan yang baru ini karena sudah berhasil mendirikan pusat perbelanjaan setaraf Carrefour dalam waktu singkat.


Seyogyanya (lagi) setiap produk hukum yang akan terbit haruslah terlebih dahulu mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, hukum dan juga perlu mempertimbangkan prioritas produk hukum mana yang terlebih dahulu penting untuk dipikirkan, pemerintah juga harus mempertimbangkan bagaimana efeknya terhadap pasar-pasar dan toko/warung tradisional. Tempo interaktif memotret fenomena ini “………..Kondisi itu terjadi setelah Pemerintah Kota Serang mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 157 tahun 2007 yang tidak membatasi jumlah dan jarak ritel modern di pusat kota………” maka dapat dibayangkan betapa banyaknya warga Kota Serang bangga keluar-masuk Alfamart dan sejenisnya meski tubuhnya hanya dililit handuk hanya untuk membeli sabun mandinya yang habis, mereka hanya melangkah kedepan rumah padahal di sebelah kanan-kiri ada warung Ibu Hajah Jup dan warung-warung kecil lainnya yang tersisihkan sejak munculnya alfamart dan sejenisnya yang tumbuh subur di hampir setiap 30 meter!!!


Saya dan beberapa kawan (Heru W, Diqbal S dkk) tengah merintis forum diskusi BABAD BANTEN (www.babadbanten.blogspot.com) yang coba menggali kembali kearifan lokal kampung halaman kami tercinta ini (baca;Banten). Sekedar cerita anekdot miris yang biasa saya lontarkan ketika kami berdiskusi berlama-lama hingga menghabiskan beberapa liter kopi dan entah berapa bungkus rokok yang menjadi pasokan energi mulut kami yang (alhamdulillah) tak pernah berbusa. Begini ceritanya, jika saya tiba-tiba diculik lalu mata saya ditutup rapat dan dibius pula, kemudian saya dibawa entah kemana namun setelah saya tersadar dari pengaruh bius itu maka saya dapat menerka bahwa saya telah berada di Bali, meskipun saya tak mengetahui rute yang saya lalui, penutup matapun belum saya buka dan tidak ada seorangpun yang memberitahukan kepada saya, karena saat itu saya sudah merasakan atmosfernya Bali, saya sudah mampu membuat kesimpulan saya tengah berada di Bali walau hanya dipandu oleh hidung saya terlebih saya diyakinkan oleh telinga saya yang mendengar alunan musik khas Bali.


Mari kita lihat perbandingannya, jika anda berangkat dari Bali menggunakan pesawat maka anda akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta, dari Bandara anda menggunakan taxi melewati daerah Pintu Air lalu Cikokol, hingga daerah Blaraja terus melaju melewati gerbang kota dan sampai pada alun-alun Kota Serang, anda telah memastikan diri anda tidak tertidur sedetikpun sejak dari bandara hingga alun-alun kota tapi anda (bisa saja) akan berkata “Saya berada dimana sekarang?” Perlu diingat bahwa Bandar udara Internasional Soekarno-Hatta berada dalam wilayah Tangerang, which is bagian dari Propinsi Banten tapi adakah nuansa Banten-nya? Atau anda masih merasakan berada di Bali (perhatikan ornament gerbangnya, dll). Kampung halaman kami telah kehilangan warna aslinya tapi di sisi lain kampung halaman kami tidak terkena imbas perkembangan pembangunan yang optimal dari Ibu Kota Negara, mengingat dekatnya jarak Jakarta-Banten, orang Jawa bilang “mung sak plentingan tok!” Hanya sekali tarik ketapel maka batu yang dilontarkan dari Banten dapat mengenai pucuk Monas! (jika yang main ketapel Samson mungkin..hehehehe).


Kisah sedih di hari Minggu (kayak judul lagu yak!) yang saya alami baru saja ini, hingga saya tidak jadi bertemu kawan KS, mungkin saja campuran cerita ironis-dagelan-keidiotan saya-miss communication kami-atau kebingungan kami dalam rimba neo-kolonialisme Perancis!


Maaf saya telah menghabiskan waktu anda karena telah membaca tulisan ‘gado-gado’ (mungkin tak berguna) ini tapi mari kita pertimbangkan kembali “mana lebih baik;


  1. membeli kwaci matahari seharga Rp. 500,- dapat bonus kantong plastic dan senyum kompak-ramah pelayan Alfamart, atau
  2. membeli kwaci matahari seharga Rp. 550,- yang gak ada kembalian Rp. 50 karena anda membayar dengan Rp. 600,- di warung Bang Udin?


