Selasa, Februari 23, 2010

Barang sejenak!

tunggulah barang sejenak
tidak lihatkah aku tengah menikmati ini semua;

keheningan malam yang terpecah oleh tretes air
atmosfer dini hari pada ruang sempit mengabut asap tembakau
desir angin menepuk dedaunan alpokat di luar kotak
desakan dalam diri yang berontak keluar

aku harus melayani ini,

sampah ini juga perlu perhatian
serupa kau jua bukan?
seketika ingin terlampiaskan
serupa geisha berbalut kimono, ini pelayan

ahh, rupanya kau tak sabar menunggu!
baiklah kulayani kalian
disini...
di WC ini


-KK-

21 feb 2010
posted from WC jongkok

Rabu, Februari 17, 2010

Ali Topan, Sang Pemberontak dan Kritik Sosialnya






..lanjutan Reportase Jalanan II...


”Sialan lu, Nir! Gue serius nih!” kata Ali Topan, bersemangat, ”kalo dulu-dulu sih, gue masih bisa tahan. Sekarang udah kelewatan banget orang tue gue. Yang laki jadi bergajul, yang perempuan jadi tante girang. Blangsak banget,” sambungnya. (ATWJ, halaman 51)


Sebenarnya saya masih sangat ingin mengorek kehidupan rumah tangga keluarga Amir tempat Ali Topan tinggal tapi saya rasa gambaran tulisan sebelumnya dan awal tulisan ini bisa dianggap sebagai representasi gejolak batin seorang anak broken home and generation gap ini. Saya ingin mengajak kawan-kawan berdiskusi tentang nilai guna seorang yang dianggap tidak berguna oleh lingkaran terdekatnya tapi justru sangat didambakan oleh lingkaran yang lebih besar lagi, yaitu masyarakat atau society!


Mengawali karirnya sebagai wartawan jalanan, Ali Topan mulai mencari berita, di jalanan tentunya. Dia tidak menunjukkan cara interview tipikal antara wartawan dengan narasumber tapi sekedar berbincang layaknya obrolan warung kopi. Pernah dalam sebuah acara perayaan hari kemerdekaan Republik ini, Ali berbincang dengan seorang bapak yang tengah membawa anaknya melihat iring-iringan parade. Pepen, si anak, merengek-rengek minta dibelikan permen, meski hanya bersisa uang Rp. 50 di kantongnya, akhirnya sang bapak tetap saja memberikan.


“Yaah, namanya anak kecil… segala permen yang nggak bisa bikin kenyang perut dibeli. Sebetulnya uang lima puluh perak kan dapat secangkir beras,” gumam ayah Pepen dengan wajar. ---
Ali Topan banyak kenal dengan gembel-gembel, tukang becak, tukang-tukang parkir, bocah tukang semir sepatu, kaum gelandangan sejenis itu. Ia tahu, mereka juga kerja sangat keras untuk mencari uang, tapi wajah mereka jarang kelihatan sedih dan muram seperti pesuruh kantor yang sekarang duduk di sebelahnya…..(ATWJ, halaman 110-111)


Ali Topan banyak sekali belajar dari lingkungan sekitarnya, bukankah semua orang adalah guru dan alam raya merupakan sekolah kita? Prinsip ini saya pribadi pegang erat-erat. Ali Topan menangkap nilai iklas yang sesungguhnya lewat sekolah yang bernama jalanan. Membaca dua halaman pada novel ini saja, pikiran saya menjadi penuh, pepak dengan gambaran realita sosial saat itu dan masih terjadi hingga detik ini.


