Senin, Januari 31, 2011

mencuri mimpi



Mimpi Alenta Untuk Sembuh Telah Sirna


Mengabarkan kerja sosial apakah nantinya merusak nilai pahala atau justru menyebarkan virus, bagaimana pendapat kawan?

Terror dilematik ini kami hadapi ketika kami menangani kasus Alenta (3th) yang menderita penyakit hydrocephalus (pembesaran kepala) tempo hari. Untuk menaikkan kabar ini pun saya harus berdiskusi terlebih dahulu dengan beberapa kawan, kami tidak ingin, sudahlah upaya kami hanya berupa geliat kecil belaka masak harus pula terusak nilai pahalanya karena kami harus mengabarkannya kepada khalayak ramai. Keraguan kami justru datang dari dalam diri kami sendiri yang sedikit banyak terpengaruh oleh nilai-nilai agama seperti; jika bersedekah upayakan tangan kiri jangan sampai tahu atau ibadah tak harus dipertunjukkan kepada orang lain karena bisa menjadi riya, atau mungkin kawan punya dalil lainnya?

Terlepas dari itu, kasus Alenta yang ditemukan oleh Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan (FKKADK) Propinsi Banten yang diketuai oleh Ibu Bilqis dari sebuah rumah yang cukup sederhana di sebuah kampong di Kabupaten Rangkasbitung-Banten. Temuan ini kemudian diteruskan kepada pihak yang paling berwenang dalam hal ini adalah Jawatan yang (seharusnya) bergerak di bidang sosial milik pemerintah daerah setempat, FKKADK yang juga banyak dibantu oleh salah seorang Pekerja Sosial (peksos) jawatan tersebut yang kemudian melaporkan kepada pimpinannya namun kekecewaan dia terima sendiri akibat banyak kendala birokratik yang harus dihadapi padahal sederhana saja bantuan yang diharapkan dari jawatan tersebut yaitu transportasi dari daerah terpencil itu menuju Bintaro-Tangerang, itu saja. Apalah sulitnya meminjamkan salah satu mobil dinas jawatan tersebut?!

Panjang dan berbelitnya jenjang birokratik tersebut tidak dapat ditolerir oleh penderitaan Alenta kecil yang sudah tiga tahun harus menahan penderitaan (akan diceritakan sejarah singkat kondisinya kemudian), informasi dari lembaga donor yang harus secepatnya ditangani karena ini juga berkaitan dengan program operasi dari dokter-dokter RSCM Jakarta dan panjangnya daftar tunggu (waiting list) penderita serupa Alenta, singkat kata jika Alenta tidak segera dibawa maka kesempatannya untuk operasi akan menunggu waktu entah kapan lagi. Menurut informasi dari pengurus YSI, biaya operasi dan perawatan bisa mencapai angka seratus juta lebih, kesempatan terlangka adalah donasi untuk biaya operasi!

Ketua FKKDAK yang kebetulan juga pengurus LPA Banten kemudian menghubungi saya dan beberapa kawan untuk mencarikan solusi ini, saya rasa bagi siapapun yang mendengar kabar ini pasti akan bergetar hatinya dan akan mengupayakan sekecil apapun yang bisa dilakukan, tak perlu menjadi aktivis sosial atau menjadi pejabat jawatan sosial, asal syarat utama yaitu; hati, harus masih peka. Secepatnya kami saling berhubungan satu sama lain, satu kawan mengabarkan; tidak ada kendaraan!, kawan lain memberi kabar ada kegiatan lain!, kawan satu lagi bilang; mobil ada tapi driver tidak ada! Oke, kendaraan sudah ada maka yang diperlukan berikutnya adalah driver yang tentunya mengetahui medan dari Serang-Rangkas-Bintaro maka kami pun saling berhubungan satu sama lainnya untuk mencari driver (bahkan sempat saya jadikan status fb, meski tanpa respon komen!). salah seorang kawan menyanggupi sekalipun dia belum lama menguasai mobil dan tidak punya SIM.

Malang tak dapat ditolak, malam sebelum keberangkatan kami, baru kami temukan satu kendala kecil namun bisa berakibat fatal, ternyata salah satu ban mobil itu berlubang bagian luar dan terlihat ban dalamnya sedikit menyembul mendorong keluar, kendala berikutnya; ban cadangan sama tidak layaknya. Segera kami saling berhubungan satu sama lain untuk mencari solusi, Tuhan selalu bergerak secara misterius, Alhamdulillah ada solusi.