The choice is in your hands. Mitra kasih..eh Terimakasih!



- Koelit Ketjil, 18-19 Oktober 2009-

also posted in; http://babadbanten.blogspot.com/2009/10/terpisah-diantara-dua-carrefour-baca.html

Kamis, Oktober 15, 2009

Sikap, pandangan, perasaan dan gerak Koelit ketjil untuk Ranah Minang (sejenis antologi, meski gak layak!)

Bundamu adalah bundaku jua kawan, camkan itu!

-Kepada Armedisa

Mantap kau ucapkan
”Evakuasi dan logistik memang yang pertama,
Tapi penanganan trauma psikologis anak-anak itu yang utama!”
Teh telur sedikit saja kau minum

Saat kau berucap tadi di wajahmu ada selaput wajah bunda
Dapat kubaca ”Ananda, menikah juga tak kalah utamanya”
Bundamu adalah bundaku jua kawan
Camkan; Hentikan gerakmu sejenak saja, sejenak saja!

Perihal pernikahanmu hanya tersisa beberapa detik lagi...


Taman Budaya Padang, 12 Oktober 2009
-berharap Allah mengijinkan aku tuk berada di sampingmu menjadi saksi momen bersejarahmu kawan-

........

Jadi untuk apa ragu kembali ke zona aman

Masih ingat kita sering bermain “Tom and Jery” bersama anak-anak?
Dapat kita tarik pelajaran dari permainan “Sungai Beracun”?
Kita telah menanamkan arti percaya pada sahabat
Kita telah mengajak anak tuk bersama bergerak menuju zona aman

Lewat permainan yang biasa kita lakukan bersama anak-anak
Jadi untuk apa ragu kembali ke zona aman!

Banten, 15 Oktober 2009

..........................


DI TITIK INI (semoga) KITA BERARTI


Kepada: Abdi, Tiwoel, Eko dan Dadan


Terpanggil oleh satu suara:
Doa anak-anak
Tergerak karena satu misi:
Senyum anak-anak

Di titik ini (semoga) juang kita memiliki arti

Bumi terluka telah kita bedah
Bergerak menuju satu Nagari ke Nagari berikutnya
Terseok pada Jorong-Jorong pelosok Padang, Agam dan Pariaman
Demi menyebar benih keceriaan pada ujung senyum bocah

Di titik ini
(kita) Terpanggil oleh satu suara
Meski terseok pada Jorong-jorong pelosok Pariaman
Doa dan Senyum anak-anak Ranah Minang telah menjadi pemandu
Juang ini memiliki arti….Semoga!

tak peduli nama

Di titik ini;
Ranah Minang



Lubuk Basung-Agam,11 Oktober 2009




.........

Tuhan mempertemukan kita lagi kawan

-kepada Kika Syafii-

Tuhan mempertemukan kita lagi dititik bencana, kawan
maaf aku menyanggupi janji pertemuan kita disini
tak nyaman memang
tapi harus... harus disini kawan

karena disini pertemuan kita akan berarti

Tuhan
mempertemukan
kita
di titik
bencana
lagi

kawan

maaf tak nyaman memang
beda dengan
cafe
mall
atau
waterboom

tapi harus disini kawan
disini setidaknya bisa berarti
pertemuan kita ini

setidaknya kita telah menanam benih senyum pada bibir bocah-bocah
disini
meski
hanya
setitik

Tuhan mempertemukan kita di titik bencana
agar
kita
sadar
karena

disini pertemuan kita akan berarti, meski hanya setitik!


*Koelit Ketjil*

............

Itu sebabnya aku tulis ini karena aku yakin kau terlampau sibuk untuk membaca


Yaa! Itu sebabnya aku tulis ini karena aku yakin kau terlampau sibuk untuk membaca ini. Perlu berapa menit tuk membaca tulisan ini? Aku yakin tak akan sampai membuatmu mati berdiri layaknya ibu-ibu antri mendapatkan sekedar tiga liter minyak tanah bercampur solar atau kau tak perlu sampai membayangkan seolah berada di halaman kantor pos menunggu, berdesakan, mati terinjak-injak hanya demi beberapa lembar rupiah yang sudah dikentit pasukan oranye itu. Jangan lebay lah!

