Sabtu, Mei 29, 2010

A `till Z (zzzzzzz….)


Aku memulai tulisan ini dengan huruf “A” sekedar mengikuti hukum awal dan keberakhiran, hukum yang kubuat sendiri tanpa premis, tanpa aturan, sekedar saja, sekedar mengikuti irama jemariku pada tombol-tombol dingin keyboard yang telah lama membeku, menantikan kehangatan vibrasi dari ujung jemariku. Menulis..menulis dan terus menulis! Maka kekasih yang bernama linguistik biarlah kali ini kau berdiam saja, simpan kritikmu pada dinding-dinding perskriptif kelu; kontemporer!


Mari kita buktikan saja bentuk akhir dari proses menulisku yang jauh dari bentuk gagasan agung; kreatifitas! Adakalanya manusia, homo sapiens ini diperbolehkan menjajal sesuatu yang baru, lepas dari konsep, jauh dari kontruksi tata bahasa yang telah berabad lamanya terpahat pada prasasti literasi pujangga, bahkan aku yakini (tanpa dasar apapun) para pujangga manapun kiranya pernah mencoba berontak dari kungkungan aturan baku, sekedar kiraku belaka! Pranata mana `kan mendakwaku sebagai pesakitan pada gelanggang mahkamah agung sastra?


Masih ingatkah kita akan sejarah manakala Sang nabi Kesusastraan Nusantara ini pernah menduduki kursi gusar pada pengadilan konyol itu? Atas nama kesucian agama maka tergelarlah dagelan majelis sastra. Seorang pengecutkah yang bersembunyi di balik nama samaran? Atau justru mereka yang berlindung pada benteng perselingkuhan hukum manusia dan keangkuhan hikayat Nabi Tuhan? Ah, sudahlah… biarlah kita nikmati gelar sebagai bangsa pelupa, kaum abai yang telah terkutuk ini.


Silakan saja kalian hitung jumlah monemnya! Bukankah ini forum terbuka, seterbukanya ujaran daftar monem pada bahasa purba sekalipun. Bukankah kelahiran kalimat menimbulkan kehidupan baru? Adakah kelahiran akan menciptakan keniscyaan jumlah berbatas pembaharuan? Salahkah Bunda mengajarkan bahasanya kepada kita? Haruskah manusia mencapai tingkatan pemahaman Bahasa Tuhan? Sampai pada sebuah titik yang mengharuskan kita berujar; me duele la cabeza! ketika kita dipusingkan dengan ujaran penanda amalgam yang tak terpahami?


Mengadulah pada bunda ilmu; filsafat, jika keraguan menyadarkan kita kembali pada masa pedagogic sebagai tanda belum lagi dianggap akil balig. Meraung-raunglah kita setiap kali kita tersadarkan tak mampu mencapai jenjang kognitif karena tingkatan intelektualitas kita belum juga hinggap pada dahan analisis, jauh dari ranting sintesis terlebih tak pernah mengicipi buah evaluasi hanya terpaku pada tatar ingatan, bersandar pada pokok pemahaman tak lagi mampu menerapkan makna P.E.N.D.I.D.I.K.A.N.


Lihat.. lihatlah Maha Guru kita itu! mereka masih terjebak pada variable presage. Buntu pada pojokan pengalaman yang berputar-putar pada lingkup strata sosial, masih juga membedakan kepemilikan jenis kelaminnya masing-masing; penis atau vagina-kah! Padahal mereka sudah lapuk oleh gerogot sunatullah waktu. Terpetakanlah mereka itu dalam kotak-kotak latar belakang jenjang keilmuannya masing-masing sembari menyusun kursi kehormatan, dimulai dari ilmu ubin terus bertingkat serupa piramida maka terlihatlah pada pucuk itu hanya seorang diri bertengger.


