Rabu, Juli 27, 2011

PENDING

**** STOP PRESS****

Peringatan Penulis:

Konten Tulisan Mengandung Unsur-Unsur Provokatif Kebiasaan Merokok, Bagi Yang Tidak Merokok Atau Masih Di Bawah Umur Disarankan Agar Tidak Membaca Tulisan Ini, Begitu Juga Yang Sedang Mencoba Berhenti Merokok. Penulis Tidak Bertanggungjawab Jika Di Kemudian Hari Pembaca Jadi Terpengaruh Untuk Merokok Setelah Membaca Tulisan Ini. Maka Sudah Menjadi Kewajiban Penulis Untuk Menyampaikan Peringatan Yang Biasa Terdapat Pada Bungkus Rokok; MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN

PENDING

Satu poci teh tubruk telah terseduh. Aroma khasnya mengepul bersamaan sentilan uap wangi melati ketika gelas tanah liat itu terisi racikan teh melumerkan sebongkah gula batu berkilau jernih serupa kriptonit bening. Senyumnya mengembang sempurna mencecapi racikan tepat yang telah mampu menendang segala kepenatan pikirannya, otak yang membeku terasa lumer seketika, otot-otot lehernya yang semula kaku sekonyong-konyong seolah ada tangan imajiner memijiti simpul syarafnya yang menyumbat membuntukan segala aliran ide yang dibutuhkannya. Ahhh, nasgitel!

Sebatang kretek favoritnya sedari tadi hanya diketuk-ketukan pada permukaan mancis kuno pemberian seorang kawan sudah tak sabar ingin segera saja membakar lintingan tembakau itu tapi Maulana masih belum tergoyahkan untuk kembali meracuni paru-parunya dengan nikotin. Ini hari kelima belas dirinya terbebas dari cengkraman adiktif racikan tembakau dan rempah rahasia terbaik yang pernah dibuat pada lintingan rokok kretek merk manapun.

Tak lama kemudian, hanya berselang lima menit, mulutnya sudah mengepulkan asap yang sebelumnya dia sedot dan tertahan beberapa detik dalam rongga paru-parunya, ketika hendak terasa ada desakan batuk datang dari dada merambat ke arah kerongkongannya, barulah dia hembuskan perlahan asap putih itu, sensasi nikmat-derita itulah yang selama ini menjeratnya pada adiksi level akut. Adiksi yang bodoh sekali yang kemudian baru-baru ini saja dia sadari, betapa malang ongokan paru-paru itu. Maulana larut dalam buaian teh poci di tepian sawah sementara bibirnya terus mengepulkan asap.

Batang ketiga patah sia-sia dalam asbak, kekuatan imannya telah tergoyahkan oleh godaan Syaithon nikotin terkutuk itu. Kepalanya terasa segar, ide-ide seolah berkeriaan meletup-letup, jemarinya lincah menekan tombol-tombol alfabet pada notebooknya. Lancar! Sejenak sudut matanya melirik ke arah penanda waktu di pojok kanan bawah layar 10 inchi, satu bulan lagi, itulah demarkasi nyata antara impian dan perjuangan, begitu dia memberi istilah. Keyakinannya menebal bahwa dia sanggup selesaikan proyek impiannya sebelum sampai pada hari itu.

Ini hari terakhir menjelang bulan ramadhan, nanti malam sudah mulai tarawih, malam pembuka ramadhan tapi tetap ramadhan adalah bulan penuh misteri dan kekuatan magis luarbiasa bagi dirinya. Bibirnya masih menggelayut pada tubir gelas tanah liat, aroma teh yang panas, legi tur kentel,-nasgitel- menggelitiki setiap simpul syaraf di seputaran lubang hidungnya. Pikirnya meliar, flash back pada masa ramadhan beberapa tahun silam, berlompatan lintas ruang dan dimensi seolah Voyager dengan jam saku antiknya yang menghantarkan dirinya pada fragmen-fragmen kehidupan yang tengah dia hadapi.

Ramadan tahun silam, Maulana berkolaborasi bersama kawan-kawan pecinta alam tengah berada di lokasi gempa yang melongsorkan bongkahan bebatuan besar dari bibir bukit Desa Cikangkareng, Cianjur. Menghempas puluhan anak-anak yang tengah bermain bola, jika di beberapa lokasi bencana yang telah dia dampingi, bola plastik selalu menjadi media paling efektif untuk menghilangkan trauma psikologis anak-anak korban bencana, tapi tidak kali ini, karena anak-anak daerah ini menjadi saksi belasan sahabatnya terkubur longsoran bebatuan tepat ketika mereka tengah bermain sepak bola. Permainan sepak bola menjadi teror mental bagi anak-anak ini. Maulana merekam dalam memori biologis dan digitalnya, kondisi anak-anak ini sejak belum terjamah pendampingan psikososial hingga senyum mereka kembali mengembang karena psikososial hakikatnya mengembalikan psikologis anak kepada kondisi semula, ceria. Panduan foto-foto hasil jepretannya membantu Maulana untuk terus menuliskan kisah-kisah yang dia temui.

