Sob, pernahkah kau berpikir seperti ini?
Apa
jadinya jika buku-buku yang Ayah baca justru pemicu ancaman kematian
putra kesayangannya? Deretan buku yang tersusun rapi di rak buku itu,
yaa! Hadiah kecil yang selalu disambut dengan lonjakan kecil dan
teriakan histeris diterima Ryan setiap kali Ayah pulang daridinas luar
kota. Maklum Kabupaten tempat Ryan tumbuh dan berkembang bukanlah kota
yang pesat dalam perkembangan ekonomi, toko buku yang ada hanya menjual
buku-buku paket sekolah, perlengkapan sekolah dan seragam.
Apakah
ini semua salah Ayah yang selalu membacakan cerita dalam setiap malam
penghantar tidur Kami di kamar berukuran secukupnya ini Kami harus
berbagi ruang gerak dan alam imaginasi? Ryan selalu memilih sisi
terdekat Ayah, kemenangan bagi si bungsu, tak apa, justru beradadi sisi
terdekat tembok membuat khayalku semakin liar. Semua yang Ayah ceritakan
begitu jelas muncul dalam bayang imajiku, persis seperti tengah
menonton layartancap. Tanganku tak kuasa tertahan untuk terus bergerak,
walhasil goresanku memenuhi tembok buram pemisah ruang tidur dengan
ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang makan, ruang
belajar bahkan terkadang Bunda menyiangi sayuran pun itu ruang yang
sama.
Tepatnya dua lembar kayu tripleks, bukan
tembok, bukan. Awalnya Aku hanya menggambarkan kecil saja, itu pun pada
bagian terbawah dari penyekat ruangan ini bahkan Aku harus menutup
dengan buntalan kain yang berisi pakaian-pakaian Kami, lemari kayu Kami
terlalu kecil untuk menampung pakaian Kami. Ayah lebih memilih membuat
rak buku yang cukup. Hingga pada suatu pagi ketika Ayah membangunkan
Kami untuk sekolah, tentunya Ayah tidak akan pernah marah menemukan Aku
mencoret penyekat ruangan itu karena memang sudah buram jadi tidak sah
jika Aku dianggap membuat kotor dinding kayu lapis itu.
Ayah
paham semua yang kucoretkan di dinding buram itu adalah semua karakter
dan tempat dari semua yang Ayah ceritakan setiap malam. Aku baru
mengetahui hal itu ketika suatu sore Ayah pulang membawa satu kotak
pensil berwarna, Aku tak pernah meminta itu karena sadar betul, bagi
Kami pensil berwarna adalah barang mahal, tapi tidak untuk buku, Ayah
rela menyisihkan beberapa rupiah untuk membeli buku. Bahkan sebatang
pensil pun Kami harus berbagi, Ryan mendapatkan bagian belakang
berpenghapus karet merah di ujungnya, walhasil Aku harus bekeras agar
tidak salah menulis,dari sinilah mungkin ketelitian dan perhatianku
terhadap segala hal detail mulai terasah.
“Gambarmu
itu tidak ceria kalau hanya satu warna, Nak…” senyum Ayah sama persis
ketika Aku berhasil menyabet rangking dua setiap kali pembagian raport.
Sementara Ayah paham betul dengan kondisi Ryan, lagi pula baru dua tahun
ini Ryan masuk sekolah, Aku kelas empat.
Ahh,
Ryan! Yaa, Ryan… Kenapa Aku jadi demikian narsis menceritakan perihal
masa kecilku? sejak awal Aku harusnya menceritakan Ryan kepadamu, Sob.
Hmmm, Aku rasa dengan keyakinan serampanganku ini, ehhmm… Ryan adalah
dirimu, Sob. Yaa!
Duhai, kekuatan memori, dari mana seharusnya Aku memulai?
Buku,
yaa, buku. Buku-buku itulah pengancam kematian Ryan! Jika saja Aku
diberi celah untuk menuntut para pengarang buku-buku itu sudah pasti
akan Aku lakukan, tapi jika hal itu kulakukan maka Ayah Kami pun dapat
terlibat dalam persekongkolan percobaan pembunuhan berencana terhadap
Ryan. Tak perlu kau mendebat tuduhanku, cukuplah kau mengernyitkan dahi
dan menaikan satu alis tebalmu itu, Sob, gaya khasmu setiap kali tak
mampu mendebat setiap kicauanku yang hanya sepatah dua patah kata, bukan
begitu, Sob?
Aku tahu kau pasti tengah
tersenyum membaca baris tadi, beruntung Aku tidak di sampingmu,
beruntung pinggangku tidak menjadi sasaran penganiayaan cubitan gemasmu.
Ahh.. naaahh..nahhh! Kau tersenyum lagi, Sob! Ohh, tidak! Aku salah,
dirimu pasti terkikik sambil sesekali melihat kondisi sekitar, khawatir
disangka orang gila, senyum-senyum dan tertawa sendiri. ahh, kali ini
Aku bersyukur jarak menjadi jurang pemisah. Amansudah pinggang ini dari
lebam-lebam jejas penganiayaanmu, bisa saja kujadikan bukti visum untuk
menjeratmu.