Apa kau bilang? Apa gunanya kau membuang waktu membaca tulisan tak berguna ini? Jezz…. Bahkan kotoran hidungpun pasti ada gunanya, setidaknya berguna untuk membuang waktumu, berguna bukan? Selalu ada guna.. guna..guna.. guna! Atau perlu ku guna-gunai terlebih dulu agar kau sadar bahwa ada gunanya dari tulisan tak berguna ini?

Baiklah jika kau memaksa, aku akan langsung saja. Siang tadi kau bertanya mengapa aku mengenakan pakaian serba hitam ini, bukan? I`ll tell you why…Lihatlah kemejaku, celanaku, sepatuku, kaus kakiku, celana dalamku, kacamataku, bahkan perasaan dan pikiranku semua berwarna hitam karena sejak pagi tadi aku sudah tahu bahwa aku akan berkabung hari ini.

Jangan kau tanya bagaimana aku bisa mengetahui hal ini! Mudah saja, tinggal kubuka lemari pakaianku. Kulihat kemeja berwarna hitam maka kukenakan, sepertinya hanya celana hitam yang paling pantas untuk kemejaku, koleksi kasus kakiku hanya dua warna, kukenakan yang hitam karena tak mungkin yang hijau dan setinggi lutut kukenakan karena sepatu bolaku sudah jebol setahun lalu, kau juga tahu sepatuku hanya satu yang kupunya, begitu juga kacamata limaribu perak ini. Untuk celana dalam rasanya tak lucu jika kukatakan “sebenarnya aku ingin kenakan warna merah tapi Superman lebih dulu pakai warna itu” tak lucu!

Apa? Seharusnya kau sudah tahu jawaban itu. Ya, perasaan dan pikiran itu juga awalnya kusimpan dalam lemari pakaianku, tapi entah mengapa tiba-tiba saja aku ingat kau, setelah kutimang-timang sepertinya memang cocok dengan kemeja, celana, kaus kaki, celana dalam dan kacamataku. Tidak kawan, tidak sekedar memadu padankan warna hitam semata. Kau tahu Henry Ward Beecher pernah berkata `In friendship your heart is like a bell, struck every time your friend is in trouble.`

Pagi tadi, tiba-tiba saja lonceng dalam dadaku berdentang ribuan kali, itu saja yang perlu kau ketahui. Ribuan kali juga kukatakan padamu kawan, bumi ini terlampau tua menahan kecongkakan mahluk kecil bernama manusia bahkan atas nama kemanusiaan!

Banten, 29 September 2009
-jangan tanya mengapa lonceng dalam dadaku berdentang ribuan kali-

Sabtu, Oktober 03, 2009

Tuhan mempertemukan kita lagi dititik bencana

-kepada Kika Syafii-

Tuhan mempertemukan kita lagi dititik bencana, kawan
maaf aku menyanggupi janji pertemuan kita disini
tak nyaman memang
tapi harus... harus disini kawan

karena disini pertemuan kita akan berarti

Tuhan
mempertemukan
kita
di titik
bencana
lagi

kawan

maaf tak nyaman memang
beda dengan
cafe
mall
atau
waterboom

tapi harus disini kawan
disini setidaknya bisa berarti
pertemuan kita ini

setidaknya kita telah menanam benih senyum pada bibir bocah-bocah
disini
meski
hanya
setitik

Tuhan mempertemukan kita di titik bencana
agar
kita
sadar
karena

disini pertemuan kita akan berarti, meski hanya setitik!



*Koelit Ketjil*








Kamis, Oktober 01, 2009

Kembali ke Titik Nol ”De Groot Postweg”



(Catatan Perjalanan dan Perenungan dari Prasasti 0 KM Jalan Pos Anyer-Panarukan yang dibuat oleh Herman Willem Daendels )






Demi Kejayaan Keraton Surosowan, Leluhur kami bersabda;
Gawe Kuta baluwarti bata kalawan kawis*

Demi Kemerdekaan, Pejuang kami berteriak;
Pertahankan Banten dengan iman dan semangat juang

Demi apa entahlah? Kami, generasi muda
(seharusnya) melanjutkan kejayaan dan perjuangan
Tapi kami tak tahu harus memulai dari mana...

