Jumat, Juni 19, 2009

PAIDI MENUNGGU PAK POS


(Sejenis Sequel Paidi`s Adventures?)



Seharian tadi Paidi menunggu di depan sebuah rumah tua milik sepupu Pangudi R Antono alias Pangeran, sudah tiga hari Pangeran mengajak Paidi berkunjung ke rumah Agung. Pada sebidang pekarangan cukup teduh dengan lindungan pohon kelengkeng, sedari tadi tingkah laku Paidi terlihat gusar, sesekali menaiki pohon kelengkeng, bertengger pada satu dahan kecil tapi dasar Paidi tidak sadar dengan ukuran tubuhnya yang hampir mirip kuda nil itu terjatuh berdebum di tanah, bukan Paidi nama jika tidak ngeyel, dia masih juga menaiki pohon itu dan untuk kesekian kalinya tubuhnya terjatuh berdebum lagi.



Tiga kali sudah, akhirnya dia mengakui teori gravitasi. Pangeran dan Agung, sepupunya, hanya tertawa cekikikan melihat seonggok kuda nil terjatuh. Mereka mau tidak mau jadi menduga-duga mungkin seperti inilah jika mereka berdua menjadi manusia yang pertama kali diturunkan ke bumi oleh Sang Maha Pencipta dari taman firdaus lalu mahluk hidup berikutnya yang diturunkan oleh Sang Pencipta ke bumi ini adalah kuda nil. Menjadi saksi kuda nil mula-mula diturunkan ke bumi. Gedeebuukkk!!



Berbatang-batang rokok sudah tandas menjadi puntung, Paidi masih juga sesekali tengok kanan-tengok kiri, clingak-clinguk, garuk-garuk kepala meski tidak gatal. Memperhatikan puluhan motor yang melintasi jalan kecil di depan rumah, terlebih jika dari kejauhan dia melihat secercah warna khas motor sebuah jawatan tapi begitu melintasi depan hidung, Paidi terlihat kecewa. Sudah tujuh kali Paidi kembali bertanya pada Agung, “Mas alamat rumah ini betul toh Jalan RM Hoesein Jayadiningrat No. XX?”



“Mas Pay ini sedang ngopo toh mas? Koq dari tadi bolak-balik, mundar-mandir di depan sana terus nanya alamat rumah ini berkali-kali!” Agung masih juga belum mendapatkan jawaban dari tujuh pertanyaan yang sama sebelumnya. Paidi hanya tersenyum menggapurancang, ”Anu mas... ehh.. Nganu aku.. anuku..eh koq anuku! Nganu mas, aku menunggu pak pos!” Pangeran dan Agung bersepakat bilang ”Ooooo!! Pantas!”



”Mas Pay memang nunggu surat dari siapa mas? Apa surat dari mbak Iyem ya?!” Pangeran mencoba menerka. ”Wooo bukan Mas! Bukan surat dari Iyem, ooo bus way! Kalo from her sih!” perkembangan Paidi cukup pesat bebereapa bulan ini semenjak hijrah dari Jogjakarta menuju Ibu Kota, dari Juru Parkir menjadi Supir Taxi, mau tidak mau dia belajar bahasa Inggris sedikit demi sedikit, terlebih dia menjadi supir taxi bandara Soekarno-Hatta karena dekat dengan rumah Pangeran yang menjadi kamar kosnya. “Bus way? Awakmu kuwi mirip bus way! Sing bener ki; No Way!”



“Loh kalo bukan nunggu surat dari Mbak Iyem terus Mas Pay dapat surat dari siapa?” Pangeran masih penasaran dengan tingkah laku Paidi yang masih juga clingak-clinguk melihat kea rah seberang jalan. “Anu mas.. ehhh.. rahasia!” tiba-tiba Paidi berlari kearah depan rumah karena melihat sebuah motor berwarna oranye berhenti di seberang rumah. “Terimakasih Pak Pos, sudah repot-repot mengantarkan surat buat saya” matanya berbinar-binar menyambut Pak Pos yang belum juga melepas helmnya.



“Maaf Pak, kalau Jalan Bayangkara sebelah mana ya?” Pak Pos ini rupanya petugas baru yang belum hafal betul seluruh wilayah kerjanya. Pupus sudah harapan Paidi, dia tinggalkan Pak Pos tanpa menjelaskan sepatah kata karena percuma saja dia pun tidak mengenal daerah ini. Terduduk lesu pada sebuah sofa ruang tamu, Pangeran dan Agung hanya tersenyum, Paidi sudah menunggu Pak Pos sejak pagi sementara hari sudah hampir maghrib. “Mas lebih baik mandi dulu. Aku lihat dari tadi pagi cuma nongkrong di depan. Mandilah biar seger dan wangi, badanmu bau banget!” sebagai tuan rumah Agung harus berlaku memuliakan tamu-tamunya.



Paidi melepas kausnya yang sama sejak kemarin, mengendusi badannya berulang kali dan mengusir lalat-lalat hijau yang beterbangan mengerumuni tubuh berkeringatnya dengan kaus. “Masak sih bau? Ah biasa aja koq Mas!” dengan santai membakar batang rokoknya lalu keluar, punggungnya menunjukkan tattoo terbesar pada punggungnya. Pangeran dan Agung tidak pernah tidak tertawa jika melihat tattoo besar itu: LEBIH BAIK JAUH DARI ORANG TUA DARIPADA JAUH DARI ANGGUR …. Ada dua kata yang tersembunyi pada sisi kanan dan kiri bokongnya. Pangeran menyusulnya kedepan, mendekati Paidi untuk mencari tahu kegelisahan hatinya.



Selepas Isya, Agung dan Pangeran tidak menemukan Paidi baik di dalam kamar maupun di halaman depan. Beberapa kali handphonenya dihubungi namun tidak pernah dijawab. ”Oh apa Mas Pay pergi ke internet ya? Warnet yang paling dekat dari sini dimana bro?” Pangeran ingat sore tadi Paidi bercerita bahwa dia memiliki teman chatting. Agung serasa tidak percaya mendengar Paidi bisa memanfaatkan dunia maya.



Mereka berdua bergegas menuju warnet yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumah, tepat di seberang Kantor Catatan Sipil. Agung menanyakan pada operator warnet apakah ada orang denga ciri-ciri seperti Paidi masuk kewarnet ini. ”Oh tadi ada Bang tapi Cuma sebentar. Habis pelanggan lain pada protes pada saya begitu Abang itu masuk koq tiba-tiba warnet ini jadi banyak lalat hijau dan mau busuk gitu Bang! Yah terpaksa deh saya suruh keluar daripada pelanggan lain yang keluar. Bisa rugi saya!” Agung dan Pangeran tidak ragu lain pasti Paidi pernah kesini. Mereka pamit pada penjaga warnet yang masih sibuk membantai lalat-lalat hijau peninggalan Paidi menggunakan sejenis raket listrik.



Agung dan Pangeran berjalan pasrah memasuki pelataran rumah tanpa membawa kuda nil hasil buruannya. Sebelum membuka pintu rumah. Mereka mendengar suara yang tidak asing bagi telinga mereka namun tidak ditemukan asal suara itu. Agung mempercayakan telinganya membimbing pada asal suara hingga berhenti pada batang utama pohon kelengkeng, tidak terlihat apapun diatas sana, terlalu gelap. Pangeran datang membawa senter dan galah bambu setelah mendapatkan instruksi dari Agung karena teriakan mereka tidak berhasil membangunkan Paidi. Agung bertugas memberikan titik kordinasi letak Paidi yang bersemayam pada sebuah cabang besar pohon kelengkeng itu dan Pangeran yang melanjutkan dengan tindakan penyogrokkan, 1...2...3! GEDEBUUGGGHH!!! Seonggok kuda nil kembali turun ke bumi akibat gaya gravitasi.



- Bukan PRODUK INSOMNIA. Kota S, 19 Juni 2009, sepulang Juma`tan -

- di otakku sebenarnya berdesakkan kalimat-kalimat minta dikeluarkan tapi aku belum bikin soal UAS! Kacau!! -

Jumat, Juni 12, 2009

OEMAR BAKRI BERTEATER KEMBALI!



