Kamis, Oktober 30, 2008

Laskar Pelangi; Sebuah Film Anak atau Sebuah Propaganda Ormas?




Hari Senin kemarin, tepatnya tanggal 27 Oktober 2008 pukul 14.25 WIB, aku dan adikku, -setelah lama sekali gak pernah nikmati waktu bersama dengan my little sister,akhirnya bisa nonton film Laskar Pelangi yang ditunggu banyak orang, ini terbukti dengan antrian yang panjang dan diputar pada dua theater sekaligus. Tepat disebelahku ada seorang bocah kelas lima SD, tiba-tiba anak ini berseru khawatir “aduh ada ibu guru saya!” sembari menutupi muka kecil itu sekenanya begitu ada beberapa rombongan ibu-ibu masih berpakaian seragam PNS melintas dua baris didepan. Tingkah laku bocah ini mau gak mau menarik perhatianku, Aku akhirnya jadi melakukan `interogasi semu` dengan maksud untuk mengetahui seberapa besar minatnya untuk menonton film ini, yaa itung-itung sambil menunggu habisnya film-film ekstra yang sedang memenuhi layar lebar itu.


“Loh kenapa de? Kok sembunyi! Bukannya film ini memang tentang cerita anak-anak sekolah jadi kenapa harus takut ketauan guru kamu?”.Bocah ini merasa tenang setelah dirasa posisinya cukup aman dengan memastikan berdiri sejenak untuk melihat gurunya duduk dikursi beberapa baris jauh didepan kami. “Bukan begitu Kak, saya ini harusnya sekolah, masuk siang” Ooo, sekarang aku tahu kenapa dia harus sembunyikan mukanya tadi, “loh kalau masuk siang kenapa ade ada dibioskop ini? Bolos atau sakit? Kalau gak sekolah karena sakit bukan berarti bisa keluyuran dong” kalau memang dia sakit aku justru merasa salut dengan minatnya untuk menonton film ini bahkan dia tidak mempedulikan sakitnya dan mengalahkan keinginan sekolahnya, mungkin sama semangatnya dengan Seneca yang pernah bilang; Non scholae sed vitae discimus - We do not learn for school, but for life! Tapi kemudian aku jadi tertawa kecil begitu si bocah menjawab ini; “Saya gak sakit kok Kak, sepatu saya tuh basah!” perlu diketahui bocah ini baru pertama kali masuk 21 dan betul-betul sendirian masuk bioskop 21 ini, kukira dengan rombongan geng-nya yang hampir mirip Laskar Pelangi, mengingat film ini tentang persahabatan anak kecil.


“Masak gak bisa sekolah cuma gara-gara sepatunya basah? Terus boleh nonton bioskop gitu, emangnya sepatu kamu cuma satu de?” menurut sepengamatanku bocah ini pasti cerdas (wuits gaya neh bisa tau kecerdasan seorang anak cuma dalam beberapa menit, mentang-mentang pernah jadi guru SD sukarelawan). “Saya gak sekolah `kan gara-gara sepatunya basah, kalo sepatunya basahkan boleh gak masuk sekolah, kalau saya sakit baru gak boleh kesini. Beneran sepatu saya cuma satu, sumpah!” sambil menekuk kakinya diatas kursi, hehehe dalam hatiku “kamu bilang dirumah ada seribu pasang sepatu juga aku tetap mengangguk-anggukan kepala kok”, salut deh untuk bocah ini, i think this is white lie walaupun bohong tetaplah bohong but this is something different!


Si bocah yang begitu ingin tahu bagaimana dunia dan perjuangan anak sekolah seumurannya pinggiran Sumatera hingga mengorbankan satu hari bolos sekolah, aku bisa pahami hal itu karena aku sepakat dengan semangat teman-teman gerakan anak-anak yang selalu mengorbankan panji-panji “semua orang itu guru, alam raya sekolahku”, sebagaimana juga yang diterapkan oleh Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi ini yang mengajak muridnya belajar dari alam, tapi kemudian yang menarik adalah para rombongan guru-guru bocah tadi! Jika muridnya bolos sekolah didalam bioskop ini, lantas apa namanya bagi mereka yang berada ditempat yang sama dengan si murid yang bolos?! Apakah mereka juga menganut prinsip “alam raya sekolahku” dalam hal ini “bioskop adalah sekolahku”???? Proses belajar-mengajar pindah ke bioskop 21! hahahahahaa.


Sekeping realitas nyata yang kutemui dari bangku bioskop ini menggambarkan orang begitu rela melakukan apapun untuk mengetahui bagaimanakah kisah Laskar Pelangi yang diterjemahkan dari tulisan -yang memprovokasi imajinasi kita kedalam situasi itu, menjadi format lain -audio visual, berharap terpuaskan lewat penggambaran yang jauh lebih sempurna dari apa yang telah disajikan oleh buku, Rosa rubicundior, lilio candidior, omnibus formosior, semper in te glorior - Redder than the rose, whiter than the lilies, fairer than everything, I will always have glory in thee. Setelah menonton film itupun beragam pendapat kemudian terlontarkan, ada yang merasa bahwa film ini lebih sempurna dari apa yang disajikan oleh novel, ada yang berpendapat bahwa tidak ada esensi yang berkurang dari yang ditayangkan oleh film tersebut (sebagaimana juga dilontarkan oleh sang penulis ketika launching filmnya), ada juga yang kecewa terhadap penyajian film yang banyak menampilkan hal-hal yang tidak penting ketimbang semangat yang diusung dalam novel tersebut bahkan ada juga yang mengambil kesempatan berharga ini untuk kepentingan politis.


Sebagaimana kita ketahui orang nomor satu di Republik ini saja ikut menonton film ini, siapa yang tidak curiga kemudian, jika orang yang seharusnya paling sibuk di Republik ini tiba-tiba saja meluangkan waktunya untuk sekedar menonton film didepan khalayak publik, bukankah beliau memiliki kekuasan hampir tidak terbatas? Jika memang beliau ingin tahu isi film itu apalah susahnya memerintahkan salah satu ajudannya untuk meminta copy film tersebut dan menontonnya dalam istana (aku yakin pembuat film tidak akan keberatan), kondisi ini kemudian menjadi bola panas bagi beliau. Kita masih ingat bagaimana reaksi masyarakat ketika beliau menitikkan air mata saat menonton film Ayat-ayat Cinta, yang akhirnya menggelindinglah pendapat nyinyir bahwa beliau sedang melakukan `tebar pesona` atau `cengeng`lah..bla..bla..bla.. mungkin ini juga sebagai bentuk apresiasi lain atau efek yang ditimbulkan oleh film tersebut.


Tidak bisa dipungkiri film sering dijadikan alat propanda terhadap isu atau misi-misi tertentu bagi beberapa golongan. Film Rambo yang begitu fenomenal adalah senjata yang sangat efektif bagi Amerika untuk menutupi malu dari kenyataan kalah perang di Vietnam, maka diciptakan sosok yang dapat menyelesaikan itu semua hanya dengan satu orang! begitu hebatnya sosok Rambo hingga menjadi idola para penontonnya bahkan dalam masyarakat Vietnam.


Kawan-kawan aktivis pergerakan juga memanfaatkan film seperti misalnya dalam Film `Behind Border` `Burning Mississipi` dan `I am Sam` yang mengusung misi kemanusiaan dan advokasi bagi masyarakat yang terpingggirkan. Kita pasti masih ingat `film wajib` yang setiap tahun diputar semasa penguasaan orde baru yaitu `G 30 S/PKI` juga merupakan sarana propaganda yang sangat efektif sehingga begitu meyakinkan masyarakat akan kekejaman dan menunjukkan betapa heroiknya seorang Soeharto padahal kita belum mengetahui kebenaran fakta sejarah, meskipun sejarah juga cenderung subjektif kearah hal yang menguntungkan bagi si penyusun (penyaji) sejarah itu.


