Senin, Juni 30, 2008
Last Word
Minggu, Juni 29, 2008
KAMU PERLU TAU TING!
SATU MEMOAR BARENG QITING
aku tahu komentar khas mu Ting!
AKU MASIH PERCAYA REPUBLIK KU MASIH INDONESIA
(Wiji Thukul)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!
(Solo, 1986)
Ya, aku masih percaya sampai detik ini Republik tempat hidupku ini masih Indonesia. Menyaksikan berita yang memberikan kabar keadaan Republik dari setiap pojok wilayahnya terutama dari Ibukota Negara akhir-akhir ini sempat terganggu keyakinanku tentang Republik ini tapi aku masih percaya ini masih di Republik Indonesia! Karena aku yakin aku tidak sedang bermimpi jadi aku bukan di negeri dongeng.
Apa yang dilakukan `Pemerintah` kita selama ini? Sebenarnya aku sendiri masih bingung mencari persamaan kata dari istilah `Pemerintah`, kebingunganku mungkin beralasan. Mari kita bermain istilah!
Kebingungan pertama; bagaimana gak bingung! jika memang mereka `pemerintah`, apa layak mereka memerintah rakyat Republik ini? lihat situasi Republik Bung!
Kebingungan kedua; Kalau Wiji memakai istilah `penguasa`, untuk istilah ini aku jelas menolak karena aku dan berjuta rakyat Republik ini bukan sekedar `barang yang mereka kuasai`,
Kebingungan ketiga; apalagi menyandang predikat `abdi negara`, yakin mereka mengabdi pada negara? Bukankah mereka mengabdi pada kekuasaan dan uang semata,
Kebingungan keempat; jika mereka mengaku `wakil atau representasi` dari rakyat Republik ini (yaa, meskipun ini telah melalui mekanisme sistem yang panjang yang telah dilalui Republik ini) tapi pernahkah mereka menyampaikan suara rakyat? pernyataan keluar dari mulut mereka yang meracau; `rakyat telah sepakat dan demi kemakmuran rakyat maka kami putuskan bahwa harga BBM kembali naik, mari kita sambut dengan suka cita!`
Kebingungan kelima; jika mereka disebut `pemimpin` aku gak paham dengan persyaratan menjadi pemimpin, kalau aku yang sekarang lagi `dipimpin` ini aja gak paham dengan syarat itu, jangan-jangan aku gak merasa sedang dipimpin!
Kebingungan keenam; jika mereka itu `raja`, bukankah negara ini berbentuk Republik? Tapi kok mereka selalu harus disembah, diagungkan dan diberi upeti dari rakyat,
Kebingungan ketujuh; apa mereka berhak mengaku sebagai `pengayom` rakyat jika setiap ada rakyatnya yang bersuara, mereka mendengarkan tidak dengan telinga tapi kok menggunakan senjata?
Kebingungan kedelapan; umumnya memang jika mengaku Republik maka ada beberapa unsur didalamnya, minimal seperti `Eksekutif dan Legislatif` tapi apa pernah mereka akur? Eksekutif bilang kami sekedar menjalankan kebijakan dari Legislatif, tapi legislatif menghujat Eksekutif yang tidak memahami kebijakan yang telah dibuat dan telah salah dalam menjalankan. Nah loh! Sama-sama berbicara tentang keBIJAKan tapi gak terlihat bijak ya? Mbingungi gak sih! Dan masih banyak kebingunganku lainnya sampai-sampai aku bingung untuk menulisnya, tapi sekarang aku lebih nyaman dengan istilah `MEREKA` aja deh.
Sekedar menyesuaikan antara; kebingunganku, keadaan republik akhir ini dan peringatannya Wiji; aku jadi bingung dengan keadaan Republik yang memperingati 100 tahun kebangkitan nasional dengan pesta kemeriahan penderitaan rakyat dan `MEREKA` memberi peringatan kepada rakyat agar harus iklas kalau tidak iklas tau sendiri resikonya. Bingung euy!
Aku baca lagi Puisi Wiji, jadi tambah bingung, ini ungkapan perasaan dia atau cerita jamannya dia dulu atau ramalan masa depan ya?. Kalau kata De Tach Tigger; puisi adalah terjemahan perasaan kedalam kata-kata, berarti Wiji menuangkan kegundahan perasaannya dalam bentuk puisi, oke lah aku terima karena siapa bisa menebak kedalaman perasaan seseorang?.
Jika ini adalah memoar Wiji yang menceritakan keadaan Republik pada jaman saat dia menulis ini (1986), aku jadi mengetahui keadaan Republik pada masa itu justru salahsatunya dari memoar ini karena saat 1986 aku masih kecil dan belum paham tentang Republik ini (eh sampai sekarang masih bingung ding!). Nah ini yang menarik, jika ini adalah ramalan masa depan Wiji terhadap Republik ini, jangan-jangan Wiji termasuk paranormal dong! Soalnya kok tulisan Wiji ini seperti ada kesamaan situasi sekarang ini (2008) dengan apa yang dulu dia ramalkan (1986).
Kalau gak percaya coba deh perhatiin lagi puisi diatas, bagian yang ini;
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
Memang sih rakyat gak langsung pergi tapi mendengarkan sebentar ketika `MEREKA` berpidato tentang upaya `MEREKA` untuk mensejahterakan rakyat dengan cara menaikan harga BBM, terus pergi setelah itu karena bagi rakyat pidatonya gak masuk akal, ini menyebabkan `MEREKA` putus asa tapi sayangnya rakyat kemudian gak hati-hati.