-mengenang proses KLINIK SENYUM -

Gairah berkesenian teaterku kembali bergeliat setelah berkunjung pada kawan lama, banyak kesamaan antara aku dan kawan satu ini, -semuanya berawal dari pertemuan pada sebuah kota yang bernama JOGJAKARTA, diantaranya; sama-sama mantan mahasiswa dari Propinsi B tepatnya Kota S yang kuliah di Jogjakarta, kampus yang sama pula! Bernaung di satu atap kos terpencil yang sama di tengah-tengah sawah-sawah –hampir mirip sarang penyamun, begitu komentar setiap kawan-kawan yang berkunjung ke kos kami, sama-sama aktif pada sebuah LSM advokasi HIV-AIDS untuk anak jalanan, waria, PSK, gay dan lesbian, sama-sama menyambung hidup dengan cara mengamen disepanjang jalan Jogjakarta jika tanggal tua, -dalam hati kami sering menyanyikan lagu plesetan “HAMPIR MATI DI JOGJA, ketika kiriman tak tiba….” sama-sama sering berkostum serba hitam, sama-sama berguru teater dengan seniman ‘gila’ asal Perancis; Alain Papin (baca; Alang Papang!) dan kesamaan terakhir, ternyata kami ditakdirkan menjadi kaum Oemar Bakri! (alias Guru), kembali mengabdi pada kampung halaman kami di Propinsi B Kota S, hanya bedanya kawanku ini menjadi Guru kesenian di sebuah SMK, sementara aku hanya ‘asisten Guru’ di sebuah Universitas.


Atas banyak kesamaan ini maka sangat mudahlah benih-benih ‘percintaan’ kami mulai tumbuh kembali. Dia ambil resiko untuk `berselingkuh` mengabaikan istri dan anaknya, `bermesraan` denganku, mengumbar `sahwat` dan `gelora purba` kami pada sebuah gubuk persitirahat di belakang rumahnya diantara tanaman singkong, pepaya, jambu, kami `bercinta` dalam dunia seni! Bukan dunia sex! Bukan! Tidak sama sekali! Menikmati kembali setiap detik deru nafas kami yang tersengal ketika bahasa seni menggelora, jauh lebih nikmat dari sex, setidaknya itu ungkapan kawanku yang telah mengimplementasikan `gelora purba`nya pada sang istri. Aku hanya bisa menduga saja, tanpa bisa merasakan komparasi itu, yang kuketahui hanya nikmatnya `bercinta` di dunia seni, sial!


Selepas magrib perbincangan kami sekedar basa-basi keparat! Rutinas kerja, permasalahan rupiah di kantong, politik, kontruksi sosial blaa..bla..blaa, betapa keparatnya! Ketika teh NASGITEL; paNAS, Sepet, leGI tur kenTEL (parameter kenkmatan teh khas Jogja) dan singkong rebus mengepul di sajikan sang istri, topik perbincangan bergeser pada dunia filsafat. Oh My God! betapa telah lama aku tak dapat lawan tanding dalam perbincangan seperti ini, tapi aku terkapar, K.O oleh kedalaman pikirnya! Socrates, Plato, Aristoteles, Heraclitus, Anaximenes, Spinoza, Karl Max, Nietsczhe, Hegel, Freud, Sartre, Al Ghazali, St. Agustinus, Kahlil Gibran dan beratus nabi filsafat yang duduk teratur dalam otaknya dan keluar berbaris rapi lewat mulutnya memukuli jidatku satu persatu yang di dalamnya hanya berisi FILSAFAT PANCASILA! Kepa#*$ sekali bukan? Bentuk apologizeku; ”yang aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa!” Hahahaha, pasti Socrates marah besar jika malam itu hadir karena petikan ucapannya hanya kujadikan tameng. Keparat bukan?


Teh NASGITEL tandas, sisa beberapa potong ubi rebus menggoda untuk dilahap, maka pada ronde kedua dihadirkan kopi hitam dengan pasangan rokok kretek berplat kuning dengan nomor seri 234, mantap! Kepalaku berdenyut mendengarkan segala sesuatu berbau filsafat. Terus terang aku belum siap saat itu kawan! Kualihkan perbincangan kearah kerinduanku pada sebuah dunia bebas merdeka; TEATER! Gayung bersambut, ember berisik, sikat berambut! (apa cobaaa, kacau). Matanya berbinar-binar karena kawanku ini selain kesulitannya dalam mengajar mata pelajaran kesenian tapi juga ada rasa rindu saat di Jogja pada masa-masa berguru dengan Master bahkan Doktor Teater berkebangsaan Perancis, menurut pengakuan ’Sang Guru’ sih S1 hingga S3-nya ubek-ubek di dunia teater belaka di Perancis sana! Wallahu alam bissawab, deh.


Kawanku ini meminta naskah-naskah teater untuk anak atau remaja karena dia tahu aku dan kawan-kawan Komunitas Seko Nol pernah terlibat berproses teater dengan anak-anak korban gempa Jogja. Kuceritakan beberapa penggal proses berkesenian dengan anak-anak korban gempa itu, mengingat aku dan kawan-kawan lain yang sama berguru pada mahluk unik asal Perancis itu hanya diajarkan teater alam, teater forum dan teater jalanan maka kamipun dalam memfasilitasi proses kesenian dengan anak-anak itu, yaa dengan metode yang sama pula. Tanpa patokan naskah kaku karena semua dialog, gerakan, musik bahkan kostum sepenuhnya anak-anak itulah penciptanya, kami sekedar memfasilitasi saja dalam project kami; KLINIK SENYUM yang mendapat dukungan kawan-kawan Australia (Emily, Monique n friends), Inggris (Jeanny n Circle), Afrika Selatan (Reinhane) dll. Semboyan kami; KITA SEMUA BERGEMBIRAAA!!


Project berkesenian dengan metode sederhana namun berkekuatan luar biasa itu sangat efektif dilaksanakan pada beberapa titik desa (setidaknya ada 5 desa) yang kami dampingi dalam proses kesenian di lokasi gempa itu. Terlebih kami merasa berguna bagi mereka ketika para orang tua anak-anak itu menceritakan betapa drastisnya perubahan psikologis pada anak mereka yang semula mengalami trauma berat setelah mengalami goncangan gempa kini menjadi anak seperti sediakala, bahkan mereka betul-betul melupakan bahwa tempat yang sekarang mereka gunakan berproses teater; mencipta dialog, mengatur gerak, merancang kostum dari dedaunan sekitar, bermusik dari kaleng bekas-sendok atau apapun yang mereka temukan dan kegiatan lainnya, tempat itu dulunya adalah rumah mereka yang kini hanya bersisa lantai saja tanpa dinding dan atap. Awalnya mereka meratapi rumah mereka yang hancur kemudian menjadikan dunia baru yang mereka nikmati ketika berproses, masih pada titik yang sama!



Kali ini kawanku yang terpukuli jidatnya karena tidak turut menikmati proses itu, dia lebih dulu di `deportasi` dari Jogja setelah wisuda. Kuceritakan lagi, tak hanya itu; bahwa bibit pergerakan teater pada desa-desa di Bantul-Jogjakarta masih terus tumbuh, bergerak, ber-revolusi, progresif dan dahsyat (setidaknya dalam penilaianku) dilakukan oleh kawan-kawan Kasongan. Terbukti pergerakan teater desa yang masih mengadopsi teater alam, teater forum dan teater jalanan ini masih tetap hidup setelah aku yang di `deportasi` dari Jogja. Bangga kuterima kabar, ternyata kawan-kawan masih melebarkan sayap pendampingan teater anak pada desa-desa yang jauh lebih terpencil lagi, anak sekolah bahkan hingga memenangkan juara satu dalam lomba teater tingkat pelajar, dahsyat bukan?



Kawan-kawan pergerakan teater desa ini juga korban gempa, hanya saja mereka berusia pemuda. Aku ingat betul ketika pertama kali bersama kawan-kawan komunitas memfasilitasi proses pemuda-pemudi korban gempa ini. Semangat dan keberanian beberapa diantara mereka masih harus di dorong dengan pasokan alkohol mulai dari awal latihan hingga dibalik panggung saat pementasan ketika menunggu gilirannya naik pangung sesuai perannya, cairan dari botol kaca gepeng itu justru lebih banyak dihabiskan oleh si pemeran utama; pemuda berambut gondrong-gimbal. Juancuk!