Aku jadi ingat ketika masa-masa kuliah dulu ketika sering menghadiri undangan diskusi kawan-kawan, ada seorang pemateri yang bilang bahwa komponen perubahan ada 4 elemen; ide, masa pendukung, media propaganda dan yang jelas uang. Secanggih apapun ide yang dimiliki seseorang jika tidak ada yang mendukung (sepakat) mungkin ide itu hanya menjadi tumor otak bagi si pencetus, agar ide ini dapat tersebar luas maka diperlukan alat propaganda (bisa melalui koran, radio, poster, lagu, film dll) yang secara efektif meluas dan sporadis (eits dah lama gak denger istilah sporadis euy!), elemen yang terakhir tak perlu diragukan lagi. Sepakat berarti ada persamaan persepsi; baik dengan cara temuan kesadaran sendiri atau upaya memaksakan kesamaan itu, bagiku bull shit jika ada movie maker yang bilang “kami sekedar menyajikkan tontonan, terserah bagaimana penonton menyikapi, kami tidak memaksakan untuk sepakat dengan ide yang kami tuangkan dalam film kami”, film dijadikan alat bagi mereka untuk menggiring pikiran penonton agar sepakat terhadap apa yang mereka sajikan, setidaknya mempengaruhi pikiran penonton –meskipun kekuatan pikiran penonton bebrbeda-beda.


Sebagai contoh misalnya film horor “Jembatan Cassablanca” aku yakin bagi orang yang pernah menonton film itu begitu melintasi sekitar situ ada sedikit keinginan berharap melihat penampakan hantu itu, kenapa aku bilang begitu? Jika mereka tidak berharap melihat penampakkan mereka tidak perlu tengok kanan-kiri, bunyikan klakson atau memainkan lampu saat melintas, bukankah ini sebuah indikator (meskipun sepele banget) bahwa film berhasil merubah pikiran penonton kearah apa yang diinginkan movie maker.


Benarkah film Laskar Pelangi adalah representasi semangat anak-anak dalam meraih impian untuk mengejar cita-cita mendapatkan pendidikan setinggi mungkin sebgaimana yang digembar-gemborkan? Perlu diingat film Laskar Pelangi tidak bisa lepas dari Novelnya, meskipun tidak mungkin seluruh isi novel dapat berubah wujud menjadi audio visual. Movie maker gak mau spekulatif mengangkat naskah yang belum diketahui reaksinya dalam masyarakat, maka mereka ambil jalan singkat ambil yang sudah jelas tenar dimata masyarakat


Ini yang menjadi dilema bagi para movie maker, seperti misalnya kejengkelan Hanung Bramantyo ketika menggarap AAC yang menjadi terbatas dalam melakukan eksplorasi karena harus berhadapan dengan penulis novel itu (yang berharap kemurnian materi), produser (segi duit/komersil pastinya) dan ormas islam (yang tidak mau kemurnian nilai jadi rusak oleh film itu sendiri), banyak bermunculan kritik bahwa film AAC bukanlah melulu tentang nilai islam yang tak ada bedanya dengan film romantisme (percintaan belaka) hanya settingnya saja yang berada dalam lingkungan islam, tapi apa yang terjadi? Kenyataannya; bioskop 21 dipenuhi oleh ibu-ibu pengajian. Aku tidak menangkap begitu kuatnya semangat anak-anak (Laskar Pelangi) dalam menunjukkan keinginan mencari ilmu dalam film ini, (tidak sekuat yang disajikan dari tulisan Andrea tentunya). Film ini terlalu banyak menyajikan domain pada mind set-nya orang dewasa. Mungkin secara sinis kubilang film ini mengenai kegalauan hati guru yang mengajar pada sekolah yang hampir rubuh! Mengapa demikian…


Dimulai dari adegan awal masa masuk sekolah, begitu khawatirnya dan kalutnya para guru hanya karena kekurangan seorang murid -karena jika kurang dari sepuluh maka sekolah tersebut ditutup, pertanyaannya apakah jika memang kurang seorang murid lantas kemudian mereka berhenti menjadi pendidik (jika guru dikatakan sebagai profesi tetapi pendidik bukan)? Kegelisahan Bu Mus sampai-sampai harus melontarkan perkataan “Seharusnya ini menjadi hari pertamaku menjadi guru!” sampai-sampai dia bersiap diatas sepedanya untuk mencari seorang anak hanya untuk memenuhi kuota (entah dia ketemu anak siapapun disepanjang jalan nantinya).


Tokoh Bu Mus yang seharusnya sangat kuat menonjolkan upaya dia mendidik anak-anak justru ternodai dengan remeh-temeh gangguan rayuan Tora Sudiro, pekerjaan sampingannya sebagai penjahit dan keterpurukan mental setelah ditinggal Kep Sek, ini sama sekali tidak penting dalam film ini, adegan ini tidak dimunculkan pun tidak akan mengurangi esensi film ini, lagi-lagi ini domain orang dewasa yang mengambil porsi durasi peran anak-anak yang cukup banyak.Sementara peran anak yang ditonjolkan lebih banyak remeh-temeh belaka.


Kepasrahan Kepala Sekolah yang tak perdaya pada selembar kertas keputusan sehingga harus tega mengubur impian anak-anak untuk bersekolah. Tapi bandingkan dengan adegan ketika KepSek berdiskusi dengan kawannya, bersikukuh mengatakan akan mempertahakan sekolah itu meskipun tidak mendapatkan bayaran atau minimal tertunda beberapa bulan dan rela mendidik anak-anak, meskipun keadaan sekolah begitu menyedihkan. Kecurigaanku kemudian adalah adegan ini dimanfaatkan sebagai alat propanda untuk menunjukkan nilai-nilai institusi Muhammadiyah, cukup panjang durasi diskusi ini. Bukankah anak-anak itu tidak peduli dengan institusi sekolah mereka (nasib juga yang membawa mereka pada sekolah yang menyedihkan itu karena pilihan sekolah lain sangatlah sulit bagi mereka) yang mereka inginkan hanya sekolah itu sudah! jadi untuk apa dijelaskan mengenai nilai yang dibawa institusi? Sementara porsi adegan yang menggambarkan semangat anak-anak akhirnya tidak tereksplor dengan maksimal.


Aku masih mau menilai film ini yang banyak mengeksplor mind set orang dewasa (sekedar mencari jawaban apakah benar film ini murni tentang semangat anak mengejar cita-cita). Kita lihat lagi kegalauan hati seorang guru bernama Bakri yang harus mengubur idealismenya karena merasa tidak ada jaminan hidup yang pasti dalam meniti karir disekolah itu. Kenyataan desakan pemenuhan kebutuhan hidup telah mengalahkan idealisme untuk mengajar anak yang tidak berkecukupan. Aku pribadi pernah mengalami situasi ini ketika beberapa bulan menjadi posisi guru sukarelawan SD pada sebuah yang termasuk IDT, aku bilang posisi karena tidak sepenuhnya aku berniat `sukarelawan` disekolah itu dan tidak dilandasi dari awal niat menjadi pendidik, lebih dari sekedar mengisi waktu luang sambil menunggu pekerjaan lain, terus terang saja. Jadi yang kumaksud dalam hal ini (kasus Bakri) adalah bahwa ini domain orang dewasa.


Masih ada lagi, entah mungkin aku yang lupa dengan isi buku. Aku jadi heran dengan kemunculan Tora Sudiro dalam film ini, aku coba mengingat-ingat siapakah tokoh dalam buku yang diperankan Tora (sialnya novelku kutinggal di Sumatera!). Sejak mula-mula film ini diputar terlihat sekali upaya pendekatan Tora untuk meraih hati Bu Mus, sampai membujuk agar berpindah kesekolah PN Timah, beberapa adegan bersepeda, pertemuan mereka disekolah PN Timah, saat kematian Kep Sek. Lagi-lagi ini wilayah orang dewasa. Mungkin ini kekhawatiran movie maker yang gak mau kehilangan penonton orang dewasa dengan menambah sedikit bumbu-bumbu mendekati romantisme.


Pertanyaanku mengenai sosok Tora sedikit terbuka justru ketika hampir diakhir fim tapi kemudian aku jadi ragu lagi, jika memang dugaanku Tora memerankan tokoh (pada novel) seorang guru PN yang begitu arogannya dengan embel-embel keilmuannya bahkan gelar akademik yang menyangkal jawaban akhir Lintang saat lomba cerdas cermat dan menurut penilaianku sendiri justru penulislah yang begitu arogan, karena menggunakan Lintang yang nota bene anak SD dengan akses keilmuan yang terbatas dapat mematahkan arogansi guru SD bertitel itu dengan memaparkan teori yang diakui oleh sang guru sebagai teori yang sangat tinggi, ini menjadi berbeda dalam film dimana Tora justru mendukung jawaban Lintang.