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Memang sih rakyat sekarang gak sembunyi-sembunyi dan berbisik lagi ketika membicarakan masalahnya ini melainkan rakyat berteriak lantang dimuka umum dan tersiar di semua televisi karena rakyat membakar foto `MEREKA` tapi kemudian menyebabkan `MEREKA` menjadi waspada dan parahnya lagi `MEREKA` gak bersedia belajar mendengar melainkan praktikum memukul.
Coba perhatiin lagi di bait berikutnya;
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
memang sih sebagian rakyat gak berani mengeluh, ada juga yang cuma bisa mengeluh saja seperti aku ini, gak berbuat apa-apa tapi cuma minum teh berpikiran teh bukan terbuat dari BBM karena memasak airnya pun pake arang, bahkan minum kopi yang dicampur arang!, selain itu menuju tongkrongan tempat minum teh juga aku cuma numpang motor kawan, berarti aku gak beli BBM, pernah juga jalan kaki kesana. Aku cuma bisa mengeluh karena di tempat tongkronganku juga cuma pada ngeluh! Apa ini artinya sudah gawat?
Tapi ada juga rakyat yang gak cuma mengeluh melainkan bergerak membantah omongan `MEREKA`, seperti lirik yang dinyanyikan Iwan Fals
ternyata kita harus ke jalan
robohkan setan yang berdiri menantang
Ini mungkin karena mereka yang membantah gak pernah nongkrong minum teh tapi waktu mau bikin teh dirumah dah gak ada lagi minyak tanah dikompor, sialnya mau beli minyak tanah eh sudah jadi barang langka, yang ada cuma gas itu pun mahal dan tempatnya jauh sementara mau beli gas harus pake motor, apesnya lagi, gak ada bensin di motornya, naik angkot sama aja, makanya membantah omongan `MEREKA`, dengan cara mengorganisir, berjejaring menggalang kekuatan dengan kawan, mendekati lawan dari musuh (ingat, lawan dari musuh, bisa jadi kawan) dalam beberapa kali teklap menyusun strategi mengukur kekuatan serta menentukan titik api persinggahan dan target utama menuju `rumah rakyat` tapi kenapa rakyat tidak diberi kunci menuju rumahnya sendiri?
Apa jadinya kalau kita mau masuk rumah kita sendiri tapi pintu terkunci dan semua kunci yang ada tidak bisa membuka pintu itu sementara kita sudah sangat kebelet dan sudah tak tertahankan lagi pengen boker (buang tahi), mungkin itu yang kemudian yang terjadi di `rumah rakyat`, tidak peduli pagar itu bernilai 10 milyar, bukankah ini adalah bagian dari demokrasi yang katanya dijamin oleh `MEREKA` tapi sepertinya dianggap kudeta. Karena itu pilihan yang diambil, maka, bukan cuma kebenaran deh yang terancam tapi bisa jadi nyawa juga terancam!
Baca lagi deh tulisan Wiji, kalau masih mau bersedia sih!
(foto dari; farm1.statistic.flickr)
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!
Kemarin nonton berita di televisi, ada seseorang yang dituduh subversif dan mengganggu keamanan Republik oleh intelijen (bagian dari `MEREKA`) hanya karena usulnya ditolak tanpa pertimbangan terlebih dulu, kritiknya dilarang tanpa alasan bahkan gak cuma kritik tapi juga suara dibungkam dan dia ditahan pun tanpa alasan penangkapan yang jelas. Jika kondisinya seperti ini, Wiji kayaknya jangan cuma kasih satu pilihan, tapi dua atau lebih; bukan cuma satu kata `LAWAN!` tapi juga `LARI!` atau `SEMBUNYI!` atau `MENYERAH!` atau `CUMA NGELUH AJA DEH!` atau yang lainnya.
Nah loh (lagi)! Jangan-jangan Wiji beneran paranormal karena Wiji bisa melihat dan menerka keadaan 2008 saat dia meramalkan pada 1986 bahwa situasi ini akan terjadi lagi…. Apapun yang terjadi tapi aku masih percaya jika 1986 Republik kita Indonesia maka 2008 pun Republik kita masih Indonesia, Bung!. Sayangnya aku (pemuda Republik ini) cuma bisa ngeluh sambil minum teh! Apa karena masih ada banyak pemuda Republik ini yang minum teh yang bukan terbuat dari BBM dan dimasak pake arang ya???
Ahh, bingung aku! Bukan karena Republik ini, tapi `MEREKA`. Supaya gak bingung lagi, Mungkin kawan punya istilah selain `MEREKA`? Atau kita ngeteh lagi aja, ngapain bingung?... bingang-bingung… bingung-bingang!
Jangan-jangan kebingunganku ini dianggap subversif?! Atau jangan-jangan (lagi), ngeteh juga dianggap mengganggu keamanan?! Lantas apa pilihan kita?
(sekedar tulisan dari salah satu Pemuda Republik yang gak memilih bersuara, membantah, turun kejalan atau berkumpul dan berorganisasi memikirkan BBM apalagi mikirin Republik ini. Pemuda Republik ini cuma menikmati teh dan jadah bakar tapi begitu pulang kampung ternyata dapur Ibu tidak ngebul bukan karena pake kompor gas tapi…..)
...... itu sebabnya sekarang disini aku lebih memilih air putih......
Sabtu, Juni 28, 2008
Semakin kau teriak,
Bibirmu semakin memerah oleh gincu
Bertambah kau ngotot,
Dada berbulu itu berubah menjadi toket
Rupanya kau datang juga
Hanya untuk menunjukan jati diri?