Penghormatan luar biasa diberikan dari masyarakat korban gempa (penonton), tapi justru rasa salut kami terhadap mereka-mereka yang berproses karena mereka juga korban gempa tapi sanggup menghibur keluarganya satu kampung, sementara kami hanya jadi pemantik dan figuran belaka. Hanya mengibar-ngibarkan plastik panjang `seolah-olah` menggambarkan visualisasi efek gempa. Itu saja! Tapi kemudian mereka berubah menjadi agen pergerakan teater alam, teater forum dan teater jalanan.


Kuceritakan lagi pada kawanku, ketika suatu waktu aku kembali ke Jogja setelah lebih dari satu setengah tahun paska bencana gempa, tujuan pertamaku Kasongan-Bantul, tempat titik nol aku bersama kawan-kawan para tokoh-tokoh pergerakan teater alam ini. Kebetulan sekali ketika aku datang kesitu bertepatan dengan hari pementasan teater anak hasil proses pendampingan mereka, letaknya luar biasa terpencil; Propinsi DIY, Kabupaten Bantul, Piyungan, Bukit Ijo. Sebuah perkampungan di ujung bukit terpencil, jalan menuju kesana terlebih dahulu harus memotong hutan kecil dan tanjakan terjal hampir enam puluh derajat, jauh sekali dari pusat kota.

Betapa perasaan hati ini begitu meluap-luap penuh kebahagian ketika pertama kali melihat puluhan anak berkumpul di depan panggung kecil dengan setting panggung penuh dedaunan. Diatas panggung itu berdiri seorang pemuda berambut gondrong-gimbal menguasai mikrophone, menyambut kehadiranku lewat perantara mikrophonenya dan memprovokasi seluruh anak-anak agar berteriak; KITA SEMUAAA BERGEMBIRAAAAA!!!!! Yel-yel yang dulu diciptakan salah satu kawan dalam komunitasku; Ofie Mix, yang selalu kami teriakan bersama anak-anak korban gempa sejak awal pendampingan, masih bergema hingga saat itu! Saluttt...saluttt!!!

Setiap perwakilan kelompok kecil bergiliran mementaskan kemampuannya; menyanyi, menari, berpuisi, dan terakhir memainkan teater anak dengan lakon; YUYU KANGKANG. Rasanya jiwa ini begitu kaya melihat anak-anak bersukacita mementaskan hasil berposes, anak-anak itu tidak hanya menjadi penonton melainkan penghibur!


Kuceritakan lagi pada kawanku sepenggal pengalamanku ketika beberapa bulan menjadi Guru bantu pada sebuah sekolah dasar dekat rumahku, kuterapkan beberapa metode KLINIK SENYUM pada murid-murid SD (yang juga sekaligus menjadi ’guru’ku karena justru aku banyak belajar dari anak-anak SD ini), semboyan itu bergema setiap hari karena akubertanggung jawab dari kelas satu hingga kelas enam. Kawanku menghentikan ceritaku, berkata; ”Sudah cukup kau membuat hatiku berontak iri! jadi kapan kita mulai berproses dengan murid-murid sekolahku?” Aku hanya menjawabnya dengan senyuman yang sama meriahnya ketika menjalani setiap detik berproses bersama anak-anak korban gempa sewaktu di Jogja. Bergemuruh dalam dadaku meneriakan: ”Kawan-kawan, nantikan dari Propinsi B, Kota S ini akan bergema hingga Jogja teriakan; KITA SEMUAA BERGEMBIRAAAA!!!!”



# Koelit Ketjil #

- PropinsiB, Kota S, Jl. RM. H. Djajadiningrat, jauh dari Jogjakarta-

12 Juni 2009, pukul 02. 00 – 05. 14, satu lagi produk insomnia!

Also posted in; www.komunitasseni-sekonol.blogspot.com

















Kamis, Juni 11, 2009

TIME MACHINE (sejenis lanjutan gitu deh)

Hari kedua, setelah menyelesaikan pembayaran tunggakan rekening PLN dan administrasi pasang instalasi baru untuk melepas segel meteran. Arya kembali lagi pada gedung tua itu. Senter dan lampu elektrik portable mirip petromak tidak lupa dibawanya karena di negara ini segala sesuatu tidak bisa terjadi begitu saja seperti sulap, terlebih dalam hal urusan pelayanan publik, mungkin seminggu lagi instalasi listrik gedung tua ini kembali pulih. Berdiri tepat di titik tengah gedung, Arya mempersiapkan keperluannya. Menatap yakin pada pintu ruangan khusus eyangnya.


Kunci ruangan khusus Eyangnya terlihat sangat kuno tapi didesain secara khusus pula rupanya. Pintu tua berderak, senter dan lampu badai elektrik membelah kegelapan ruangan itu. Berbeda dengan ruangan utama, disini sama sekali tidak tercium aroma apek-pengap. Dugaan Arya ternyata salah, semula dia menduga ruangan ini jauh lebih parah dari ruangan utama, dilepasnya scarf penutup hidung dan mulutnya. Aroma khas kayu cendana, meranti dan jati yang menjadi perlengkapan rak, meja dan kursi ini yang menyebabkan ruangan ini jauh dari kesan apek tak terurus, selain itu juga ventilasi udara yang cukup baik dengan alat kipas pada dinding yang dapat berputar jika terkena angin sangat membantu sirkulasi udara dalam ruangan ini.

Arya selalu takjub jika masuk ruangan ini, rak buku besar lengkap dengan koleksi buku-buku tua yang masih terawat dengan baik. Lampu portable membantu dirinya memeriksa ratusan buku di balik rak kaca, beberapa diantaranya terlihat; Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving) yang disusun oleh RM. Hoesein Djajadiningrat tahun 1913. Sarjana pertama Bumiputera Indonesia yang mempertahankan disertasinya di hadapan guru-guru besar Universitas Leiden, banyak dibantu oleh mentornya; Snouck Hurgronje.

Pada rak berikutnya berjajar buku-buku karangan A.J Bernet Kemper; Herstel In Eigen Waarde; Monumentenzorg in Indonesie dan Ageless Borobudur. N.J Krom; Inleiding tot de Hindoe-Javaanesche Kunst. Denys Lombard; Le Carrefour Javanais, buku asli dan terjemahannya; Nusa Jawa; Silang Budaya. Ada juga buku karangan Raffles mengenai sejarah Jawa: The History of Java dan buku-buku serta gulungan kertas atau kulit hewan lainnya yang tidak dapat dimengerti olehnya.

Arya membuka jendela besar yang berada dibelakang meja dan kursi singgasana Eyangnya, jendela besar itu terdiri dari dua bagian, kayu jati besar pada bagian terluar dan sejenis partisi berengsel pintu yang biasa terlihat pada bar jaman cowboy, hanya bedanya partisi ini didesain sedemikian indahnya dengan ornamen kaca mozaik warna-warni melukiskan armada kapal laut di tengah samudera. Udara segar memasuki ruangan, Arya membersihkan kursi dan meja lalu duduk menikmati kopi panas dari termos kecilnya, kali ini Arya meminta ijin Eyangnya untuk dapat meminum kopi di meja besar berlandaskan marmer putih susu.

’Apa yang akan aku lakukan? Jika aku menjadi Eyang Toro langkah apa yang harus aku ambil?’ pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Kepalanya tenggelam pada meja pualam, tangannya yang masih memegang senter, memain-mainkan nyala senter itu dari bawah meja, cahayanya tembus berpendar pada permukaan pualam putih seperti efek sorot lampu halogen mobil di jalan berkabut. Pandangannya tertuju pada miniatur armada kapal laut Pinishi dan bingkai foto bergambar Eyang Putri berkebaya dan satu bingkai lagi foto seluruh keluarga besar Trah Nuswantoro Notonegoro; istri, anak, menantu dan cucu-cucunya semua lengkap berpakaian destar dan kebaya.

Kali ini perhatian Arya beralih pada satu laci besar yang menempel pada kaki meja tapi terkunci. Diantara belasan kunci yang menjadi satu pada rantai di tangannya tidak ada satupun yang cocok, semua berukuran besar. Arya mengingat kembali petikan isi warisan yang dibacakan saat pembagian harta warisan eyang, bahwa gedung perpustakaan beserta isi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perpustakaan menjadi hak Arya sepenuhnya, lalu mengapa Arya tidak mendapatkan kunci kecil itu?

