Tepat di bundaran persimpangan jalan protokol, sekumpulan kecil mahasiswa tengah melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang mengambil momentum Hari Sumpah Pemuda. Satrio tak kuat menahan tubuhnya bergetar hebat. Tak pernah sekalipun badannya tidak merinding jika mendengar lagu Darah Juang berkumandang, lampu merah beberapa menit yang menghentikan laju kendaraannya dimanfaatkan sebisa mungkin untuk menghayati lagu itu. Tak terasa tangan kanannya mengepal pasti dan diletakkan di dada kirinya, menghayati serapan lagu itu dalam hatinya. Hampir saja kepalan tangan kirinya hendak dia acungkan tinggi ketika sekumpulan mahasiswa itu menyanyikan bait “Mereka dirampas hak…tergusur dan lapar… bunda relakan darah juang kami…” darahnya langsung berdesir membangunkan seluruh bulu-bulu kuduknya, pikirannya langsung melayang membawa dirinya pada situasi beberapa tahun silam, ketika dia berada pada barisan terdepan demonstrasi besar-besaran penggulingan rezim Soeharto, berlari kemuka mengibarkan selembar bendera besar berwarna merah bergambar bintang.
Suara klakson kendaraan-kendaraan lain di belakang membangunkan dirinya dari mimpi indah masa lalunya, sempat terdengar gerutu seorang pemuda yang melintasi motor patrolinya “Ooo..Buser koq ngelamun di lampu merah!”
****
Dea masih terlentang damai menikmati setiap detiknya di hamparan padang rumput ini. Kepalanya bertumpu pada kedua lengannya, ribuan batang rumput menunduk-melambai tertiup sepoi angin serupa gulali putih pada pasar malam, langit biru cerah, kumpulan burung pipit terbang membentuk formasi, tubuh-tubuh ringan puluhan capung berwarna keemasan melayang ringan di hadapan pandangannya, sebuah pesawat terbang melintas lambat jauh di atas, tangan usilnya membuat penghalang imaginer bagi pesawat yang melintas itu. Senyumnya merekah lebar, hatinya lega seluas padang rumput ini, sebuah lagu dari handphonenya diputar berulang dengan setting loudspeaker, sore ini Dea tertidur di padang rumput belakang rumah. Puluhan panggilan tak terjawab tidak dia hiraukan, begitu juga beberapa sms bernada mengancam tak ada yang terbalas satupun, “Dea, kamu dimana sih?! Mamah dan Papah malu menghadapi keluarga besar Noto Raharjo. Kamu ini niat untuk bertunangan atau tidak?!!!”
Sanggul itu dilepasnya dan dilempar tinggi-tinggi, sebungkus rokok dikeluarkan dari balik kebayanya, mirip mbok-mbok di pasar tradisional ketika membayar tempe bacem pilihannya, dihisapnya dalam-dalam rokok slim itu dan dihembuskan sepuas mungkin ke udara bebas, botol pipih tipis berbahan stainless stell berpindah tempat setelah menyentuh bibir tipisnya. Dea berteriak keras, “I`m single but i`am very happy!!!!!” aroma alkohol menyeruak, hari ini usianya tepat tiga puluh lima tahun. Senyumnya semakin merekah.
****
Jayadi Rahmat, melonggarkan ikatan dasinya yang terlalu ketat dan menghambat sirkulasi oksigen pada saluran pernapasannya, kancing manset dilepas lalu melinting kemejanya setinggi ujung sikunya. Butiran keringat yang mengalir deras dari dahi dia seka dengan setangan yang mengeluarkan semerbak harum bunga lavender tapi Jayadi Rahmat menikmati teriknya matahari dan debu yang beterbangan di sekelilingnya. Terbiasa dalam ruangan AC membuat tubuhnya menjadi rapuh. Bagaimana tidak? Masuk rumah sudah disambut sejuknya pendingin ruangan, begitu juga hendak istirahat di kamar tidurnya, duduk di kursi belakang mobil mewahnya juga bersuhu sama, begitu juga ketika pegawainya membukakan pintu kantor tempatnya bekerja sudah terasa menghembuskan kesejukannya, sama halnya ketika hendak makan siang pada restoran berkelas sudah pasti tak kalah sejuknya. Lama-lama tubuhnya serupa ikan bandeng yang dibeli tiga hari lalu, tergolek kaku pada lemari pendingin.
Senyum-senyum sumringah yang menunjukkan geligi berwarna kuning kecoklatan dari anak-anak kecil berbau aroma matahari yang menguap dari sela-sela ribuan helai rambut mereka yang sudah berwarna coklat kusam itu semakin membuat Jayadi bersemangat untuk terus membacakan cerita anak. Gitar-gitar kecil dan sepotong kayu pendek dengan rangkaian tutup botol pipih saat ini tidak berbunyi sama sekali. Lampu lalulintas beberapa kali berwarna merah terabaikan, padahal detik-detik selama lampu itu berwarna merah adalah detik pengharapan kehidupan mereka. Seorang berpenampilan perlente dengan jas mahal mendekati Jayadi Rahmat dan berbisik penuh hormat, “Pak Menteri mohon maaf mengganggu, saat ini Bapak Presiden sudah menunggu di istana, rapat kordinasi mengenai pembatalan program sekolah gratis sudah dimulai dua jam yang lalu.” Jayadi Rahmat dan anak-anak tidak merasakan kehadiran orang itu, hiruk pikuk jalan raya Ibu Kota pun tak terdengar sama sekali. Hanya sayup-sayup suara radio dari balik bajaj butut yang mangkal memutarkan sebuah lagu milik Iwan Fals, “Oleh karena itu bebaskan biaya pendidikan. Biar kita pandai mengarungi samudera hidup. Biar kita tak mudah dibodohi dan ditipu. oleh karena itu biarkan kami sehat. Agar mampu menjaga kedaulatan tanah air ini. Negara...negara...negara harus seperti itu”
-Koelit Ketjil, 28 Oktober 2009-
apa kabar Pemuda-Pemudi Endonesa ini hari?