Perihal Ryan, tidak pernah
kuceritakan selama ini, bergaul dengan dirimu sama persis layaknya Aku
menghabiskan waktu bersama Ryan. Mulai dari berebut buku yang sama,
membacanya dengan posisi berbaring, tangan kiri menopang dagu, kedua
kaki mulai dari lutut hingga ujung jemari ditegakkan, digoyang-goyang
bahkan jika usil Kami mulai merasuki, kaki kananku beradu dengan kaki
kiri Ryan. Sama persis bukan! Hanya saja pembedanya, Ryan kencing
berdiri dimana pun dia inginkan, sementara dirimu tentu saja tidak akan
melakukan hal itu. Hey, tak usah kau senyum-senyum sendiri, nanti
perawat lihat loh!
Pembeda Kami yang paling
mencolok adalah; Ryan begitu lincah dalam setiap gerakan ketika
menunjukkan ekspresi hatinya, sementara Aku terkesan pendiam, lewat
goresan tangan kutuangkan ekspresi hati ini. Ryan dengan spontan
menirukan setiap suara, gerak bahkan kerap membuat segala pernak-pernik
terkait segala cerita Ayah. Bisa kaubayangkan ketika Ayah mendongengkan
legenda Tangkuban Perahu, tiba-tiba Ryan meloncat dari posisi tidurnya
lantas menendang ember plastik berisi pakaian kotor Kami. Seolah
terasuki roh Sangkuriang menendang perahu yang berubah menjadi gunung,
Kami tertawa terbahak-bahak tapi kemudian seketika itu juga Kami terdiam
seribu bahasa mana kala Ryan mencari Dayang Sumbi untuk diperiksakan
adakah pitak di kepalanya. Dayang Sumbi Kami telah lebih dahulu pulang
menuju kahayangan.
Saat itulah kelihaian Ayah diuji, mengarang dongeng dadakan untuk menghibur Kami.
Kami
yang selalu disajikan dongeng-dongeng nusantara sudah sedemikian
hebatnya tergambar dalam benak kecil Kami. Sudah hampir penuh dinding
kayu lapis itu menjadi kanvas ekspresi jiwaku, sudah bertumpuk segala
mainan bambu, pelepah daun pisang berwujud kuda, pedang, senapan,
mahkota dari rangkaian daun jamblang hasil kreativitas Ryan.
Pada
suatu malam Ayah menceritakan dongeng yang berbeda, bukan dari tanah
leluhur Kami. Kisah tentang seorang Pangeran Kecil dari planet yang
tidak kuketahui namanya saat itu, Pangeran Kecil yang tersesat di padang
pasir yang membuat sibuk seorang pilot karena terus merengek meminta
untuk digambarkan domba. Sementara Ryan tengah terbang dengan tangan
kecilnya yang merentang, berkeliling di kamar sempit ini, mengikatkan
sarung pada lehernya dan mengambil pedang pelepah pisang, persis seperti
sosok Pangeran Kecil bersyal itu. Aku sibuk dengan coretan di dinding.
Esok
hari barulah Aku diajak berbicara serius dengan Ayah, semuanya perihal
coretan-coretanku di dinding,jika selama ini sebisaku Aku berusaha
menggambar gunung, kuda, laut, burung sesuai dengan apa yang telah
kulihat di dunia nyata. Pagi itu Ayah membuka buku Pangeran Kecil, baru
kuketahui di dalam buku itu terdapat beberapa gambar, tiba pada sebuah
gambar, Aku terkejut.
Bagaimana mungkin Aku
yang malam itu mendengarkan Ayah mendongeng, pada saat bersamaan Aku
hanya menggambarkan sebuah kotak dengan tiga lubang. Begitu sama persis
dengan gambar Sang Pangeran Kecil yang merengek-rengek meminta
digambarkan seekor domba! Entah mengapa perasaan yang sama juga
kurasakan ketika Sang Pangeran Kecil protes setiap kali digambarkan
domba dalam wujud yang dirimu lihat, begitu juga Aku lihat dalam dunia
nyata, berbulu keriting, berkaki empat dan tanduk kecil. Domba itu
terlalu kuruslah, terlampau gemuk, seperti domba sakitlah, rengekan anak
kecil.
Aku
lebih memilih sebuah kotak dengan tiga lubang disitu, agar Aku bisa
melihat sang domba beristirahat, cukup ruang untuk berlarian, tumpukan
rumput segar tersedia pada pojokan, persis seperti keinginan Sang Little
Prince, Sob!
Aih, sudah jam berapa ini? Sana, minum dulu Glivecmu itu, Sob! Pasti kusambung lagi nanti, Sob.
KOELIT KETJIL
-Semarang, Tiga belas hari telah berlalu dari awal tahun ini. Esok Sang Rasul merayakan ulang tahunnya yang ke 1443-
Mantap artikel nya gan
BalasHapusAgen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola