Sabtu, Mei 30, 2009

Putera Para Monster


Arrrgghh… lagi-lagi selalu saja ada teriakan keras di rumah ini, bentakan, makian, umpatan segala jenis spesies hewan keluar dari mulutnya yang berbau alkohol, benda-benda kesayangan melayang hancur-berantakan dan yang terparah seolah kau ingin tunjukkan eksistensimu sebagai seorang penguasa rumah tangga ini dihadapan anakku, mahluk rapuh itu milikku, ya milikku! Bahkan pada proses penciptaannya kau tak sadarkan diri, terlebih kau menolak kehadirannya dalam dunia ini. Tetap kupertahakan sampai kapanpun.


Rere menggigil dipojokkan kamar mendekap boneka kelinci bertelinga panjangnya. Sejenak menatapku ragu... ragu akan kekuatanku menahan pintu kamar ini dari amuk monster berbadan kecil dan berkacamata itu. Rere pernah menggambarkan ayahnya, setara dengan monster-monster lainnya, dengan karakter berbadan kecil, berbulu merah, bertanduk dari hidungnya menyemburkan api sementara tangannya memegang botol dan yang mencurigakan; monster itu berkaca mata! ketika kutanyakan maksud karyanya dari gores pastel berwarna merah itu, air mataku menitik karena Rere sudah bisa berbohong, sudah jelas Rere menggambarkan sosok ayahnya bahkan memberi nama PEA, aku menduganya ini pasti inisial ayahnya.


Kubujuk pangeran kecilku agar tidur saja, badanku masih membelakangi pintu, Rere menolak, dia berteriak lirih jika dia tertidur maka monster bernama PEA itu akan menculiknya karena bunda juga ikut tertidur. Aku tidak boleh melemah, meski setiap sendiku bergetar begitu mendengar suara lirih pangeran kecilku jika sedikit saja kukendorkan badanku dari pintu ini sudah dapat dipastikan monster itu berhasil masuk dan menculik pangeran kecilku. Tidak akan terjadi.


Kudengar monster bertubuh kecil-berkacamata itu mengancam akan membakar rumah ini, cukup sudah sudah, kau telah membangunkan monster yang sesungguhnya kini. Kubuka pintu kamar, kunci yang sejak semula berada pada lubang sebelah luar papan pintu ini kupastikan terputar penuh mengunci kamar Rere, kumasukan saku agar lelaki yang berlaga seperti monster itu tidak merebutnya dan mengambil pangeranku di dalam sana.


Lelaki itu masih mengumbar kata-kata kosongnya dari ruang dapur sambil mengacungkan jerigen minyak tanah dan korek api gas di tangan lainnya. Aroma alkohol dari mulutnya mengalahkan minyak tanah yang sebagian sudah ditumpahkan pada lantai dan kompor gas. Aku tak gentar. Dia berkoar-koar, tidak akan merugi harus membakar rumah yang telah dia bangun dari hasil keringatnya. Emosiku berhasil berontak dari ujung ubun-ubunku. Kau bilang ini rumahmu? Sejak kapan kau turut menyumbang satu sen bagi rumah ini? untuk membeli sebatang paku saja tak ada andilmu.


Kurebut jerigen minyak tanah dari tangannya, kutampar wajah lelaki kecil itu hingga terhuyung dan berdebam keluar halaman belakang, kusiram sekujur tubuhnya terutama mulutnya dengan sisa minyak tanah yang ada, mari kita lihat kuat mana pengaruh alkoholmu atau minyak tanah yang selalu kami, kaum perempuan, perebutkan dalam antrian panjang hanya demi beberapa liter ini? sekarang tidak akan sia-sia kesabaranku menunggu dan berdesakan antri minyak tanah jika dapat menciptakan arang dari tubuh busukmu.


Kau ingin ambil pangeran kecilku ini begitu saja. Dimana kau ketika pertama kali baru kusadari ada darah mengalir dari sela kedua pahaku? Kau lari dari kamar kos hanya meninggalkanku dengan setengah botol cairan yang membuatku pening bahkan kau lari dari kampus tempatmu kuliah, menghilang beberapa semester. Dimana kau ketika aku mengejang dan mengerang mengeluarkan anakku? Bahkan kedua orang tuamu yang dulu turut menghadiri ritual ijab kabul kita, meski hanya sejenak, juga tak tampak saat aku melahirkan pangeran kecilku, lagi-lagi hanya keluargaku juga yang menghadapi bagian keuangan rumah sakit itu. Ada dimana kau ketika pangeranku tengah malam menggigil demam tinggi? Bahkan ketika kuhubungi teleponmu hanya sejenak kau jawab dengan alasan sibuk berkumpul dengan kawanmu! Adakah satu rupiah yang pernah kau sumbangkan untuk biaya rumah, sekolah dan segala kebutuhan hidup kita bertiga? Lantas apa hakmu merebut pangeranku? Dia milikku!