”Kalo tidak pasrah mau apa? Mau protes sama Tuhan?” ---
”...... tapi kalo saya tidak pasrah dan istri saya tidak tabah, barangkali sudah lama saya bunuh diri atau masuk bui! ---- Ketiban susah melulu di jaman yang katanya serba membangun ini! Apa yang dibangun? Gedung-gedung mewah dan pabrik-pabrik mobil untuk orang kaya? Tapi rakyat kecil dan bodo kayak saya ini, siapa yang mikirin? Nyekolahkan anak satu aja setengah mati susahnya!” katanya dengan nada keras, seakan melampiaskan beban berat pikirannya kepada Ali Topan. …..(ATWJ, halaman 111)


Tiba-tiba saja Ali Topan seolah mendapatkan klien dan berperan menjadi psikolog dengan metode katarsis (tempat sampah batin) bagi narasumbernya. Satu peran yang mungkin jarang ditemukan di kalangan jurnalis saat ini terutama ’wartawan’ infotainment yang justru bikin sakit hati siapapun yang coba korek-korek kehidupan pribadinya. Adegan ini justru memberikan gambaran yang kuat sekali bahwa jika saja wartawan menerapkan pola yang sama maka gelontoran berita akan keluar dengan sendirinya.


Selain itu juga pergulatan batin ayah Pepen banyak dialami di hampir semua rakyat Repubik ini yang secara tegas diposisikan berada di bawah garis kemiskinan oleh pemerintah kita, di Republik hari ini masih juga terjadi fenomena orang tua yang sampai-sampai terpaksa membunuh anak-anaknya dan dirinya, menelantarkan anak-anaknya, stres mengancam terjun dari menara telepon seluler atau gedung bertingkat hanya untuk kabur dari kenyataan pahit yang mencekik.


Kita bisa mengetahui bahwa pesuruh kantoran (yang mendakwakan dirinya sebagai orang miskin dan bodo) itu sesunguhnya memiliki kedalaman pemikiran yang luarbiasa! keasikan mereka bercurhat ria terganggu dengan kemunculan seorang oknum aparat, tapi bukan Ali Topan jika dengan insiden ini menjadi kecut.


Kentara betul ingin mengesankan sebagai Polisi yang berwibawa. Dimata Ali Topan, ia lebih mirip jagoan lenong yang menggelikan----

Ali Topan kambuh nekadnya. Sikap oknum yang sok jagoan dan sewenang-wenang menegurnya itu, bikin gerah kalbunya. …..(ATWJ, halaman 112)


Ali Topan memberikan shock therapy buat si oknum, dia meminjam kamera milik kawannya, lalu berjalan santai mendekati oknum yang petenteng-petenteng itu. Semua orang yang berada di sekitar situ sudah menerka akan terjadi keributan, akan ada seorang pemuda kena pukul pentungan oknum polisi dan bakal diseret ke kantor polisi, tapi apa yang terjadi..... justru ketika didatangi Ali Topan, tiba-tiba si oknum itu ngeloyor pergi dengan ekspresi wajah kikuk!! Harry, kawan akrabnya yang semula paling khawatir sekarang menjadi orang yang paling penasaran, begitu juga orang-orang di sekitaran.


”Gue tanya dia, minum berapa botol tadi malam, kok maboknya baru sekarang.....” kata Ali Topan. Grrr! Orang-orang ketawa serempak mendengar jawaban sembrono itu. …..(ATWJ, halaman 113)


Bujug buneng! Plokis (polisi) dibecandain!! Ali Topan memang paling bokis (bisa) dengan caranya sendiri dalam hal ini, melakukan aksi tapi tidak perlu sesumbar atas apa yang telah dia lakukan. Kecurigaan saya pun sama seperti orang-orang itu, tidak mungkin Ali Topan mengatakan hal itu pada si oknum, bisa saja dia mengancam si oknum akan menerbitkan tingkah lakunya ke dalam surat kabar tapi siapa yang tahu, wallahu alam bissawab!


Perampokan Kickers di Sarinah, 20 langkah dari Pos Polisi” merupakan judul berita pertamanya dalam karir sebagai wartawan, judul ini muncul ketika tak lama setelah adegan di atas, mereka menemukan seorang anak yang ditodong lalu arloji, sepatu dan uangnya dirampas. Kabar buruk adalah Berita baik, jika tidak salah ini menjadi prinsip para jurnalis, saya memang tidak memiliki basic jurnalistik sama sekali meski pernah mengikuti training dasar (buangeett) jurnalistik, itupun semasa kuliah dulu. Kalimat terakhir pada judulnya itu menurut saya merupakan tamparan untuk institusi terkait, kejadian penodongan sudah dianggap menjadi hal yang lumrah terjadi di Ibu Kota tapi jika hanya berjarak 20 langkah dari pos yang seharusnya membuat takut para perampok, justru inilah yang bakal menjadi berita.