Yang kumaksud mengenai arogansi penulis adalah Andrea tidak sadar bahwa dia berubah menjadi Lintang dan anak-anak LP lainnya. Andrealah yang pernah mengecap ilmu dan teori itu dari bangku SMA, kuliah bahkan Sorbonne Perancis sana, bukan anak-anak SD itu! Banyak sekali sebenarnya dalam novel (yang membuat aku muak) tentang ketidak sadaran Andrea memerankan posisi yang harusnya lebur menjadi anak-anak, bukan menunjukkan arogansi keilmuan yang pernah dia dapatkan tapi dituturkan lewat mulut seorang anak SD, yang terjadi kemudian adalah novel tersebut menjadi serupa kamus lengkap ilmiah atau kamus lengkap tumbuh-tumbuhan (lihat beberapa halaman terakhir), hal ini juga menjadi suatu hal yang tragis ketika diawal pengantar buku -dengan bangganya (arogan) mengatakan bahwa novelnya sering dijadikan rujukan ilmiah, benarkah begitu?


Apakah dengan mengutip materi dari buku orang lain tanpa menulis rujukan kutipan itu disebut suatu hal yang ilmiah? Sepengamatan saya yang lemah ini dan pelupa ini, tidak ditemukan sepotongpun tulisan yang menunjukkan referensi yang diambil oleh penulis ketika dia berkoar-koar mengenai ratusan nama latin bunga-bunga, hewan dan teori-teori ilmiah yang tersebar memenuhi lembar-lembar dalam novel ini (apakah Andrea sendiri yang memberi nama latin bagi bunga-bunga itu? Benarkah dia hafal nama itu semua tanpa melihat lagi buku acuan sebelum dia tuliskan dalam novelnya? Bersifat ilmiahkah tindakan ini?).


Kembali lagi pada film, pemilihan set film dengan menggunakan narasi suara Ikal dewasa yang pulang untuk pamit menuju Sorbonne menunjukkan bahwa peran utama dalam film LP berada pada Ikal, ingat film ini digembar-gemborkan sebagai penggambaran anak desa yang begitu semangatnya menimba ilmu yang dimulai dari sekolah yang hampir roboh sampai akhirnya bisa kuliah diluar negeri dan tokoh utamanya adalah Ikal, tapi sayang aku tidak menangkap kesan yang begitu kuat dari semangat itu ada pada tokoh Ikal dalam film ini (berbeda kesanku terhadap Ikal dalam novel), bukan karena penguasaan peran dari pemain tetapi proporsi untuk menunjukkan itu tidak tereksplor dengan baik.


Pemunculan Ikal diawali dengan ketidak pede-an untuk sekolah dikarenakan menggunakan sepatu perempuan. Sebagai pemeran utama yang memiliki semangat untuk mengejar ilmu justru terkalah dengan sosok Lintang, dimana beberapa kali ditunjukkan adegan dia harus berhadapan dengan buaya, mengasuh adik-adiknya mengejar waktu untuk sekolah setelah kepulangan ayahnya dari melaut dan bersepeda dengan jarak yang sangat jauh. Peran Ikal justru terjebak (atau dijebakkan oleh movie maker) kepada hal-hal yang tidak menunjukkan semangat untuk sekolah. Berulang-ulang adegan seputar kapur, toko keloontong dan kuku indah bahkan dalam kelas pun berulang-ulang ditunjukkan keinginan Ikal untuk membeli kapur. Bandingkan dengan tokoh Denias yang begitu tereksplor dengan sangat baik sekali bagaimana sangat besar porsi adegan penunjukkan keinginannya untuk bersekolah hingga jatuh-bangun menuju kota.


Kesan terburuk yang didapat dalam film ini bahwa Ikal pergi ke Sorbonne hanya karena kaleng bergambar menara Eiffel pemberian pujaan hatinya, seharusnya ditonjolkan secara kuat bagaimana Lintang menjelaskan Perancis sebagai lumbung ilmu yang banyak mencetak tokoh-tokoh dunia dan teori-teori keilmuan yang begitu mendunia sehingga muncul ketekad hati mereka untuk meraih cita-cita itu (jika memang film ini konsisten dengan jargonnya `impian seorang anak desa yang mengejar ilmu hingga ke Sorbonne) tidaklah cukup dengan durasi beberapa detik saja sementara banyak sekali frame-frame yang menunjukkan hal-hal yang tidak perlu!.


Keinginan subyektifku sebagai penonton (yang telah membaca novelnya) justru terletak pada bagian ketika Mahar dan Flo membentuk persaudaraan rahasia sejenis Ilumnati. Bagaimana bocah seumuran Mahar dapat mempunyai ide cemerlang itu hingga mampu meyakinkan orang-orang dewasa dalam proses perekrutan tersembunyinya dan melakukan petualangan demi memecahkan permasalahan berbau mistis, misterius, gaib dan takhayul yang dipercayai oleh pandangan masyarakat tapi mereka memecahkah misteri itu dengan hal yang ilmiah. Meskipun akhirnya anak-anak ini terperosok terlalu jauh dalam kegilaan mereka sendiri hingga nilai sekolah mereka turun drastis dan mengambil jalan singkat meminta bantuan kepada seorang dukun yang paling disegani. Tapi pesan moralnya sangat HEBAT sekali bahkan dukun sekaliber Tuk Bayan saja memberikan `mantra` bagi anak-anak itu; `KALAU MAU PINTAR, YA BELAJAR!`


Sayang dalam film ini porsi petualang mereka tidak terkesplor dengan luas, hanya sekedar ditunjukkan dengan adegan turun dari perahu dan bayangan sang dukun fenomenal itu saja. dan esensi perjuangan anak-anak dalam mencari ilmu, movie maker lebih tertarik mengeksplor pencarian ide kreatifnya Mahar dalam menghadapi Karnaval, sementara persaingan studi (nilai sekolah) dimana masing-masing unggul dalam mata pelajaran tertentu antara sesama anak-anak dikelas tidak terlihat. Terakhir pada penutup film dimana Lintang dari balik jendela menatap bangga anaknya yang bersekolah dan beranggapan pentingnya arti sekolah bagi anaknya, lagi-lagi ini point of view orang dewasa. Terlepas dari itu semua, film Laskar Pelangi sebagai sarana hiburan memang menjadi rekomendasi bagi kita yang haus akan tontonan bermutu, yang capek dengan film-film yang sekedar mengejar trend film. Tulisan diatas adalah murni subyektifitas aku yang merasa ada sesuatu bergerayangan dikepalaku, bikin tangan gatel untuk menulis sesuatu.


Semper letteris mandate - Always get it in writing!




Selasa, Oktober 21, 2008

Ironi Socrates

(picture taken from: www.rci.rutgers.edu)


Seorang kawan bertanya,


"Kenapa kamu lakukan itu? bukankah itu sama saja dengan membuka aibmu juga bahkan bisa membunuh perasaan itu!"


aku cuma bilang, ini mungkin ironi Socrates (Socrates`s irony). apa yg Socrates lakukan dahulu kala sebelum manusia mengenal penanggalan masehi, dia lebih memilih meminum racun cemara pada sebuah alun-alun (dimuka orang banyak) adalah utk tunjukkan kebenaran yg menurut dia benar adanya. bisa saja dia meminta maaf dan menghilang begitu saja dari pusat kota tempat dia berdiskusi dg siapa saja (pedagang, budak, prajurit dll) tp bukan Socrates jk dia tenggelam begitu saja tanpa mempertahankan kebenaran.




aku memang bukan Socrates bhkn tdk seujung kukunya... tp aku juga tidak tahan dg menyembuyikan kebenaran dan yang hanya satu yang aku ingin bahwa aku tidak tahu apa-apa.... karena begitu tahu... inilah yang terjadi

Sabtu, Oktober 11, 2008

Rubbish! Everybody has bad times. Don`t give up!