Tak perlu kurebut korek api gas dari tangan satunya, akupun sama dapat menyemburkan api dari kedua lubang hidungku, biar kutunjukkan padanya tapi kupastikan pangeran kecilku tidak melihatnya. Tidak terdengar sedikitpun suara dari mulutnya meskipun dia membuka-menutup mulutnya, terlihat seperti slow motion, sementara hidungku sudah memercikkan api, semakin kutahan nafasku-semakin membesar api itu menyembur, sekali hembusan saja pasti membakar lelaki ini.
Tak jadi...


Tak jadi kusemburkan api dari hidungku... tidak... aku tidak ingin pangeranku menggambarkanku seperti monster berambut api lalu memberi nama PEDE, inisial namaku. Tidak!


Maaf bang, aku harus hentikan pembicaraan malam ini, Rere terbangun, kudengar dia meneriakkan nama monster itu. Terimakasih atas kesediaan abang mendengarkan curhatku kali ini seperti malam-malam biasanya. Besok kita sambung lagi. Klikk!


***


Lima menit sejak perbincangan tadi, mungkin lebih tepatnya mendengarkan, curahan hati kawanku, kini aku yang yang menjadi gelisah. Kemana lagi akan kutumpahkan bergalon-galon air derita yang kutampung selama hampir dua jam tadi? Kusedot batang pencipta asap beracun nikotin di tanganku, kucampuri satu jenis racun lagi, caffein, dalam mulutku yang terjun dengan deras melewati terjalnya tenggorokanku. Biar sepotong liver dan dua bilah paru-paruku yang menyaring racun-racun itu. Dua racun itu bekerja dengan cepat, menjalar melewati venna pada seluruh sistem tubuhku, memercikkan sejenis daya dalam otakku meski jantungku kewalahan mengatur tempo degupnya.


Kunyalakan komputer, awalnya kubuka folder file undang-undang, lalu kutekan satu file berjudul UUPKDRT, kemudian muncul tampilan Acrobat Reader, pada awal ketikan file itu kubaca: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.


Kubaca terus berulang-ulang kalimat ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.” Berharap rahmat itu muncul detik ini juga. Perhatianku beralih pada kalimat tepat dibawahnya, bagian konsideran undang-undang ini; ”bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” meskipun kalimat terakhir kutertawakan dalam kekehku, hah, t@*i kuc*#g! Bukankah seharusnya sesuai dengan hak dan martabatnya sebagai manusia.


Kuperhatikan kalimat yang menyusul berikutnya ini; bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Tidak konsisten! Atau tak ingin istilah itu, yang disebut-sebut sebagai perjuangan founding father, hilang ditelan jaman? Seteguk cairan hitam menetralisir emosiku tapi tidak untuk jantungku, menciptakan kompromi, baiklah, kuhentikan kejengkelanku pada istilah yang selalu ingin diturutsertakan dalam setiap kesempatan itu, tidak penting. Mari kita pelajari tentang perlindungan perempuan kali ini, sebagaimana pesan undang-undang ini, bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat. Perempuan yang baru saja menelponku, yang mengaku menjadi korban, telah menumpahkan bergalon-galon air derita padaku hingga aku menggigil sendirian ditengah malam ini.


Kupejamkan mataku, kuingat-ingat kembali setiap kalimat dari klienku tadi, kutarik nafasku, kukendorkan setiap ototku yang menegang, kuatur nafas tujuh ketukan sehingga tercipta `segitiga; bumi-pribadi-angkasa` ku. Pusaran maya menyedotku dalam suatu dimensi tepat ketika klienku menahan pintu itu dengan tubuh bagian belakangnya. Betul kulihat Rere pada pojokkan itu. Pantas saja emosi klienku memuncak pada sosok yang dia sebut monster ini, terlampau kecil untuk disebut monster. Aku berdiri diantara mereka, sebelah kiri; monster berkacamata, berkoar-koar sambil menggedor pintu, di sisi lainnya; dua sosok mempertahankan diri mereka. Aku hanya menjadi penonton belaka. Kudekati sosok bertubuh mungil mendekap erat boneka kelinci bertelingga panjang itu, matanya tajam menatap kearah bingkai foto ayahnya pada sisi ranjang berwarna birunya, ada percikan api dalam tatap matanya, inikah pangeran mungil yang terlahir dari kedua orang tua monster?!


Kutarik lagi nafasku dalam-dalam, kali ini menjadi empat belas ketukan; empat belas tarikan nafas, empat belas ketukan menahan nafas, empat belas yang sama ketika kuhembuskan perlahan. Kuselami mata berapi itu. Beginikah citra kehidupan yang kau rekam selama ini wahai pangeran mungil yang terlahir dari dua pasang monster? Badanku terlontar dari kursi, menjauh beberapa jarak dari layar monitor komputer. Masih terasa panasnya. Luar biasa!