“Tulisanmu ekspresif, kadang impresif, dan berani menggunakan ungkapan-ungkapan khas jalanan. Bolehjuga. Relatif original, baik gagasan maupun penyampaiannya,” kata GM, si Redpel pada hari pemuatan artikel pertama dari seri tersebut. …..(ATWJ, halaman 168)


Demikian penilaian seorang jurnalis sekelas GM (tentu saja GM yang satu ini bukan inisial seorang kawan (brad) saya dari Negeri Tlatah itu, hahaha). Sosok Ali Topan sudah pandai membuat berita sensasional mengingat dia hanya otodidak dan ini berita pertamanya, tentunya hal ini tdak terlepas dari sang penulis, Teguh Esha, yang pernah kuliah jurnalistik meski tidak selesai.


Republik kita, hari ini juga masih cemas dengan ketidak jelasan Undang-undang Pers yang menjadi mandul karena tidak adanya aturan pidana di dalamnya. Mengapa menjadi mandul? Karena pada kenyataannya ketika ada permasalahan pidana dalam hal penyampaian berita, yaitu seputar;
1. Pencemaran (smaad)
2. Pencemaran tertulis (smaadschrift)
3. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
4. Fitnah (laster)
5. Fitnah pengaduan (lasterlijke aamklacht)
6. Fitnah tuduhan (lasterlijke verdachtmaking)
Maka UU Pers ini menyerahkan kembali kepada KUHP, sehingga dengan demikian UU Pers tidak dapat menjadi Lex Specialis Derogat Legi Generali? Jika konsisten terhadap asas peraturan yang lebih khusus (UU Pers) mengesampingkan peraturan yang umum (KUHP) sudah seharusnya segala permasalahan itu diselesaikan oleh UU Pers, tapi bagaimana mungkin jika hal tersbut tidak diatur didalamnya.


Dalam prakteknya penanganan masalah ini cukup diselesaikan dengan Kode Etik, celakanya lagi, di Republik kita tercinta ini terdapat dua Kode Etik dalam dunia wartawan, yaitu; Kode Etik Jurnalistik dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan Kode Etik Wartawan Indonesia (dari aliansi wartawan dan beberapa perusahaan Pers) yang terdapat perbdaan cukup fundamental dalam penanganan komplen seseorang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan.


Pada Bab 13, entah memang sengaja diplotting oleh sang penulis atau tidak, saya menemukan pengalaman tersialnya Ali Topan, di banyak kebudayaan masyarakat angka ini merepresentasikan kondisi sial! Saya tak hanya ingin menggambarkan kembali kesialan Ali Topan pada bagian ini tapi justru disinilah kritikan paling berani dilakukan oleh Ali Topan, betapa tidak, pada bagian ini simbol teragung milik Republik ini telah diusik olehnya, dengan memplesetkan Lagu Kebangsaan; INDONESIA RAYA!


“Kami akan menyanyikan satu lagu yang syairnya ditulis oleh kawan saya Ali Topan yang sedang makan roti bakar. Judul syairnya Indonesia Kaya. Melodi lagunya adalah refrain lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman. Lagu ini diusulkan menjadi lagu kebangsaan he…he…he.. Selamat mendengarkan he he he,” celoteh Surman. …..(ATWJ, halaman 171)


Teguh Esha ringan saja menyampaikan hal yang begini berat dan berbahaya ini, mengingat simbol negara dan kondisi pemerintahan saat itu –saat ini juga masih deh- memang masih sensitif akan hal-hal yang dianggap berbau menganggu ketertiban dan keselamatan negara. Kita pernah tau grup Koes Bersaudara (Koes Ploes) pernah masuk bui akibat lagu-lagunya.


