Senin, Juni 30, 2008

Last Word



"I Know You Have To Kill Me. Shoot Coward, You`re Only Going To Kill A Man!"
(Che Guevara`s Last Word when He Facing Hiss asassin, Mario Teran, A Bolivian Sildier, October, 19, 1967)

Minggu, Juni 29, 2008

KAMU PERLU TAU TING!


DULU WAKTU SMP AKU JUGA ANGGOTA PRAMUKA.....






CITA-CITAKU WAKTU MASIH KECIL JUGA INGIN JADI.....





TAPI SEKARANG JUSTRU JADI.........

SATU MEMOAR BARENG QITING





Waktu itu (07-06-2008), Jogja sedang tenggelam dalam pesta pora kebudayaan dengan sangat meriah, setelah menjemput seorang kawan yang berambut ikal (tapi rambut ditutupi sejenis penutup kepala yang hampir mirip dg penutup kelamin gitu deh, makanya tingkat ke-ikal-annya juga gak jauh beda!).
Setelah lama menunggu rombongan pawai Pembukaan Festival Kebudayaan Yogyakarta, AKHIRNYA DATANG JUGA! yang ditunggu-tungu, dari kejauhan sudah terengar gegap gempita suara drum band dan musik-musik akustik asik. kawanku sudah tidak sabar menunggu karena dia bilang bahwa akan ada perform dari pantomimer senior jogja; JEMEK SAPARDI sepanjang rute pawai.
Alangkah terkejutnya kami ketika melihat ada defile dari kelompok KEPOLISIAN dan berada paling depan lagi! lengkapp dengan kostum anti huru-hara! bahkan mereka memperagakan sejenis TARIAN MENGAHADAPI DEMONSTRAN. Cukup provokatif....
Kawanku berambut ikal ini mulai berkicau... "mana kebudayaannya kalo pawai pembukaan festival KEBUDAYAAN yogyakarta aja dikawal oleh Polisi? gimana ini!" lantang, ngawur dan parahnya lagi PAS DISAMPING ROMBONGAN POLISI INI.
aku cuma bisa komentar; "justru itu Bung, Republik kita ini menganggap bahwa Kesenian dan Kebudayaan harus dilindungi, maka mereka menerjunkan alat perlindungan Republik ini"
Qiting masih gak rela "Iya, tapi kan itu kostumnya gak cocok, itu untuk perang. ini acara kebudayaan Bung!"
Ah Qiting ini masih belum paham juga, bahwa di Republik ini semua orang boleh ambil bagian dalam acara kebudayaan, mereka juga berhak. Apa yang kau harapakan dari kostum mereka? pake pakaian adat jawa, adat kalimantan? atau kamu mau membayangkan mereka pake pakaian adat Papua tapi juga menggunakan helm, pentungan dan perisai? kostum mereka yang ada cuma itu saja Bung!
Qiting masih berceloteh; "Kalau mau ikut ambil bagiankan cukup mengamankan disekitar saja, misalnya melancarkan lalulintas gitu! gak usah ikut pawailah!, ini sama saja Kebudayaan Yogyakarta sudah dikuasai oleh Aparat, Bung!"
Tanganku mengarah kedepan lagi dari rombongan defile Aparat tadi, "coba kamu lihat didepan itu Bung, yang menjadi komandan defile mereka adalah Pak Jemek, jadi mereka itu ank buahnya Pantomimer atau jangan-jangan dibalik baju perang itu ternyata Seniman-seniman Pantomime dari Komunitas Seni Pantomime Poltabes"
Qiting cuma bilang...."ENDOKKK MUU!!!"... khas banget ya?
dibelakang defile Aparat, harapan Qiting kembali muncul. Ada pasukan PRAMUKA!
Qiting berteriak lantang lagi "INI....INI... INDONESIA MASIH ADA HARAPAN, BUNG!, AYO PEMUDA HARAPAN BANGSA TEGAPKAN LANGKAHMU, JANGAN LOYO, KAMU LEBIH BERHARGA DARI MEREKA DIDEPANMU ITU!!! SEMANGAT!"
Aku sentuh bahu Qiting yang sedang bersemangat, dia menoleh, kubilang; "coba kau tanya pada harapan Indonesia mu itu, apakah cita-cita mereka kelak dikemudian hari? aku berani bertaruh hampir 805 dari Pramuka itu bercita-cita menjadi Pasukan didepannya tadi"
lagi -lagi Qiting cuma berkomentar; "ENDDOOKKK MUUU"... khas banget ya
dia gak tahu, banyak anak Indonesia di Republik ini bercita-cita menjadi seperti mereka.
termasuk...................................................

aku tahu komentar khas mu Ting!