Atau perubahan kelamin rupanya!
Atau kau minta tambah pembalut??
o..a..aallaaa… datangnya rame-rame
yang beringas pake rok dan gincu tebal
yang `pahlawan` keliatan banci
yang sarjana, kok lebih idiot!
Tapi tidak semua berganti kelamin
Solidaritas mempertahankan kelaminnya
Jati diri ini lebih jantan, ketimbang brengos!
(Medio Okt 2003. Satu memoar pahit kala belasan `kawan` kos lama datang dg murka setelah kukirimi pembalut lewat kantor pos. Maaf `kawan-kawan` stok pembalut yg kukirim terbatas)
Hinaan telak menghujam ke jantung
Lari ke mata, menjadi nanar
Pindah ke otak, kemudian kalut
Tapi, tetap saja terdampar
Satu gambar manusia kubakar
Kujadikan debu jasad busuknya
Kusebar dalam septic tank
Ditambahi tahi dan siraman kencing
Anggap saja aku marah
Bisa kau mengira aku kalut?
Tapi tetap aku di pojokan
Anggapan tak mengangkatku dari sana
Keberanian justru membunuh
Menjadi bumerang
Idealitas, sekarang jadi komoditas
Kujual menjadi cerita, hanya sampah
(Ontorejo, 7 Okt 2003 pada 01.36)
God, Take Care My Twin Little Brothers
Kepakan terlampau lemah
Sampai pada isak pertama itu
Tak kusangka isak akhir pula
Hadirnya tak dapat kupeluk
Kenyataan berbicara lain
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
-Chairil Anwar-
jika camar dapat terbang
kenapa tidak pipit ringan melayang
jika jiwa kembali hilang
maka berpulanglah ia dengan tenang
akankah Arrasy itu terang?
-medio 2004-
Jat & Eve, Where Are You?
(Jatmoko Putra Kota Gede)
Aku adalah mahasiswa yang membakar patung besi presiden Republik Drakula
Mula-mula kubakar kupingnya
Agar mereka mendengar teriakan rakyat
Lalu aku bakar hidungnya
Agar mereka menghirup bau amis darah kaum miskin kota korban pembantaian
Lalu aku bakar mulutnya
Agar bisa teriak lantang atas hati nurani rakyat
Lalu aku bakar puting susunya
Agar memuncratkan air susu segar
Lalu aku bakar anunya
Agar memuncratkan sperma kehidupan
Lalu aku bakar kaki patung besi Presiden Drakula
Agar mampu melangkah mendekati hati nurani rakyat
Ya, aku bisa membakar
Berbicara atas nama rakyat
Rakyat pun bertanya apakah mereka pernah menjadi rakyat?
Aparat hukum kongkalikong
Aparat birokrat ledha-ledhe
Demonstrasi mahasiswa dituduh cemarkan nama baik jogja
Sekalipun terinjak sepatu tentara kami tetap berteriak
`lawan terhadap ketidak adilan!`
karena kami barisan-barisan pemberani masa depan
-suatu malam di Malioboro, medio 2003, tapi kawanku satu ini jadi Momok Hiyong sekarang-
(Menunggu Eve pada Suatu Malam)
Baru saja kuterima kabar
Bahwa seorang kawan datang ke kota ini
Dari sberang pulau, jauh jika berenang
Malam ini kabar itu kuterima
Sosoknya tak berubah
Belum lagi kuselami samudera pikirnya
Aku sudah terseret romansa
Ketika kutanya kabar kesehatannya
Senyum mengembang
Matanya hilang menjadi garis hitam
Pertanda kondisinya stabil
Manik Borneo satu ini, ah…
Tak kusangka kita bersua lagi
Tapi baru sedikit kudengar kicaumu
Belum juga kusaksikan pengakuanmu
Wahai manik Borneo
Masih ingatkah dirimu bertanya tentang bulan?
Tentang kebodohan malaikat maut
Tentang peluang suatu kebenaran
Juga tentang penentangan atas religi
Pastikan kau telah temukan jawabnya
Hasil pengembaran sebagai referensimu
Sementara ku tak menjawab
Kaulah pengembara itu bukan!