Saya tidak akan menuliskan syair plesetan itu, bukan karena saya takut akan terror pemerintah terhadap kebebasan berpendapat dan membela pemerintah ini tapi menurut saya, WR Supratman saat itu tidak pernah berniat untuk mendoktrin atau melanggengkan hegemoni kekuasaan pemerintah, saya percaya WR Supratman membuat lagu itu semata-mata agar rakyat memiliki kesatuan tekad. Entah apa alasan penulis memasukan plesetan lagu itu dan nama Surman itu! Aih, sungguh mencurigakan sekali, saya menduga ini sebagai plesetan dari WR Supratman, padahal bisa saja dia memberi nama Bejo, Parjo, Susila, Bambang atau Yudha bahkan Yono! Jika hendak melakukan kritik terhadap negara.


Jelas hal ini langsung mendapatkan respon dari salah satu penguat kelanggengan rezim, setelah kedua pengamen itu menyanyikan lagu plesetan tersebut. Perhatikan, kawan-kawan pasti akan akrab kembali dengan isitlah di bawah ini;


”He! Kamu SUBVERSIF ya!” lelaki cepak berteriak dari tempat makannya sambil menuding Surman. ---- ”kamu mau makar ya?” katanya.
”Mbakar apa, Pak?” kata Surman dengan muka bloon...... (ATWJ, halaman 172)


Istilah itu diberi huruf besar oleh saya sendiri, sebagai penegas belaka. Kata sakti ini sangat ampuh dan sering kali digunakan rezim untuk membungkam sikap kritis rakyatnya yang berada dalam cengraman kekuasaannya. Istilah ini sempat menghilang tapi kemudian muncul kembali dengan wajah yang lebih manis lagi namun jauh lebih absurd; ”perbuatan tidak menyenangkan” pasal karet, subjektif sekali dan absurd sekali bahkan semua orang dapat menggunakannya.


Ali Topan sebenarnya tidak terlibat secara langsung atas perkara ini, hanya saja dia tengah berada di lokasi yang sama ketika pengamen itu tengah mencari nafkah karena memang niatnya ingin mewawancarai kedua temannya itu. Bisa jadi Surman dan Tresno pun menyanyikan lagu itu karena bertemu dengan Ali Topan, si pencipta lagu plesetan itu, di tempat yang sama.


Bukan Ali Topan jika hanya tinggal diam termangu ketika kawan akrabnya bermasalah dengan oknum aparat, terlebih mereka mendapatkan masalah itu karena lagunya sendiri.
”Urusannya apa dulu nih? Kawan saya ini salah apa sama Anda?” tanya Ali Topan.
”Urusan belakangan! Sekarang kalian ikut saya!” kata orang itu.
”Loh anda ini siapa kok main bawa orang?” kata Ali Topan. Harry memotret adegan itu.
”Saya intel! Kamu mau apa? Ayo ikut semua!” orang itu membuka jaketnya dan menongolkan sepucung pistol kaliber 35mm yang tergantung di dadanya. (ATWJ, halaman 172-173)


Sebuah adegan tipikal yang kerap dipraktekan petugas keamanan Republik ini, dari dulu hingga sekarang tak banyak berubah, mungkin karena ini berupa PROTAP (Prosedur Tetap) ya..jadi tidak berubah, tetap saja begitu! Hanya saja ada yang lucu dari gambaran adegan ini, masak intel rambutnya cepak! Hahahaa.. jadi teringat dengan tulisannya Seno Gumira Ajidarma, dalam MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI? Galang Pers, 2001.


INTEL:
Mbak Tumirah, perkenalkan saya Intel.

TUMIRAH:
Lho, intel kok bilang-bilang?

INTEL:
Ya, lebih baik bilang terus terang toh? Daripada diam-diam lantas kepergok dan digebuki?

TUMIRAH:
Itukan kalau intel goblok.

INTEL:
Lha saya ini termasuk intel goblok Mbak Tumirah. Bener! Lha wong saya ini menyamar, tapi orang langsung tahu saya ini intel kok!

TUMIRAH:
Lho kok bisa?

INTEL:
Waktu mahasiswa diskusi, saya langsung masuk. Lha mahasiswanya gondrong-gondrong, rambut saya cepak sendiri. Hihihi! Mana sabuk saya juga sabuk dinas, sepatu saya juga, dan HT saya krosak-krosak delapan anam terus… (MKCAK?, halaman 72)


Kawan-kawan pasti dapat menerka dan sepakat dengan komentar Mbak Tumirah setelah intel itu berbicara. (silakan terka sendiri kira-kira apa?) Hahahaa…tapi intel hari ini memang tak sebodoh intel itu, rambut dan penampilan mereka lebih funki, tidak lagi pake jaket kulit tapi begitu dilepas jaketnya mereka mengenakan kaos oblong bertuliskan ”KORP RESERSE” jiaaahhhh... eksistensi!