(Koelit ketjil, 12 Agustus 2009)




Rencana telah disepakati, titik dan waktu pertemuan telah ditentukan. Dimulai dari Pos I Jakarta, dua kawan bergerak menuju Kota Serang mengendarai sepeda motor, Saya di Kota Serang sebagai Pos II siap menanti, setelah kawan-kawan Jakarta singgah sejenak melepas lelah, perjalanan kami selanjutnya menuju Cilegon yang kami tunjuk sebagai titik tunggu (Pos III) tepat di simpang jalan keluar tol Jakarta-Merak. Tiga kawan lama telah menanti, meski terjadi sedikit kesalahan kordinasi dan perubahan waktu sesuai rencana, kesepakatan kecil dibuat kembali tanpa kawan kami si ’juru kunci’ atau ’yang punya Anyer’ maka kami pun bersiap menuju lokasi tujuan; Mercusuar Cikoneng Anyer.

Rencana yang kami rancang bukanlah agenda ekspedisi besar, sekedar mengulang kembali betapa berwarnanya memori persahabatan kami semasa sekolah dulu. Penentuan lokasi Anyer bukanlah lokasi alakadarnya atau sekedar menikmati suasana pantai untuk melepas kepenatan kami setelah beraktifitas masing-masing tapi Pantai Anyer merupakan titik ’bersejarah’ bagi kami. Proses perkembangan masa remaja dan rekatnya persahabatan kami banyak terjadi di pantai Anyer, salah satunya Mercusuar Anyer menjadi saksi proses tersebut.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009)

Menara Suar Cikoneng DSI 2260 (istilah dari Departemen Perhubungan) atau Mercusuar Anyer menjadi salah satu ’tonggak sejarah’ dalam persahabatan kami, setidaknya ada dua momen tak terlupakan bagi kami. Pertama, berkat Mercusuar Anyer inilah pertama kalinya Guru Matematika kami yang dikenal sebagai ’Guru Killer’ bernama Pak Edi tertawa terbahak-bahak setelah mendapat jawaban polos dari salah satu kawan kami yang berasal dari Anyer terkait dengan tinggi Mercusuar Anyer.

Betapa terkejutnya kami melihat fenomena langka ini, dalam kelas yang selalu dicekam suasana seram dengan gaya mengajar Guru yang terbiasa dengan didikan semi-militer ini (konon beliau pernah menjadi pengajar di STPDN), jika kami telat masuk kelas maka hukuman berupa push up, squash jump atau bending adalah hal biasa terjadi, belum lagi jika ada gerakan murid yang dia anggap aneh (misalnya; menggoyang-goyangkan kaki dibawah meja) maka detik itu juga eksekusi hukuman dilaksanakan (aneh bukan?). Kawan kami yang membuat Guru Killer itu sampai tertawa terbahak-bahak menjadi bingung dan kikuk dengan fenomena ini, begitu juga kawan-kawan satu kelas tak tahu harus bereaksi seperti apa? Harus ikut tertawakah atau cukup diam atau menyuruh agar diam guru yang tertawa itu?

Catatan kedua adalah ketika kami menjadi saksi pergantian tahun 1996-1997, tidak ada fenomena yang begitu menarik saat itu memang, hanya malam tahun baru seperti biasanya tepat dibawah menara putih menjulang tinggi di tepi Pantai Anyer yang berkarang yang terbentuk dari sisa lahar yang membeku bukti kedahsyatan Gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1883. Konon katanya efeknya dapat terasa hingga Australia bahkan Eropa sempat diselimuti awan (debu) hitam yang terbawa angin.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009)

Saat masa sekolah dulu tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya dan kawan-kawan untuk mengetahui cerita apa di balik Mercusuar itu? atau bagaimana sejarah kejayaan Kesultanan Banten dahulu kala? Tragisnya sampai dengan detik ini saya masih juga belum mengenal dan memahami bagaimana sejarah kejayaan dan apa yang menjadi ciri khas Banten dalam perkembangannya sebagai kampung kelahiran saya ini? bisa jadi karena saya kurang mengenal jati diri Banten akibat sifat apatis saya selama hidup di Banten? atau boleh jadi karena saya tidak mendapatkan pengetahuan ini sejak di bangku sekolah? atau bisa juga karena orang tua saya yang tidak menceritakan seperti apakah sejatinya Banten itu sendiri? sehingga menciptakan kondisi ahistoris (tidak mengenal sejarah) tapi keyakinan saya, orang tua saya pun tidak mendapatkan cerita tersebut dari nenenda begitu juga leluhur saya sebelumnya.