’Eyang beri petunjuk bagi cucumu ini’ saat ini Arya memerlukan jawaban dari Eyang Toro meskipun Eyang Timur masih hidup. Angin cukup kencang bertiup, menabrak partisi pada jendela di belakangnya, menggerakan kedua lembar partisi berornamen indah itu. ’Ahha! Terimakasih Eyang!’ Arya yakin angin tadi memberikan pertanda dari Eyangnya. Tanggan kanannya memegang mantap miniatur armada kapal laut Pinishi, memperhatikan dengan seksama kapal mini itu. Ragu mengangkat salah satu tiang utama Pinishi maka terbukalah lambung kapal mini itu.

Tepat dugaannya bahwa didalam situ pasti terdapat kunci yang dia cari tapi ada dua kunci berbeda; satu lebih kecil dibanding kunci lainnya. Kunci terbesar dimasukan pada lubang laci itu, dialamnya terdapat beberapa tumpukan arsip, surat-surat dan satu kotak kayu jati tanpa ukiran bergembok kecil pada penutupnya, kini terjawab sudah mengapa dia menemukan dua kunci dalam lambung kapal miniatur itu. Arya masih mengira-ngira isi dalam kotak kayu itu, akhirnya mengambil keputusan untuk membuka dengan kunci yang lebih kecil. Alangkah terkejutnya Arya begitu membuka kotak kayu berukuran tiga puluh kali dua puluh senti meter itu; TIME MACHINE!

Arya masih belum mengerti maksud Eyangnya yang membuat Time Machine, bukankah ini berarti mesin waktu. Arya menatap tajam kearah bingkai foto, tepat ditengah-tengah seluruh anggota keluarganya sosok sang Eyang duduk berwibawa dengan tongkatnya. Seolah dalam foto itu Eyangnya bergerak, berdiri menunjuk dengan tongkatnya itu kearah Arya dan berkata; ”In het heden ligt het verdelen, in het wat komen zal. Kamu paham cucuku? Di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan! Camkan itu! Dan satu lagi Historia docet, bahwa sejarah mengajarkanmu banyak hal.” Arya masih shock melihat fenomena tadi, dia paham betul itu suara Eyang Toro yang sangat fasih berbahasa Belanda tapi ini jelas tidak mungkin.

Benda itu diangkat dalam genggamannya, menelan ludahnya sendiri, ragu membuka. Arya masih memperhatikan benda yang menakjubkan itu, belum juga ada reaksi apapun tapi lambat laun seolah terkena sihir perhatiannya tidak bisa lepas, bola matanya berbinar-binar ada rasa menakjubkan meletup-letup dalam dirinya. Arya tersedot oleh benda yang baru saja dia temukan, terlempar pada suatu daerah dan jaman yang sangat berbeda dengan jamannya.

****

Tubuh Arya berdebam pada tumpukan jerami, terdengar ringkikkan suara kuda-kuda yang panik. Rupanya Arya berada dalam sebuah istal, tak kalah paniknya dengan kuda-kuda itu, terlebih dia hadir di tempat itu tanpa balutan busana sama sekali. Terdengar derap suara sepatu-sepatu lars memasuki kandang kuda, bertambah lagi kepanikan Arya, dilihatnya ada beberapa potong pakaian dalam buntalan kain, mungkin milik pengurus istal ini. Arya langsung menyambarnya dan cepat mengenakan baju yang jarang sekali dilihatnya ini. Langkah kaki semakin mendekat, Arya menjadi lebih panik lagi, tak tahu apa yang harus dia lakukan.

”Hey kowe bujang! Kenapa kowe masih juga disitu utak-atik itu rumput?! Cepat kowe siapkan kuda!” suara Belanda totok yang sudah fasih berbahasa Indonesia itu memberi perintah kepada Arya, beruntung Arya pernah besar di lingkungan peternakan milik Eyangnya. Arya yang semula membelakangi Belanda itu terpaksa harus menghadapinya dengan sikap menggapurancang layaknya bujang dihadapan tuannya, meninggalkan garu rumput dan memasang sadel pada punggung kuda berwarna putih besar itu. Semoga pilihannya tepat dari belasan kuda yang ada dalam istal itu.

Arya terpaksa menjalankan perannya sebagai bujang, menggiring kuda putih itu ke halaman rumah besar berarsitektur Belanda. Kekagumannya terhadap bangunan dan situasi yang ada saat ini cepat-cepat diusirnya karena Arya harus terus berjalan mengikuti Belanda yang menunggangi kuda itu, tidak ada titik balik saat ini, no point of return at all!.
Dua kilo meter sudah Arya berjalan mengikuti kuda itu, entah sudah berapa kali kepalanya menengok kebelakang mencari sosok siapa saja yang mungkin dia kenal, namun sepanjang perjalanan yang dilalui banyak orang yang dia temukan semuanya menunduk hormat pada sosok berwibawa diatas kuda itu. Rakyat jelata yang mengggunakan pakaian sangat sederhana sekali, kesadarannya perlahan menyadarkan dirinya bahwa saat tengah berada pada jaman ketika kolonialisme Belanda masih berpengaruh diatas tanah yang dia pijak.

Kuda putih itu berbelok kiri menuju halaman luas dengan bangunan utama yang hampir sama dengan bangunan pertama yang dia lihat. Belanda berpakaian rapi berbahan khaki, bersepatu boot setinggi lutut itu memberikan perintah pada Arya agar memasukan kuda pada istal dan cepat masuk kedalam ruangan dengan tas kulit yang terikat pada pelana kuda. Arya hanya menunduk sebagai tanda paham akan perintah yang diberikan.

Arya tergopoh-gopoh lari kecil menuju bangunan besar itu, seorang opsir bersandangkan senapan panjang pada bahunya mencegat Arya, memeriksa barang bawaan dan bertanya tujuannya masuk gedung itu. Arya hanya menjawab ”Tuan Menir!” maka opsir itu mengijinkannya masuk. Untung saja Arya tidak coba menerka-nerka nama orang Belanda tadi, kalau salah bisa habis nyawanya di tangan opsir itu meskipun sebangsa dengan dirinya. Suara beberapa orang asing menuntun dirinya pada ruangan yang dituju, ada enam orang tengah berbincang-bincang, masing-masing mereka memegang gelas kristal berisi minuman anggur atau sejenis rum.

”Well.. Tuan-tuan semuanya, saya rasa perlu untuk berterimakasih atas kerja keras kalian. Saya angkat gelas ini untuk anda Tuan Boogh, untuk anda juga Tuan Douglas, Tuan Sarvaas, Tuan de Wilde dan tentunya Tuan Blumberger. Selamat menikmati anggur terbaik dari negeri Holland yang baru saja sampai di Batavia ini!” Arya baru mengetahui nama-nama pembesar dihadapannya itu, kini dia dapat menjawab dugaanya mengenai nama ’Tuan’nya ini setelah nama yang disebutkan terakhir mengangkat gelas kristal itu. Tuannya memberikan tanda agar Arya membawa masuk tas miliknya.

Tuan besar itu mengeluarkan beberapa berkas dari tas miliknya kemudian memberikan pada tuan rumah yang mungkin lebih tinggi jabatannya. Satu kertas bergambar mula-mula dia mintai pendapat pada kolega-koleganya. Pembawa berkas itu menjelaskannya. ”Tuan Gubernur Gonggryp, biar saya jelaskan kembali arti lambang ini.” Gambar sebuah lambang perisai berlatar warna biru laut dipertunjukkan pada mereka. ”Ini lambang milik kota Semarang, ditetapkan oleh Tuan Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignies pada 29 Mei 1827. Pada bagian tengah Tuan-tuan bisa lihat ada perempuan memegang kepala singa ”De Nederlandse Leeuw”, tentunya saja perempuan itu berani memegang kepala singa karena sesungguhnya tidak ada singa di negeri Holland sebagaimana pada lambang negeri Holland itu sendiri.” Tuan Blumberger tersenyum lalu meminta maaf atas kelakarnya namun disambut tawa renyah semua orang dalam ruangan itu kecuali Arya karena hanya dia yang tidak paham betapa singa menjadi lambang negeri Belanda meskipun tidak ada singa disana.