-buat Eve, Jogja10 Feb 04-
Kamis, Juni 26, 2008
(Dorothy Law Nolte)
If children lives with criticism
They learns to condemn
(jika anak dibesarkan dengan celaan
mereka belajar memaki)
If children lives with hostility
They learns to fight
(jika anak dibesarkan dengan permusuhan
mereka belajar berkelahi)
If children lives with ridicule
They learns to be shy
(jika anak dibesarkan dengan cemoohan
mereka belajar rendah diri)
If children lives with shame
They learns to feel guilty
(jika anak dibesarkan dengan penghinaan
mereka belajar menyesali diri)
If children lives with tolerance
They learns to be patient
(jika anak dibesarkan dengan toleransi
mereka belajar menhan diri)
If children lives with encouragment
They learns to be confident
(jika anak dibesarkan dengan dorongan
mereka belajar percaya diri)
If children lives with praise
They learns to appreciate
(jika anak dibesarkan dengan pujian
mereka belajar menghargai)
If children lives with fairness
They learns justice
(jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan
mereka belajar keadilan)
If children lives with security
They learns to be faith
(jika anak dibesarkan dengan rasa aman
mereka belajar menaruh kepercayaan)
If children lives with approval
They learns to like him self
(jika anak dibesarkan dengan dukungan
mereka belajar menyenangi dirinya sendiri)
If children lives with acceptance and friendship
They learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
mereka belajar menemukan cinta dalam kehidupan)
LINGKARAN AKU CINTA KAU
Sawung Jabo
Kini kami berkumpul, esok kami berpencar
Berbicara tentang kehidupan
Berbicara tentang kebudayaan
Berbicara tentang ombak lautan
Berbicara tentang bintang di langit
Kami berbicara tentang Tuhan
Berbicara tentang kesejatian
Tentang apa saja
Malam boleh berlalu
Gelap boleh menghadang
Disini kami tetap berdiri
Disini kami tetap berpikir
Disini kami tetap berjaga
Disini kami tetap waspada
Disini kami tetap membuka mata
Disini kami tetap selalu mencari kesejatian diri
Alang-alang bergerak
Mata kami berputar
Seperti elang kami melayang
Seperti air kami mengalir
Seperti mentari kami berputar
Seperti gunung kami merenung
Dilingkaran kami berpandangan
Dilingkaran kami mengucapkan
Aku cinta padamu
Aku cinta padamu
Aku cinta padamu
Aku cinta padamu
Ada satu catatan menarik berkaitan dengan lirik lagu ini, waktu itu (17 Juni 2008) sepulang interview kerja di kawasan industri Pulogadung, aku naik bus menuju pulang dari terminal Pulogadung (aku berharap tidak akan lagi naik bus dari terminal keparat itu! Lamanya gak umum, No publis, kalo kata Dibyo).
Sengaja aku tidak naik bus dari dalam terminal (sudah terbayang betapa lamanya) cukup jauh dari pintu keluar terminal tapi tetap saja ngetem pada lokasi pertama (15 menit oke lah) bus jalan dengan lambatnya (mungkin kalah cepat dengan nenek-nenek usia 80 tahun yang berjalan kaki dibantu dengan tongkat lagi disamping bus!)
Berhenti di lokasi ngetem ke2 (another 15 minutes! still I`m sober) sopir menunggu kode dari kernetnya bahwa di belakang sudah terlihat bus searah tujuan yang sama
Nah di lokasi pemberhentian ke3 ini ada hal menarik, 2 orang pengamen kata-kata (aku bingung mengkategorikan usaha mereka, nyanyi jelas gak masuk kategori, baca puisi pun.Entahlah) mereka be2 membacakan lirik Lingkaran Aku Cinta Padamu karya Sawung Jabo, bergantian dengan sistem satu baris lirik dibacakan oleh pengamen kata-kata pertama (PKK 1) kemudian baris kedua dibacakan oleh pengamen kata-kata ke2 (PKK 2), lebih mudahnya seperti ini;
PKK 1; kini kami bErrkumpul, Ezok kami bErpEncarr (dengan logat Me**n kental)
PKK 2; bErrbicarra tEntang kEhidupan (juga dengan logat Me**n kental)
PKK 1; bErrbicarra tEntang kEbudayaan (masih dengan logat Me**n)
PKK 2; bErrbicarra tEntang ombak lautan (konsisten dengan logatnya)
Salut, di Jakarta masih ada orang yang punya mental untuk ngamen puisi, eh ngamen kata-kata ding (setidaknya ini menurut istilahku aja, soalnya di jogja aja banyak seniman berlomba melagukan puisi atau menghidupkan puisi menjadi musik (musikalisasi puisi meskipun banyak pro kontra atas istilah ini), kok mereka me-lafal-kan lirik lagu kedalam ucapan tidak serupa deklamasi maupun baca puisi pada umumnya, meskipun setiap orang berhak untuk mengekspresikan dengan cara mereka sendiri) ini yang bikin aku salut terhadap mereka!
Mereka terus bergantian me-lafal-kan baris demi baris, sampai pada pertengahan lirik mereka gubah seenak udel mereka sendiri (kadar salutku mulai berkurang mulai dari sini). Di akhir aksi perform, mereka mengucapkan terimakasih terhadap bapak supir dan kondektur, mengharap keiklasan penumpang dan menghimbau agar penumpang menjaga barang bawaan (biasalah Standard Operation Prosedure dan kode etik pengamen jalanan karena kalo gak begitu mereka bisa kena pelanggaran kode etik dan mendapat teguran Dewan Kehormatan Pengamen Jalanan…boong ding! Gitu aja dianggap becanda)
Mereka mengeluarkan plastik bekas bungkus supermie untuk menagih keiklasan penumpang tapi dari kursi penumpang paling depan mereka sudah mulai kurang ajar (disini rasa salutku hilang sama sekali). Perempuan muda berjilbab didepan tidak memberikan sedekahnya tapi
Hal ini berhasil sebagai teror dan intimidasi terhadap penumpang lainnya.Datang kekursiku aku cuma bisa merapatkan kedua telapak tanganku, intimidasi mulai dia lakukan dengan mendekatkan terus plastik itu, aku tetap senyum, eh kok terus-terusan orang ini, akhirnya aku senyum sambil liat matanya (lalu aku bacakan mantra `anda akan merasa mengantuk, berat sekali…berat...berat…anda akan merasa nyaman pada titik itu..gak perlu dilawan..santai…rileks…rileks….. HAHH! Apa yang kalian harapkan? memangnya aku hypno-terapis po! Jelas PKK 1 gak tertidurlah tapi terus berjalan ke penumpang lain)
Di bagian kursi belakang setelah penumpang terakhir, mereka be2 mengutuk dengan lantang pada semua penumpang yang tidak memberi uang tapi sama sekali tidak berterimaksih pada mereka yang terpaksa memberikan uang kepada mereka. Aku pun balas merapal kutuk dengan lantang juga (tapi dalam hati). Belum sampai selesai kutukan mereka be2, tiba-tiba datang orang berbadan tegap, kulit hitam, tulang pada wajah tegas dan tulang pada dahi lebih menonjol sehingga mata terkesan menjorok kedalam (mungkin preman, meskipun aku bukan penganut teori Lambroso (tokoh Kriminologi dari Italia) yang mengambil kesimpulan bahwa orang dengan ciri-ciri ini adalah Natural Born Criminal, jelas aja lah wong dia melakukan penelitian di penjara yg hampir 90% isinya orang negro lantas sample lainnya gimana Bros?)