Jika Pras berkutat dengan diskusi antara `dia` versus `dirinya sendiri`, lain halnya dengan Tristan, dia harus berhadapan dengan petugas pemeriksa karcis kereta api. Kesalahan fatal baginya hanya karena mengikuti seorang gadis yang hampir mirip dengan mantan pacarnya, mungkin mantan idaman hatinya lebih tepat lagi, sekarang Tristan harus main `kucing-kucingan` atau lebih tepatnya `kucing-tikus-an` adalah hal biasa bagi penumpang gelap kereta api yang selalu dijadikan kambing hitam atas penyebab defisit atau selalu dijadikan alasan bagi Perum penyedia layanan transportasi massal itu selalu meruginya setiap tahun akibat banyaknya penumpang tak berkarcis yang mengakibatkan sedikitnya setoran pada Negara, ah bagi Tristan setoran itu pasti mampir di kantong pejabat teras Perum dan menguap menjadi rumah mewah atau serupa mobil sport import keluaran dari negeri pemberi hutang negerinya ini.


Rangkaian demi rangkaian gerbong telah dijadikan persembunyian, sementara toilet busuk sudah digembok karena diketahui menjadi tempat persembunyian favorit penumpang gelap, alhasil penumpang resmipun tak berhak menggunakan fasilitas busuk itu. Kini Tristan berada pada sambungan antara gerbong restorasi dan loko, seorang tua memanggilnya untuk turun dari atas gerbong.
“Anak muda lebih baik turun dari situ sia-sia kau korbankan nyawamu hanya sekedar lari dari petugas, ayo turun sini gabung dengan oom,” Tristan hanya tertegun.
Eksentrik sekali lelaki tua ini, rambut putih tapi gondrong terkucir, jaket kulit penuh dengan emblem logo-logo tak asing di matanya, celana jeans belel menyaingi kulit hampir keriputnya dan sepatu catterpillaar tua. Orang ini minta dipanggil oom? ahh dengan eyang kakungnya saja mungkin sebaya, sedikit lompat mendarat pada baja padat lalu dia rebahkan badannya berlindung dari angin, Pras duduk di sebelah lelaki tua itu tapi tidak ada tanda-tanda percakapan diantara mereka. Tristan hanya memberi kode `siapa orang ini?` sementara yang diberi kode hanya mengangkat bahunya sedikit kemudian bersin.
“Hhhuatsyii!”


“Oke Ratri, aku sms sekarang tenang aja…”
“Kamu ngomong apa Bro?” Tristan seperti mendengar Pras berbicara tapi tidak jelas
“Ahh, gak ada apa-apa kok!” tangannya merogoh saku jaket, mengambil handphone. `aku lagi di kereta api bareng Tristan, nanti aku kirim email foto-foto perjalanan kami. Tenang aja kondisi aman terkendali. Salam untuk kawan-kawan di Jogja` ibu jarinya menekan tombol `ok` lalu pada layar tertera `sending message` tak lama layar berkedip `message sent to Ratri`.


“Dulu kawan oom sampai patah tulang kaki dan pergelangan kaki remuk gara-gara jatuh dan berguling puluhan kali tapi dia cuma ketawa karena sebelum jatuh kami ditemani si `TOMI`, kamu pahamkan?” gerakan tangan membentuk topi di kepala lalu dimiringkan yang menyakinkan Tristan atas maksud pembicaraan dari oom eksentrik itu, Tristan masih tersihir pesona eksentrik teman sesama pelariannya itu. Lelaki tua itu memahami ekspresi anak muda berkaca mata di hadapannya.
“Hahaahhaaa… Anak muda…anak muda, engkau terlihat begitu kokoh! Otak mu tidak pernah aku ragukan akan sama dengan udang kali, semangatmu sama seperti mereka prajurit seroja di medan tempur timur laut Dili, tapi kenapa hanya karena tak paham bentuk perhatian dari kekasih lantas kau serupa pesakitan Nusakambangan yang hilang dukungan politis kroni-kroni cendana karena terjerat kasus korupsi, merasa hancur karirnya, kekayaan disita negara atau mungkin lebih tepatnya koruptor seniornya sementara keluarganya kabur keluar negeri menikmati kekayaan yang tidak terlacak tapi lupa menjeguk Ayahnya yang rela mendekam akibat tuntutan istri dan anaknya yang haus akan kehidupan jetset! Baahh… macam mana pula kau ini anak muda!”


Belum habis pengaruh sihir eksentrisme lelaki tua itu, tiba-tiba mulut Tristan dengan ringannya menceritakan perang kecilnya dengan kekasihnya pagi tadi dan sekarang dia seperti Gogon di tengah panggung Ketoprak Humor yang menggigil sakau ditertawai penonton justru bukan karena tingkah polahnya yang membuat geli penonton melainkan cibiran ratusan mulut penonton yang mengetahui dirinya sebagai pengguna narkoba. `Siapa kakek tua ini? Kenapa aku jadi curhat kepada orang itu? Apa hak dia menertawai aku sedemikian puasnya? Biar ku pukul dagu rapuh itu agar diam atau ku lempar dia, mari kita lihat, tertawakah dia berguling puluhan kali tanpa `TOMI`!!` tapi hal itu tidak akan terjadi karena berkas teduh dari balik mata hampir katarak itu menyihir Tristan untuk tetap diam.


“Hey, Kek bisa diam ga? Nanti terdengar penjaga!” Tristan tahu persis ancamannya itu sia-sia, ini akan dilakukan oleh siapapun yang kehormatannya terancam cemooh.
“Apa terdengar penjaga?! Hahahahahha… anak muda…anak muda…Disini?? Kau bernyanyi Indonesia Raya pake versi dangdut dengan menggunakan megaphone pun tak akan terdengar aparat Kodim di dalam sana…hahahhaa… ada-ada saja anak muda ini.” Gila! menyanyi Indonesia Pras versi dangdut adalah sama saja dengan bunuh diri. Jaman SMA dulu Tristan pernah merasakan 27 jam sel dingin Kodim hanya karena tim Marching Band SMAnya memainkan lagu Indonesia Raya versi dangdut tanpa pengawasan pelatih, itupun mereka terselamatkan karena pelatihnya harus turun tangan rela meninggalkan tugas melatih Marching Band Gubernuran Jawa Barat begitu mendengar asuhannya mendekam sel Kodim, sebuah keuntungan mempunyai pelatih anggota Kodim juga.


“Ahh, maafkan kelancangan mulut tua ini anak muda. Sudahlah jangan panggil aku dengan sebutan kakek, bisa mati aku jika kau panggil kakek. Panggil aku oom, oom Binsar!” tangannya menjulur kearah Tristan, kini mata Tristan jelas merasakan keteduhan sihir mata abu-abu itu, tapi kemudian terbelalak begitu tangannya berjabat erat dengan lengan lelaki tua itu semakin ototnya mudanya meregang, reaksi otot lelaki di hadapannya itu tak kalah tegasnya, bukan orang tua biasa kesimpulan singkatnya. Pras hanya sekedar menghormati orang tua ini, tangannya ikut menyambut uluran, berkenalan singkat sekedarnya lalu tenggelam dalam dunia lamunannya, berbeda dengan Tristan.


“Ok oom… tapi dengan satu syarat, berhenti sebut aku anak muda!” lengan mudanya melepas pasti jabat erat lawan bicaranya.
“Aih, anak muda dengan darah mudanya, luar biasa!. Ok, aku tidak akan sebut Kau lagi dengan sebutan anak muda, setuju anak muda…ooo maaf siapa namamu anak muda?” pancingan Binsar langsung diterkam Tristan.
“KODOK, bukan A NAK MU DAA!” Kereta ekonomi berhenti sesaat untuk memberi kesempatan bagi kaum borjuis pada kereta kencana Argo Lawu melaju, tak berubah jaman ini sejak Max Havelaar merasakan perbedaan kelas antara Adipati dengan kawulo alit di tanah Banten sana.


Semilir angin senja menjadi penghantar momen curhat yang nyaman terlebih kopi panas tertuang dari termos stainless steel setinggi 40 centi menghangatkan tubuh dari nakalnya angin bulan desember.
“Aku heran oom mengapa wanita tidak mau memahami kegelisahan kita kaum adam ini?” Tristan kembali mempercayakan gelora batinnya pada orang yang baru dikenalnya ini sementara Pras tenggelam dalam Nikon D10, lensanya kini mengarah pada langit senja dan belasan burung.
“Padahal aku sudah meghilangkan ego kelelakianku dan ku obral gengsiku bahkan derai tangisku laris manis menetes di hadapan dia ketika seluruh unek-unek ku ungkapkan pada pacarku, tolong digarisbawahi PACARKU, tapi apa yang kudapat? hanya tanggapan dingin! lantas pada siapa lagi aku harus berbagi? Apa pada seorang tua eksentrik di tengah jalan kupanggil dan kuberi uang lima rebu perak cuma untuk mendengar rengekanku tanpa perlu komentarnya, semurah itukah aku?”