”Well, Gubernur Jenderal saat itu bilang ini lambang sebagai bentuk penghargaan bagi inlander-inlander yang turut berperang melawan Diponegoro. Mari kita lihat lambang kota lainnya. Lambang tertua yang pernah ada di Hindia-Belanda ini, dibuat pada 15 Agustus 1620. Tuan-tuan pasti kenal ini lambang. Batavia! Ucapan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen telah dijadikan semboyan ini kota; ’Diespereert Niet’ satu semboyan yang membuat kita tetap bersemangat bukan?” Tuan Blumberger mengangkat tinggi kepalan tangan kanan setelah menjelaskan lambang Batavia.

”Ya..ya.. seperti juga ucapan lain dari Tuan Pieterszoon ‘daer can in indien wat groots verricht’ bahwa di Hindia-Belanda ini kita dapat melaksanakan hal-hal besar, itu sebab dia bilang jangan putus asa pada itu lambang!.” Tuan Boogh, kapiten infanteri ini dengan gagahnya turut berkomentar. Mereka semua tertawa hingga memerah wajahnya, mungkin juga pengaruh minuman anggur itu mulai bekerja. Asisten residen itu menjelaskan lagi arti lambang-lambang kota lainnya dengan gaya kelakarnya, terutama ketika menjelaskan lambang kota Cirebon, lidahnya yang hanya terbiasa makan roti dan keju itu berulang-ulang menyebutkan kata ‘rebon’ hingga tepat pelafalannya, jelas membuat tawa para koleganya, ditambah lagi keheranannya tentang mengapa gambar udang di masukan dalam lambang perisai. “Apa tiga ekor udang kecil Charibon ini bisa menangkis peluru?” semua orang tertawa terbahak-bahak tidak terkecuali Arya meski harus menahannya.

Lambang berikutnya, Tuan Blumberger memasang muka serius kali ini, “Tuan-tuan, ini lambang Soerabaja punya, menurut cerita inlander-inlander sana dahulu kala ada ikan sura bertarung dengan seekor buaya atau inlander bilang; ‘boyo’, itu sebab kedua binatang itu dimasukan sebagai nama ini kota tapi maaf saya belum yakin dengan nama itu ikan sura? Mungkin hiu! Ada lagi saya belum pahami istilah inlander ini; ‘Suro ing boyo’ mungkin Tuan-tuan paham?” Tuan Blumberger tidak mendapatkan jawaban dari mereka.

Kenapa tidak kita tanya sama ini inlander? Hey kowe bujang ngerti itu istilah ’Suro ing boyo’?” Gubernur Gonggryp menunjuk Arya untuk menjelaskan arti yang dimaksud. Sikap gapurancang dan sedikit menunduk, Arya menjelaskan singkat saja, ”Maaf Tuan-tuan, kalau tidak salah, istilah itu berarti ’berani menghadapi bahaya’ sekali lagi maafkan hamba jika salah.” Arya tidak berani menatap wajah mereka, mungkin seperti tekanan psikologis yang dialami para pendahulunya saat jaman penjajahan.

”Well... well... ’dapper in het gevaar’ pantas saja saya punya pasukan susah pukul mundur itu inlander-inlander Surabaya!” komentar Tuan Boogh selalu berapi-api mungkin karena latar belakang militernya. Perbincangan mereka setelah itu didominasi oleh bahasa Belanda, Arya menyesal tidak pernah berniat untuk mempelajari bahasa asing itu pada Eyangnya.

****

Selepas magrib setelah memasukan kuda dalam istal, pekerjaan berikutnya sudah diperintahkan Tuan besar. Arya mengetuk dan memohon ijin dengan takzim pada tuannya, masuk kedalam ruang tengah. Tuan besar itu bersantai pada kursi goyang menatap keluar jendela, Arya memperhatikan kursi yang serupa milik Eyang Toro itu lalu mendekatkan diri pada tuannya, bertanya tas kulit itu diletakkan dimana nantinya. Tuannya hanya memberi perintah agar diletakkan di meja tengah sementara tangannya memegang belati kecil membuat ukiran pada lengan kursi goyangnya. Arya mencuri pandangan pada kegiatan tuannya, lalu tuannya berdiri menancapkan belati itu kemudian berjalan masuk kamarnya.

Rasa penasaran Arya mendesaknya untuk mendekati kursi goyang itu, memperhatikan ukiran pada lengan kursi dan belati yang tertancap, terdapat inisial; J.T.P.B. Tidak salah lagi! Kursi goyang milik Eyang Toro adalah kursi yang sama persis dengan kursi ini, milik; J. Th. Petrus Blumberger! Dia masih ingat sejak kecil kedua Eyangnya bergantian sering mendongengkan cerita setiap siang hari di kursi itu. Arya kecil selalu meraba inisial nama J.T.P.B dan satu lubang kecil bekas tertancapnya belati tepat di atas inisial itu sambil mendengarkan cerita kedua Eyangnya hingga tertidur. Arya tengah berada diantara kompleksnya dunia masa lalu-masa kini yang saling berkaitan. In het heden ligt het verdelen!

Tuannya kembali pada ruang tengah membawa beberapa lembar kertas. Duduk pada kursi jati dengan anyaman rotan sebagai pengganti busa, menekuri tulisan-tulisan itu sambil menghisap cerutu berukuran sedang. Arya meminta ijin untuk undur diri dari hadapan tuannya tapi dicegahnya. “Kowe bujang bisa baca tulis?” kali ini pandangannya kearah Arya langsung. Selalu ada ragu untuk menjawab pertanyaan tuannya ini, “Sahaya mampu membaca-tulis hanya sedikit sekali Tuan.” Mungkin ini jawab paling diplomatis dan teraman bagi Arya. Tuannya menganggukan kepalanya pelan, ada semacam keraguan sekaligus salut terpancar dari wajahnya.

“Berapa kamu punya umur sekarang?” kali ini pandangan tak lepas pada arsip-arsip yang tengah dibacanya. ”Sekitar dua puluh lima tahun, Tuan” Arya menduga-duga maksud pertanyaan tuannya. ”Ini coba kowe baca ini tulisan!” tangan kirinya memberikan secarik kertas, sebuah tulisan tangan serupa dengan model tulisan tangan Eyangnya dan orang tua jaman dulu, bersambung dan rapi. Setidaknya ada tiga bahasa yang digunakan; Belanda, Inggris dan bahasa Indonesia. Judul tulisan itu; De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie, door J. Th. Petrus Blumberger. The Communist Movement, by J. Th. Petrus Blumberger.



Arya sengaja membaca tulisan itu dengan terbata-bata bahkan terkesan mengeja setiap kata-per-kata, untuk menghilangkan kesan kemampuan baca-tulisnya di hadapan Tuannya, terlebih pada kalimat yang menggunakan bahasa asing. Belum selesai pada akhir tulisan, Tuannya meminta agar Arya menjelaskan arti dari tulisan itu. Kembali Arya memainkan peran sebagai orang yang tidak tahu sama sekali arti tulisan itu tapi Tuannya memaksa. ”Tuan maafkan sahaya atas ketidak mampu sahaya dalam memahami isi tulisan Tuan tapi sahaya hanya memahami sedikit saja bahwa tulisan itu berkaitan dengan pergerakan golongan komunis di negeri ini, itu saja Tuan, tidak lebih, maafkan sahaya.” Arya menunduk dalam, memohon atas kelancangannya dihadapan Tuan besar itu karena sepenuhnya dia paham hanya golongan Bumiputera tertentu saja yang mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan.

Tuan Blumberger melihat kembali kertas itu, hanya tiga baris kalimat saja yang dibacakan secara terbata-bata oleh Arya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi keheranan. ”Kowe bujang mau menipu!” tubuh tinggi besarnya berdiri tegap dengan tangan kiri dipinggang dan tangan kanannya menunjuk pada wajah Arya, si bujang bergetar mendengar gelegar suara Tuannya. ”Siapa kowe sebenarnya? Bagaimana kowe Bujang bisa tahu ini tulisan tentang pergerakan komunis di negeri ini?!” Blumberger bisa menuduh demikian karena dia tidak menulis istilah tentang pergerakan dalam bahasa Indonesia pada kalimat-kalimat yang telah dibacakan oleh Arya.

Arya duduk bersimpuh memohon beribu maaf di hadapan Tuannya, kebodohan Arya adalah menunjukkan kepintarannya dalam bahasa Inggris, meskipun dia tidak memahami arti ”Beweging” tapi dia paham arti ”Movement” padahal dalam kalimat yang dia baca tidak ada istilah ”pergerakan” sama sekali dan hanya orang terpelajar saja yang mengetahui Nederlansch-Indie adalah istilah lain dari negeri Indonesia (Hindia-Belanda).