Mereka-mereka itu, dari golongan entah manakah datangnya pada beton-beton megah padepokan akademia ini? Seseorang dari kumpulannya maju dan berkoar-koar hingga berbusa mulut dan hidungnya, rangkaian kalimat-kalimat indah mulus meluncur, sebuah agitasi ciri khas tipe pengajaran kaum sophist yang sukses diserap oleh turunan muridnya. Begitu lincahnya mendeskripsikan ratusan definisi, model-model klasifikasi serta selalu berpatokan pada hukum-hukum keilmuan yang telah termahfuzkan. Kemudian dipanggilnya belia-belia akademia ini, ditugasinya para belia untuk menghafal kitab-kitab yang tertulis oleh para sophist pendahulunya, dibebaninya mereka agar meniru apa yang telah dicontohkan dari busa mulut itu, dibekalinya tanggungjawab berupa hipotesis.


Jauh dari kemegahan akademia, seorang renta bertubuh buntal sedikit rambut ikal pada kepalanya dengan jubah sahajanya mengajak berbicara pada setiap orang di alun-alun kota. Mencukili opini-opini pedagang rokok, menguliti petugas penarik karcis pajak dengan rentetan pertanyaan awam, si pengajak bincang mendapati jawaban berupa alasan-alasan beragam hingga tak ada lagi pasokan alasan dari kawan diskusinya. Selepas si pengajak bincang berlalu dengan langkah gontainya dengan selipan rumput di bibirnya, barulah tersadarkan pada puluhan manusia di alun-alun ini manakala dalam benak mereka bergejolak kontradiksi antara keraguan mentalitas bercampur sensasi pengalaman analitik yang sama sekali baru mereka rasakan lewat diskusi singkat itu saja. Tersadarkan bahwa mereka tidak tahu apa yang selama ini mereka anggap sebagai kebenaran yang telah membatu dalam bentuk keyakinan pengalaman. Mengertilah mereka bahwa setiap orang merupakan guru.


Tepat diseberang alun-alun kota, pada sebuah gedung tua yang dahulu bernama gereja negara. Dentang lonceng menandakan bergeliatnya sebuah perdebatan dalam atmosfer khidmat aula beratus lilin yang berkedip genit. Berdiri pada sebuah podium seseorang yang sering kali meneriakan ujaran; Sic et Non! Dia menggoyahkan pondasi keimanan jemaat yang ditampu oleh pundak Petrus, Dia melontarkan isu sensitif; rekontruksi keimanan trinity, mempertanyakan kegunaan sakramen, mengajak ratusan jemaat untuk mengamati kisah jual-beli surat penebusan dosa. Dia yang meninggalkan sisa perdebatan dengan dua pilihan di kolom kegamangan; Sic atau tidak, tanpa upaya perdamaian.


Mari singgahlah sejenak diantara rerimbunan dahan mahoni yang sesekali menggugurkan bunganya yang berkitir, sedikit melawan hukum gravitasi lewat penampangnya, sebuah proses yang kemudian mengilhami kegunaan baling-baling pada moncong pesawat. Hutan hujan tropis ini menyajikan gudang ilmu; flora, fauna, hewan renik, fotosintesis, kekerabatan dalam kerajaan hewani, pola interaksi-organisasi gerombolan semut, kelembaban suhu yang menyuburkan pepakuan, siklus air, kerumitan rantai makanan serta ratusan cabang keilmuan tanpa sekat fakultas.


Bukankah the great university is universe? Mengamati pelajaran suguhan Maha Guru alam, menjadi pengetahuan yang terpatri pada pikiran menggugah init kebijakan diri dengan mengoptimalkan segala berkah indra. Ahh, tak terasa ada beban dari proses belajar ini. Guru alam tak pernah menugasi pekerjaan rumah segalanya diselesaikan disini, hamparan alam pula yang menyajikan jawaban itu, kita tinggal memetiknya.


Ahhh.... sejuknya semilir angin di tepian bukit penuh ilmu ini, dari A berakhir pada Z zzzzzzzzzz..........



-Koelit Ketjil –

Kota S, hari ini adalah Tanggal 29 Bulan Mei masih di Tahun 2010