Lalu yang kemudian menjadi pertanyaan dalam batin saya, apakah leluhur saya juga apatis terhadap sejarah dan perkembangan Banten hingga menjadi enggan untuk menceritakan kepada keturunannya? Sebagai manusia yang diberkahi rasa penasaran, saya sering berdiskusi dengan beberapa kawan dengan tema ‘seberapa kita mengenal kampung halaman kita?’ hasil dari diskusi panjang yang menghabiskan puluhan batang rokok, beberapa bungkus kacang garing dan bergelas-gelas kopi panas tersebut sampai pada kesimpulan ternyata kami tidak mengenal lebih dalam mengenai Banten bahkan mungkin yang kami ketahui hanya pada permukaannya saja, bisa jadi hanya serupa lapisan debu pada permukaan meja yang belum dibersihkan sejak pagi tadi. Apakah leluhur kami (saya dan kawan-kawan diskusi) juga apatis?

Tamparan kesadaran bagi saya pribadi kemudian adalah; “apakah kami dibentuk sebagai generasi apatis terhadap sejarah kampung halaman kami?” Saya masih ingat ajaran dari orang tua yang konon juga diajarkan dari nenenda bahwa jika kehilangan benda yang sedang kita cari maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah DIAM terlebih dulu lalu kemudian BERGERAK menuju pada tempat pertama kali yang diingat lalu MENCARI secara perlahan, teliti dan sabar artinya hikmah yang saya dapatkan adalah jika saya kehilangan gambaran sosok Banten maka pertama kali yang harus saya lakukan adalah merenung (diam) -bukan diamnya pikiran- tetapi kemudian menuju titik awal kesadaran maka berarti saya harus menuju titik nol dari sejarah peradaban Banten dalam hal ini sebagai contoh saya membuat rencana berkunjung menuju Banten Girang, Keraton Tirtayasa, Keraton Surosowan dan situs-situs bersejarah lainnya sebagai titik awal proses pencarian jawaban kegelisahan saya. Salah satunya adalah TITIK NOL KILO METER ANYER-PANARUKAN.

Historia docet! Begitu pepatah lama mengingatkan kita bahwa sejarah itu memberikan pelajaran. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer lewat tokoh Minke dalam salah satu karya tetraloginya dalam novel Jejak Langkah; "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,” Kesimpulan singkat yang dapat saya ambil dari dua wejangan itu saja, bahwa saya bukanlah generasi pembelajar, maka gambaran generasi pecinta negeri sangatlah jauh dari harapan.
Pucuk di cita, ulam pun tiba! Beberapa hari setelah diskusi-diskusi malam bersama kawan-kawan (kami tengah merintis sebuah embrio Komunitas/Forum Kajian yang kami beri nama Babad Banten) ternyata dilain kesempatan beberapa kawan lama semasa sekolah menghubungi saya dan mengusulkan reuni kecil khusus kawan-kawan akrab saja, lokasi yang dituju sudah dapat diterka; PANTAI ANYER. Titik spesifik: MERCU SUAR ANYER.













(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, perjalanan (menuju-sampai) MercusuarAnyer)

Rombongan motor kami sampai pada lokasi, saya tidak tahu secara pasti jarak dari Kota Serang menuju Mercusuar ini, namun jika diperkirakan sekitar satu setengah jam saja waktu tempuhnya dengan gaya berkendaraan touring santai (kecepatan tidak lebih dari 70 km/jam), setelah membayar tiket parkir per motor sebesar Rp. 5.000,- kami langsung menuju kaki menara suar tersebut namun sayang saat itu pintu menara terkunci. Beberapa foto kami abadikan lewat jepretan kamera digital, bisa kami gunakan sebagai bukti sejarah pertemuan-persahabatan ini untuk anak keturunan kami kelak. Dekat kaki mercusuar itu teronggok sebuah benda menarik, unik, eksentrik berupa sebuah motor honda 70 (honda pitung) dengan sejenis ’gerbong’ berupa rumah sementara (caravan) beratapkan daun sirap yang ditarik motor tua itu, namun ada kekaguman yang muncul dalam benak kami ketika kami melihat tepat di bagian depan motor itu terdapat plang bertuliskan; ”LUKIS JALAN KAKI TAHAP II JAKARTA-ANYER-PANARUKAN ROUTE JALAN DEANDELS; 1300 KM SEDEKAH UNTUK SEJARAH KI JOKO WASIS. MENGISI & MENGHIASI 100 TH KEBANGKITAN NASIONAL. MOHON DUKUNGAN DAN DOA RESTU”.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada kendaraan yang digunakan Ki Joko Wasis)