“Hhmm, Tristan muda…” aihh mulai lagi kakek tua ini membangunkan macan lapar dalam diri Tristan
“Oom cukup Tristan saja, ok” senyum kecut jelas ditunjukan sebagai bentuk protesnya. “Kau harus memahami dirimu sendiri baru kau coba pelajari perempuan kekasihmu itu, kau akan sangat menyesal ada disini jika saja kau sudah paham betul dirimu sendiri dan perempuan kekasihmu itu adalah belahan jiwamu bukan? Ini juga berlaku untuk dirimu anak muda” Binsar menunjuk pada Pras, lalu menawarkan kopi panas dari termos stainless steelnya. Pras yang semula tidak ambil bagian dalam diskusi kecil itu akhirnya menjadi tertarik untuk mendengarkan.
“Otomatis kau pun akan memahami jalan pikiran kekasihmu itu. Panggil kembali memori biologismu yang pernah menyatakan bahwa dia adalah pilihan paling tepat bagi dirimu, mahluk yang akan meruntuhkan raksasa Gorgoyle dalam diri liarmu itu, panggil saja kembali toh ada dalam dirimu tidak kau buang,” auranya memancar tenang, mentari senja mencipta siluet tubuhnya kala menenggak kopi panas. Momen ini tak luput dalam jepretan kamera Pras.


Tristan serasa dibelai oleh Eyang kakungnya dulu saat dia menangis berebut bola tenis dari tangan sepupu tuanya. Meresapi kata-kata lembut tadi, terheran akan rasa hormat kakek tua ini terhadap kaum hawa, bahkan dia menyebut perempuan bukan wanita, meski Tristan pernah tidak sepakat berdebat sengit dengan kawannya yang sok aktivis itu mengenai perubahan istilah `wanita` menjadi `perempuan`, dia akhirnya mengakui ada makna dan efek berbeda lebih dari sekedar sebutan belaka, perempuan terasa lebih terhormat dan memberi efek psikologis hebat bagi yang disebutnya. Pras baru menyadari, bagaimana kakek tua itu dapat mengetahui kalau dia pernah mengatakan bahwa Nadhien adalah pilihan paling tepat bagi dirinya juga tentang raksasa itu?


“Aku pernah muda bahkan sekarang pun masih muda jadi jangan heran. Boleh aku menebak?” Tristan hanya menggerakan bahunya halus saja.
“Kulihat dari gayamu, pasti kau ini sering mendaki gunung tapi kau belum layak disebut pecinta alam, jangan marah dulu kawan,” sesaat darah muda Tristan berdesir tapi Pras menahan bahunya, peringatan kakek tua ini ada benarnya, walau ada protes dalam dirinya, hampir mati hypothermia di ujung puncak Pangrango demi selembar syal berwarna orange bertuliskan MAHASISWA PECINTA ALAM, kok bisa-bisanya diragukan kadar “cinta alam”nya. Baik mari kita dengarkan siraman rohani kakek tua ini, dalam hatinya coba berkompromi dengan gejolak batinnya.


“Seorang pecinta alam sejati pasti mampu memahami perempuan, kau pikir orang membuat perumpamaan yang sia-sia antara perempuan dengan alam dan berpikir tidak ada kaitannya sama sekali? Coba sadari lagi kenapa alam nusantara raya ini disebut BUNDA PERTIWI, coba kau khayalkan kembali kenapa padi di sawah sebagai perlambang Dewi Sri, pernah dengar pegunungan yang diumpamakan dengan keindahan payudara Putri Sheeba (THE BREAST OF SHEEBA)?, atau kau perlu menyelam laut selatan untuk menemui Ratu Roro Kidul?, coba kau renungkan lagi kenapa Shopia akar kata philoshopy bermakna sisi perempuan dari Tuhan, bahkan agamaku menaruh keistimewaan teramat indah pada diri perempuan; cita-cita paling luhur dari manusia paling suci hingga manusia paling bejat sekali pun, siapa tak ingin menuju SURGA? Kau tahu letaknya dimana? Telapak kaki ibumu, ibumu, ibumu bukan ayahmu! Melebihi tanaman padi, melebihi nusantara raya, melebihi sebuah dimensi. S U R G A! anak muda, surga pada diri perempuan, begitu juga agama lainnya yang menaruh penghargaan tertingi terhadap perempuan, pasti kau pernah dengar Holly Marry The Virgin atau Dewi Kuan Iem.” Binsar memperhatikan ekspresi wajah Tristan.


“Berapa kali kau mendaki gunung? Gunung tertinggi mana pernah kau taklukan?” Tristan sadar pertanyaan itu bukan untuk dijawab terlebih dengan arogansi penaklukan.
“Tapi pernahkah kau berdiskusi dengan alam? Ya… memang gunung bisa menjadi guru alam paling hebat bahkan melebihi guru besar dari UGM sana yang lagaknya melebihi kemampuan wali, seolah-olah hanya dia yang pernah sekolah saja, tak perlu jauh-jauh jika untuk sekedar berdiskusi dengan alam, apa menurutmu Ebiet G. Ade adalah seorang gila ketika dia berteriak lembut dengan gitar usangnya … `tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…`, Ebiet telah mendapatkan jawaban maha dahsyat dari situ bukan pertanyaan sia-sia dia ajukan pada rumput bergoyang dengan jawaban angin lalu semata” diam beberapa detiknya mencipta decak kagum akan keluasan pandangan kakek tua ini.


“Aku tidak akan membuat mu menjadi paham karena aku pun sekedar berdiskusi dengan salah satu unsur alam paling sempurna yang Tuhan pernah ciptakan, bukan begitu pemuda pendiam?” matanya menatap dalam kearah Pras, sementara dalam hati Tristan bergema, `hey Binsar tua sudah berapa gunung pernah kau ajak diskusi?` dia yakin pada pandangan pertamanya bahwa lelaki tua ini juga pastinya sering mendaki gunung, begitu juga keyakinan lelaki tua yang menebak tepat hobinya, dia jadi teringat seloroh kawan laki-laki genitnya pernah berkata `hanya Gay tulen yang dapat mengetahui ada beberapa Gay berkeliaran dalam gedung mall ini` kawannya itu dapat menunjukan dengan yakin orang-orang tersebut. Rasanya sia-sia dia menunjukkan pada kawan-kawan kosnya puluhan lembar poto ekspedisi alamnya dan koleksi potongan ranting kayu bakar dari setiap gunung yang dia beri catatan serupa inventaris sebuah departemen yang dibeli dengan uang negara, tak pernah dia sadari untuk berdiskusi dengan alam, dengan gunung, pohon, semak, burung, ular atau apapun yang dia temui sepanjang langkah ekspedisinya. Bodoh kau anak manusia!


“Boleh saya gabung disini?” senyum tipis pemuda tegap itu seakan sedikit lega, lega bisa lepas dari kejaran penjaga, lega mendapatkan kawan pelarian dan lebih lega lagi seorang tua menyodorkan kopi panas setelah wajahnya tertampar angin selama tiga jam lamanya. Entah ada chemistry apa bagi sesama pelarian mereka begitu mudahnya menggelontorkan bongkahan perasaan hati mereka yang membatu serupa gunung Merapi yang memuntahkan jutaan kubik material lahar dingin.
“Hahaha…lagi-lagi anak muda dengan dengan problematika hidup” ringan saja Binsar melontarkan ungkapan itu tanpa melihat ekspresi wajah kedua anak muda yang hanya saling berpandangan aneh.
“Maaf pak, nama saya Dewan… dan terus terang saya kurang suka dengan sebutan `anak muda` tadi, maaf,“ Tristan seolah sepakat dengan kawan barunya ini, ekspresi wajahnya menunjukkan hal itu dan dagunya memberi kode pada Binsar, seolah mengatakan dengan lantang `kau dengar, tidak ada satu anak muda pun senang untuk disebut anak muda` tentunya tidak dengan bahasa verbal sementara kakek eksentrik ini lagi-lagi hanya tersenyum.