Kuhisap batang berasap yang semakin memendek itu, segera kuganti redaksional pada konsideran undang-undang itu, tanpa adanya usulan draft akademik untuk meminta revisi pada Dewan Perwakilan Rakyat maupun pengajuan uji materil pada lembaga Mahkamah Konstitusi. Kurubah sendiri redaksional konsideran undang-undang itu. Terserah kau anggap `sesuka hatiku belaka` aku tidak peduli. Kuketik ulang;


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.
(kalimat ini yang seharusnya ada dalam tanda kurung ini sengaja kuhapus)


Menimbang
a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan (kurubah menjadi; ANAK) harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;


Begitu juga pada Pasal 1; Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan (kurubah menjadi; ANAK) yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


Kopiku dalam gelas hanya tersisa ampas hitam pada dasarnya, rokok ini batang terakhir yang tengah kuhisap, itupun tak lebih dari separuh batang bara apinya mendekat kearah bibirku. Kuhembuskan asap terakhirku. Pikiranku menjadi buntu, jari-jariku enggan menari pada keyboard, mataku memerah lelah, lalu tertidur.

Tiba-tiba aku berada dalam sidang para aktivis dan aku sebagai terdakwanya karena telah merubah karya agung mereka.


Mari kita berdebat hingga subuh atau tiga hari tiga malam denganku jika kalian ingin! Karena kalian perancang dan pembentuk undang-undang ini selalu memberikan penekanan `perempuan`, maka dalam benak kalian yang paling penting untuk dilindungi adalah perempuan, maaf, jika kalian bilang `terutama` bukankah sebaiknya kalian masukan `anak` sebagai prioritas utama? harus! Wajib! Terserah kalian cap aku keras kepala! Atau kompromiku; hilangkan penekanan itu, mari!


Mengapa kepalaku menjadi keras dalam hal ini? Karena kalian berkoar-koar bahwa undang-undang ini sebagai refleksi dari keberhasilan perjuangan gender. Bagiku, maaf; Bull sh#*t! Sejak awal permulaan saja kalian selalu menekankan pada perempuan, jadi kalian pikir perempuan lemah? Bukankah kalian `pejuang gender`? Lantas mengapa kalian meremehkan kaummu sendiri? Kubilang; JANGAN! Coba kalian lihat Pasal 3; Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. Nondiskriminasi.


Nyata bukan? Kesetaraan gender bukan berarti mengunggulkan satu gender tertentu, keadilan gender bukan berarti terlalu memperhatikan satu gender tertentu, maka dengan kalian memasukan kalimat `terutama perempuan`, bukankah ini bentuk diskriminasi? Karenanya kukeraskan kepalaku dalam hal ini! Maaf, bukan sentimen terhadap gender tertentu tapi semoga ini dipahami sebagai bentuk keikutsertaanku dalam garis perjuangan kalian. Maka tawaranku; rubah, ganti, revisi! Jika kalian tidak berkenan maka akan kuganti sendiri.


Mereka mengeluarkan jilid tebal pledoi mereka sebagai bahan pembelaan untuk mengelak bahwa ini bukan mengusung isu gerakan tertentu tapi semangat besar hak asasi manusia. Kutampar mereka dengan isi Pasal 1 angka 7; Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan. Masih juga mengelak? Kusodorkan isi Pasal 2, kujelaskan kembali bahwa dalam rumah tangga tidak hanya satu gender bahkan disitu juga ada pangeran kecil anak kawanku, ada kakek dan pamannya begitu juga Mang Udin yang selalu mengantarkan kalian dalam mobil mewahmu. Apa Menteri kalian mau mengurusi dan bertanggungjawab terhadap mereka?


Sebenarnya perhatianku tidak kukhususkan kepada si kakek, paman atau Mang Udin sang sopir tetapi jika kau tanyakan pada siapa penekananku? Maka tegas kukatakan; ANAK! Karena aku cukup menghormati dengan kalian memasukan Ketentuan Pidana yang tidak hanya dikenakan pada pelaku dengan gender laki-laki (suami) tapi juga perempuan (istri), berarti kalian dapat melihat secara objektif bahwa yang salah harus diberi hukuman tanpa melihat gender tertentu. Berilah perhatian lebih pada anak, toh mereka anak kalian sendiri, kalian yang melahirkan dari rahim kalian sendiri, bukan?


Apa kalian masih berkelit bahwa kalian telah menaruh perhatian pada anak? Lihat kembali dari beribu-ribu kata yang tercantum dalam undang-undang ini, hanya tiga kali... TIGA KALI saja kalian menuliskan kata; ANAK!! Itu pun, dua kali kalian sebutkan pada pasal mengenai pelaporan ke pihak Kepolisian, apa kalian gila membiarkan anak kalian melaporkan sendiri ke pihak Kepolisian ketika menjadi korban? Tentu saja kalian tidak segila itu! Jadi kalian katakan ini sebagai bentuk perhatian kalian terhadap anak?