AKU MASIH PERCAYA REPUBLIK KU MASIH INDONESIA


(foto diambil dari; tempointeraktif.com)
Peringatan
(Wiji Thukul)

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!


(Solo, 1986)


Ya, aku masih percaya sampai detik ini Republik tempat hidupku ini masih Indonesia. Menyaksikan berita yang memberikan kabar keadaan Republik dari setiap pojok wilayahnya terutama dari Ibukota Negara akhir-akhir ini sempat terganggu keyakinanku tentang Republik ini tapi aku masih percaya ini masih di Republik Indonesia! Karena aku yakin aku tidak sedang bermimpi jadi aku bukan di negeri dongeng.

Apa yang dilakukan `Pemerintah` kita selama ini? Sebenarnya aku sendiri masih bingung mencari persamaan kata dari istilah `Pemerintah`, kebingunganku mungkin beralasan. Mari kita bermain istilah!


Kebingungan pertama;
bagaimana gak bingung! jika memang mereka `pemerintah`, apa layak mereka memerintah rakyat Republik ini? lihat situasi Republik Bung!

Kebingungan kedua;
Kalau Wiji memakai istilah `penguasa`, untuk istilah ini aku jelas menolak karena aku dan berjuta rakyat Republik ini bukan sekedar `barang yang mereka kuasai`,

Kebingungan ketiga; apalagi menyandang predikat `abdi negara`, yakin mereka mengabdi pada negara? Bukankah mereka mengabdi pada kekuasaan dan uang semata,

Kebingungan keempat;
jika mereka mengaku `wakil atau representasi` dari rakyat Republik ini (yaa, meskipun ini telah melalui mekanisme sistem yang panjang yang telah dilalui Republik ini) tapi pernahkah mereka menyampaikan suara rakyat? pernyataan keluar dari mulut mereka yang meracau; `rakyat telah sepakat dan demi kemakmuran rakyat maka kami putuskan bahwa harga BBM kembali naik, mari kita sambut dengan suka cita!`

Kebingungan kelima;
jika mereka disebut `pemimpin` aku gak paham dengan persyaratan menjadi pemimpin, kalau aku yang sekarang lagi `dipimpin` ini aja gak paham dengan syarat itu, jangan-jangan aku gak merasa sedang dipimpin!

Kebingungan keenam; jika mereka itu `raja`, bukankah negara ini berbentuk Republik? Tapi kok mereka selalu harus disembah, diagungkan dan diberi upeti dari rakyat,

Kebingungan ketujuh; apa mereka berhak mengaku sebagai `pengayom` rakyat jika setiap ada rakyatnya yang bersuara, mereka mendengarkan tidak dengan telinga tapi kok menggunakan senjata?

Kebingungan kedelapan; umumnya memang jika mengaku Republik maka ada beberapa unsur didalamnya, minimal seperti `Eksekutif dan Legislatif` tapi apa pernah mereka akur? Eksekutif bilang kami sekedar menjalankan kebijakan dari Legislatif, tapi legislatif menghujat Eksekutif yang tidak memahami kebijakan yang telah dibuat dan telah salah dalam menjalankan. Nah loh! Sama-sama berbicara tentang keBIJAKan tapi gak terlihat bijak ya? Mbingungi gak sih! Dan masih banyak kebingunganku lainnya sampai-sampai aku bingung untuk menulisnya, tapi sekarang aku lebih nyaman dengan istilah `MEREKA` aja deh.

Sekedar menyesuaikan antara; kebingunganku, keadaan republik akhir ini dan peringatannya Wiji; aku jadi bingung dengan keadaan Republik yang memperingati 100 tahun kebangkitan nasional dengan pesta kemeriahan penderitaan rakyat dan `MEREKA` memberi peringatan kepada rakyat agar harus iklas kalau tidak iklas tau sendiri resikonya. Bingung euy!