Hari Minggu pagi, 30 Januari 2011, kami sudah tiba di rumah yang cukup sederhana di sebuah pelosok desa, begitu kami turun dari kendaraan, saya merasakan aura hati tersayat jauh lebih pedih ketimbang mendengar kabar via telepon. Subhanallah, bocah kecil itu masih tersenyum ketika menyambut kami dibalik penderitaannya itu, seorang kawan berbisik “saya lebih memilih berada di tengah medan perang ketimbang ada disini saat ini”. Kami tak ingin tersita banyak waktu disini, segera saja kami berangkat setelah memastikan segala keperluan telah siap.

Sepanjang perjalanan, lewat penuturan Nenek dan Paman dari Alenta, hati kami semakin terasa tersayat-sayat. Semoga apa yang saya sampaikan ini tidak melukai perasaan pihak tertentu karena saya hanya akan mengabarkan apa adanya. Alenta kecil terlahir secara normal, namun beranjak 3 bulan mulai terlihat kelainan dari kesehatannya terutama di bagian fisik kepalanya, sejak saat itu kesehatan Alenta semakin menurun dengan kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan maka pasokan gizinya tidak terpenuhi dengan baik.beberapa kali Alenta dibawa ke puskesmas manakali sakit namun yang disayangkan mengapa pihak puskesmas yang nyata-nyata menemukan kasus Alenta tidak memberikan rujukan ke rumah sakit yang lebih memadai?

jika ada proses ini maka seharusnya rumah sakit sudah bisa melakukan tindakan setidak-tidaknya pihak rumah sakit memberikan arahan kepada orang tua agar mengurus segala sesuatu yg diperlukan, contoh; membuat Surat Kemampuan Tidak Mampu (SKTM), membuat ASKESKIN karena seharusnya mereka menjadi prioritas pelayanan atau jika pemerintah tidak ingin mengeluarkan biaya syukur-syukur membuka hubungan dengan pihak terkait yang lebih kompeten dalam memberikan pelayanan atau mencarikan donatur untuk biaya operasi, kenyataannya Alenta harus menderita hingga 3 tahun padahal tulang tengkorak kepalanya sudah mengeras karena sudah lewat dari 3 bulan diperparah tanpa tindakan medis maka tulang tengkorak kepalanya akan terus mengeras sehingga tidak ada lagi kemungkinan kepalanya menjadi kecil lagi dalam ukuran normal.

Kami dibuat terhenyak bagai dada kami ini dipukul godam ribuan ton ketika dengan sedikit getir, Sang Nenek menuturkan Bapak kandungnya tega meninggalkan Alenta kecil berusia empat bulan itu. Nada emosi kental kami rasakan ketika Pamannya menambahkan informasi keberadaan Bapakknya yang hanya berjarak tak lebih dari tiga kilo meter dari rumah tempat Alenta kecil tergolek lemah bahkan Bapaknya tidak mengakui memiliki anak bernama Alenta! Sekali lagi saya tidak berniat melukai perasaan atau menyerang harga diri dari pihak tertentu, hanya memaparkan apa adanya.

Kita pun tidak pernah mengetahui secara persis seperti apa tekanan batin atau apapun yang dirasakan-dipikirkan-dialami oleh Bapak kandung Alenta kecil namun yang kita dapat ambil kesimpulan sederhana adalah adanya sebuah proses penelantaran. Di sisi lain kasih sayang dari Ibu kandungnya pun harus terenggut manakala sang Bunda dengan sangat-sangat terpaksa harus meninggalkan Alenta kecil menuju negeri Arab, menjadi TKW, hanya untuk mencari uang demi memperbaiki kesehatan Alenta. Berjudi dengan dua nyawa; anaknya dan dirinya sendiri, kita ketahui bagaimana nasib TKW diluar negeri sana tapi sang bunda tak menghiraukan berita-berita buruk mengenai nasib TKW. Tekadnya bulat; cari uang sebanyak mungkin untuk biaya operasi!

Tambahan informasi lain dari mulut Sang Nenek, lagi-lagi membuat aku harus mengelus dada, sontak mataku dan mata kawanku beradu pada satu titik, begitu mendengar bahwa Alenta kecil jika sudah menangis bisa sampai empat jam.. ya empat jam tanpa henti!! Tak ada satupun dari keluarganya yang mampu menghentikan tangisannya meskipun berbagai cara telah dilakukan baik menggendong, memberikan susu botol, mengipasi, menggosok-gosok bagian tubuh, mendendangkan lagu bahkan sampai pada titik nadir kesabaran mereka akhirnya harus membentak Alenta kecil namun tangis itu tetap tak berhenti hingga pada saatnya terhenti dengan sendiri.