Bukankah anak-anak justru korban sesungguhnnya dari pertikaian kalian wahai Bapak (lelaki) wahai Ibu (perempuan)? Apa bedanya anak kalian dengan rumah, mobil, tanah, perusahaan ketika kalian perebutkan? Apa bedanya? Beri aku satu saja perbedaannya! Sama saja seperti HAK MILIK bukan? Bahkan kalian meminta perlindungan undang-undang dan membayar pengacara termahal sekalipun untuk memperebutkan anak kalian.


Salah seorang dari mereka mendekatiku, menangis lalu menamparku. Plakkkk!!!!!


Kuusap pipiku, ada darah pada telapak tangan yang kugunakan untuk mengusap pipiku dan juga satu bangkai nyamuk yang gemuk menghisap darahku. Ahhh untung hanya.....





-Propinsi B, Kota S, Kecamatan S, Desa Kaloran Hj. Jaenab-
Lagi-lagi satu tulisan yang tertunda di tengah jalan (2 Mei – 29 Mei 2009)
Kali ini terprovokasi oleh; para penelpon ditengah malamku, G, dan Herlina Tiens... but thanks!









Sabtu, Mei 23, 2009

Pada Suatu Masa Kematian

Pagi sebagaimana rutinitas biasanya, kupacu motor kreditan menuju kampus, hanya sepuluh menit sudah sampai terkadang tak kurang dari tujuh menit jika gelora pembalapku meradang. Hari ini aku ingin menikmati lagi atmosfer diskusi hangat dalam ruang kelas. Kubuka diskusi hari ini ”So class, as we all knew before that criminology is study of crime. Criminologists explained their work through many approaches, such as Lombrosso with his rational-scientist thinking and experimental methods, his work is trying to find out the origin of criminal inside human body and mind, one of his theories tell us about born criminal. But right now I am trying to discuss about “twin theory”. As you all can see in the book `Introduction to Psychology`, in United State of America there was big project experiment about human nature traits inside the twin person, it called; `Minnessota Study of Twins Reared Apart` to find out about traits and criminal behaviors heritability” bahan handout tempo hari kuketik, kujadikan patokan.



Aku terus mengoceh tentang twin theory, manusia-manusia dihadapanku yang duduk melingkar memperhatikan dengan serius, kutebarkan senyumku sebagai bentuk penghormatan forum. Heritability studies estimate that the minimum extent to which different individuals vary in a trait within a particular human population is genetically determined. For example, I.Q. is considered to be highly heritable based on the extent to which monozygotic (identical) twins are more similar in I.Q. than dizygotic (fraternal) twins. Because identical twins are 100% genetically similar and fraternal twins only 50% similar, a higher rate of concordance, or similarity, in a behavioral trait between identical twins than fraternal twins is reflective of a genetic influence.” Kuajak mereka melihat buku `Kriminologi` tulisan Topo Santoso pada halaman dua puluh lima, sekedar komparasi teori psikis hasil penelitian Lombroso terhadap narapidana. ”During the I.Q test, Lombroso mentioned that the result of the test is; criminal`s I.Q less than 100!



Kuambil spidol, menuju white board untuk menggambarkan ilustrasi tentang proses pertemuan sel sperma dengan sel telur yang menentukkan apakah nantinya menjadi kembar identik atau hanya kembar biasa, tiba-tiba setelah menggambarkan ilustrasi itu aku hanya terdiam, berdiri menghadap mereka yang duduk dalam formasi kursi lingkaran besar. Kumpulan kalimat berdesakan meminta untuk keluar dari mulutku tapi ada yang menghambat mereka. Aku jadi teringat pada masa itu; pada suatu masa kematian!



*long-long time ago*



“Bunda nanti kalo ade kecil udah lahil boleh gak K ajak maen bola tlus maen pelang-pelangan, maen mobil-mobilan, ama maen tepok gambal?” mulut kecilku yang belum juga fasih menyebutkan huruf “r” dengan sempurna, masih terus meminta ijin bunda agar keinginanku dikabulkan bunda. Aku masih ingat betul masa kecilku saat masa-masa panjang penantian kelahiran adik kecil, setiap malam aku belum dapat tidur dengan nyenyak jika belum berbicara dengan adik kecilku yang masih melingkar nyaman di dalam rahim bundaku. Setiap kali bunda menghantarkanku pada ranjang kecil bermotif serupa dengan abangku, begitu juga motif-motif dan model pakaian, sepatu, tas yang serupa lainnya hampir semua barang milik kami serupa persis hanya berbeda warna meskipun kami berdua tidak serupa sama sekali, mungkin ini obsesi bunda. Setiap malam selalu kubelai lembut perut bunda yang membesar. Menempelkan telingaku pada perut bunda, bercerita pada adik kecilku didalam sana tentang serunya permainanku sore ini dengan teman-teman sebayaku, kadang aku dapat merasakan kekeh kecil adikku dari dalam sana. Bunda meyakinkanku bahwa adik kecilku betul-betul tertawa, belakangan kuketahui itu hanya tawa bunda yang tertahan geli melihat tingkah lakuku.