Kemarahan Tuan Blumberger menjadi surut meskipun Arya tetap menutupi jati diri sesungguhnya karena sangat tidak mugkin dia menjelaskan bahwa dirinya berasal dari tahun 2009 yang tersedot pada tahun 1931 setelah membuka kotak milik Eyangnya atau menjelaskan bahwa dirinya adalah cucu dari pemilik kursi goyang yang sama digunakan tuannya itu, hanya saja terpaut puluhan tahun dari masa depan. Blumberger menunjukkan sikap moderatnya sebagai ilmuwan, dia justru bangga dengan kemampuan baca-tulis Bujangnya ini terlebih jika memang benar memiliki kemampuan bahasa asing maka akan sangat membantu dirinya nanti.

Blumberger menceritakan proyek besarnya dalam membuat ensiklopedia namun dia hanya membantu Tuan Gonggryp, lain halnya dengan tulisannya mengenai pergerakan kaum komunis di Hindia-Belanda yang sepenuhnya dilakukan sendiri maka dia bebas merdeka bahkan dia sempat mengungkapkan keinginannya membuat tulisan mengenai Pergerakan Nasional di Hindia-Belanda, kelak setelah tulisannya mengenai komunis ini selesai. Dia mengangkat tangannya seolah membentuk judul tulisan, sambil berkata; De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie, door J. Th. Petrus Blumberger, kemudian disambut tepuk tangan meriah dirinya sendiri, Arya turut bertepuk tangan setelah diberi kode oleh Tuannya. Rupanya Tuan besar ini seorang penulis yang narsistik!

Kali ini Blumberger menunjukkan sebuah foto pada Arya, jari telunjuknya mengarah pada salah seorang dari dua belas orang dalam foto itu. ”Kowe tahu siapa ini orang?” Arya memperhatikan dengan sungguh-sunguh pada sosok itu, dalam hatinya dia menjawab ’Tan Malaka!’ tapi bibirnya berkata; ”Sahaya tidak tahu Tuan.” Blumberger menjelaskan siapa orang yang dia tunjuk itu bahkan dia berkali-kali mengatakan; ’gedelegeerde van Java’. Arya hanya mengetahui Tan Malaka lewat beberapa kali diskusi maupun bedah buku MADILOG karya Tan Malaka sewaktu di kampusnya.

”Tan Malaka, gedelegeerde van Java! Diantara para Oosterche volkeren. Ini orang merupakan utusan dari Jawa diantara utusan bangsa Timur lainnya en kowe perlu tahu ini foto diambil pada tahun 1922 tepatnya di Negeri Moskow saat kongres Komintern. Coba kowe tulis itu!” Tuannya secara resmi menjadikan Arya sebagai juru tulisnya. Arya pun menulis setiap perintah Tuannya menggunakan model tulisan sambung yang tidak rapi, bukan karena berpura-pura tapi memang kenyataannya dia tidak terbiasa menulis sambung.

Panjang dan lebar Blumberger menjelaskan mengenai Organisasi Komunis, Internationale yang merupakan organ terselubung sistem pemerintahan Sovyet yang bergerak secara terorganisir dengan tujuan untuk meruntuhkan kemampanan sistem keamanan dan ketertiban umum di setiap daerah jajahan dan daerah setengah jajahannya. Arya kerepotan mengikuti ucapan Blumberger yang bersemangat sehingga terkadang mengucapkan dengan bahasa Belanda, berkali-kali Arya meminta maaf untuk dijelaskan dalam bahasa yang dia mengerti. ”Oh maaf Bujang, crypto organisme itu semacam organ terselubung. Kowe ngerti?” Asap cerutunya tiada henti mengepul dari mulutnya.

Berjam-jam lamanya Arya mendengarkan celoteh Tuannya diselingi perintah-perintah agar menuliskan setiap kalimat yang dia anggap penting. Berlembar-lembar kertas telah penuh dengan tulisan tangannya, sebenarnya tangannya sudah terasa lelah, begitu juga kaki-kakinya. Belum sempat dia menikmati istirahat setelah berjalan di belakang kuda kini dia harus menikmati siksaan duduk bersimpuh berjam-jam yang menciptakan yang kram dan kesemutan pada kaki. ”Kowe liat ini dokumen tentang laporan peristiwa di Sumatra Barat, ’geheim voor de dienst’, ini rahasia! Jangan kowe berani baca ini dokumen!” Tuannya memperlihatkan dokumen berlak dengan cap pemerintahan kolonial, hanya untuk kepentingan dinas. Tuannya berdiri dari kursi rotan, meluruskan setiap sendi tulang belakangnya yang bergemeretak kemudian undur diri masuk kamarnya. Arya terlihat begitu lega terbebas dari siksaan itu.

Lembaran kertas berserakan pada meja dia rapikan kembali begitu juga foto-foto, beberapa bundel majalah Koloniale Studien dari tahun 1917 sampai 1919, perhatian Arya tertuju pada dokumen penting hasil pemilihan Kongres PKI di Kota Gede,Yogyakarta Desember 1924, dia tidak mengira ternyata Kota Gede yang pernah menjadi lokasi Kuliah Kerja Nyata bersama sembilan kawan kampusnya memiliki sejarah penting bagi partai politik yang dilarang keras pada masa pemeritahan Orde Baru di jamannnya. Tepat di bawah tumpukan dokumen itu terdapat laporan Gubernur Jenderal terbatas hanya bagi kalangan Volksraad dan Parlemen Belanda tertanggal Januari 1927 yang menyatakan bahwa PKI termasuk kedalam ’Seksi Internasionale ke-3’ dan dokumen lainnya yang dianggap rahasia.

Sebelum Arya memasukkan hasil tulisannya kedalam tas kulit milik Blumberger, dia membaca kembali lembar demi lembar. Perhatiannya penuh tertuju pada tulisan tangannya sendiri, dia membalikkan setiap lembar berikutnya, semakin dalam konsentrasinya, kemudian tubuhnya bergetar hebat.
Kilatan cahaya menghantamnya!

***
Suara teriakan membahana memecah kesunyian alam, ”Waaa...aaa...aaaaaaaaaa!!!!!” lalu terdengar suara dentuman benda jatuh dari ketinggian pada permukaan air, menciptakan cipratan air cukup tinggi. Sepotong kepala menyembul di permukaan air sungai, pemilik kepala itu masih kebingungan. Beberapa jarak darinya, yang masih berendam dalam air, terdengar suara perempuan-perempuan beraktivitas di pinggiran sungai cukup jauh dari lokasi jatuh dirinya. Tidak mungkin Arya mendekati asal suara yang berlawanan arus sungai karena lagi-lagi Arya tidak berbusana sama sekali. Badannya menggigil bersembunyi pada sebongkah batu besar, tak lama berselang terdengar teriakan perempuan-perempuan panik dari bagian hulu sungai. Beberapa potong pakaian terlihat melintas di hadapan Arya, tanpa ragu Arya langsung menyambar pakaian-pakaian itu, hanya mengambil pakaian yang paling pantas lalu langsung menghilang di tengah rimbunnya hutan bambu.

# Koelit ketjil #
Jl. RMH Djajadiningrat, 10-11 Juni 2009

Minggu, Juni 07, 2009

PRODUK INSOMNIA


“I haven`t ever really find a place that I called home

I never stick around quite long enough to make it

I had apologized once again that i`m not in love ……….”



Lagu Life for Rent milik Dido ini lagi-lagi menjadi kawan ketika tidak bisa tidur seperti biasanya, sudah malam ke 840 aku tersiksa dalam malam-malam sadisku tapi tetap terbebas dari percobaan pembunuhan sang hening senyap. Kelopak mata ini seakan tidak kenal lelah, menjadi begitu ringan, sudah tiga buku sejarah kutuntaskan, lima batang aroma terapi tandas terbakar hingga batang bambunya, entah berapa milli gram tar dan nikotin mengendap di pojokan paru-paru dicampur endapan caffeine pada lambung dan ginjalku, ratusan butir pil tidur kutelan sudah bulat-bulat. Efek resistennya memaksa aku untuk terus meningkatkan dosisnya setiap malam, jika malam pertama hanya kutelan sebutir maka malam berikutnya harus kutelan dua butir, dapat dibayangkan kehidupan malamku yang ke 840 ini, sebanyak itu pula kutelan bulat-bulat butir-butir itu, kalikan dengan efek resistennya.