“Jadi kau lari dari dunia pendidikan hanya karena kau menangis? Secengeng itukah pemuda segagah dirimu ini! Bisa kau ceritakan lebih jauh lagi?” Tristan yang tidak menjadi objek `pembantaian mental` dari Binsar menggeleng lembut bercampur salut akan keterbukaan kakek itu mungkin memang seperti inilah dia berbicara dengan semua orang yang baru dia kenal, tidak ada sedikitpun basa-basi keparat atau hormat palsu bagi lawan bicaranya.
“Jauh sebelum itu oom!, ketika aku masih di dalam rahim bundaku, nama Dewantara sudah dipersiapkan Ayahku yang berharap agar kelak anaknya menjadi pendidik seperti sosok Ki Hajar Dewantara karena Ayah pengagum sosok besar itu, terlebih Ayah adalah lulusan Taman Siswa di Jogja dulu kala, aku turuti keinginan agung Ayah selain itu juga aku pun terasa seperti ada panggilan untuk mendidik anak-anak Indonesia meski jauh dari bayangan untuk dapat menciptakan putera bangsa berkualitas, aku hanya terprovokasi setelah membaca Kartini ketika di sekolah dasar dulu, aku ingat betul ucapan Kartini `betapa sempurnanya hidup, menjadi Guru sekaligus menjadi murid dalam waktu bersamaan`, terus terang saat itu juga badanku bergetar.” Dewan tak ragu menceritakan masa lalunya


“Berapa lama kamu menjadi guru? Bukankah dirimu mendapatkan kesempurnaan hidup dari mendidik?” Tristan turut membuka diskusi sela gerbong bagi pelarian, ada rasa penasaran dari tutur kata Dewan terlebih ketika dia menyatir kata-kata Kartini.
“Hanya sekitar enam bulan saja, empat bulan terakhir sebenarnya sudah menjadi puncak pemberontakanku. Awalnya memang aku merasakan nikmatnya dunia mendidik anak-anak, bayangkan saja berpuluh-puluh anak menciumi tanganmu ketika kau baru sampai pada gerbang bambu sekolah terpencil itu, aku yakin dulu waktu SD kau pernah mengalami itu, bahkan anak-anak yang berada di pojok sekolah pun berlarian menyambutku dan memanggilku `pak guru..pak guru` berebutan menciumi tanganku, tapi kenikmatan itu tidak kudapatkan dari rekan sesama pendidik, mereka korup! Mereka memeras kantong orang tua dari anak-anak yang hanya sekedar buruh tani, menggarap sawah mereka sendiri tapi hasil panen menjadi milik tuan tanah hanya karena sertifikat tanahnya berubah menjadi uang pangkal masuk sekolah bagi anaknya, bahkan parahnya lagi tuan tanah itu adalah orang yang sama dengan Kepala Sekolah dari sekolah dimana anaknya mengecap pendidikan dari guru-guru setengah hati mengajar, tak layak mereka disebut mendidik!” Dewan menceritakan dengan menggebu-gebu.


“Mengapa kau begitu idealis anak muda, ooh maaf, Dewan? Tidakkah kau sadar akan kebutuhan hidup guru-guru daerah terpencil seperti rekan kerjamu itu? Seberapa besar gaji pokok dan tunjangan minimalis para pendidik kita? Terlebih mereka yang bertahun-tahun menjadi `budak` dari dunia pendidikan kita ini, alih-alih anggaran, pemerintah terkesan senang mempertahankan status `honorer` mereka bukankah itu sebuah penelataran? Aku juga yakin ada pergolakan batin antara idealismemu dengan kenyataan kebutuhan hidupmu. Begitu juga rekan kerjamu yang harus membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya yang harus mereka sekolahkan diluar tempat dia bekerja karena mereka paham betul rekan kerjanya akan mengajar separuh hati jika anak mereka bersekolah di tempat dia mengajar, maka dia harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mencari sekolah yang sedikit lebih memadai. Tokoh idolamu; Ki Hajar Dewantara dan Kartini berasal dari keluarga berkecukupan, anak muda. Pernah terpikir hal itu dalam diri pemberontakmu?” mata abu-abu Binsar seolah menyala di balik keremangan senja yang semakin pekat.


Dewan mengatur emosinya, menata napas, mempersiapkan kata-kata. Tenggorokannya seolah tersedak akibat masuknya oksigen yang tak terbendung oleh hidungnya akibat ucapan Binsar tadi.
“Aku berasal dari keluarga tidak lebih dari cukup pak, tidak lebih, bahkan cukup pun jarang kami temui, gelora mudaku tak pernah mempertanyakan besarnya honor kuterima dari sekolah dasar desa terpencil yang berdiri di atas tanah kas desa, berdinding kapur campuran pasir, atap genteng dengan ventilasi lebar di atasnya bahkan tiga dari empat ruang belajar tanpa daun pintu sama sekali, tak tega rasanya aku menerima rupiah dari kondisi itu, tapi kenyataannya aku membutuhkan biaya juga, maka hak honor empat bulan yang tak pernah kuambil terpaksa kumintakan.” Bibir Dewan bergetar sehingga suara yang keluar dari tenggorokan terdengar seperti menggigil, dia pun menarik napas panjang tapi wajahnya tak kuasa dia angkat. Sinar matahari senja menyentuh setengah wajahnya, lensa Nikon zoom mengarah pada detail wajah itu.


“Enam ratus ribu rupiah, pengabdian empat bulanku hanya dihargai enam ratus ribu rupiah. Satu bulan aku hanya berhak mendapatkan sebesar seratus lima puluh ribu rupiah, bayangkan enam hari kerja dengan enam jam kerja perhari maka aku mendapatkan enam ribu dua ratus lima puluh rupiah, sementara aku datang pada sekolah terpencil itu harus menggunakan satu kali angkutan kota disambung angkutan desa lalu berganti naik ojek pada ujung desa itupun aku diuntungkan tidak perlu mengeluarkan ongkos penyeberangan sungai karena si pemilik getek merupakan salah satu orang tua muridku,” intonasi yang keluar dari mulutnya terkesan bergetar.


“Bukan itung-itungan rupiah sebenarnya yang membuat aku mengambil keputusan untuk keluar dari sekolah itu, hampir setiap malam aku dihantui kesombongan akademisku, terror pengecut dalam batinku jika aku keluar dari garis juangku ini serta kenyataan rupiah selalu berkecamuk dalam malam-malamku, betapa tidak kesombongan akademisku berteriak kawan! Satu minggu setelah aku mendapatkan hak atas rupiahku aku menemukan lembar rekapitulasi pembayaran gaji para guru, disitu tertera nama penerima, latar pendidikan, jenjang dan jumlah gaji.” Pandangan Dewan menjadi kabur akibat air yang terbendung kelopak matanya.


“Miris rasanya dan menangis kesombongan akademisku begitu mengetahui guru lulusan setingkat D II mendapatkan gaji pokok sebesar dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, oke mungkin karena beliau memiliki masa bakti setelah belasan tahun jadi berhak mendapatkan gaji sebesar itu, tapi aku terkejut sampai terduduk tidak percaya, Pak Udin penjaga sekolah yang hanya berlatar pendidikan pernah mengikuti Kejar Paket C mendapatkan gaji sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah sedang aku lulusan Sarjana Sosial Politik dari Perguruan Tinggi Negeri paling bergengsi di Yogyakarta mendapatkan gaji sebesar seratus lima puluh ribu rupiah perbulan, aku merasa sang maha patih pun menangis melihat lulusannya dengan kondisi terpuruk ini,” ketiga pelarian itu hanya terdiam masing-masing mencari perlindungan batin atas kenyataan yang baru saja mereka saksikan dari pengakuannya. Ada yang menatap rembulan, memegang cangkir kopi dan satunya lagi hanya menyedot asap tembakau sekedar meredam efek dari cerita getir Dewan.


Lengan Binsar menepuk bahu Dewan memberikan sedikit sokongan mental, Dewan hanya menatap sebentar tangan pada bahunya itu.
“Disitulah aku sadari betul, ijazah sarjanaku belum menjadi jaminan kehidupan lebih baik, ternyata aku harus mengakui keunggulan orang beruntung dalam sistem kehidupan yang belum juga aku pahami kemisteriusannya hingga detik ini,” kali ini Dewan memberanikan diri untuk menatap mata kawan-kawannya untuk mengetahui reaksi dari cerita panjangnya itu. Binsar tak ragu membalas tatapannya tapi Tristan terkesan gelagapan mencari perlindungan lagi.