Kembali kepada kutukanku yang mulai terjawab, ke2 Orang Bertubuh tegap (OBT) itu menarik ke2 PKK tadi keatas bus lagi dibagian belakang)
Samar ku dengar (gak samar ding, lah wong ternyata mereka be2 memiliki logat yang sama) tapi ada yg beda Bung!
OBT 1; tadi kau bilang apa zama pEnumpang hah?!, kalian pikirr ini dimana? Ini Zakarta! Banyak orrang dizini bukan cuma orrang Me**n zaja! Ada orrang zawa, zunda, zulawEzi, bahkan papua, bErrani-bEraninya kau macam-macam dizini! Kau pikirr cuma orrang Me**n yang hebat dizini hah!
PKK 2; bukan aku Bang dia ini tadi Bang (menunjuk PKK 1, suaranya berubah lembut banget)
OBT 2; AHH! ZUDAH DIAM KAU! (pasti gak lembut dong suaranya,jelas)
(ingat EYD yang tepat `menengok` berarti `melihat kebelakang`, tidak seperti contoh kalimat ini; “Zini kau, coba kau tEngok Zupir buz yang didEpan itu, cEpat!”… tengok kok kedepan?!). Kembali lagi ke OBT
(mungkin dalam hati ke2 PKK bilang; ‘kami berani juga kok dengan laki-laki Bang, buktinya tadi..”, pasti mereka gak berani dong bilang itu, secara..)
setelah sekitar 30 menit bus berjalan, perempuan muda tadi bicara dengan orang sebelahnya bahwa doanya terkabul (bagi dia mungkin doa, yang lain pasti kutukan), hal ini terdengar dengan penumpang dibelakangnya “saya juga tadi sumpahin mudah-mudahan orang tadi kena batunya, ehh beneran!” dan suara senada pun mulai keluar dari sekitar 50an penumpang lainnya (ahh ternyata kutukanku didukung dengan kutukan 50 penumpang lainnya, jelas kalahlah 2 lawan 50an).
Aku jadi ingat dengan perbedaan sudut pandang antara ilmu eksak dengan ilmu sosial jaman SMA dulu,
jika dalam sudut pandang ilmu eksak; 1 orang penakut ditambah dengan 49 orang penakut maka sama dengan 50 orang penakut.
Beda halnya dari sudut pandang ilmu gak eksak; 1 orang penakut ditambah dengan 49 orang penakut maka sama dengan 50 ORANG PEMBERANI.
Dalam kasus ini; kutukan 49 orang penakut ditambah dengan kutukan 1 orang pemberani (tapi dalam hati beraninya) sama dengan KUTUKAN YANG MANJUR!!!
Benar adanya dalil “doa orang teraniaya pasti makbul”
Bus kembali berjalan dengan sangat lambatnya, waktu tempuh Jakarta sampai rumahku biasanya 3 jam itupun sudah kena macet, tapi lain dengan hari itu, 6,5 jam tanpa macet!!
MUNGKIN ADA ORANG YANG LEBIH TERANIAYA LAGI DARI 50 ORANG PENUMPANG INI DAN MENGUTUK BALIK KUTUKAN TADI, RUPANYA KUTUKAN 2 ORANG JAUH LEBIH MAKBUL, BISA JADI DERAJAT TERANIAYANYA CUKUP BERAT…mari hentikan perbuatan mengutuk lebih baik menganiaya diri sendiri agar doa kita makbul. Ngamien…….
Pada kawan kesah ini bercerita
Ada kepedihan, ada imaji, ada bulan
Sementara kawan menatap bulan
Ada imaji menyematkan kebaya pada bulan
Tak perlu kebaya, bulan tetap anggun
Imaji itu untukmu kawan
Ada kawan, ada bulan, ada kebaya
Semoga purnama esok imaji menjadi nyata
Ah, ramuan teh poci terseduh gula batu
Racikanmu mencipta imaji
Pada bulan imaji kawan berkebaya
Anggun saat purnama
Secercah damai dicerah mentari pagi, esok….semoga
-Pak Min, saat full moon, 04.05.04-
Selasa, Juni 24, 2008
Hear No Evil, See No Evil, Talk No Evil
Hear All and Say Nothing
Give All and Take Nothing
Serve All and Be Nothing
(Sathya Sai Baba)
VERSI KU, CERITA KU
VERSI KU, CERITA KU
Kawan coba kesini
`kan kubisiki satu cerita ceria
Tentang Malinkundang terkutuk
Namun, kembali hidup karena masa kutuk telah habis
Coba dekat kemari, cepat!
`kan kuberi tahu kisah bahagia
Tentang romantisme Siti Nurbaya
Kisahnya kugubah, sebabnya Maringgih mati atas nafsunya
Mari duduk dekat aku
Nikmati tembakau linting dan kopi tubruk
Ceritaku satu lagi, Roro jongrang tak membatu
Sebabnya candi tak selesai, dana tlah menguap
Atau kau ingin dengar cerita lain?