Membaca kedua buku itu asyiknya bukan kepalang, karena mereka menampilkan hal yang menyeramkan tapi menyajikannya dengan jenaka hingga menimbulkan respon tawa geli bagi kita pembacanya. Mari kita bergeli ria;
”Kasus subversib! Mereka coba-coba bikin makar di Blok M,” kata intel yang membawa anak-anak jalanan itu.
”Wah, kita karungi saja,” kata si petugas piket (ATWJ, halaman 174)


Pembicaraan itu didengar oleh Surman dan Tresno yang membuat Surman jadi kalang kabut akan nasib mereka masing-masing di dalam sel Kodim itu, tapi lain halnya dengan Ali Topan;
”Lhu ajha yhang dikharungin,” kata Surman
”Mana karungnya? Bawain sepuluh trok, entar gue borongin ke tukang loak Taman Puring,” kata Ali Topan.
”Inhi anhak ghimanha shiih? Oghut mngomhang sherius kok mhalah bhecandha bhae.. ” gerutu Surman .....(ATWJ, halaman 175)




Namun akhirnya mereka tidak mau tenggelam dalam teror mental itu, tidak mau ambil pusing dengan tuduhan subversif para intel, mereka menghibur diri dengan menyanyikan lagu dari grup band Koes Bersaudara yang pernah mengalami dinginnya sel penjara hanya karena penguasa rezim orde lama memberi label ’musik ngak-ngik-ngok’ pada aliran rock and roll yang mereka bawakan. Lagu yang ditulis ketika mereka masih DI DALAM BUI.
.......
.......
Kuncikan semua pintu
Matikan semua lampu
Kamar kurungku
Hatiku kan tetap tenang
Karena ada sinar terang
Dari Tuhanku.....

Usai menyanyikan lagu itu, tiba-tiba lampu sel mereka padam. Dan terdengar teriakan si Kopral, ”Ayo nyanyi teruus! Lagu-lagu Koes bersaudara ya! Kalau berhenti saya karungi kalian!” (ATWJ, halaman 176)


Kira-kira apa yang ada dalam benak mereka?
Ternyata si Kopral datang, menyalakan lampu sambil melemparkan sebungkus rokok Dji Sam Soe!!! Karena komandan mereka menyukai lagu itu! Mereka pun bersepakat menyanyikan lagu-lagu romantis koleksi milik Koes Bersaudara (Telaga Sunyi, Lagu Untuk Ibu, Pagi Yang Indah Sekali, Kisah Sedih di Hari Minggu, Why Do you Love me, Kembali ke Jakarta,dll). Anehnya lagi setiap satu lagu selesai justru disambut tepuk tangan meriah para tentara. Saya jadi curiga, jangan-jangan mereka sebenarnya suka dengan suara para pengamen ini hanya saja jaim kalau di muka umum, hahahahha. BTW, lagu yang mana yang menjadi lagu favorit bagi kawan-kawan?


Lagu-lagu Koes Bersaudara maupun Koes Plus memang menjadi lagu favorit saya dan kawan-kawan. Sewaktu masih di Jogja, kami sering mendendang lagu-lagu itu hingga menjelang subuh, bersyukurnya si pengamen berusia remaja itu, saya lupa namanya karena kami bisa menyebutnya dengan sapaan Koes Min (sungguh plesetan sekali!) Saking banyaknya lagu yang dia hafal dari koleksi Koes Plus sampai-sampai saya sering berteriak setiap habis satu lagu “Yaa.. lagu berikutnya! lagu ke 275.. BUJANGAN!” hahahhaa.. malam-malam yang menyenangkan di angkringan Kopi Joss Lek Man yang berlokasi tepat di tepi pagar Stasiun Kereta Api Tugu Jogja itu memang tak terlupakan!