Sebuah telepon genggam bergetar cukup lama, lampu pada layar berkedip-kedip, pemilik terlampau larut di hadapan notebook. Jemarinya menari tanpa ritmik terpola diantara tuts cacat nada alfabetik. Getar kedua masih belum mampu mengalihkan konsentrasinya namun getar yang entah ke sekian kali barulah si pemilik telepon genggam menyadari, itu pun ketika hendak menyalakan batang tembakau, Maulana sangat tidak suka ketika atmosfer yang mendukung dirinya menulis terganggu oleh dering telepon genggamnya.

Assalamualaikum… Ya, ada apa, Nggit? Maaf tadi gak dengar! Keliatannya cukup penting nih?” menahan ucapan, menghisap dalam-dalam lalu menghembuskan asap pencipta racun nikotin cukup panjang. Sekalipun terpahami bahaya dari ingredients yang ada dalam sebatang rokok namun sensasi nikmat racikan rahasia pelinting tembakau favoritnya yang terbungkus dalam kemasyan berwarna kuning dengan desain yang tak pernah berubah sejak tahun 1913 itu selalu saja memukau!

“Bang, sorry nih ganggu sebentar. Begini, aku cuma mau mengingatkan kalau hari ini ada renca…”

“Aduh, Nggit. Tolong, sehari ini saja! Setidaknya sampai malam ini deh! Aku gak bisa diganggu dulu ya? Mumpung masih di Jogja neh, aku gak mau melewatkan atmosfer menulis ini.”

“Ini semua tentang anak-anak Indonesia yang istimewa. Sengaja kubuat tulisan ini seutuhnya murni tentang perjalananku, lebih tepatnya mengenang kembali perjalananku pada masa-masa bersama anak-anak itu. Pada sebuah masa ketika bencana besar yang kerap terjadi di tanah yang terjaga oleh puja-puji leluhur sebagai tanah damai, tata titi tentrem, gemah ripah loh jenawi, manusia-manusia yang di atas tanah ini berdiri dikenal sebagai manusia yang bersahabat dengan alam, tak pernah lupa bersyukur ‘sedekah bumi’ mana kala tanahnya memberikan limpahan rejeki, selalu merayakan ‘larung sesaji’ kepada samudera yang memberikan ratusan jenis ikan yang dengan mudahnya masuk tebaran jala, keturunan-keturunan yang tak pernah absen memberikan sesajen kepada leluhurnya yang telah tiada setiap kali hari kelahiran atau kematian leluhurnya, manusia yang hidup di bumi yang berbudi dan berbudaya,” tak ada suara dari lawan bicara, si penelepon sangat paham jika Maulana tengah berbicara maka dia hanya merasakan derasnya gelombang kata-kata, hanya mengamini dalam hati.

“Nggit, tahukah kau sekarang aku sedang berada dimana?” ini adalah petunjuk bagi si penelepon untuk berbicara

“Hhhumm… itulah sebabnya aku nelpon Abang. Dimana sekarang, Bang?”

“Aku berada di tepi hamparan luas hijau sawah, tak salah jika bumi kita mendapatkan julukan permadani zamrud di tengah garis maya katulistiwa. Hanya hamparan hijau segar sepanjang mataku memandang, Nggit! Beberapa anak bumi tengah menyuburi tanah yang memberikan mereka kehidupan, mereka bertopi caping, menyandarkan sepeda onthelnya di batang pohon kelapa tepi sawah, menurunkan sekarung kecil pupuk. Sempat kutanyakan jenis pupuk yang digunakan, rupanya mereka telah paham zat kimia buatan salah satu pabrik kita justru meracuni bunda alam, mereka menerangkan bahwa butiran pupuk berbentuk pellet itu merupakan hasil olahan dari telethong, yaa kotoran sapi, Nggit! Para pemuda berkeliling kampung mendatangi kandang-kandang sapi dimana kotoran sapi itu telah disiapkan oleh pemilik ternak dalam karung-karung, lalu para pemuda itu mengolahnya dengan mesin sederhana, kemudian petani-petani kampung sini akan mendapatkan beberapa karung bentukan hasil akhir pupuk itu hanya dengan imbalan uang rokok a la kadarnya, Nggit!” Si pencerita sejenak menikmati orkestra alam paduan suara katak sawah, cericit burung pipit, ayam-ayam yang berkotek-berkokok bersahut-sahut dan ditimpahi lenguhan sapi bernada bass berat.

“Kau dengar itu, Nggit? Ini orkestra alami! Damai sekali disini, jauh dari kebisingan kota… Ahh, tidak! Aku tidak ingin berbicara tentang kota saat ini. Aku ingin menikmati suasana alam Jogja saja kali ini. Nggit, kalau saja kau ada disini pasti kan kuajak kau berpetualang diantara galengan sawah, mencari lubang-lubang tempat belut bersemayam, menggureki dengan tali senar yang di ujungnya diberi kail kecil berharap si pemilik lubang tergoda oleh potongan cacing tanah dan sensasi tali senar yang mulai bergerak-gerak lalu tertarik kedalam, kita biarkan sejenak untuk kita tarik hingga hilang keseimbangan kita dan jatuh ke lumpur sawah yang telah dialiri air oleh ulu-ulu kampung berdasarkan kesepakatan kelompok tani... Ahhh disitu serunya, Nggit!”

“Bisa saja Abang ini memprovokasi, tapi bagaimana aku menghadapi mereka?” nada panik Anggit mulai merebak. “Kau hadapi saja mereka seperti biasanya, Nggit! Kau buka saja emailmu, sudah aku atur semuanya, pastikan semua peralatan pendukung telah siap. Aku memang pewaris tunggal perusahaan tapi sudah kukatakan berkali-kali, kuserahkan segala urusan manajemen perusahaan kepada mereka, biarlah aku hanya mengurus CSR perusahaan saja. Dosa perusahaan terlampau besar, Nggit! Setidaknya dengan berbagi sedikit, seharusnya justu sebanyak mungkin dari laba perusahaan kita untuk disalurkan bagi saudara-saudara kita yang tengah tertimpa musibah. Aku percayakan semua kepada kamu. Oke, kita akhiri pembicara kita. Oh ya, Nggit… Thanks any way, kupastikan tak lupa membawa sekotak bakpia untukmu. Byeee!”

Anggit bukan pertama kali menghadapi situasi pelik saat rapat dewan komisaris perusahaan kimia tempat kakak sepupunya memimpin tapi selalu saja tatapan sinis para dewan yang seolah merasa tidak dihargai dengan ketidakhadiran Maulana secara langsung, sekalipun Maulana terlihat melaporkan semua progress report perusahaan tapi rekaman video adalah pelecahan bagi mereka. Maulana lebih memilih mengurusi Corporate Social Responsibilty yang sama sekali tidak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan justru menghamburkan uang sangat besar dalam pandangan para dewan komisaris tapi posisi Maulana terlampau kuat untuk mereka hadapi.

Maulana masih menikmati orkestra alam tepi sawah. Kursos dalam notebook mengarah pada folder SENYUM ANAK INDONESIA, disitu tempat dia menyimpan seluruh dokumentasi gerakannya dari setiap daerah terkena bencana alam maupun konflik sosial; Aceh, Nias, Sumatera Barat, Ujung Kulon, Pangandaran, Jogja, Bantul, Sampit, Poso, Papua, semua daerah bencana sudah dia jelajahi tapi senyum anak Indonesia selalu mampu kembali terkembang dengan manisnya, semanis seduhan teh poci yang dia cecapi. Senyum anak Indonesia inilah yang ingin dia sampaikan kepada semua orang lewat buku yang kelak akan terbit membawa secercah potongan surga dari celah senyum anak-anak.



-Koelit Ketjil-

First wrote; Jogja, 26th August, 2010

Pending; one year!

Finished: Serang, 26th July, 2011

Senin, Juli 11, 2011

LIES INSIDE OF ME







Samuel berjalan terseok-seok, telapak tangannya merayapi dinding gang gelap, lembab. Malam di Kota New York sepanjang summer dapat dipastikan malam yang membuat semua orang tak nyaman tertidur. Sirine pabrik pengepakan barang baru saja melepaskan bunyi sebagai pertanda manusia berikutnya harus bergantian bekerja. Man versus machine, fuck!





Sirine itu juga digunakan Samuel sebagai clue, dua jam berikutnya dia harus siap bertanding melawan mesin- mesin. Kondisi perekonomian Amerika yang carut-marut memaksa dirinya menjadi keparat yang hidup bertumpuk dalam sebuah gedung rapuh. Memori mendapatkan bonus besar dari pekerjaannya yang dulu mapan di City Bank hanya menjadi placebo ketika dia lelah berlarian dari satu pekerjaan menuju tempat lain yang bersedia menerimanya kerja beberapa jam hanya demi dua dollar.