“Boleh sayang, tapi tunggu dulu sampai ade besar ya? Nanti kalau ade sudah bisa jalan, bisa lari boleh kok K ajak main bola tapi sekarang K tidur dulu, kalau ade diajak ngobrol terus, nanti ade gak bisa tidur. Bobok ya sayang.” Setelah mencium kepalaku sempat kulihat bunda membetulkan letak selimut abang, sejenak memastikan kami sudah betul-betul tidur kemudian mematikan lampu. Adik perempuanku dipastikan nyaman tidur dipelukkan bunda, sementara ayah sudah dua minggu belum juga pulang dari lokasi proyek pembangunan bendungan dan irigasi di sebuah desa terpencil Kota S.



Pagi betul aku sudah dibangunkan Nenenda, sesuatu terjadi pada bunda katanya. Mataku belum terbuka sempurna, botol susu tanpa isi masih melekat dimulutku. Aku melihat bunda mengejang dan mengerang, aku masih belum paham. Nenenda memindahkanku kepelukan Tante M menjauhkan kami dari kamar bunda, mengajakku dan abang menuju pelataran rumah. Abang masih memeluk erat kaki-kaki Paman A berkumis super tebal, abang tertua bunda, adik kecilku entah ditangan siapa.



Paman U datang tergesa-gesa dengan motor CB 100 warna tangki merah putih, turun dipelataran rumah bersama Bidan H, hampir setiap persalinan bunda dan tante-tante kami selalu ditangani Bidan H. Sejenak Bidan H tersenyum kearahku kemudian berbincang serius dengan Paman A lalu memasuki rumah. Abang berlari kearahku, Paman A keluar lagi hanya untuk melempar bola plastik kesayangan abang kemudian bergegas masuk rumah. Abang mengajakku main lempar-tangkap bola, kuikuti permainan itu sementara botol susu tanpa isi itu masih menggelayut tergigit pada mulutku.



Teriakan bunda seolah membelah pagi buta di desa kecil ini, Abang bereaksi dengan cepat, dia melempar bola keras sekali jauh melewati kepalaku lalu berlari secepatnya kearah dalam rumah. Aku hanya terdiam menggigil mendekap kedua lututku, karet penutup botol susu tercabik oleh gigi susuku. Tante M merangkulku, menenangkan aku yang menggigil. Aku mencari sudut kenyamanan dalam pelukan tante bahkan aku tidak sempat menangis tak mengerti apa yang terjadi tapi mataku bersembunyi dibalik bahu Tante M. Semua berkumpul dikamar, kulihat bunda tersenyum paling indah yang pernah kulihat, ada dua mahluk kecil berwarna merah bergelinjangan disekitar dada bunda.



Nenenda menciumiku berkali-kali, aku belum paham. ”Sekarang K sudah punya ade, dua lagi! tuh liat.” Tangan keriput Nenenda menunjuk kearah dua mahluk mungil itu, aku masih belum paham, abangku mendekat lalu berteriak; ”Hore A sekarang punya ade laki-laki baru lagi!!!” cepat-cepat yang lain memberi kode agar abangku diam. Perlahan titik pahamku mulai muncul, jadi seperti inikah wujud adik yang setiap hari kuajak bicara lewat batas labirin perut bunda, tapi bagaimana caranya mereka bergerak dalam perut bunda? Apalagi berdua!



Bunda memberi kode agar abang, aku dan adik perempuanku mendekat dan dipersilahkan menciumi mereka berdua. Abangku menciumi mereka dengan gemas, aku masih belum paham ekspresi apa yang harus kutunjukkan sementara adik perempuanku menangis ketika didekatkan pada mereka, mungkin sebagai bentuk protes karena mereka telah mencuri dua payudara bunda yang masih menjadi haknya.



Lalu kemudian gelegar petir dahsyat menghantam rumah kami. Ayah tiba-tiba saja hadir padahal baru seminggu pulang kerumah dari lokasi proyek. Badannya masih berlumuran lumpur merah, begitu juga sepatu boot dan motor trailnya, wajahnya sudah ditumbuhi lebat rambut-rambut liar. Firasat ayah ternyata benar, memeluk bunda yang belum juga siuman karena shock, kami bertiga betul-betul tidak paham, mengapa semua orang dirumah ini menangis? Baru saja pekan lalu semua tertawa bahagia, rumah ini hingar bingar dengan keceriaan tapi sekarang entah mengapa atmosfer rumah menjadi berat sekali?



”Ayah kenapa ade dipakein baju putih cih?” tanya polosku kearah ayah hanya dibalas pandangan berkaca-kaca. Ayah mengangkat salah satu adikku, satu lagi dibawa Paman A. ”Ayah ade mau dibawa kemana? K mau maen pelang-pelangan `ma ade!” rengekkan ku hanya disambut oleh pelukkan Nenenda, menciumi seluruh bagian wajahku tiada henti, lirih kudengar suara Nenenda, ”Ade-ade K mau dianter pulang oleh ayah...” aku masih juga belum paham! ”tapi ini `kan lumah ade? Koq kelual lumah tuh! Tlus kenapa koq yang ngantelin banyak amat Nek?” seingatku mereka seperti mendendangkan puji-pujian yang tak pernah kupahami artinya saat itu, hanya berupa dengungan saja tak lebih. Mereka membawa keluar kedua adik kecilku.