Tulisan yang sama juga dapat dilihat pada bagian atas ’caravan’ sementara hampir seluruh bagiannya terdapat karya-karya lukisan dan potongan berita dari beberapa media cetak yang meliput gerakan luar biasa yang dilakukan Seniman Ki Joko Wasis ini. Subhanallah... luar biasa! Setiap orang memang mempunyai cara tersendiri untuk ambil bagian. Tidak hanya penyair saja, gerakan ini berarti menolak tegas klaim yang dilontarkan oleh Chairil Anwar ”yang bukan penyair tidak ikut ambil bagian”.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada kendaraan yang digunakan Ki Joko Wasis)

Konon lokasi berdirinya menara suar ini sengaja dipilih pemerintah Hindia-Belanda saat itu salah satunya adalah sebagai penanda bahwa dari titik itulah mega proyek pembuatan jalan Anyer-Panarukan yang diprakarsai oleh HW Daendels. Banyak informasi sejarah terkait pembangunan jalan ini, tidak sedikit juga yang membuat bingung bagi siapa saja yang coba mencari tahu sejarah dibalik proyek jalan ini, namun sejauh usaha saya (yang kurang telaten ini) yang penasaran untuk mengetahui perihal menara suara hanya sedikit orang yang mengetahui sejarah menara suar ini.

Sebagaimana sempat saya singgung sedikit mengenai lokasi berdirinya menara suar, tak jauh dari titik berdirinya terdapat sejenis prasasti/tugu kecil terbuat dari semen yang bertuliskan ”0. KM ANYER-PANARUKAN 1806” saya ambil beberapa foto disini. Saya perhatikan sejenak ternyata prasasti kecil ini tepat berada dalam lingkaran berlantaikan batu bata, ketika saya tanyakan kepada kawan saya, menurut dia sebenaranya disinilah letak menara suar pertamakali yang pernah ada, hal ini juga diperkuat dengan informasi dari salah seorang penjaga menara suar hanya saja dari keduanya saya tidak mendapatkan informasi yang lengkap.

Sepulang dari Anyer, rasa penasaran saya semakin memuncak lalu kemudian saya berusaha mencari informasi mengenai menara suar ini lewat bantuan piranti pencari Google, maka saya mendapatkan beberapa artikel mengenai hal ini. Salah satunya yang saya dapatkan dari website Harian Radar Banten http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=1910, dari artikel ini saya ketahui bahwa mercusuar ini merupakan hadiah dari Raja Belanda ZM Willem III, pada 1885. Hadiah ini diberikan untuk mengganti mercusuar lama yang hancur akibat terjangan letusan Gunung Krakatau pada 1883. Mercusuar yang hingga kini masih berfungsi dengan baik itu dibangun L I Enthoven & Co, sebuah perusahaan konstruksi Belanda.



(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada pintu mercusuar)

Saya bisa menerka informasi ini didapatkan dari prasasti berbahasa Belanda yang menempel pada dinding menara ini tepat diatas pintu masuk, tertulis; ”ONDER DE REGEERING VAN Z.M WILLEM III KONING DER NEDERLANDEN... dst... DE RAMP VAN KRAKATAU VERNIELD. 1885” meskipun saya tidak paham bahasa Belanda namun jika saya perhatikan tulisan pada prasasti itu terdapat kata Z.M WILLEM III merupakan Raja Belanda saat itu dan pada kalimat terakhir disebut-sebut Gunung Krakatau yang telah menghancurkan mercusuar yang semula pada Tahun 1883 kemudian digantikan dengan mercusuar yang saat ini masih berdiri kokoh sejak Tahun 1885.