Betapa seluruh indera perasa saya bergetar saat itu juga, tak terbayangkan entah betapa dahsyatnya rasa sakit-penderitaan yang tengah dirasakan oleh Alenta kecil sampai-sampai rasa sakit itu sendiri menyerah atas tubuh ringkihnya. Hampir tidak ada respon motorik yang dapat dilakukan oleh Alenta; kelopak matanya tak dapat menutup sama sekali (kita hanya bisa membedakan apakah dia tertidur atau terjaga hanya dengan indikator diam), kedua kaki kecilnya yang kering itu sudah menyilang, kedua lengannya melipat kearah dada dengan beberapa jemari menekuk penuh dan separuh, ukuran kepalanya (saya tak sanggup untuk memberikan deskripsi) namun rambutnya hitam-lebat sekali, kulitnya putih bersih, ahhh betapa bocah kecil ini pasti menjadi bidadari cantik jika kondisinya serupa dengan anak-anak pada umumnya. Saya memerlukan titik pengalihan setiap kali melihat sosok ringkih Alenta akibat desakan emosi bercampur baur.

Baik, kali ini saya menantang kawan-kawan, siapa yang tak akan tergerak hatinya jika kawan telah mendengar kabar mengenai Alenta kecil sementara kawan hanya berjarak beberapa ‘jengkal’ saja darinya? Sekalipun hati kita lambat laun mulai membatu, saya yakin, Alenta akan menghancurkannya! Tapi mari kita lihat ulah para oknum pejabat yang telah diberi makan oleh rakyat untuk bekerja menangani ratusan mungkin ribuan Alenta lainnya. Geramnya bukan kepalang ketika saya mendengar cobaan yang dihadapi kawan-kawan FKKADK ketika harus berhadapan dengan birokrasi jawatan. Dana bantuan dari pusat dengan berbagai upaya dan trik yang sedianya harus disalurkan secara langsung kepada anak-anak itu sebisa mungkin oknum-oknum jawatan pun harus turut merasakan, bahkan secara vulgar mereka mengatakan; “Nanti dulu! Jangan langsung diberikan kepada anak-anak dong, bagian untuk kami mana?!!” Tantangan kedua saya adalah (mari berandai-andai) jika kawan diberikan kewenangan (sah baik secara hukum, agama dan adat) untuk memukul oknum tersebut, apa kawan akan mengambil kesempatan ini?

Saya akan sedikit sampaikan mengenai hak-hak anak, semata-mata bukan karena misi lembaga tapi ini juga menjadi kewajiban saya sebagai orang yang pernah membaca deretan hak-hak tersebut yang tersebar dalam berbagai aturan baik secara internasional (konvensi) maupun aturan hukum nasional.

Mari kita membaca UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK atau lebih dikenal dengan UUPA (UU No. 23/2002) dalam konsiderannya bisa kita lihat;

b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;

c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;

d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;

Nyata-nyata bangsa dan negara ini menaruh harapan sangat besar bagi keberlangsungan masa depannya pada tumpuan bahu rapuh anak-anak seperti Alenta kecil tapi apa yang telah dilakukan negara ini dalam memberikan perlindungan bagi tumbuh kembang anak? Apa yang telah negara sajikan bagi kepentingan terbaik untuk anak? Sementara dalam pasal-pasal berikutnya, seperti

Pasal 1 angka 12; “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.” Saya pribadi berkesimpulan, betapa pengecutnya Pemerintah dan Negara memposisikan dirinya berada di lapis terakhir dari upaya penjaminan, perlindungan dan pemenuhan hak anak ini. Silakan kawan baca kembali konsideran diatas. Saya tidak memaksa kawan bersepakat dengan pendapat saya.

Pasal 4; “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Isi pasal ini merupakan hasil adopsi dari konvensi internasional hak-hak anak (akan saya paparkan nanti) yang merupakan kesepakatan berbagai bangsa dan mendesak agar setiap negara segera meratifikasi kedalam hukum nasional di negaranya masing-masing. Saya akan bedah beberapa pasal yang tidak relevan dan justru memperburuk kondisi anak-anak

mari sejenak kita baca secara seksama ketentuan berikut ini; Pasal 7 “(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Ketentuan pasal ini berhenti begitu saja sampai disini, coba kawan kaitkan lagi dengan lapis tanggung jawab pada Pasal 1 angka 12 diatas. Apa jadi jika anak yang tak dapat dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri sementara anak tersebut juga tidak mendapatkan orang tua asuh? Dimana posisi pemerintah dan negara?! Apakah kita harus percayakan kepada UUD Pasal 34 (1) yang berjanji bahwa; “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”?? Bukankah dalam hukum dikenal dengan asas Lex Specialis Derogat Lege Generalist (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan umum) jika UUD hanya menjadi landasan peraturan umum (ground norm) maka sudah seharusnya yang dijadikan landasan operasional adalah peraturan yang lebih spesifik (khusus).