Dalam versi ku, si Kancil jadi mati dimakan Buaya
Koq bisa?
Soalnya Kancil tak lagi dapat berhitung
Karena aku bercerita
(Ontorejo, 5 Okt 2003)
IDE, ASU!
Tuhan,
Coba lihat aku disini
Pada pojok tersiksa oleh ide
Otak tertumpuki citra hari depan
Tapi apa jadinya ketika esok kuhadapi?
Tanpa pendukung, ide ini menjadi tumor
Membengkak, tapi menggerogoti
Serupa kanker dalam benak
Terlampau beratkah `Prakarsa`ku
Begitu `Kecil`kah aku, hingga
Tak mampu menggerakan ide?
Tersiksa pada dini hari bisu
Ya, sekarang ini Tuhan
Sama seperti kemarin, lusa dan lalu
Sama saja seperti ini
(Kajor, Medio April pada Dini hari)
IKUTI AKU DI UJUNG
Bahkan ada
Kau tiadakan
Manusiawi…. Ego!
Tapi persahabatan ini
Tidak datang dari hati, adalah
Proses pencermatan karakter ku pilih
Semakin terpendam ketakutan itu
Dengan sendirinya
Kau pilih rindu, pembunuhmu
Coba saja kau hilang
Pasti hilangmu, pencari keberadaanku
Tidak dapat wujud,
Melainkan bayang!
Lebih nyata…. Semakin kau takut
Lebih takut…. Maka
Sayap rindu mencekikmu
Seperti asap kutakuti hilangnya
Kepudaran kucari
Tapi itu tak seberapa
Coba bayangkan
Jika
Takut itu ….. hilang…
Dapat kau berani?
Ingin kau mati?
Sementara
Bulu rindu dalam sayap hitammu
Tak beri kau udara
Manusia hidup untuk
Mati
Bukan untuk kehilangan udara
Ya, aku berbicara
Jika kau menolak
Biar, bisulah kata ini
Jika kau sepakat
Pejamkan mata
…….. temukan hitam dalam terang……
(Bugisan, August, 10, 2003 at 21.55)
Senin, Juni 23, 2008
Ada Matahari Tambahan di Kos ku!
Sabtu, Juni 21, 2008
Jalan Hidup... Hidup Di Jalan
Sudah hampir lima tahun
Aku hidup di jogja, memperkosa atmosfernya
Justru aku tercekik oksigennya
Hampir lima tahun
Kucumbui kemesraan romansanya
Eh, koq malah dicampakkan realita
Lima tahun!
Kubelai jalan panjang kota jogja,
Rupanya terlampau banyak kerikil!
Sementara aku tidak bersepatu
Tahun ke lima,
Kenyataan memutar ulang romantika
Terbius bius seduhan teh gula batu
Selama lima tahun!!
Setelah lima tahun
Aku menjadi manusia…………… semoga
(Jogja, 10/02/04)
allerindividueelste emotie
(untuk Ikal)
Ekplorasi otak dan untaian ide
Tanpa henti, tak kenal kata `putus`
Secangkir teh hangat cairkan kebekuan
Benak, mengendap, tak tetap!
Biar saja sore ini berwarna lembayung
Biar menjadi penuntun bagi Belibis pulang sore
Biar Belibis pulang pada sarang, biar
Tapi kau tetap disini ceritakan duniamu
Maya, tidak mengaku jika kau bertutur
Apapun kau ucap bukan lagi impian
Keyakinanmu menghidupkan
Nyala api di matamu yang membangunkan
Kawan, mari kita nikmati nuansa lembayung sore
Tapi kau harus berjanji satu hal
Ceritakan dunia disana
Dunia yang sejak dulu kau sebut “Kedamaian Abadi”
…… walau cukup kecil……
(Jogja, 23 Maret 2003)
(puisi adalah terjemahan perasaan kedalam kata-kata)
“Poezie is de alleerindividueelste expressie van de allerindividueelste emotie”
(puisi adalah ungkapan paling individual darei emosi paling individual)
De Tach Tigers
Jumat, Juni 20, 2008
HENTIKAN PERANG... TITIKKK!!!
(newsimg.bbc.co.uk foto korban perang Irak bernama Ali Ismail Abbas)
SURAT UNTUK KAKAK
Kakak, bagaimana kabar kakak di jogja?
Semoga Kakak tidak lupa Ade yang Kakak tinggal
Semoga Kakak tidak lupa rumah, Ade kangen!
Satu yang Ade tidak mengerti
Kakak lari dari perang atau pergi kuliah?
Kalau Kakak lari dari perang, kenapa Ade tidak Kakak bawa serta!
Kalau Kakak pergi kuliah, Ade juga ingin pandai, disini capek Ade terus lari
Disini Ade gak kuat dengar tangis Poma,
Ade gak bisa lagi bantu Ayah berjalan,
Kaki Ayah harus putus!!
Ade gak tahu kenapa bola besi itu minta kaki Ayah?!
Ayah gak bisa lagi main bola dengan Ade,
Bahkan Ade takut dengan bola sekarang,
Jangan-jangan meledak lagi
Ade masih ingin main bola, tapi tidak disini!
Kakak, Ade cuma minta satu dari Kakak….
TOLONG KIRIM BOLA DARI JOGJA, KARENA BOLA DISINI PASTI MELEDAK!
ADE KANGEN……………..
(Bugisan, 18 Maret 2003)
(foto diambil dari warphoto.5u.com)
DOA BOCAH DARI SERAMBI
Dewi, di mata ini tak ada lagi warna
Yang ada hanya kelam, apa ini isebut warna?
