“Stop complaining, said the farmer
Who told you a calf to be
Why don`t you have wings to fly with,
like a swallow so proud and free”
Tamparan
lirik ‘Donna-donna’ lagu favorit bagi Soe Hok Gie ini, terasa seolah
didendang langsung oleh Gie, tepat di gendang telingaku. Pesannya begitu
dahsyat membuat kesadaranku terkapar sejenak namun tertatih
kubangkitkan kembali. Kugenggam erat sodoran tangan imaginer Gie,
menarikku yang terpuruk dalam duka-dendam kebodohan diri. Sosok
mungilnya dalam terpa cahaya bulan, meneduhkan amarah yang membakar
habis kesabaranku, dia tak banyak berbicara, bahkan tak sekecap kata pun
terlontar dari mulutnya.
Tangannya menunjuk ke berbagai
penjuru arah mata angin, pada titik pertama diarahkan telunjuknya ke
arah baliho super besar dengan gambar perempuan berwajah ayu senyum
palsu. Titik berikutnya, telunjuk itu berhenti pada sebuah kampus yang
bising dengan lalu lalang kendaraan, tak ubahnya terminal. Kali ini
telunjuknya beredar pada segelintir mahasiswa, mereka membakar ban di
tengah jalan, berteriak-teriak tak jelas, membikin macet di siang terik
tak bersahabat. Sebuah mobil mewah tak luput dari telunjuk Gie,
pengendara berpenampilan perlente itu kukenali; rekan kerja.
“Aku masih belum paham, Gie! Katakan!” sosok mungil itu memudar, menjadi partikel halus terhempas asap hitam knalpot bus kota.
“Gie,
betapa sebuah kesialan bagiku berjalan pada bekas tapak kakimu,
mencontoh gerakanmu untuk kembali ke kampus. Berharap menjadi pencerah
bagi generasi penerus bangsa yang kian membangsat ini!”
Kukutuki diri ini, selepas halusinasi bodoh itu tiba-tiba menerjang lewat provokasi soundtrack
lagu dari film tentangmu itu.Gie, buku catatan demonstrasimu kumasukan
dalam ranselku. Di hadapanku segelintir mahasiswa tengah meraung-raung
kerasukan hantu-terasi, demons-terasi.
Semula membaca catatanmu menjadi titik damaiku, mana kala puncak rasa
muak atas realita ini tak mampu kudaki. Seluruh gunung yang pernah kau
jelajahi telah kusentuh puncaknya tapi gunung peradaban manusia ini,
terlampau terjal Gie! Kampus, tempatku mengabdi begitu angkuh berdiri,
sebelah kaki gunung ini, di arah timur berbatasan dengan Ibu Kota
Negara, sementara di ujung kulon, kakinya tenggelam dalam dasar Selat
Sunda, berharap bersentuhan dengan Krakatau.
“Pak, kok, melamun, sih?!”
seorang mahasiswa membuyarkan sekaligus menyelamatkanku dari larutan
imaginasi dan realitas, bersatu dalam satu wadah kehidupan tapi tak
bercampur sempurna, seperti minyak dan air dalam gelas.
“Ohh…yaa…ehhh…tidak!” Aku masih membuka folder daftar nama yang kukenal dalam otakku, siapa nama anak muda ini?!
“Maaf,
Pak. Saya, mau bertanya tentang nilai mata kuliah semester ini.
Nilainya sudah keluar, Pak?” mahasiswa berpenampilan gaul ini masih
belum kukenali dengan baik.
“Memangnya, kamu ambil mata
kuliah apa dengan saya?” sejauh daya ingatku yang lemah ini, masih bisa
kuhafal betul seluruh nama mahasiswa yang berproses belajar bersamaku.
Lagipula,
aku hanya diberi dua mata kuliah saja, sama seperti semester-semester
sebelumnya. Para senior mendominasi berbagai kelas yang ditawarkan di
setiap semester, menjadi Pembina sekaligus pengeksploitasi para junior,
lengkap dengan embel-embel; pengabdian. Sialnya, di hadapan para
komandan, kadet-kadet ini selalu bersikap sempurna, hormat, seraya tegas
mengatakan; ‘Yess, Sir! As a soldier, we must always ready to say, Yess, Sir!’