Upaya pencarian singkat saya lewat internet tidak memuaskan rasa penasaran saya, dari beberapa artikel yang didapati mengenai info mercusuar nampak terlihat informasi copy paste saja. Isinya seputar perancang mercusuar yang tidak diketahui dan berbentuk persegi 12 ini. Mercusuar ini setinggi 75,5 meter terdiri atas 18 lantai. Dinding mercusuar terdiri atas lempengan baja dengan ketebalan 2,5 – 3 cm, juga sedikit informasi insiden yang menjadi bukti sejarah perihal lubang pada lantai 2 dan 12 yang terkena peluru meriam saat penjajahan Jepang

Setelah membaca artikel ini kemudian saya lihat kembali dokumentasi foto ternyata benar adanya bahwa sisa pondasi batu bata berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 4-5meter ini dengan sejenis prasasti kecil ditengahnya merupakan penanda titik nol proyek pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang fenomenal itu. Baru saya sadari dari titik inilah sejarah peradaban dan perkembangan Banten dan Indonesia bermula, betapa tidak, meskipun pembangunan jalan ini pada awalnya untuk kepentingan penjajah namun dalam perkembangannya banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan demi pembangunan Indonesia.


(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, pada tugu ”Titik Nol” dapat terlihat lingkaran sisa pondasi mercusuar lama)

Saya berimaginasi seolah-olah saya menjadi Indiana Jones atau Lara Croft yang berpetualang dalam situs-situs peninggalan peradaban luhur dan berhasil mengungkap misteri dari lembaran-lembaran naskah manuskrip dan catatan-catatan sejarah, hanya saja dengan keterbatasan diri maka ‘petualangan’ itu hanya dapat dilakukan dengan cara melompat dari satu buku ke buku lainnya hasil terbitan percetakan modern dan penjelajahan situs-situs maya (website internet atau blog) serta mendengarkan paparan kejayaan Banten masa silam lewat diskusi dengan beberapa kawan diskusi dan rekan kerja, namun keinginan pribadi saya ini ternyata juga di-amin-i oleh beberapa kawan untuk melakukan gerakan budaya-ilmiah dengan terjun langsung pada simpul-simpul sejarah itu secara langsung. Selain dari Titik Nol Daendels ini saya bersama seorang kawan juga pernah datang langsung pada sisa puing-puing Keraton Surosowan Banten, InsyaAllah dalam kesempatan lainnya akan saya ceritakan.

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari satu titik ini saja, karenanya dalam kesempatan ini saya ingin mencoba menceritakan kembali secara ringkas hasil temuan saya yang sembrono ini, namun karena kelemahan saya dalam penggalian sejarah semoga dapat dimaklumi dan semoga menjadi berkah kesempatan berdiskusi bagi siapapun yang membaca tulisan ini. Selain (sangat) sedikit informasi mengenai mercusuar diatas, dari titik nol yang sama dapat kita ketahui sejarah dibalik itu.

Mengutip pemikiran Hegel bahwa ide dianggap sebagai sebab utama timbulnya proses sejarah dan kondisi materiil (sosial, ekonomi, teknologi dan militer) masyarakat dianggap berasal dari dan disebabkan oleh ide besar, bahwa ide tak hanya menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya. Kiranya ada korelasi (benang merah) pendapat tersebut dengan fenomena bersejarah pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang diperkirakan berjarak 1.000 km. Tujuan awal pembangunan jalan ini sudah dapat dipastikan demi keuntungan pemerintahan kolonial saat itu, terutama jika kita cermati dengan melihat kembali pada sejarah kehadiran Herman Willem Daendels di Banten ini sebagai perwakilan dari pemerintahan kolonial.


(logo diambil dari http://kompas.com Ekspedisi/Napak Tilas Kompas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan”)


Menurut sejarawan Joko Marihandono yang dikutip dalam Kompas, 15 Agustus 2008, (lebih lengkap silakan kunjungi http://kompas.com/read/xml/2008/08/15/07535978/daendels.pun.mendarat.di.anyer.) sejarah ini berawal dari ide HW Daendels yang dituangkan dalam proposal tentang rancangan kebijakan yang akan diterapkan dalam Nusantara (Hindia Timur) yang diajukan dihadapan Napoleon Bonaparte di Paris sebagai pemimpin tertinggi karena saat itu Belanda telah menjadi salah satu wilayah kekuasaan Perancis, beralih sistem menjadi Republik Bataaf (1795-1806) dan dipimpin oleh Louis Napoleon atau orang Belanda menyebutnya sebagai Lodewijk Napoleon. Rancangan itu disepakati maka HW Daendels setelah mendapatkan restu dan promosi kenaikan pangkat dari Kolonel Jenderal menjadi Marsekal kemudian Daendels berlayar menuju Banten, namum perjalanan ternyata tidak semulus yang diharapkan karena saat itu dalam eksalasi perpolitikan dunia terjadi pem-blokade-an laut yang dilakukan oleh armada perang Inggris, sehingga Daendels pun harus melakukan berbagai trik agar bisa mendarat di Banten.