Bunda berteriak keras, ”Tuhan mengapa kau ambil lagi kedua anak laki-lakiku!! Tak cukupkah kedua anak perempuanku terdahulu?? Ooh Tuhan... Mengapa begitu irinya Engkau akan kebahagianku dengan malaikat-malaikat kembarku!! Kau ambil mereka semua!! Allahhhuuu Akbarrr....” Bunda kembali tak sadarkan diri.....

Aku pun memerlukan kesadaran diri itu...



”Pak... pak! Kita jadi diskusi tentang `twin theory` gak nih?” aku masih belum paham dengan ucapan pemuda ini, tangannya masih dibahuku. Astaghfirullah! Kuambil segelas air putih yang biasa kubawa kedalam kelas. Kuminum habis, kuatur nafasku. ”Oke! So after I explained the twin theory, now I`ll give you all thirty minutes to discuss the cases from Minnessota Study of Twins Reared Apart!sementara mereka membuat formasi kursi lingkaran dalam kelompok-kelompok kecil, aku keluar kelas mencari udara segar kemudian membuat polusi dalam rongga dadaku dengan membakar Dji Sam Soe. Kupandangi langit cerah biru laut hari ini, bersama hembusan asap Dji Sam Soe kusematkan sepotong doa bagi kedua pasang malaikat sedarah-dagingku, semoga asap-asap itu dapat menggelayut tepat dibawah nirwana. Semoga!




Angan bergerak di batas nyata
Kepakan terlampau lemah
Sampai pada isak pertama itu
Tak kusangka isak akhir pula
Hadirnya tak dapat kupeluk

Kenyataan berbicara lain

Rest In Peace My Twin Little Brother

jika camar dapat terbang
kenapa tidak pipit ringan melayang
jika jiwa kembali hilang
maka berpulanglah ia dengan tenang
akankah Arrasy itu terang?


-medio 2004-


-dari sekotak kamar tempat malaikat-malaikat itu pulang-

Kota S, di sebuah desa yang mengambil nama Nenenda Buyut

(sempat tertulis pada 15 Februari namun tak sanggup melanjutkan, selesai 23 Mei 2009*)

*karena kau Kika S (ialan)!!!* …but thanks!

Kamis, Mei 21, 2009

TUHAN AKU BERTERIMAKASIH

Tuhan Aku berterimakasih
Engkau telah ciptakan manusia,
Manusia yang telah ciptakan listrik
Hingga benderang alam ini!

Tuhan Aku berterimakasih
Sebab Engkau telah hadirkan manusia
Manusia yang telah melahirkan computer
Dan jemari kami pun menari pada keyboard ini!


Tuhan Aku berterimakasih
Karena kehendakMu tiup ruh pada manusia
Tiup ruhMu semangatkan pencipta flashdisk
Maka kamipun dengan leluasa pindahkan ruh kreasi kami!

Tuhan Aku berterimakasih
Karena Engkau mengijinkan manusia ini hidup didunia nyata
Dalam kehidupan nyatanya dia ciptakan internet
Sehingga menghidupkan manusia di dunia maya!

Tuhan Aku berterimakasih
Sungguh!!!



MENUNGGUMU DI PRASASTI BATU INI, AKU MEMBATU



Satu purnama telah tersenyum
Awalnya senyum rembulan begitu ranum
Berkas garis sabit, ingatkan senyummu
Utuh bentuk purnama wakilkan wajah teduhmu

Kali kedua kini muncul sabit
Kali ini garis itu menyayat
Jingga bentuk utuh itu
Hingga terkapar tubuhku


Sabit ketiga, garis itu
tidak lagi citrakan lengkung bibirmu
Purnama hanya menjadi candu
Tubuh ini bergetar dahsyat oleh rindu


Janjimu pada purnama ketiga
Tepat di prasasti batu kita bersua
Purnama itu menyihirku menjadi batu
Janji-janjimu terpahat pada kujur tubuh membatu



Kota S – Desa Kaloran Hj. Jaenab, May 21st, 2009

Audi et Alteram Partem


”Sepuluh hari waktu yang cukup! Cukup singkat untuk mengambil keputusan yang akan berimbas kepada sisa waktu sepanjang hidupmu kawan. Engkau harus berani menghadapi sidang ini setelah masa panjang penderitaanmu.” Tangan kawanku masih memijat-mijat tengkukku sementara wajahku tertunduk lesu, mataku memerah, degup jantung tak beraturan, tiba-tiba saja aku kesulitan untuk menghirup oksigen. Ramsad bilang aku pingsan selama sepuluh menit!