“Kenapa
kamu harus bertanya tentang nilaimu?” sebuah pertanyaan kulontarkan
setelah dia bersikukuh mengambil Mata Kuliah Sebab Musabab Kejahatan
yang kuampu.
“Ya, itu `kan hak saya untuk mengetahui nilai saya, Pak!” tutur bahasa yang coba dibuat intelek itu membuatku hampir mual.
“Selama
kamu rajin masuk kuliah, tak perlu hadir di setiap tatap muka, lalu
mengerjakan tugas dan berdiskusi di kelas atau bahkan mendebat saya
dengan teori yang relevan, seharusnya tak perlu lagi kamu pertanyakan
nilai itu.“ Aku hafal betul wajah-wajah yang kunikmati setiap detik
proses belajar bersama satu semester ini tapi tidak untuk pemuda ini.
Formasi kursi pun kubuat lingkaran besar, demikian caraku menatap wajah
masa depan dan menggali dalamnya pikiran para mahasiswaku.
“Saya selalu masuk, kok!
Tugas juga saya kerjakan tapi memang kalau di kelas, saya gak banyak
bicara, saya tipe orang pendiam, Pak!” Ahh, ujung kalimat
pengidentifikasian diri itu sangat bertolak belakang dengan mulutnya
yang begitu ringan membuat pembelaan.
Baiklah, kubuka tas ranselku, kukeluarkan daftar hadir selama satu semester.
“Siapa namu tadi?” Dia menyebutkan dengan tegas namanya, terutama gelar kebangsawanan yang diberi penekanan saat penyebutan.
Mudah
saja kutemukan nama dengan dua huruf di muka namanya itu. Kuperhatikan
goresan tangan penanda kehadirannya, mataku juga mengincar beberapa nama
tepat di atas namanya, tipe goresan dan warna pena itu selalu sama.
“Ya,
disini kamu hadir di setiap tatap muka, bagus! Ehhm, Oke! Saya sudah
tahu nama kamu, apa kamu tahu nama saya?” tatap mataku menjadi teroris
bagi mangsa teror yang kutebarkan di depanku ini.
“Ehh…Anu……
Ahh, Bapak ini bercanda saja! Masak, saya gak tau nama bapak!”
tangannya gemetar menggerayangi saku celana jeans gombrongnya, mencari
pertolongan lewat Blackberry seharga jutaan rupiahnya yang semula sempat dia genggam.
“Gak
perlu kamu sms kawanmu, sekedar menanyakan nama saya. Kamu selalu hadir
di setiap tatap muka, bukan?” Aku menunggu, dia mengeluarkan jawaban
terka, aku mengangguk setuju-mengiyakan, tapi tunggu dulu.
Kusodorkan selembar kertas kosong.
“Kamu, mau nilai apa? Tulis di kertas ini lalu kemudian tandatangani.” Senyumku kusuntikan sebagai placebo pengobatan depresi dalam dirinya, kukendorkan intensitas terorku.
“Wuaahh,
terimakasih banyak, Pak! Serius nih, saya boleh tulis apa yang saya
mau?! Asyyiikk, Bapak memang dosen favorit deh! Sama seperti dosen-dosen
yang lain, bisa menentukan nilai sesuai keinginan mahasiswa. Ini baru ‘dosen gue banget’, dah!
Besok, saya cari Bapak lagi, sekedar untuk memberikan ucapan
terimakasih, Pak!” tipe pendiam macam apakah kau ini? Sedang bibirmu
mampu mengucapkan deretan kalimat dengan lancarnya, hanya sepersekian
detik!
Ahhh, rupanya bukan sekedar isapan jempol belaka, rumor
tentang nilai yang diobral itu, bukan lagi menjadi ‘rahasia umu’
melainkan menjadi ‘pengetahuan umum’. Kupendam gelora yang
menyundul-nyundul dada ringkih ini.
“Aku tengah berpuasa…Aku tengah berpuasa, ini hari!” berulang-ulang kuingatkan diri ini.
Senyum pemuda gaul ini terlihat begitu puas dan lega sekali. Kusalutkan keberaniannya menulis huruf ‘A’ pada lembar putih itu.
“Baik, urusan sudah selesai! Saya, acc permintaanmu ini.” Kugoreskan beberapa kalimat pada lembar yang sama.