Dewi, dimana letak warna itu?
Ya, seperti dulu itu Dewi, ketika semua ceria
Dewi kenapa engkau diam saja waktu itu?
Sewaktu Rahwana bersenjata canggih terjun disini
Mengapa mereka merusak sawah kami?
Menculik Bapak dan Poma menangis tiada henti
Dewi, apa Dewi telah lupa warna kedamaian?
Sama seperti kami ini, yang kami tahu hanya ledakan
Apa Dewi tidak lagi bersayap ketentraman?
Sehingga setiap saat kami harus siaga mengungsi
Dewi, bahkan kami lupa bagaimana caranya menangis
Yang kami kenal hanya berlari dan menutup telinga
Dewi, serambi kami tolong bersihkan
Karena disini kami bermain, tidak untuk berlari
Dewi, doa kami hanya satu semoga engkau tidak dipersunting Rahwana….
(Bugisan, 18 Maret 2003)
Poma dalam bahasa Aceh berarti Ibu
(foto diambil dari children.foreignpolicyblogs.com)
KUPEGANG BATU, KUTUNGGU KAU
Dibatas antara mimpi dan nyata
Aku tunggu kau, kupegang batu ini
Biar lengan ini kecil, walau batu kapur
Bocah ini siap tantang kau Rahwana!
Dibatas tipis hidup dan kematian
Aku tetap jaga Poma, tetap kupegang batu ini
Sekali kau sentuh jiwa rapuh Poma, kulempar batu
Kutunggu kau malaikat kematian!!!
Dibatas wilayah GAM dan Republik
Kupegang dua batu, batu kemarahan kali ini
Sekali kau lintasi pijakan kaki kurus ini
Kulempar kemarahan, kuhancurkan dengan lemahku
Tanah kami bukan Darussalam, BOHONG!
Disini tidak ada lagi tempat untuk selamat
Dewi telah bohong, Dewi diperkosa Rahwana
Dewi tidak lagi suci, Dewi bohong…………..
(Jauh dari Aceh cuma dari Bugisan, 16 April 2003)
Rubbish Everybody Has A Bad Times... Don`t Give Up!
Kepedihan membakar matamu
Melayukan semua harap dan kobar cita
Raut mukamu tak lagi kukenal
Akar keluar semrawut dari kulit wajah
Kutahu banyak beban dibalik itu
Topeng hitam kembali kau pasang
Lakon keheningan, lagi, kau perankan
Sementara kau setting pancaran sinar fade out
Ayolah, peran itu menjemukan
Keluarkan emosi terhambat di dadamu
Gelorakan amarahmu pada senyum khas
Siram sayu mata itu dengan air positivisme
Memang sutradara hidupmu sedang sentimen
Tapi bisa saja kau berdiri di bibir panggung
Cabut Excalibur yang tertancap itu
Turunkan layar, tentukan sendiri peranmu
Ingat kata orang Ndableg; “Akulah dalang hidupku sendiri”
Tidak hanya itu
Kaulah lakon itu, setting itu, kostum itu, make up itu dan
segala tetek bengek itu… KEHIDUPAN MU!!
Fade out… layar tertutup
(Kajor, 6 Okt 2003 pada 01.01)
LINTAH LATAH MELATA
Proses manusiaku
Diawali melata di jalan, trotoar, stasiun
Merambat melalui debu, sampah dan tahi
Kesejatian belum lagi kutemui
Stagnasi roda jiwa total tak ubah
Sandang raga remuk oleh murka
Pangan? Ruh resah ini tak perlu!
Sebabnya di noktah hitam hanya hampa
Jika suatu saat tak lagi melata
Sebagian hidupku kan kurindu
Hingga detik ini kerinduan tak kunjung datang
Sebabnya aku masih melata….
(Ontorejo, 5 Okt 2003)
ASAL SAJA KAU TAHU
Malam belum lagi tua
Aku sudah keparat
Terhina oleh kenyataan
Terdampar pada sisi jalan, Malioboro
Jika benar ini kehidupan
Kenapa napas jalan tak terhembus
Jika benar ini kematian
Kenapa raga ini bergetar
Sebut saja ini maya
Ilusi kematian atas kenyataan
Sebut saja ini realiti
Getir, lagi, tak berasa
Asal saja KAU tau!
Cukup, selesaikan mainan ini!
(Malioboro, 2 Okt 2003)
SEKALI TEMPO
Sekali tempo
Sempat kulihat kau tertunduk
Sepatu lusuhmu tersaingi wajah dan rambut
Sangkakala memang belum terdengar, tapi
Sepi telah merambati jiwa kalut itu
Sekali tempo
Seraut wajahmu memerah, padam!
Siang tak lagi berperan, sebabnya
Sore, kutemui kau mengerang
Sekali tempo
Sempat kulihat kau tertunduk
Seraut wajahmu memerah, padam!
Sore, kutemui kau mengerang
Sepi telah merambati jiwa kalut itu
Sepatumu lusuh, Sekali tempo
(Kajor, 6 Okt 2003 pada 01.08)
SAAT SUARA MENJADI HANTU
Bosan aku dengan suara
Suara yang ada di kepala
Suara yang ada di telinga
Suara yang tak pernah bersuara sepi
Suara hanya dapat memaksa berputar
Suara yang tak pernah memberi petunjuk
Hanya memaksa untuk berputar… muak
Bosan aku dengan suara….