Tubuhnya terpental oleh buangan uap pabrik ketika merayapi tembok, berdebam pada genangan air kotor. Mengutuki diri ketika luka-luka sekujur tubuhnya terbasuh genangan air bercampur bebauan kencing gelandangan, tikus-tikus got dan kotoran anjing. Luka sayatan sepanjang lima senti tepat di bagian rusuknya membuat dirinya mengerang tetapi harus tetap menjaga kesadaran dirinya. Tangga besi samping gedung apartemen busuknya tak sanggup dia gapai dengan segala sisa kekuatan dan kesadaran, tanggannya meraih dengan sedikit lompatan, tulang kakinya mungkin retak terhantam pemukul baseball, kini genggaman tanggan yang semula berada di rusuk dan satu lagi berusaha menggapai tangga itu beralih ke tulang kering kakinya. Dia tidak boleh pingsan.





“Great! hanya inikah yang bisa kudapatkan! Shittt!!!” umpatannya harus pula tertahan, dia tak ingin membangunkan istrinya, dia tahu bencana apa lagi yang akan dia hadapi jika istrinya terbangun. Hanya ada sebaskom air yang tertampung dari tetesan kran, Samuel merobek satu kaos oblong bertuliskan “FAMILY GATHERING CITY BANK, ONE HAPPY FAMILY, ONE HAPPY BANK” kaos putih itu berubah warna menjadi merah pekat. Samuel harus mengirit air dan kaos yang dia jadikan lap juga pembalut luka, untuk ukuran luka-luka itu rasanya tidak mungkin.





Samuel sudah siap menggigit sikat giginya, meski ragu masih menimbang sebotol cairan kumur, tak ada alkohol, tak ada obat antiseptik, tak mampu untuk membeli itu semua, cukuplah dia percaya tulisan pada botol kemasan itu ‘MENCEGAH KUMAN MULUT’. Tekad Samuel bulat, disiramnya cairan berwarna biru terang itu pada luka sayatan di rusuknya, aroma mentol menyeruak “Arrrrggghhhh!!!!!” patah sudah sikat gigi diantara geliginya, dia tidak boleh pingsan.





Samuel tak dapat mencegah istrinya terjaga ketika engsel pintu kamar berderak, dia mengutuki pintu sialan itu karena sudah dapat dipastikan suara itu telah membangunkan monster yang tertidur tak lelap di malam lembab seperti ini. Istrinya menatap dingin lalu melemparkan beberapa lembar kertas, mendarat tepat di wajah lelahnya, Samuel tak berdaya melihat kertas-kertas tagihan yang melayang seolah slow motion itu terlebih berondongan kalimat kasar keluar dari mulut istrinya yang tidak ingin dia pahami sepatah kata pun.





Samuel bingung harus menutupi kedua telinganya atau luka di rusuk dan kakinya. Dia mengambil seutas tali, lalu mengikat dirinya pada pipa besi saluran pembuangan kotoran dari lantai atas di tembok pembatas kamarnya dengan kamar tetangga, berlutut tak berdaya. Istrinya terus memberondong dengan sejuta pertanyaan, cacian, sindiran, cerita-cerita masa lalu yang mapan yang tak lagi sebanding dengan kehidupan yang keparat kali ini. Samuel hanya diam sekalipun entah apa yang ada di dalam tubuhnya mengajukan pemberontakan.





Geligi Samuel bergemeretak begitu juga tulang-tulang pada pergelangan tangannya, “Sudah cukup Sam! Saatnya berontak!!” Suara itu berdengung dalam kepalanya. Itulah sebabnya dia mengikat dirinya pada pipa berkarat itu. Samuel sangat takut jika apa yang ada dalam tubuhnya berontak lalu melakukan hal yang sama terhadap tiga orang dari pabrik yang terkapar dengan luka yang jauh lebih parah dari dirinya. Monster dalam tubuhnya berontak ketika mandor pabrik tempatnya bekerja memaki-maki Samuel hanya karena terlambat sepuluh menit lalu ceramah mengenai kesempatan kerja yang sempit, sampai pada ancaman pemecatan membuat kupingnya panas. Samuel menghentikan sumber bising itu dengan kunci inggris besar, helm yang dikenakan mandor itu pecah mukanya bersimbah darah pertanda kepala yang terlindungi itu turut pecah, kedua rekan kerja yang sejak semula sinis terhadap Samuel seolah mendapatkan pembenaran untuk menghajar dia, namun justru mereka yang terkapar.





“Berdiri kau pengecut!!!”





Suara itu terus menerus menjadi teror dalam otak Samuel, hanya dengan membenturkan sumber teror pada temboklah yang mampu membebaskan Samuel dari penderitaan itu sekalipun tubuhnya terpenjara di balik jeruji besi. Kali ini Samuel bebas pingsan setiap kali tembok itu membuatnya KO, tembok derita yang sengaja dia tempeli sepotong berita dari koran;



“SAMUEL L KEMPERS, KILLED HIS WIFE AND THREE MEN IN ONE NIGHT”









Koelit Ketjil

Sempu Gedang, 10 Juli 2011





*foto from: http://wongndro.blogspot.com/