“Kawan, hidup adalah perjuangan, aku yakin semua orang sepakat akan hal ini. Kita perlu mempersiapkan segala amunisi dan logistik untuk mengarungi medan pertempuran masing-masing agar tidak mati konyol atau terdampar pada pojokan gelap kehidupan. Ada saatnya kita berkata, ya, sudah saatnya kita berdiri lalu berjalan mencari jawaban atas misteri sistem kehidupan yang belum kau temui hingga saat ini hingga berwujud kegelisahan, mencari, dicari, carilah! meski tak kau temui tetapi sesungguhnya proses pencarianmu itulah jawaban itu. Oh maaf, setidaknya hal itu yang sedang kulakukan kawan, mungkin saja bisa sama untuk dirimu, bisa saja karena kita sama-sama pelarian, bukan begitu kawan Tristan!” Tristan hanya mengangkat cangkir kopinya.


Pembicaraan mereka beralih pada perjalan hidup Binsar yang membuat perut mereka terkocok hingga kaku dan mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka bertukar alamat, nomor telpon bahkan email tradisi lama bagi para penjelajah alam sebagai tanda pertemuan mereka kali ini merupakan sebuah awal perjalanan panjang bersama dan seakan berikrar suci akan melakukan petualangan bersama di masa depan. Sisa pertanyaan diskusi panjang masih menunggu untuk dikeluarkan tapi malam terlanjur larut, rasa letih mereka memaksa tubuh untuk takluk pada rasa kantuk, berharap jiwa gelisah hilang terbawa angin laju kereta api yang menembus kegelapan malam alam pasundan. Mentari pagi menyentuh kelopak mata Pras, Tristan dan Dewan tapi mereka tak menemui sosok Binsar, pada jaket mereka terdapat bungkusan nasi rames panas dan termos stainless steel setinggi empat puluh senti terselip di bagian samping ransel Tristan sudah terisi penuh lagi, dia tahu ini hadiah spesial untuknya. Mereka saling bertatapan, tersenyum dan berkata
“Dasar lelaki tua eksentrik bernama Binsar!” tawa lepas keluar dari mulut mereka. Tristan berteriak mengacungkan termos kecil itu,
“Oooii, orang tua, kami anak muda ini berterimakasih, bangsaaattt!!!” Dewan tersenyum geli namun dalam batin Pras masih menyisakan misteri, dia merasa ada benang semrawut yang kedua ujungnya akan bertemu antara Pras dan Binsar.


Derit roda kereta api berhenti pada stasiun kereta api Kota Bandung. Dewan masih harus melanjutkan perjalanannya, Tristan sudah merengek untuk segera menuju BIP, Pras memberi menyetujui dengan syarat mandi dulu.
“Ini Bandung Bro! jangan samain dengan Jogja dong, katanya mau liat-liat cewek Bandung, mandi dulu abis itu sarapan, oke! Sayang kan nasi bungkus dari oom Binsar, Gak lama kok, lagi pula BIP masih sepi jam segini,” Tristan akhirnya sepakat karena sisa pencernaan semalaman memaksa untuk segera terbuang.


Tristan sibuk dengan pilihan lagu-lagu Punk yang dibuat secara indie-label, dia jadi tertarik dengan filosofi Punk setelah membaca novel Dewi Lestari bahkan dia yakin akan bertemu Bodi di Bandung ini, parahnya lagi Tristan akan memangkas habis rambutnya mirip Bodi, kalau bisa Bodi sendiri yang bersedia menggunduli kepalanya yang asimetris itu belum lagi bekas luka tahun baru lalu, entah apa jadinya orang ini nanti. Ahh bekas luka tahun lalu berarti mengingatkan dirinya pada sosok Genta. Pras memindahkan memory card pindah pada card reader masuk kedalam laptopnya, hari ini dia harus memenuhi janjinya pada Ratri untuk mengirim email cerita perjalanan mereka. Dipilihnya foto-foto hasil jepretan Nikon, anehnya tidak ada yang menampilkan wajah Binsar dengan jelas, yang ada hanya siluet, tertutup tangan ketika menggambarkan maksud pembicaraan, tertutup cangkir kopi dan beberapa hasil yang tidak fokus.


Beruntung mall BIP ini memiliki fasilitas hot spot, Pras leluasa mengakses internet tanpa harus keluarkan biaya, entah ada berapa rupiah dalam dompetnya, duduk pada deretan meja restoran siap saji waralaba dengan mascot badut ini bukan berarti harus memesan menu dari situ, Pras pun tetap dengan cueknya meski meja sebelahnya dilap berkali-kali, dia tau itu salahsatu strategi agar dia tidak nyaman dan pergi dari meja itu. Email telah terkirim, laptop ditutup lalu berpindah kedalam ranselnya, Senyumnya mengembang. Just like you said to me, Ratri; “You are single until you decide you are. Just until you decide.” Yap, kamu benar! Aku pun meng-amini ucapanmu, at the end I am taking care of my self! So, perjalanan ini bukan pelarianku, hanya sekedar kembali pada titik awalku.


Dengan polosnya Pras bertanya pada pelayan restoran siap saji itu, “Kang, kalau yang jual nasi kuning dimana ya? Saya gak biasa makan sampah euy!” haram baginya memakan junk food, si pelayan dengan muka masam menjawab tidak tahu. Pras tidak peduli lagi pula dia sudah sarapan nasi bungkus pagi ini. Perasaannya jauh lebih ringan.

Kaloran Pena, Medio June 2008
(Rubbish! Everybody has bad times. Don`t give up... adalah ucapan peringatan seorang kawan terbaikku (Eve) saat aku terpuruk !)

Perempuan kamu akan tahu, pasti!

tak perlu kau tunggu sepanjang hari
tak perlu kau tunggu sepanjang hidup
entah dengan cara bagaimana
misterius mungkin
tapi kau akan tahu
kapan pelangi itu hadir
meski tercabik oleh ozon
meski memudar warna dasar
tapi pelangi itu hadir juga untukmu
atau ada baiknya kau sapukan kuasmu
ciptakan pelangi bagi bumi
kutunggu....
pesan ini..bukan untuk puncak tertinggi..bukan!

Eve`s words

kamu tulis ini di blogmu Eve;

"...kalau saja aku tahu cinta ini bisa membuatku merasa begitu mual dan ingin sekali menjamu kematian,sekaligus bersahabat dengan kehidupan, mungkin aku akan memilih untuk tidak cinta..."

aku sepakat sist!

(sory aku kutip tanpa ijin, tp aku yakin kamu gak akan keberatan... becoz im ur lovely brother, right!)

Senin, Oktober 06, 2008

Matinya Kata-kata


“Sudahlah kawan, kau terlalu mabuk malam ini!” penyair muda itu membangunkan tubuh kawan lamanya yang telah lebih dulu berprofesi sebagai perangkai kata-kata indah, dia bukan sekedar kawan lama, dia adalah referensi kata-kata, dia terkapar pada pojokan kedai tuak yang juga menjual teh chamommile.

“Mabuk?...hahh!!..kau bilang aku mabuk! Hahaha…lebih baik kau sebut aku sebagai orang gila! Bukan mabuk kawan…bukan.. kau tahu mabuk itu hanya pantas bagi mereka yang berbaju biri-biri dengan bau tengik tapi mereka paksakan cendana mengalahkan bau itu. Peeehh!!” seluruh cairan meluap dari dalam perut, seluruh sumpah serapah dengan kata terangkai tumpah ruah dalam ruangan pengap bernuansa musik padang pasir. Menggeliat tubuh penari perut dihadapannya, kaki-kaki mulus serupa warna tembaga meliuk tawarkan gairah. Tangannya menggapai-gapai dari betis menuju pokok penawar gairah itu.

“Hati-hati kawan, kau dapat saja terkena racun bisa dari budak melata itu” sekali kibasan saja peringatan kawannya menjadi sia-sia terlontar begitu saja berdebum pada meja kayu reot. “Hahaha… aku mati terkena racun? Hai, coba kau lihat mahluk rapuh dan cantik hasil pahatan serta goresan kuasa dewa yang paham arti keindahan, ini adalah karya sempurna bodoh! Perlu kau ingat, akulah diabolos, aku beelzebub, aku panglima saythan! Jangan kau ceramahi aku tentang bahaya dunia, kau serupa mereka berbaju biri-biri tengik” badannya bergoyang limbung tapi suaranya tetap menggelegar membuncahkan kata-kata.