(tak kuat lagi melanjutkan..semoga bisa bersambung)


*****


Mencuri Mimpi


Apa yang dibutuhkan seorang penyendiri ketika dini hari masih terjaga dan sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan? Sementara seluruh saluran televisi tidak lagi menyajikan hiburan menarik, hanya beberapa kuis memuakkan yang menggoda para pemilik telepon genggam agar mau membuang pulsanya sia-sia akibat iming-iming hadiah belasan juta, telepon genggam mahal model terbaru dan hadiah menarik lainnya, sungguh tidak masuk akal. Hadiah menarik sesungguhnya adalah suara mendesah, sedikit payudara menyembul dan body language si presenter yang sengaja dibuat kenes, membuat yang ngantuk jadi betah menatap layar televisi. Terbuai oleh dua godaan; hadiah menarik dan sajian menggiurkan!

Kutimang-timang telepon genggamku, model cukup lama, tidak up to date, tapi aku tidak akan tergoda oleh bujuk rayu presenter cabul itu yang menawarkan hanya dengan kirim sms akan mendapatkan merk telepon genggam terbaru yang tengah mewabah. Begitu dahsyatnya model telepon terbaru itu sampai-sampai hampir semua produsen telepon genggam membuat replika model yang hampir serupa dengan harga yang sangat jauh berbeda selisih dan tentunya keunggulan layanan yang juga tak sepadan. Tua-muda, kaya-miskin, pelajar-guru, dosen-mahasiswa, office boy-pekerja kantoran, pedangan-penjual dan berbagai kategori manusia tiba-tiba keranjingan menggunakan telepon genggam model itu dengan kedua genggaman tangannya, aktif menekan tombol-tombol, larut menatapi layar kecil, melupakan kenyataan yang ada di hadapan mereka, sungguh segala aktifitas lainnya tersita mentah-mentah manakala kedua tangan mereka yang; lembut-kokoh, malas-cekatan, lentik-kaku, kapalan-sensitif, bugar-keriput dan berbagai kondisi tangan lainnya. Mereka mengisolir diri sendiri dari dunia nyata kedalam dunia virtual-seluler pada genggaman mereka.

Beberapa nomor kawan telah terhubungi tapi tak ada satu pun yang mengangkat, hanya Misbach yang menjawab dengan bahasa dunia mimpinya yang tak kupahami sedikitpun! Sia-sia pulsaku melayang dua menit hanya untuk mendengar igauan Misbach yang mungkin secara refleks mengangkat telepon genggamnya tanpa perlu mengangkat kesadaran dirinya terlebih dahulu. Apa yang dibutuhkan seorang penyendiri ketika dini hari masih terjaga dan sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan?

Nikotin! Ya, bagiku tak pernah ada teman sejati selain lintingan tembakau itu. Kawan akrab pasti ada waktunya harus pulang ke rumah masing-masing, games terseru sekalipun jika kau ulangi beribu-ribu kali pasti akan tertemui titik jenuh, telepon genggam yang selalu berada dalam genggaman sekalipun akan serupa dengan seonggok remote televisi jika baterenya ngedrop, novel terlaris hanya menjadi idola dalam dua-tiga hari- setelah lembar terakhir terbaca hanya menjadi pelengkap koleksi dalam lemari buku, pacar tercantik hanya menjadi pasangan tersetia jika tak kau temukan sms-sms dari selingkuhannya, kawan-kawan dunia maya hanya dapat kau ajak berkomunikasi selama pulsa dalam modem masih cukup untuk membayar bandwith atau matamu tak beleran menatap monitor warnet, tapi teman sejatiku bisa tetap menemani sekalipun aku sedang bersama kawan akrab, memainkan games, ber-sms ria, membaca novel terbaru, jalan-jalan dengan pacar yang tengah sms–an dengan selingkuhannya atau tengah bersenda gurau dengan kawan-kawan dunia maya.

Tidak untuk kali ini, teman sejatiku justru menjadi musuh bebuyutan paling memuakkan! Saku jeans belelku hanya terselip korek gas, tas hanya berisi buku-buku, kaleng bundar kecil bekas wadah sumber nikotin pun tidak menyisakan sebatang pun disitu. Ahh, terpaksa harus keluar kos dini hari buta begini rupa! Menyusuri gang sempit selepas hujan sebelum tengah malam tadi, hanya ditemani beberapa ekor tikus wirog yang leluasa keluar masuk selokan menuju tempat sampah sementara kucing hitam itu cuek saja membiarkan mereka berseliweran, bagaimana tidak, tubuh mereka hampir sama besarnya, tidak ada lagi istilah kucing makan tikus, rantai makanan terputus disini, wirog-wirog itu serupa mutan dari tikus-tikus laboratorium milik professor jahat.