Tak berefek pada rasa kantukku justru aku menjadi pecandu setianya, sial! Mencipta sejenis kanker pada hati dan ginjalku, mendenyutkan pembuluh darah sepanjang dahi kiri dengan hentakan-hentakan migren yang memancing amarah. Herannya setiap malam memori biologisku selalu lebih aktif memutar kembali setiap detik rekaman kebersamaan, malam-malam yang tak produktif, lebih sering aku hanya mengigil pada pojokan kamar tanpa sebab meski temperatur kamar menguras habis keringatku.


“…If my life is for rent and I don`t love to buy… but I`ll deserved nothing more than I get `cos nothing I have is truly mine” (Dido, Life for Rent)

Jelas kurindu harum sprei bersih dan lembutnya bantal kapuk, tapi lebih dari itu aku merindu aroma dan hangat tubuhmu, leher jenjangmu yang selalu membiusku dengan lena bunga tidur. Berlindung bersama pada selembar selimut dari kejamnya dingin malam, sementara di balik itu kita hadir dalam pakaian kelahiran kita masing-masing. Malam terindah yang sering kita lalui bersama meski tanpa peleburan dua tubuh dalam gelora purba, sekedar memberi kenyamanan suhu tubuh satu sama lain sebagai penghantar pada gerbang mimpi indah bersamaan, tak lebih, ini semua lebih dari cukup.


Terindah dari yang paling indah adalah menemukan dirimu masih dalam pelukanku kala mentari kembali muncul dari ufuk timur. Suryaku ada di balik kelopak matamu ketika dengan ringan pertama kali kau sambut bias sinar ultra violet justru kau pantulkan spektrum warna lebih hidup lewat lensamu, terkadang masih kulihat sepotong citra sisa mimpi yang masih menggelayut di ujung bulu mata lentikmu. Rekahan senyummu menandingi kelopak bunga manapun yang sudah lebih dulu siap menerima hasil fotosintesis daun hingga putiknya Kicau burung penghuni pagi pastilah minder mendengar suara pertamamu menyambut dunia; selamat pagi kekasihku. Dada rapuh ini selalu menjadi sandaran pertamamu sebelum memulai aktivitas hari.


Sambutan kekasih pada cerah ceria dunia pagi itu terakhir kali kudengar 840 pagi yang lalu, selalu menggoda dalam malam-malam sadisku di balik terror insomnia! I clik one song in winamp playlists, Kunikmati lagu soundtrack film City of Angel, sebuah film tentang kekonyolan malaikat pencabut nyawa.


” ... and I don`t want the world to see me `cos I don`t think could they understand // when every thing is make to be broken I just want you to know who I am… I just want you to know who I am… I just want you to know who I am” (Goo Goo Dolls, Iris)


Am I the same Seth? Ahh, bicara apa aku ini?! Ini semua produk insomniaku, halusinasi surealistik! Hanya halusinasi, efek bola salju yang terus menggelinding di setiap malam-malamku akibat dorongan berjuta milli gram tar, nikotin, caffein dan pil tidur. Suara adzan subuh sudah bergema. Baiknya aku kembali pada bangsalku, menjadi korban sekaligus pasien insomnia!


Kuderas ribuan kali perkataan Soe Hok Gie `Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur.... Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur.... Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur.... Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur.... Dan orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur....”


-Propinsi B, Kota S, Desa Kaloran Hj. Jaenab -

-Satu lagi produk insomnia yang tertunda. Pertama kali tertulis pada dini ke 720 selesai dini hari ke 840!! (jangan tanyakan patokan awal 720 dini hari itu! Hanya halusinasi) -


TIME MACHINE 1



(part one)*

Arya merasa menjadi cucu tersial jika dibandingkan dengan cucu-cucu lain Eyang Toro. Radit, sepupu tertuanya mendapatkan warisan puluhan hektar perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Putra, sepupu terdekatnya dipercayakan menjalankan usaha percetakan besar yang telah dirintis sang kakek. Belum lagi sepupu-sepupu lainnya yang membuat dirinya menjadi semakin sakit hati jika mengingat kembali jatah masing-masing warisan itu. Tidak adil baginya yang hanya mendapatkan warisan sebuah gedung tua; perpustakaan umum yang sangat jarang dikunjungi orang di jaman cyber ini.



Sudah lebih dari tiga bulan Arya belum juga mengunjungi gedung tua itu setelah pembagian harta warisan mendiang kakeknya. Arya masih juga menimang-nimang kunci tua pembuka gedung perpustakaan milik kakeknya. Hari ini hampir seluruh anggota keluarga dari Trah Raden Nuswantoro Notonegoro berkumpul untuk acara arisan bulanan. Arya memilih mengurung diri dalam kamarnya sementara di ruang tengah semua keluarga membanggakan warisan yang mereka dapatkan masing-masing. Tante Marie yang bermulut bawel itu suaranya membahana, memamerkan perhiasan peninggalan nenek, tidak hanya membanggakan diri, sifat buruknya yang sejalan dengan sikap buruk lainnya adalah merendahkan orang lain, kali ini Arya menjadi bahan gunjingan. Arya yang sejak kecil selalu dianggap sebagai cucu kesayangan Eyang Toro hanya mendapatkan gudang buku-buku tua. “Cucu kesayangan kok cuma dapat buku bekas! Dijual ke pasar loak saja pasti tidak laku tuh!” lagi-lagi suaranya membahana, semua anggota keluarga mendukung Tante Marie dengan turut tertawa lepas.



Arya hanya sendiri, kedua orang tuanya meninggal dunia sejak dia masih kecil, mungkin ini sebabnya Eyang Toro lebih sayang dia ketimbang pada cucu-cucunya yang lain. Arya lebih memilih menyendiri di kamarnya, salah satu kamar besar dari rumah tua peninggalan kakek. Dinding kamarnya penuh dengan foto-foto bersama kakek tercintanya, hanya ada satu bingkai foto Arya dengan kedua orang tuanya, itupun ketika Arya masih kecil sekali, sisanya foto bersama kakek sewaktu memancing, pergi ke museum, benteng-benteng tua, keraton-keraton seluruh nusantara dan bingkai-bingkai foto lainnya.



Arya masih menimang-nimang rangkaian kunci yang bergantung pada rantai kuningan di depan matanya, sesekali menghela nafas dan menunduk lagi. Pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati berukuran hampir dua meter terketuk dari luar, Arya enggan membuka pintu itu, terlebih jika sosok Tante Marie yang hanya ingin memperolok dirinya. Setelah ketukan ketiga pada pintu terdengar suara dari pengetuk itu, kepalanya sudah nongol dari balik pintu.



Cah bagus, Eyang boleh masuk?” Eyang Timur, adik kembar Eyang Nuswantoro ini masuk lalu duduk tepat di sebelah Arya yang masih malas untuk bergabung dengan keluarga lainnya. “Kenapa kamu masih bersedih toh Cah bagus? Nanti Eyangmu ikut sedih loh! Iklaskan saja kepergiannya.” Suara Eyang Timur hampir serupa dengan Eyang Toro, begitu juga wajah, perawakan bahkan kegemaran mereka sama persis, mereka kembar identik. Sebenarnya Arya pun tidak terlalu kangen ditinggalkan Eyang Toro karena ada sosok serupa yang masih hidup.



“Arya ndak sedih atas meninggalnya Eyang Toro. Arya ndak kuat ada di ruangan tengah itu Eyang, mereka sepertinya senang dengan meninggalnya Eyang Toro. Sombong dengan kekayaan yang seolah turun dari langit, padahal itu semua hasil jerih payah Eyang Toro.” Arya tidak sanggup melihat sosok Eyang Timur jika dia berada di ruang tengah turut dalam pesta pora itu, melihat Eyang Timur yang hanya duduk di kursi goyang sama seperti dia melihat arwah Eyang Toro yang merasa sedih melihat anak-cucunya hanya bangga menjadi penikmat warisan belaka. Eyang Timur menggosok-gosokkan tangannya di pundak Arya, persis seperti yang biasa dilakukan Eyang Toro jika dia bersedih.