Dari yang ada dalam kepala hingga keluar telinga
Hingga menuju tenggorokan sampai muntah
Sebab apa suara berputar? Untuk siapa?
Sekali lagi aku tetap bosan dengan suara
Kenapa saat ini sepi justru berteriak
Tidak kawan, bukan saatnya teriak
Ku ingin kau tetap sunyi, sekali ini saja
Kawani aku dengan ritme lambatmu
Bius aku dengan detik yang melenakan
Dekati aku dengan sunyi dan dingin di hati
Ya, di hati tetap disini
Biar di kepala tetap bising,
Biar telinga ramai
(Jogja, 27 April 2003)
Minggu, Juni 15, 2008
Siapa Wiji Thukul? Dimana Beliau Hari Ini?
Wiji Thukul, Penyair
Penerima Yap Thiam Hien Award 2002
Penyair asal Solo, Jawa Tengah, Wiji Thukul dianugerahi Yap Thiam Hien Award 2002. Wiji Thukul yang hilang sejak tahun 1998, dikenal melalui puisi-puisinya yang selalu berusaha mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia. Ia terpilih karena kegigihannya dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.Sebagai reminder, Wiji mengingatkan masih banyak orang yang hilang karena alasan-alasan politik. Pengingatan yang dilakukannya memang suatu hal yang pahit, tetapi harus perlu disampaikan, khususnya ketika pemerintah sudah tidak berdaya lagi untuk melindungi rakyatnya.Sebagai orang yang aktif memperjuangkan HAM, ia pantas diberi penghargaan karena tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi tentang HAM, berani memperjuangkannya tanpa pamrih. Dalam perjuangannya, Wiji juga dikenal sebagai orang yang tidak memunyai suatu lembaga khusus untuk memperjuangkan HAM, tapi ia berjuang sendiri.
'Momok hiyong si biang kerok, paling jago bikin ricuh, kalau situasi keruh, jingkrat-jingkrat ia bikin kacau dia ahlinya, akalnya bulus siasatnya ular, kejamnya sebanding Nero, sefasis Hitler sefeodal raja kethoprak luar biasa cerdasnya, di luar batas culasnya demokrasi dijadikan bola mainan, hak asasi ditafsir semau gue emas doyan hutan doyan, kursi doyan nyawa doyan, luar biasa tanah air digadaikan, masa depan rakyat digelapkan, dijadikan mainan utang momok hiyong momok hiyong, apakah ia abadi, dan tak bisa mati? momok hiyong momok hiyong berapa ember lagi, darah yang ingin kau minum'
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan! Juga puisinya berjudul Satu Mimpi Satu Barisan (1992): tak bisa dibungkam kodim/tak bisa dibungkam popor senapan/satu mimpi/satu barisan.
Puisi-puisi yang sangat terasa sensitive pada era represif ketika itu. Saat gelombang demonstrasi menggulingkan Presiden Soeharto makin bergema, puisi Thukul berjudul "Peringatan" ini menjadi lirik wajib untuk dikumandangkan.Wiji tidak berbicara mengenai deklarasi, konvensi, standar, dan lain-lain instrumen hak asasi manusia, tetapi sadar atau tidak sadar Wiji telah berjuang dalam memajukan nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dari pemajuan hak asasi manusia.Perjuangan Wiji tidak hanya bergerak di bidang pemajuan nilai kemanusiaan, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Wiji sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit bersama dengan warga lainnya bertindak melawan pencemaran lingkungan yang dilakukan pabrik tekstil Sariwarna Asli (1992).
Seorang Kawan, Wiji Thukul
(Linda Christanty. Jakarta, 25 April 2001)
Tumbuh Benih
Sajak Rambut
Rambutku gondrong benakku adalah hutan
keinginan terkurung didalamnya
di kegelapan aku berteriak: kebebasan!
sepanjang malam semakin ribut
jiwa siapa tak akan letih
menjelang pagi baru tertidur
hari hampir siang, matahari menegurku
hutanku kembali minta dilayani
inikah dirimu, di depan kaca aku bertanya
kening yang terlipat, mata yang nyalang
rambut yang gondrong dan debar jantungmu
menangkap bau warna putih: uban!
rambut yang panjang mendekati tanah
waktu memberat di tiap helai
berapa lagi bukit-bukit letih dan daki
sbelum sampai di sebuah pantai
melabuhkan lelah sementara
menyongsong badai kembali
(Wiji Thukul, 11 Juni 1983, sorogenen, surakarta)
Jumat, Juni 13, 2008
WANTED DEATH OR HALF DEATH!!!!
nocturno... nocturno...nocturno....
ada pemantik...
ada sarana komoenikasi tempo doeloe....
ada teh hangat....
ada..... debyo....... (soriii)
ada... alyt... (ra popo asli)
ada..... tejo..... (dah ijin koq)
ada...tommy .... (habis tinggi sih lu..yaa maap)
ada... johan... (ojo aku terus dab!)
ada.... Qiting... (ting dawah loh...)
di sudut kota jogja tengah malam......
tepatnya di utara Stasiun Tugu.... ada kehidupan disana..... di MEJA PANJANG LEK MAN yang gak tertib pastinya!!!!
Nb; utk teman2 yg lain yg belum foto harap secepetnya kirim fotonya dong (nukman, ucik, rosna, momi, SRJ, dhira, agni, tunggal, mas gie, dkkk (sing tuo-tuo ra wani aku))
ada dua foto ku ambil dari (yogyes.com/angkringan-lik-man, dg edit secukupnya.. 2 sendok teh)
Selamaat malam jogjakarta.........