Aku saja harus berpikir dua-tiga kali jika berpapasan dengan wirog-wirog itu, mereka tak lagi takut dengan manusia yang melintas dekatnya, satu wirog besar dengan bulu rontok disana-sini di pojokan tong sampah itu dengan rakusnya mengganyang kepala ikan lele. Gilanya lagi, ada sepasang yang dengan cueknya bercinta tepat di tengah-tengah gang sempit ini! Aku memerlukan menyingkir beberapa jarak melintasi wirog itu, hampir berjalan menempel tembok sepanjang gang, seolah berpapasan dengan Pak RT yang tengah duduk di depan rumahnya, seperti harus menundukkan kepala dengan takjim, berjalan dengan satu tangan kanan terjulur kebawah dan tangan kiri sedikit menekuk bertemu dengan siku lengan kanan, sama sialnya seperti kucing itu yang harus sabar menunggu wirog-wirog mengobrak-abrik seluruh isi tong sampah.

Tunggu sebentar! Siapa itu? Kenapa ada sesosok mencurigakan yang mengendap-endap di depan kos-kosan putri? Sedang apa orang itu? Mengintipkah atau hendak mencuri?! Aku bersembunyi di balik pagar Wak Said, merasa aman dari pengawasan clingak-clinguk sosok mencurigakan itu, lewat sela-sela pagar besi ini aku bisa memantaunya. Gerak-gerik, model rambut dan postur tubuh orang itu sepertinya aku kenal, ketika jendela terbuka dan berkas cahaya dalam kamar itu menimpa wajahnya maka tak pelak lagi, pelakunya adalah Yugas! Yugas, siswa kelas delapan SMP, anak Pak Tarmidi pedagang tahu keliling, tapi sedang apa Yugas dini hari buta begini rupa membuka jendela kos-kosan itu? Apa Yugas ingin menyelinap masuk dan melakukan hal tidak senonoh dengan si pemilik kamar kos? Tapi kurasa kemungkinan itu sangat kecil, kalau tidak salah itu kamar Devina, mahasiswi tingkat akhir yang kerap melempar senyum ketika berpapasan di gang sempit ini, begitu sempitnya sampai-sampai tak jarang adegan senggolan kerap terjadi disini, itu juga sebabnya gang ini diberi nama Gang Senggol Asyik, tentu asyik jika mendapatkan berkah bersenggolan dengan gadis seperti Devina tapi jangan harap jika berpapasan dengan Mak Inah yang berbobot super, berjalan sangat lambat dengan tebaran batuk sepanjang dia berjalan.....

(tar lagi deh!)

(oke lanjut lagiiii, tarik maaaaannngg)

Aih! Kenapa tiba-tiba aku jadi bergidik membayangkan bersenggolan dengan Mak Inah?! Hhiiiyyyy!!! Aku harus melakukan fungsi pengawasanku secara seksama, aku tidak boleh lengah dalam menjalankan fungsiku ini, jangan sampai seperti lembaga rakyat yang selalu saja lengah dalam menjalankan fungsi pengawasannya, tentu saja lengah karena tugas utama mereka adalah TIDUR! Aku tidak boleh tertidur memantau gerak-gerik Yugas! Sosok itu berhasil masuk dan dalam hitungan kurang dari tiga menit sudah meloncat keluar, menutup jendela perlahan sekali, sedikit mengendap lalu berjalan dengan santainya. Ahha!! Kali ini aku jauh lebih excited ketimbang pemenang kuis yang terbuai godaan presenter cabul itu. Yugas merogoh sesuatu dari saku celana pendeknya, ada berkas nyala lampu biru memendar memantul di kedua tembok pembentuk gang lalu kemudian meredup mati diiringi nada telepon genggam di-non-aktif-kan.

Aku harus menggambil sapu milik Bu Ratna yang tergolek di depan pagarnya, siaga memukul jika ada wirog yang meloncat keluar tong sampah. Nyala lampu telepon genggamku menjadi pemandu terang dalam tong sampah yang tengah mengeluarkan puncak bau busuk luar biasanya akibat proses biologis-kimiawi yang mengguapkan sampah sisa makanan dan bahan organik lainnya. Secarik kertas kugunakan untuk mengambil chip kartu seluler produksi provider yang menggunakan nama merk mirip ukuran baju itu, mungkin sidik jari pelaku menempel pada kartu chip itu pikirku dan jangan sampai terkontaminasi oleh sidik jariku sendiri.