“Sekarang,
kamu bawa kertas ini ke Dosen Pembina Mata Kuliah Sebab Musabab
Kejahatan, untuk dimintakan persetujuan dari beliau, lalu kamu ke bagian
akademik agar nilaimu dimasukkan pada KHS kamu semester ini.
Terimakasih telah berproses belajar bersama saya selama semester ini.
Sukses!" kujabat erat tangannya, semula hendak dia cium punggung
tanganku sebagai bentuk hormat layaknya mahasiswa lain terhadap para
dosen. Aku menolak kebiasaan itu, cukup jabat tangan saja karena kita
setara.
Ekspresi wajahnya begitu sumringah, sebongkah
surga telah didapatkan dengan mengibuli dosennya. Itu beberapa detik
sebelum dia melihat kembali kertas itu. Mari kuberitahu apa yang
tertulis pada lembar putih, simulasi ruang persidangan kejujuran atas
mentalitas mahasiswa karbitan itu. Baris pertama tertulis huruf ‘A’
kapital dengan ukuran font besar, bold pula. Di
bawahnya tertulis nama mahasiswa itu, lengkap dengan dua huruf di awal
nama, tanda penegas garis keturunannya, juga tertera goresan
tandatangannya.
Masih penasaran? Kali ini, tulisan
tanganku sendiri, masih pada lembar yang sama, sebagai tanda persetujuan
keinginannnya. Tegas kububuhkan tanda tanganku lengkap dengan namaku,
tanpa gelar akademik. Di bagian terbawah kertas itu, kutambahkan ‘Nb:
baca baik-baik nama saya, jadi, bukan yang nama yang asal kamu sebut
tadi. Berikut ini, saya beri contoh tanda tangan kamu yang biasa
diwakilkan oleh kawan kamu di lembar absensi. Saya sarankan agar kamu
mengulang di semester depan!’ aku tak mau peduli lagi dengan ekspresi wajah mahasiswa palsu yang bahkan tak tahu nama dosennya sendiri.
Yaaa,
Gie! Aku tidak akan mengeluh kali ini, telah kukepakan sayap kecilku,
menjadi serupa burung walet yang terbang bebas, tak lagi menjadi sapi
ternak kampus ini. Sekalipun aku tahu, nilai itu akan tetap berwujud ‘A’
pada lembar Kartu Hasil Studi mahasiswa itu dan mahasiswa lainnya yang
telah mabuk dibuai candu, suguhan oknum marketing edukasi.
Maafkan, ketidakberdayaan hamba, Sultanku, namamu telah dicoreng oleh anak-keturunan yang lahir dari rahimmu sendiri.
Duhai,
Sultan kami yang termasyur dalam lembar sejarah peradaban bertahta
tinta emas. Gelar agungmu tercipta dari air kemurnian yang kau suling
mensucikan tanah leluhur, jangan khawatir, masih ada percikan mata air
tak terkontaminasi polusi racun kapitalisme, disini masih ada
askar-askar setiamu, walau segelintir!
Indonesia masih ada harapan, Gie! Segelintir generasi muda ini adalah The happy selected few, sebagaimana telah kau ramalkan.
Aku
melepas seluruh kancing kemeja kerjaku, sosok wajah Che dengan sorot
mata elangnya meledakan semangat pemberontakan. Bergabung bersama
segelintir mahasiswa, merdeka kuteriakan;
“GANYANG!…. GANYANG!!..... MAKELAR NILAI!!!!..... BONGKAR!!!... BONGKAR!!!..... PARA PLAGIATOR!!!!”
-Koelit Ketjil-
Dimulai
dari perbatasan antara Ramadhan ke sembilan belas menuju Ramadhan ke
dua puluh, sekiranya seribu empat ratus tiga puluh dua tahun paska
Rasulullah hijrah
24 Agustus 2011 pukul 16:57
24 Agustus 2011 pukul 16:57
suka juga saya dengan yang ini sob,
BalasHapusmenarik
Menarik banget artikel anda ini, gan Mantaap
BalasHapusAgen Bola
Agen Poker
Agen Sbobet
Agen Judi Bola
Bandar Bola
Situs Taruhan Bola
Website Taruhan
Website Taruhan
Agen Bola
Agen Poker
Bandar Bola