Mau tau kisah Ali Topan selanjutnya??
Tunggu saja postingan berikutnya!
Atau kalau mau lebih puas lagi, beli bukunya! Itu juga kalau dapet! Hehehehhee.. buku langka neh


Terimaksih telah berkenan membaca tulisan remeh-temeh ini yang duoowwoo tenan!

trimkokas


...bersambung....


-Koelit Ketjil-
Kota S, 15 Februari 2010-02-17

Selasa, Februari 16, 2010

REPORTASE JALANAN II


-->


(SAMBUNGAN….sebuah catatan menikmati Ali Topan dengan cara gue!)


Saya merasa novel ATWJ ini bisa saja dijadikan rujukan sejarah untuk mengetahui kondisi kehidupan atau fenomena keluarga-sosial-budaya-politik Republik ini pada era 70an akhir dan awal 80an. Secara subjektif bisa saja saya katakan demikian karena saya memang tidak mengetahui bagaimana kondisi Republik ini pada era Ali Topan secara langsung dan kenyataannya saya memang dilahirkan di akhir tahun 1970an sementara di awal tahun 1980an jelas saya masih imut-imut dan lucu-lucunya (setidaknya saya pernah imut-imut), tapi semoga dengan kita membaca bersama maka akan terjadi kesimpulan-kesimpulan subjektif dalam pikiran kita yang pada akhirnya menjadi kesimpulan objektif (metodologi ilmiah macam apa ini!)


Ali Topan dan Fenomena Kondisi Keluarga

Ali Topan bukanlah satu-satunya korban dari keluarga broken home saat itu dan saya masih melihat fenomena ini sepanjang hidup saya maka bisa jadi hal ini masih tetap akan terjadi di masa depan, tiada maksud dalam diri saya untuk mendahului kehendak Tuhan, namun jika kita mau jujur, membuka mata, menajamkan pendengaran bisa jadi di dunia maya ini saja banyak sekali kecenderungan-kecenderungan yang mengarah pada penyebab fenomena broken home ini. Secara pribadi saya juga telah membuat beberapa tulisan saya yang bergaya serampangan (Putera Para Monster, Audi et Alteram Partem, Audiatur et altera pars, Menertawakan UUPKDRT Lewat Tontonan SSTI, Jalan Lantang). Kali ini saya berkata jujur bahwa sumber inspirasi tulisan tersebut adalah 70% fakta dan sebelum saya up load terlebih dulu saya mintakan ijin dari orang bersangkutan, selebihnya sekedar imajinasi saya belaka. Niatan saya tidak hanya sekedar menyajikan potret buram ini melainkan rencana besar saya yaitu; mari berdiskusi bagi kepentingan terbaik untuk anak-anak.


Harry membiarkan Ali Topan dalam kegalauan perasaannya sendiri. Ia sungguh heran. Ia banyak mendengar istilah broken home dan generation gap di Koran, tapi baru kali ini secara telak disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri buktinya. Sepasang mata Ali Topan berubah-ubah sorotnya. Redup dan garang saling bergantian. Tragik banget. (halaman 92)

Apakah kita harus tertampar secara telak seperti Harry, kawan akrab Ali Topan ini untuk mengakui adanya fenomena yang nyata-nyata ada di hadapan kita? Terkadang kita merasa harus iba, simpati atau empati terhadapa satu fenomena tragik yang jaraknya jauh dari diri kita, maka tepatlahkiranya pepatah lama mengatakan ”gajah di depan pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan jelas terlihat”.


Ali Topan berontak bukan sekedar ikut-ikutan generasinya tapi memang terciptakan dalam kondisi sedemikian rupa yang sangat tidak nyaman dalam kehidupan keluarganya. Mari kita menjadi saksi bagaimana sosok seorang Ali Topan ketika berada dalam rumah orang tuanya.


Kamar itu kamar pribadi, kamar perenungan. Poster ”A house is not a home” masih menempel di dinding ----- Deretan kaset-kaset Koes Bersaudara, The Beatles dan The Rolling Stones tertata rapi di rak kaca. Buku kumpulan syair Bob Dylan --- Dihidupkannya radio, Donna-donna Prambors Rasisonia memenuhi ruangan kamar. (halaman 17)

Remaja yang memiliki kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya bisa jadi akan menempelkan tulisan “Home Sweet Home” atau setidaknya kalimat manis itu selalu menempel dalam kalbunya, sehingga dia selalu kangen untuk pulang karena home adalah sebuah place atau space tempat kita tinggal dan kembali pulang, bukan sekedar bangunan house belaka!


Untuk menyakinkan diri akan pendapat ini, saya bahkan memerlukan membuka kamus Oxford yag tebalnya menandingi paha gajah itu. Di halaman 595 terdapat penjelasan mengenai;

Home/haum/ n 1 (a) [C, U] place where one lives, esp with one`s family (mungkin seperti ini terjemahannya; tempat dimana seseorang hidup/tinggal. Bahkan contoh kedua dari kata ini dalam penggunaaan kalimat saja sudah sangat sesuai sekali dengan gambaran kegalauan hati Ali Topan, “He left home (ie left his parents and began and independent life) at sixteen. Bisa jadi maksudnya adalah “Dia meninggalkan orang tuanya dan mulai mandiri ketika berusia enam belas tahun” mungkin demikian, but correct me if i`m wrong. Mari kita lihat apa definisi ‘house’ dalam kamus ini pada halaman 605.
House/haus/ n (pl~ s/ hauziz/0 1 [C] (a) building made for people to live in, usu for one family or for a family and lodgers. Kita bisa ketahui secara sekilas saja bahwa arti dari building adalah bangunan secara fisik, bukan begitu?


Keyakinan saya diperkuat lagi setelah membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia, JS. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, pada halaman 1183-1185 terdapat 52 frase kata yang dimasukan dalam istilah ”rumah” yang menarik 48 pengertian disitu kesemuanya menerangkan tentang bangunan fisik belaka seperti; rumah bordil, rumah jagal, rumah sakit, rumah jompo dan lain-lain, sementara sisanya; 3 merupakan bagian awal dari peribahasa, satu lagi menerangkan tentang rumah tangga.


Sejak pertama kali saya membaca ATWJ ini, terus terang saya sudah merasa tertohok oleh tulisan poster di kamar Ali Topan itu, karena sepengetahuan saya yang awam ini hanya pernah mendengar istilah ”home sweet home” itu pun diterjemahkan oleh warga Republik ini menjadi ’rumahku istanaku’ tapi ’a house is not a home’ baru kali ini saya temukan itupun dalam sebuah novel ini, fiksikah ini? Entahlah yang pasti saya pribadi merasa tertohok oleh slogan itu.


If children lives with acceptance and friendship
They learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
mereka belajar menemukan cinta dalam kehidupan)


Salah satu nukilan dari sebelas tawaran tulisan Dorothy Law Nolte ini, bagi gerakan perlindungan anak sering kali dianggap sebagai pedoman atau ‘kitab kuning’ bagaimana seharusnya orang dewasa yang mengaku sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya.


Hal ini senada dengan tulisan Heri Purwanto, dalam buku Pengantar Prilaku Manusia, halaman 25, “Pengaruh orang tua dan lingkungan masa kanak-kanak ini tidak berhenti pada masa kanak-kanak saja, tetapi berlangsung terus, kadang-kadang sampai seumur hidup, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman-pengalaman yang menegangkan, menakutkan dan menggoncangkan, membahayakan dan lain-lain.”

Muhibbin Syah dalam dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru memasukan dalam pengertian perkembangan itu dengan merujuk Dictionary of Psychology sebagai The Progressive and continous change in the organisme from birth to death, (halaman 42)

Ali Topan tidak menemukan figure yang tepat dari lingkaran terdekat dirinya, jika kita meninjau dari kacamata psikologi anak maka dalammasa perkembangannya anak akanmengalami fase identifikasi, dimana anak membutuhkan sesosok tokoh agar menjadi sama dengan orang lain itu. Masih dalam buku yang sama, Heri Purwanto lebih lanjut menerangkan “Pada anak, biasanya tokoh yang ingin disamai (tokoh identifikasi) adalah ayah dan ibunya. Dalam proses identifikasi ini, anak mengambil alih (biasanya dengan tidak disadari oleh anak itu sendiri) sikap-sikap, norma-norma, nilai dan sebagainya dari tokoh identifikasinya.” (PPM, halaman 26)

Ali Topan remaja sebenarnya adalah sosok yang wajar saja jika dia melakukan pencarian jati diri, hal ini juga dimahfumi dalam dunia psikologi.