Kuikuti arah Yugas melangkah beberapa belas meter di belakangnya tanpa dia sadari, Gang Senggol Asyik ini cukup panjang meski berkelok pada setiap sudutnya tapi hanya ada satu jalur disini, tidak bersimpang dan tidak bercabang, kamu akan seperti tikus putih objek penelitian yang berjalan mengendus di selasar-selasar kayu didesain untuk menguji kecerdasan si tikus atau menjadi seperti Mr. Pac Man jika melintasi Gang Senggol Asyik ini. Setiap meternya kamu akan diiringi soundtrack lagu yang berbeda yang terlantun dari radio, televisi, ring tone telepon genggam, tanggis bayi, cekcok suami-istri, tawar-menawar sedikit ngotot dari transaksi jual-beli di warung, ketokan khas dari tukang bakso, lagu anak-anak dari odong-odong bahkan suara desahan-lenguhan ketika kamu melintasi rumah pengantin baru. Crowded -aneka warna -aneka suara- aneka aktifitas sepanjang gang sempit ini. Menjelang keluar gang, aku mempercepat langkah, mendekati objek pantauanku, menepuk bahu Yugas dan menyapa santai, seolah tidak terjadi sesuatu beberapa menit tadi.

Yugas semangat menenggak teh dingin langsung dari botolnya, bulir keringatnya yang sebesar-besar biji jagung bertaburan di seluruh wajah, leher dan lengannya, bukan akibat aktifitas olahraga yang membakar kalori di setiap otot-ototnya melainkan derap pacu jantungnya yang sudah semesti berdegup tak beraturan akibat desakan campur aduk dari rasa khawatir dan kebanggaan telah mendapatkan hasil buruannya. “Mau tambah lagi, Gas? Atau kamu mau bubur kacang ijo? Ayo, pesan saja!” Yugas tidak menyia-nyiakan tawaranku. Mungkin proses memantau bidikannya cukup lama hingga dia rasa cukup aman untuk melakukan aksinya, haus dan lapar terbayar sudah tanpa perlu merogoh koceknya karena ada yang mau membayarkan.

Aku hanya menikmati sebatang tembakau racikan perusahaan sumber nikotin dengan merk berupa hitungan tiga angka, asapnya kumainkan membuat format bundar, kuhembuskan keatas. Ini tanda kemenanganku! Konon pernah ada penelitian terhadap seratus orang yang ditawari sebatang cerutu kepada masing-masing responden, alhasil sebanyak sembilan puluh tujuh dari seratus orang itu menghembuskan kepulan asap putih kearah atas sebagai pertanda kebesaran diri, ya banyak orang bilang cerutu sebagai representasi kondisi puncak tertentu bagi seseorang, cerutu hanya dibakar dalam selebrasi keberhasilan tertentu atau hanya berada dalam kotak kayu mewah diatas sebuah meja lebih mewah lagi pada ruangan sangat mewah milik seorang direktur misalnya. Berbeda halnya dengan Yugas yang menghembuskan asap nikotin mild-nya kearah bawah sambil tertunduk, dalam buku psikologi modern mengenai bahasa tubuh, kondisi Yugas berada pada titik kecemasan tingkat tinggi, kekhawatirannya menciptakan kondisi psikologis depresi maka orang seperti ini memerlukan bantuan.

Aku mencoba menawarkan bantuan itu berupa obrolan ringan, “Kok jam segini belum tidur, Gas? Memangnya besok gak sekolah?” ini hanya sekedar basa-basi keparat, trik pembuka sebagai umpan pembicaraan yang lebih serius dan menohok kelak. “I..iya, A! Ee..eee.. anu..gak bisa tidur!” aku sudah bisa mendeteksi nada kebohongan dari gugupnya. “Kamu sekarang kelas berapa sih?” basa-basi berikutnya masih kulemparkan sambil menyodorkan pisang goreng yang masih mengepulkan uap panas. Yugas, menghembuskan asapnya masih kearah bawah sebelum menjawab, “Kelas delapan, di SMP XXX itu A!” kuperhatikan busa filter nikotinnya, terlihat jejas giginya, pertanda dia mengigit busa itu, berarti dia semakin cemas! Pada prinsipnya seseorang yang menghisap batang tembakau berada pada kondisi gelisah, layaknya seorang bayi masih dalam fase oral maka membutuhkan puting payudara sang ibu yang dapat menghentikan tangisnya manakala tengah risau, jika sudah mengulum puting payudara sang ibu maka bayi tersebut berada kondisi ternyaman. Mereka selain penyuka tembakau pun sebenarnya berusaha mencari pelarian dari kondisi gelisah, risau atau tertekannya, mencari pengganti situasi paling nyaman serupa menyusui puting ibu dengan cara mengulum permen, menggigiti kuku, jempol atau pena, kembali kepada fase oral, restitution in integrum.