”Itu sebabnya Eyangmu sayang kamu cah bagus, cucuku; Arya Banyu Samudra. Kalau Eyangmu ndak sayang pasti kamu juga sudah diberikan warisan-warisan mewah itu.” Mendengar ucapan Eyang Timur, muncul kekecewaan Arya akan ketidak adilan yang didapatnya. ”Kenapa Arya tidak mendapatkan warisan yang layak? Putra dapat perusahaan, Radit dapat perkebunan, Anwar menikmati mobil antik Eyang, belum lagi yang lainnya! Eyang Toro tidak adil! Cucu kesayangan apa kalau hanya dapat gudang buku tua?!” selepas memuntahkan kekesalannya, Arya mendadak menyesal. Eyang Timur hanya menggeleng-gelengkan kepala lemah, perasaan sesal ini muncul karena dihadapannya tadi bukan lagi Eyang Timur melainkan Eyang Toro, terlebih wejangan Eyang Timur menyadarkannya. Arya masih bersimpuh diantara kedua lutut Eyang Timur, menyesali ucapannya.



Keesokan harinya Arya memutuskan pergi menuju perpustakaan umum yang telah sah menjadi haknya dengan penetapan notaris yang ditunjuk keluarga besarnya. Gedung tua itu tidak terurus hampir dua tahun lebih semenjak Eyang Toro sakit keras. Petugas penjaga perpustakaan awalnya masih setia menjaga-merawat perpustakaan meskipun tiga bulan tidak mendapatkan gaji namun mereka juga perlu uang. Ini semua karena Pakde Jarwo yang ditunjuk sebagai pengurus keuangan seluruh usaha peninggalan Eyang Toro tidak memperhatikan keberlangsungan perpustakaan hanya karena dianggap tidak memberikan keuntungan sama sekali.



Perlahan Arya membuka pintu tua itu, aroma apek-pengap langsung menyerbu hidungnya. Lantainya penuh dengan debu tebal begitu juga pada seluruh meja dan kursi, sarang laba-laba menutupi setiap pojokan dinding dan beberapa rak buku yang tertutup kaca. Atap berkubah kaca mozaik tepat di tengah ruangan membiaskan spektrum warna cahaya teduh tapi tidak cukup menerangi seluruh ruangan karena belum ada satupun jendela yang terbuka dan lampu yang menyala. Arya masih ingat, tepat di bawah kubah kaca inilah titik favoritnya ketika membaca buku sewaktu kecil dulu, duduk di lantai ubin tua berwarna merah, kuning dan motif bunga yang dirangkai sedemikian rupa. Tidak ada seorangpun yang dapat menggangu dirinya jika sudah membaca di titik ini.



”Eyang, tolong beri saya petunjuk, apa yang harus saya lakukan dengan peninggalan Eyang ini?” Arya berjalan menuju saklar lampu, berharap pihak PLN tidak memutuskan jaringan listrik pada gedung tua ini, ternyata betul, seluruh lampu ruangan tidak ada yang menyala. Arya hanya membuka satu jendela saja sekedar memasukan oksigen dalam ruangan pengap ini. Berjalan perlahan mengelilingi setiap rak buku yang berjajar rapi dengan tatanan buku sesuai tatanan Dewey Decimal System, memastikan buku-buku itu dalam keadaan utuh. Beruntung Eyang memikirkan pengamanan buku dari serangan tikus dengan memberikan kaca pada setiap rak, ada ribuan buku dalam ruangan ini tapi Eyang akan marah besar jika ada satu saja buku yang rusak.



Arya menggelar matras karet dari tas ransel yang selalu dibawanya, duduk tepat di titik favoritnya, mengeluarkan termos stainless kecil berisi kopi panas, menyeruput kopi hitam itu sambil membakar sebatang rokok. ”Eyang, tolong beri saya petunjuk!” matanya berkeliaran dari satu rak ke rak yang lainnya hingga tertuju pada satu pintu di pojokan ruangan, ruangan khusus Eyang Toro. Disanalah ruang koleksi buku khusus milik Eyang, tidak sembarang orang yang boleh masuk. Seingat Arya hanya beberapa orang asing dan profesor-profesor tua saja yang pernah diajak Eyang masuk ruangan itu.

Arya mengeluarkan rangkaian kunci tua itu, mengangkatnya kearah kubah kaca, hanya ada dua sumber cahaya di ruangan ini; jatuhan bias sinar matahari teduh yang tersaring kubah kaca mozaik warna-warni dan satu lagi dari jendela yang terbuka. Asap rokoknya terlihat jelas dari berkas sinaran cahaya yang masuk lewat jendela itu, menciptakan nuansa senyap. ”Eyangmu pasti marah besar kalau ada yang merokok dalam ruangan ini Cah bagus!” suara Eyang Timur memecah kesunyian, menciptakan degup jantung tak beraturan pada dada Arya. ”Sudah Eyang duga kamu pasti akan kesini hari ini!” senyumnya meriah dengan hiasan cangklong gading di sela bibirnya.



Mereka berdua bersepakat untuk menikmati suasana hening ini dengan ditemani kopi dan rokok karena Eyang Timur juga tidak pernah bisa lepas dari racikan tembakau-cengkeh yang terbakar pada cangklong gadingnya, selagi Eyang Toro tidak ada, alasan mereka. ”Cah bagus, kamu mengerti kenapa Eyangmu ngotot kasih namamu; Arya Banyu Samudra?” Arya menggelengkan kepala sebagai jawabannya. ”Eyangmu kepingin kelak kamu menjadi Pangeran Penguasa Samudera karena jika kamu bisa menguasai samudera maka kamu akan memiliki banyak ilmu, tak terbatas! Ilmu pengetahuan menyebar melalui ekspedisi para pelaut-pelaut pemberani, Cah bagus. Itu sebabnya intisari ilmu itu sebagian kecil ada dalam ruangan ini, berbentuk buku dalam armada kapal laut yang telah mengarungi luasnya samudera.” Eyang Timur bersemangat menceritakan hal ini pada Arya.



Mendengar cerita ini, Arya jadi teringat buku terfavorit Eyangnya, kemudian menjadi buku terfavorit baginya juga ketika Eyang Toro memperlihatkan sebuah buku tua berjudul; Geillustreerde Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, pada sisi sampulnya terdapat gambar kapal laut besar dan yang membuat buku ini menjadi istimewa karena di dalamnya terdapat gambar bermacam-macam lambang perisai kotapraja di Hindia-Belanda seperti; Batavia, Soerabaja, Makassar, Amboina, Buitenzorg yang kemudian dikenal sebagai Bogor dan lambang kotapraja lainnya, semua lambang ini berwarna! Buku berwarna yang masih langka, mengingat buku ensiklopedia ini tercetak pada tahun 1934 di Negeri Leiden, ketika percetakan saat itu belum mengenal secara luas teknik mencetak gambar berwarna. Ensiklopedia ini disusun oleh G.F.E Gonggryp yang pernah menjabat Gubernur Sumatera Barat. Mungkin ini sebabnya Eyang ngotot memberiku nama Arya Banyu Samudra karena terinspirasi buku itu!



Sepanjang hari mereka membicarakan masa lalu dan rencana kedepan mengurus perpustakan umum ini, gudang ilmu peninggalan paling berharga dari Eyangnya. Arya tersenyum geli saat bibirnya menyentuh penutup termos kecil yang berfungsi sebagai gelas untuk kopinya, dalam benaknya berkata; `untuk apa bertanya pada Eyang yang sudah meninggal jika masih punya satu Eyang lagi yang masih hidup, sama persis pula!`



(maaf ceritanya bersambung dulu yaa.... ;) *


******


# Koelit ketjil #

- Propinsi B, Kota S, Desa Kaloran Hj. Jaenab, Jln. RM. Hoesein Djajadiningrat, 5-6 Juni 2009 -


Satu lagi produk insomnia! Inspired by; Dari Buku Ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, disusun oleh P. Swantoro dan Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving) disusun oleh RM. Hoesein Djajadiningrat tahun 1913. What a great recommended historical books! Must read!!


*terpaksa aku harus menunda letupan-letupan di kepalaku yang memaksa untuk ”lanjutkan!” menulis. Sengaja kubuat bersambung saja tulisan ini, agar tidak menjadi terlalu panjang. Banyak yang protes setiap notes-ku; duuooooowwoooo tennnannnn!* hahahahahahaha