Sepuluh tahun sudah berlalu sejak ketukan palu terakhir hakim yang membuat putusan in kraght van geweisjde, rasanya seperti pingsan selama sepuluh menit saja. Ramsad datang lagi tepat di kebun yang sama dan tangannya lagi-lagi berada di tengkukku, kuperlihatkan berita mengejutkan ditulis dalam koran itu pada Ramsad. Wajahku tertunduk lesu, mataku memerah, degup jantung tak beraturan, tiba-tiba saja aku kesulitan untuk menghirup oksigen. Ramsad bilang aku pingsan selama sepuluh menit!


Sepuluh jam sudah sejak aku pingsan, Ramsad masih di sampingku. Tangannya kali ini ada di telapak tanganku, ada aura hangat mengalir dari telapak tangannya. Aku hanya melirik sedikit kearah Ramsad yang memejam serius. Ramsad mulai membuka kelopak matanya, buru-buru kusembunyikan lagi wajahku. Ramsad memutar wajahku hingga tepat berhadapan langsung, hanya beberapa jarak saja. Nafasku memburu tapi Ramsad hanya tenang saja, tenang sekali dengan wajah senyum kecil. Aku semakin curiga, rupanya Ramsad mencuri nafasku, dihisapnya dalam-dalam hembusan nafasku. Ramsad apa yang kau lakukan? Tapi aku hanya diam, bola mataku bergerak cepat kekanan dan kekiri tanpa menyentuh ujung bola mata. Ram

sad apa yang kau lakukan ??!!

Ramsad bilang aku pingsan lagi selama sepuluh menit. Kali ini tangannya menggengam segelas air mineral, bibirku ragu menerima uluran gelas itu. Semangkuk bubur putih tanpa potongan daging ayam, tanpa kecap, tanpa kerupuk, tanpa sambal, hanya seujung sendok saja yang masuk kemulutku itu pun tak jadi masuk perut. Kumuntahkan kembali. Tenggorokanku terasa panas, nafasku memburu, mataku memerah, degup jantung tak beraturan, tiba-tiba saja aku kesulitan untuk menghirup oksigen. Ramsad bilang aku pingsan selama sepuluh menit!


Handuk kecil yang tercelup dalam air hangat, diperas oleh Ramsad kemudian wajahku merasakan hangat nyaman handuk basah itu. Wajah Ramsad begitu tenang hanya saja mengapa garis-garis kerut mulai tampak pada keningnya? pipi yang kuketahui sebelumnya begitu menarik perhatian banyak perempuan, mengapa pipi itu terlihat begitu kisut? Ramsad menunjukkan senyumnya yang semakin melebar, dia paham aku memperhatikan detail wajahnya. Didekatkannya wajah itu kearahku hingga hanya beberapa jarak saja, senyumnya mengembang menunjukkan keistimewaan pada pipinya yang mulai kisut itu. Ramsad hanya diam, aku juga hanya terdiam, bola mataku bergerak cepat kekanan dan kekiri tanpa menyentuh ujung mata. Ramsad apa yang terjadi ??!!


Ramsad bilang aku pingsan selama sepuluh menit! Dia melambaikan tangannya kemudian menghilang. Sepuluh menit kemudian pintu tempat terakhir kali Ramsad terlihat, kini terbuka, dua orang bocah berlari kearah ranjang tempat pembaringanku. ”Bunda... bunda... coba lihat Nada dikasih kado oleh Ayah! Kak Bella juga tuh, ayo kasih liat ke bunda dong kak!” bocah lucu dengan rambut terikat mirip dua air mancur yang tumbuh dikepalanya itu menarik-narik baju seragam merah putih milik bocah perempuan yang dia sebut kakak. Ekspresi bocah yang lebih besar ini hanya datar dan malas berbicara ”Iya bun, kemarin waktu ulang tahun Bella dikasih kado. Papah Ramsad baik deh walaupun bukan Papah Be...” Ramsad tiba-tiba menutup mulut bocah itu dan buru-buru mengajak mereka keluar, tangan Ramsad melambai kearahku, menutup pintu. Nafasku memburu, siapa bocah-bocah itu Ramsad? degup jantungku tak beraturan, mengapa mereka menyebut aku sebagai bunda? Ramsad dimana kamu? Mengapa kamu tutup mulut anak itu??


Ramsad bilang aku pingsan selama sepuluh menit! Anak-anak sedang bermain dibagian penitipan anak bersama suster, kudengar suara Ramsad tapi kuperhatikan bibir Ramsad tidak sesuai dengan apa yang dia ucapkan, seperti proses dubbing film telenovela. Kedua telapak tangan Ramsad berada kedua telingaku seolah memastikan keadaanku, Ramsad mengamati setiap detil gerak bola mataku. Aku baik-baik saja Ramsad, sungguh! Aku buktikan itu dihadapan Ramsad dengan duduk bersandar pada bantal dibalik punggungku. Ramsad mengeluarkan beberapa berkas dari tas kerjanya, ada logo bank milik BUMN berprada emas pada bahan kulit tasnya. Ramsad bilang baru saja selesai mengurus biaya rumah sakitku di kantor ASKES, katanya juga beruntung Kepala Dinasku bersedia menandatangani berkas itu hari ini juga, jika telat satu hari saja maka biaya rumah sakit ini tidak akan ditanggung negara meskipun aku pengabdi negara.