“Dia sudah bertekad, sejak lulus SMA lepas pula ketergantungan ekonominya dari orang tua. Dia mau cari hidup sendiri. Dan hidup itu berarti makan, minum, rokok, tempat berteduh dan kemajuan pribadinya (ATWJ, halaman 21)


Muhibbin Syah masih dalam dalam bukunya yang sama memberikan karakteristik Tugas-tugas Perkembangan masa remaja, tepat kiranya pada point ke lima dan ke enam dalam pemaparannya;
5. Mencapai kemerdekaan/kebebasan emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya dan mulai menjadi seorang ‘person’ (menjadi dirinya sendiri).
6. mempersiapkan diri untuk mencapai karier (jabatan dan profesi) tertentu dalam bidang kehidupan ekonomi. (PPdPB, halaman 54) *loh kok.. tulisannya jadi sejenis skripsi gini ya??!!*
Itu sebabnya Ali Topan dipaksa menjadi kreatif dengan mulai bekerja apa saja; merangkai bunga pada kiosnya Munir, belajar menjadi fotografer diajarkan oleh kawan akrabnya, Harry bahkan mulai menjadi menulis artikel dalam surat kabar dengan bimbingan wartawan senior, GM! Lalu yang menjadi pertanyaan dalam diri saya pribadi adalah; ”Apakah Teguh Esha sebagai penulis, telah memahami dasar-dasar keilmuan psikologi dalam menciptakan karakter Ali Topan sebagai jiwa yang bebas ini, hingga bisa sedemikian berkesuaian dengan teori-teori psikologi?.


Rasa salut saya tujukan pada beliau yang mampu membuat tulisan sedemikian detail baik dalam hal imaging pembaca masuk kedalam lokasi yang dia gambarkan secara gamblangnya dari berbagai dimensi baik dari ukuran, aroma, arah mata angin, benda-benda berdekatan dengan objek, suhu ruangan, laju kecepatan bahkan dalam penggambaran gejolak batin (kejiwaan) yang berdasar pada keilmuan terkait. Jika saya lihat biografi singkatnya pada lembar terakhir buku ini, ternyata beliau pernah kuliah di tiga kampus berbeda dengan tiga jurusan yang berbeda pula; arsitektur, publisitik, dan ilmu sosial, namun sayangnya tak ada satu pun yang selesai. Luar biasa!


Konflik batin dengan orang terdekatnya yang nota bene sedarah dan sedaging dengan dirinya begitu hebatnya. Terutama ketika vis a vis dengan Ayahnya yang telah dia dakwa sebagai Ayah yang gagal karena telah mendasari hubungan Ayah-anak semata-mata hubungan kepemilikan, bahwa jika hubungan serupa ini tidak ada ubahnya dengan bisnis semata, maka berontaklah Ali Topan jika hubungan Ayah -Anak sekedar disamakan dengan urusan bisnis. (ATWJ, halaman 21)


Amarah yang tidak sepatutnya diluapkan oleh seorang Ayah pada anaknya jauh lebih tidak patut lagi dipertunjukkan ketika Ali Topan tengah bersama kawan akrabnya;

Pandangan matanya redup menatap sepasang mata ayahnya yang bersorot angkuh. “Konci motornya jugasudah Ik terima, tapi kamu lupa belum mengasihkan STNK-nya. Awas jangan kamu gadaikan surat itu, anak buajingan!” ucap pak Amir. Sambil meludah kearah Ali Topan. ”Cuiiih!”
Saddiss! Gumam harry spontan. Ia samapai bengong terlongong-longong mendengar ucapan dahsyat itu. Dipandangnya adegan ganjil antara ayah dan anak. (ATWJ, halaman 91)

(bersambung lagi..ahhh)
-Koelit ketjil-
Kota S, 14 Februari 2010