“Aku Lucifer takkan mati terkena gigitan mahluk melata ini, Karena aku maka anak-anak Prajapati ada. Asura adalah putra kesayanganku, kau dengar itu!” dadanya mengembang, dagunya ditarik melawan gravitasi, penari itu menggeliat meliuk sepanjang tubuh tambunnya, menyusuri keringat beralkohol yang mengalir deras dari setiap pori tubuhnya.

Bibir ranum mahluk melata itu mengucapkan mantra buluh perindu pada telinga korbannya, lidahnya menjulur, bercabang dan berdesis. “Wahai lelaki perkasa yang dianugerahi birahi dan gairah, bawa aku serta pada istana kata-katamu, ijinkan aku berenang dan tenggelam dalam kolam syair maha kata itu. Tubuh lenturnya melilit gemas, sang korban bergelinjang menantikan sensasi lebih nakal pada pori kulit legamnya yang diprovokasi sisik lembut budak melata.

“Bagaimana dengan Alexander mu yang agung itu? Angkaranya pasti meledak dan pedang pasti terhunus pada batang leherku jika tahu permaisurinya hijrah pada istanaku, tidak kah kau riskan dengan beban nama dan kehormatanmu yang disucikan dalam tata ruang istanamu yang adiluhung itu bahkan tamanmu serupa firdaus sarat makna dan ilmu?” kali ini kepala sang maha resi kata-kata itu tertarik oleh gravitasi, menatap penari yang menggeliat pada pokoknya, dia tidak sekedar penari, kehormatannya jauh lebih tinggi beberapa derajat. Setiap geraknya adalah tauladan, setiap lekuknya patut ditiru bagi mereka yang hadir pada pondokan tarinya.

“Ahh, biarlah Alexanderku membatu… kata-katanya bisu, sentuhannya sedingin angin senja yang membawa kering debu melayang, tak dapatkah kau lihat tubuhnya terbuat dari granit kasar. Alexanderku sekedar patung tak bergairah dan menggairahkan, dia tak lebih dari Gupolo, raksasa batu bergada palsu yang diciptakan menakuti prajurit lawan yang bodoh pada gerbang istana rapuhnya” Penari itu menjulur-julurkan lidahnya, mencecapi madu yang tercampur sempurna bersama susu, larutan candu dan ribuan galon alkohol yang menyembur deras pada gelinjang resam tubuh sintalnya.“Oohh… pencipta kata-kata indah, lembut tiada tara, madumu memabukkan aku…” penari itu tergolek lemah setelah bergelinjang disisi kulit usangnya yang terkelupas. Penyair agung itu menyeringai meninggalkan penari yang tak sanggup lagi melata.

Dihadapannya kini telah berkumpul darah muda yang bergejolak teriakan panji-panji kemenangan juang. Angkuh pada pelana bertahta emas dan beratus mutiara, Penyair agung itu mengaum kobarkan semangat didihkan darah juang muda hingga menggelegak pada batang tenggorokan mereka. Para pejuang muda yang terbius dari mulutnya berupa candu kata-kata sang agitator. “Maju… siapkan daging segarmu untuk kejayaan, siramkan darah merahmu pada padang kurusetra ini, kemenangan hanya bagi mereka yang tidak tunduk pada penguasa lalim yang otoriter mengatur jalur kebebasan pikir dan karya cipta kita. Maju untuk kejayaan kata-kata!!”seringai senyum liciknya tersembul hanya sedikit, berhasil dia mencuci otak angkatan darah juang muda bodoh ini.

Bersujud dikakinya para penasihat raja, dijilatinya kumpulan daki pada sela jari dan kuku-kuku kaki penyair yang tak pernah tersentuh cairan selain hasil fermentasi. Terus menjilati sambil menantikan petikan wejangan keluar dari mulut yang mengaku telah mengajarkan strategi ilmu perang pada setiap kerajaan manapun. Takzim mereka menunduk, petikan wejangan yang keluar nantinya akan mereka klaim sebagai hasil perenungan mereka dan dipersembahkan pada sang raja demi membangun negeri. Membuncahlah berjuta metrik wejangan dari mulut sang resi kata-kata, pedas namun terkesan bijak tapi sayang para penasihat kerajaan bebal itu tak cukup pandai mengetahui niat dibalik ini semua. Mereka membungkuk hormat pamit meninggalkan peti-peti upeti dan tumbal berupa gadis tercantik.

“Hahaha… mereka tak tahu aku mengirim mereka agar kerajaan ini poranda, kalian pikir siapa yang mengirim Mephistopheles agar bersekutu dengan Faust? Aku dalangnya! Kau pikir aku hanya mendapatkan pepesan kosong? Salah besar!! Jiwa Faust menjadi milikku, dia hambaku! Begitu juga ribuan rakyat, askar muda, abdi kerajaan bahkan rajanya sekalipun, mereka hanya mengembik padaku!!” taringnya mencabik-cabik tubuh sintal gadis tumbal yang polos itu, lumuran darah perawan disiramnya dengan gemerincing emas sekujur tubuh tambunnya.

Kenikmatan segala nikmat duniawi terusik kala gerbang istana yang dibangun oleh rangkaian kata-kata itu diketuk oleh ratapan seorang dekil dengan baju biri-biri. Seluruh badannya menyentuh lantai kejayaan, merangkak takzim tidak berani menatap sang resi kata-kata. “Siapa kau mahluk dekil? Beraninya kau menyentuh duniaku! Duniamu adalah lorong sunyi kematian, kemabli pada alammu! Gelegar kata-kata tak sudi menerima kehadiran tamu dekil itu. “Hamba hanya berharap wangsit wahyu mulia dari baginda. Sudah sewindu ini hamba merindu untaian hikmahdari baginda yang mulia” tubuhnya masih menempel pada lantai, kepalanya tetap terbenam pada permukaan lantai pualam terhias abjad alpabetik indah.

“Apa?! Kau sebut aku baginda muliamu! Kau berharap wangsit dariku? Bukankah kau memuja zat yang kau anggap maha daya itu? Bukankah setiap detik kau abdikan mulut itu untuk menderas kitab berwarna kuning? Bukankah kau sudah jauhkan dirimu dari gelimang nikmat dunia hingga kau setarakan dirimu dengan kambing hanya untuk menyentuh firdaus?!” matanya membelalak, murkanya menjadi.

“Hamba hanya ingin meniru jalan darma seperti yang mulia jalani sebelumnya, begitu juga pendahulu kami, sang Zarathusra. Hamba memang membaca kitab itu setiap hari ribuan kali, tak kenal waktu tak pernah berhenti, kitab itu memang berwarna kuning tapi sudilah kiranya baginda melihat kitab ini” suara pasrah mahluk yang bertemu dengan penciptanya, mungkin seperti inilah gambarannya. Kitab itu melayang melawan hukum gravitasi, terbuka dihadapan mata yang masih memancarkan murka. Kitab lusuh berwarna kuning itu berbau apek, campuran debu, air mata dan keringat berkerak pada setiap lembarnya.

Angkah terkejutnya sang resi kata-kata –sang penyair mulia ini, begitu mengenal untaian kata-kata yang tertulis rapi dalam setiap lembar kitab lusuh itu. Kitab yang setiap detik dideras oleh para kaum berbaju kulit biri-biri ini –yang berharap agar hidupnya menjadi mulia setingkat dirinya kelak, merupakan rangkuman untaian kata-katanya sendiri. Syair-syair itu begitu dia kenali, tubuhnya melunglai, harga dirinya menguap, kulit legamnya mengelupas tunujukkan wujud asli berwarna keemasan kusut, mantar tobat tertambat pada ujung tenggorokannya. Terbenam dalam gemerincing ueti yang tiba-tiba berhamburan. Ribuan galon alkohol membuncah keluar dari mulut, setiap lubang pori-pori tubuhnya meledak menguapkan asap candu. Penyair itu tertelan bulat-bulat oleh kata-katanya sendiri. Menggelepar teriakan kata-kata terakhirnya; “Eloi…Eloi…lama sabhatani…”* persis seperi panutannya terdahulu.
(*ucapan Yesus ketika disalib)

KK X 130908