Ramsad melangkah kearah kamar mandi. Kuambil koran dari meja disebelahku, tepatnya lemari kecil multi fungsi yang biasa terdapat disetiap rumah sakit. Entah kapan terakhir kali aku membaca koran? Mataku tertuju pada headline berita, lengkap dengan foto berita itu. Aku hanya terdiam, bola mataku bergerak cepat kekanan dan kekiri tanpa menyentuh ujung mata, nafasku memburu mataku memerah, degup jantung tak beraturan, tiba-tiba saja aku kesulitan untuk menghirup oksigen. Ramsad apa yang kau lakukan!!!

Koran itu terjatuh kelantai kemudian disusul besi penyangga botol cairan infus.

Head line koran itu tertulis:

BELLA SELAMAT DARI PERCOBAAN PENCULIKAN AYAH KANDUNGNYA

Kota S, (Kompaz),-

Bella Kartika Chandra Rini (11), putri sulung mantan Kepala Dinas Peternakan Kota S, Perwita Chandra Rini (30), berhasil diselamatkan oleh ayah tirinya, Ramsad Daud Ali (40), setelah hendak diculik oleh ayah kandungnya sendiri, Jeremy Bentham Walker (45), pada hari Selasa 21 April 2009. Peristiwa penculikan ini terjadi ketika Bella tengah merayakan hari ulang tahunnya kesebelas yang jatuh bertepatan dengan Hari Kartini.



Bella yang masih terlihat shock hanya dapat menangis dipelukkan ayah tirinya. Pesta yang sekiranya membuat dirinya bahagia kemudian berubah menjadi momen yang menakutkan bagi Bella. Berkat aksi perlawanan Ramsad kini Bella dapat kembali pada pelukannya. Baik Ramsad maupun Bella menolak untuk memberikan pernyataan kehadapan para wartawan.

Jeremy Bentham Walker, merupakan mantan penyanyi terkenal dari Australia ini telah bercerai dengan Perwita Chandra Rini sepuluh tahun lalu dan terpisah dengan anaknya karena Jeremy harus menjalani hukuman penjara. Latar belakang rasa rindu tak tertahankan terhadap anaknya yang menyebabkan Jeremy sehingga nekad menculik Bella ketika pesta perayaan putrinya di rumah sakit tempat ibu kandungnya dirawat. Jeremy telah menyusun serangkaian rencana penculikan ini hanya berselang satu minggu setelah dirinya keluar dari penjara dan berencana akan membawa Bella ke negara asalnya.



Kilas balik sepuluh tahun lalu mengingatkan kita pada kasus yang menggemparkan masyarakat Kota S saat itu, kehebohan itu bukan hanya karena perceraian antara Perwita dengan Jeremy, Warga Negara Australia yang juga penyanyi terkenal itu, tetapi juga karena kesadisan Jeremy yang tega berniat menghabisi nyawa Perwita ketika selesai sidang kedua perceraian dimana kedua belah pihak masing–masing diperdengarkan kesaksiannya (Audi et Alteram Partem). Beruntung saat itu tindakan Jeremy diketahui oleh Ramsad (belakangan menjadi suami perwita, empat tahun kemudian setelah kejadian tersebut), sehingga nyawa Perwita dapat terselamatkan meskipun menderita luka berat.



Namun akibat dari perbuatan itu menyebabkan Perwita mengidap penyakit langka yang disebabkan oleh pukulan keras dikepalanya yang dilakukan Jeremy sepuluh tahun yang lalu. Berdasarkan pengakuan dari dokter yang menangani Perwita, pasiennya ini mengalami kerusakan jaringan syaraf otak akibat pukulan keras yang menyebabkan luka dibagian kepalanya sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa bagian memori ingatan dan ketidaksadaran alias pingsan setiap kali keadaan dirinya menjadi tegang terutama jika mengingat kembali trauma masa lalunya dan jika merasakan anaknya akan ditimpa musibah.



Menurut sumber kami yang dapat dipercaya bahwa keberadaan Perwita dalam perawatan di rumah sakit ini dikarenakan dirinya shock begitu mengetahui mantan suaminya, Jeremy, telah keluar dari penjara sepekan lalu. (KK)


Kota S – Desa Kaloran Hj. Jaenab, first wrote in April 30, finishing May 21st, 2009

Senin, Mei 11, 2009

Mengisi sesuatu dengan KOSONG

.

Dimulai dari titik

kemudian

























(tak sanggup kali ini mengisi sesuatu disini, maaf)