Daendels memulai perjalanan dari Eropa tanggal 18 Februari 1807, secara singkat rute yang diambil dimulai dari pelabuhan Bordeaux lalu mencari jalur alternatif ke Lisabon di Portugal kemudian menuju Maroko namun dia tertimpa masalah kehilangan semua dokumen karena dirampok bajak laut. Berhasil meloloskan diri ke Kepulauan Kanari hingga menyewa kapal Amerika, Virginia yang mengantarnya menyelinap ke Pulau Jawa. Perjalanan panjang yang memakan waktu 10 bulan ini mengantarkan Daendels di Pulau Jawa pada tanggal 1 Januari 1808.

(foto diri HW Daendels diambil dari http://kompas.com Ekspedisi/Napak Tilas Kompas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan”)


Paparan sejarawan Joko Marihandono yang telah melakukan penelitian komprehensif mengenai Daendels ini kiranya dapat meluruskan ’prasasti’ Titik Nol KM yang terletak tepat di sisa pondasi mercusuar lama karena disitu tertulis angka tahun 1806, sementara jika kita bandingkan dengan pemaparan diatas bahwa Daendels mendarat tepat pada tanggal 1 Januari 1808 maka sangat tidak mungkin mega proyek tersebut dimulai pada tahun 1806, saya rasa ketidaktepatan penentuan tahun dalam ’prasasti’ ini wajar saja terjadi karena jika melihat secara fisik maka dapat disimpulkan bahwa ’prasasti’ ini belum lama dibuat dan tidak digarap secara serius karena tidak diperkuat dengan patokan sejarah, namun cukup berguna bagi saya sebagai generasi muda yang ahistoris ini setidaknya mengingatkan bahwa di titik inilah penanda tonggak sejarah besar peradaban modern Indonesia dimulai.




(dokumentasi pribadi/WAPPEN/2009, tugu ”Titik Nol” yang juga dikenal sebagai tugu tanam paksa)

Media besar seperti Kompas pun telah melakukan inkonsistensi dalam pengutipan waktu sejarah, dapat dilihat pada http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/14/06221595/ekspedisi.daendels.belajar.dari.sejarah.sebuah.jalan, tertanggal 14 Agustus 2008 yang merupakan kumpulan artikel berseri ini adalah upaya Kompas melakukan Napak tilas yang mengambil tema ”200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan” sebagai salah satu tonggak sejarah ini, dari artikel tertanggal 14 Agustus 2008 tersebut tertulis ”5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer, Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra dari negeri Belanda” bandingkan pada artikel berikutnya http://kompas.com/read/xml/2008/08/15/07535978/daendels.pun.mendarat.di.anyer, hanya berselang tepat satu hari setelahnya, tertanggal 15 Agustus 2008; ”Herman Willem Daendels memulai jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat dia menapak Pulau Jawa, tanggal 1 Januari 1808 dengan menumpang kapal Virginia.” jadi terdapat dua patokan tanggal yang berbeda (selang 4 hari) dari kedua artikel tersebut.

Hal ini mungkin sekilas dianggap sebagai remeh-temeh namun dapat berimbas pada generasi berikutnya yang akan diombang-ambing dengan kebimbangan sejarah, sebagai contoh besar yang bisa kita lihat dalam buku pegangan sejarah yang ada sejak jaman saya sekolah dasar yang dikenal dengan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang tertanam dalam pikiran saya adalah citra heroik Soeharto dalam menumpas gerakan G 30/S/PKI maupun kontroversi SUPERSEMAR kemudian baru-baru ini muncul sejarah dengan versi yang berbeda yang dapat dilihat dari acara telusur sejarah dalam berbagai stasiun televisi.

Terlepas dari itu semua era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang relatif singkat ini, hanya tiga tahun (1808-1811), membawa dampak yang sangat besar
(Semoga masih kuat bikin sambungan tulisan ini)
(Koelit ketjil, 12 Agustus 2009)