Sengaja aku mengeluarkan telepon genggamku, memijiti tombol-tombolnya tak pasti, melirik sekejap kearah Yugas, Aku tahu persis pasti Yugas tidak sabar untuk mengeluarkan telepon genggam di sakunya, sama halnya ketika kita tiba-tiba akan memegang telepon genggam milik kita jika di hadapan kita ada yang menerima telpon masuk atau membaca sms. Latah seketika, tak sabar untuk mengecek telepon genggam kita padahal nyata-nyata tidak ada dering masuk, alhasil hanya memijit-mijit tombol mencari tanda panggilan masuk atau sms masuk, sekali lagi meskipun tanpa ada suara dering tanda panggilan masuk atau sms masuk, apakah ini sudah masuk kedalam taraf obsessive compulsive disorder? Entah! Aku menekan fitur mp3, memilih sebuah lagu lalu terdengar lantunan suara Iwan Fals mendendangkan “Mimpi Yang Terbeli”. Yugas melirik sinis, serasa tertohok, bagi siapapun yang merasa, lagu-lagu Iwan fals bisa menjadi dendang penghantar mimpi buruk dengan kritik menohoknya, Yugas menyedot cepat batang nikotinnya yang sudah hampir tandas lalu menginjak hingga lumat puntungan itu, membakar lagi sebatang tapi korek gasnya macet, terlihat grogi sekali. Kusodorkan nyala api, Yugas sedikit meringis, cepat-cepat menyedot, “Kuat juga kamu ngisep tembakau, Gas! Sejak kapan? Kayaknya sudah lihay deh!” senyum kulemparkan seramah mungkin, terror mental telah digelar!

(lagi mikir terror mentalnya dulu sambil cari-cari nikotin tapi hujan dueres)

MELATI VAN SD INPRES



Pagi hari ini, berbeda dari pagi sebagaimana biasanya bagi Harto. Dua belas tahun pengabdiannya pada sebuah sekolah dasar menjadi jauh lebih bersemangat dari tahun-tahun sebelumnya karena ini hari istimewa gumamnya maka dia pun bekerja lebih awal lagi dari hari biasanya.. Selepas subuh Harto telah siap dengan sapu lidi bergagang bambu itu, lapangan upacara telah bersih dari dedaunan yang gugur sepanjang malam tadi, podium kecil terbuat dari papan tempat pembina upacara telah dipersiapkan dan satu lagi podium berukuran sama disandingkan di sebelahnya, sedikit sentuhan manis dia tambahkan pada seputar lapangan upacara dengan menggunakan kertas warna-warni yang biasa digunakan dalam acara ulang tahun anak kecil, tidak banyak memang tapi ini menjadi pembeda dari upacara senin biasanya. Dia tersenyum puas, pagi ini semuanya telah dipersiapkan menyambut hari istimewa itu, ya tentunya dengan pendanaan a la kadarnya bagi sekolah dasar inpres pada desa yang masuk daftar IDT ini.

Air dalam ceret telah mendidih, sejumput teh tubruk diracik, cangkir-cangkir kaleng dengan penutup yang memudar warnanya telah tertuang teh panas, Harto sudah hafal betul gelas mana saja yang biasa digunakan masing-masing guru, meskipun hampir kesemua cangkir kaleng tersebut bermotif sama loreng dengan taburan karat di sana-sini. Harto juga sangat paham gelas milik siapa saja yang perlu ditambahi gula bahkan tahu persis takaran sesuai permintaan guru bersangkutan tapi hari ini ada perlakuan special pada salah satu dari cangkir itu, Harto dengan sengaja menambahkan sekuntum melati putih dia biarkan mengambang pada teh panas racikan nasgitelnya, sejenak dia menikmati aromanya lalu menutup kembali agar aromanya tetap tersublim menjadi uap tertahan pada tutup cangkir. Racikan yang sama juga dia sajikan untuk sang istri di rumah sebelum dia berangkat kerja.

Ruang guru telah bersih, begitu juga ruang kelas yang hanya berisi tiga lokal sederhana biasa digunakan murid kelas satu hingga kelas tiga pada pagi hari dan giliran berikutnya setelah mereka pulang murid-murid dengan tingkatan lebih tinggi bergantian belajar di tempat yang sama. Bel berbahan baku potongan rel kereta api dengan mantapnya dipukul berkali-kali, ratusan murid bergerombol memenuhi lapangan upacara, semuanya wajib hadir sekalipun murid kelas empat hingga kelas enam seharusnya belajar siang hari, mereka juga harus menjadi saksi di hari istimewa ini. Harto mengambil tempat pada sebuah pojokan sekolah, menyeruput kopi hitam ditemani kretek Djarum Coklat, angin bertiup manja di pagi cerah ini, hatinya penuh.

Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru

Namamu Akan Selalu Hidup Dalam Sanubariku

Semua Baktimu Akan Kuukir Di Dalam Hatiku

Sebagai Prasasti Terima Kasihku

Tuk Pengabdianmu

Engkau Sebagai Pelita Dalam Kegelapan

Engkau Laksana Embun Penyejuk Dalam Kehausan

Engkau Patriot Pahlawan Bangsa

Tanpa Tanda Jasa

Suara cempreng murid-murid menyanyikan lagu Hymne Guru, sekalipun suara mereka cempreng hymne tetap menyentuh hati bagi siapapun yang mendengarkan, terlebih mereka-mereka yang diberi tempat kehormatan dalam hymne itu. Guru-guru terharu, tidak sedikit dari mereka menitikan air mata mendengarkan lagu hyme dari ketulusan ratusan muridnya yang berseragam lusuh, bersepatu dekil, hampir semua dari mereka berkulit legam, berkoreng dengan taburan panu hasil ciptaan garangan matahari, bau ternak kambing anggonan dan air sungai keruh.

Lamunan Harto mengajak dirinya larut kembali pada kenangan tahun di awal dia masuk sekolah dasar ini. Keterpurukan ekonomi dan bobroknya penegakan hukum yang melanda negeri ini membuat dirinya muak dengan lingkungan kerjanya, mau tidak mau tidak termakan dalam kondisi hina itu, menjadi pelaku kebusukan yang sama seperti rekan sejawat lainnya sekalipun hati nurani selalu berontak dengan kondisi jawatan tempatnya bekerja. Sebetulnya jika dia masih bersabar mungkin dia yang saat itu berstatus honorer kini telah diangkat menjadi pegawai negeri penuh pada sebuah jawatan penegakan hukum. Harto menanggalkan gelar kesarjanaannya, menggunakan ijasah sekolah menengahnya melamar pekerjaan sederhana, dia memilih menjadi pembantu, pesuruh, tukang bersih-bersih alias jongos disini karena di sekolah dasar terpencil ini sebutan office boy terlampau agung. Dia ingin memulai dari nol membayar semua kesalahannya, bekerja pada tempat yang tidak membutuhkan pertaruhan nurani. Ketulusan hatinya ini menarik perhatian salah satu guru senior pada sekolah dasar ini, memintanya menjadi menantu tanpa melihat honor seorang jongos.

Teriakan lantang tanpa pengeras suara dari Kepala Sekolah berumur kepala lima menyadarkan lamunan Harto, momen ini yang dia tunggu-tunggu, momen tahunan pada Hari Guru yang memberikan apresiasi tertinggi bagi para pengabdian pendidikan di sekolah sederhana ini, pemberian penghargaan bagi guru-guru berdedikasi tinggi. Tiga nama disebutkan; Bapak Drs. Mustofa, Ibu Dra. Nanik Wijayanti dan Ibu Wandari Tri Sekar Melati, S. Pd. Semua bertepuk tangan riuh ketika tiga orang yang disebutkan satu persatu naik podium di sebelah Kepala Sekolah, ungkapan penghargaan dan terimakasih berulang-ulang diucapkan Pembina Upacara. Seluruh guru dan murid-murid menyalami ,memberikan apresiasi tertinggi pada mereka. Harto tersenyum bangga meski tidak tampak terkejut karena dia sudah mengetahui nama-nama tersebut ketika membersihkan ruangan Kepala Sekolah yang tidak sengaja terbaca pada lembar hasil rapat Dewan Guru dan Komite Sekolah dalam menentukan mereka yang berhak mendapatkan penghargaan guru terbaik.

Pesta sederhana berupa upacara khidmat telah selesai, Harto kembali pada ruang kerjanya, sebuah dapur kecil berukuran dua kali tiga meter dari papan lapis tipis. Salah seorang guru penerima penghargaan itu mendatanginya, terlihat cantik sekali hari ini, secantik melati, sesuai namanya. Bibir tipisnya mengembang, menyajikan senyuman bangga, manis sekali. Harto menyematkan salam selamat, disambut ucapan hangat dari guru terbaik itu, “Terimakasih atas dua cangkir teh melatinya.”

tribute to my lovely wife, the best teacher for me


-tercipta setelah menyanyikan Hymne Guru pada telinga istriku yang tertidur lalu sejenak terbangun mendaratkan ciuman-

Koelit ketjil, Sempu, 25 Nopember 2010