Aku baca lagi Puisi Wiji, jadi tambah bingung, ini ungkapan perasaan dia atau cerita jamannya dia dulu atau ramalan masa depan ya?. Kalau kata De Tach Tigger; puisi adalah terjemahan perasaan kedalam kata-kata, berarti Wiji menuangkan kegundahan perasaannya dalam bentuk puisi, oke lah aku terima karena siapa bisa menebak kedalaman perasaan seseorang?.

Jika ini adalah memoar Wiji yang menceritakan keadaan Republik pada jaman saat dia menulis ini (1986), aku jadi mengetahui keadaan Republik pada masa itu justru salahsatunya dari memoar ini karena saat 1986 aku masih kecil dan belum paham tentang Republik ini (eh sampai sekarang masih bingung ding!). Nah ini yang menarik, jika ini adalah ramalan masa depan Wiji terhadap Republik ini, jangan-jangan Wiji termasuk paranormal dong! Soalnya kok tulisan Wiji ini seperti ada kesamaan situasi sekarang ini (2008) dengan apa yang dulu dia ramalkan (1986).

Kalau gak percaya coba deh perhatiin lagi puisi diatas, bagian yang ini;


jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa


Memang sih rakyat gak langsung pergi tapi mendengarkan sebentar ketika `MEREKA` berpidato tentang upaya `MEREKA` untuk mensejahterakan rakyat dengan cara menaikan harga BBM, terus pergi setelah itu karena bagi rakyat pidatonya gak masuk akal, ini menyebabkan `MEREKA` putus asa tapi sayangnya rakyat kemudian gak hati-hati.

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar


Memang sih rakyat sekarang gak sembunyi-sembunyi dan berbisik lagi ketika membicarakan masalahnya ini melainkan rakyat berteriak lantang dimuka umum dan tersiar di semua televisi karena rakyat membakar foto `MEREKA` tapi kemudian menyebabkan `MEREKA` menjadi waspada dan parahnya lagi `MEREKA` gak bersedia belajar mendengar melainkan praktikum memukul.

Coba perhatiin lagi di bait berikutnya;


bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam


memang sih sebagian rakyat gak berani mengeluh, ada juga yang cuma bisa mengeluh saja seperti aku ini, gak berbuat apa-apa tapi cuma minum teh berpikiran teh bukan terbuat dari BBM karena memasak airnya pun pake arang, bahkan minum kopi yang dicampur arang!, selain itu menuju tongkrongan tempat minum teh juga aku cuma numpang motor kawan, berarti aku gak beli BBM, pernah juga jalan kaki kesana. Aku cuma bisa mengeluh karena di tempat tongkronganku juga cuma pada ngeluh! Apa ini artinya sudah gawat?
Tapi ada juga rakyat yang gak cuma mengeluh melainkan bergerak membantah omongan `MEREKA`, seperti lirik yang dinyanyikan Iwan Fals


ternyata kita harus ke jalan
robohkan setan yang berdiri menantang

(foto; keritikentang.com)


Ini mungkin karena mereka yang membantah gak pernah nongkrong minum teh tapi waktu mau bikin teh dirumah dah gak ada lagi minyak tanah dikompor, sialnya mau beli minyak tanah eh sudah jadi barang langka, yang ada cuma gas itu pun mahal dan tempatnya jauh sementara mau beli gas harus pake motor, apesnya lagi, gak ada bensin di motornya, naik angkot sama aja, makanya membantah omongan `MEREKA`, dengan cara mengorganisir, berjejaring menggalang kekuatan dengan kawan, mendekati lawan dari musuh (ingat, lawan dari musuh, bisa jadi kawan) dalam beberapa kali teklap menyusun strategi mengukur kekuatan serta menentukan titik api persinggahan dan target utama menuju `rumah rakyat` tapi kenapa rakyat tidak diberi kunci menuju rumahnya sendiri?

Apa jadinya kalau kita mau masuk rumah kita sendiri tapi pintu terkunci dan semua kunci yang ada tidak bisa membuka pintu itu sementara kita sudah sangat kebelet dan sudah tak tertahankan lagi pengen boker (buang tahi), mungkin itu yang kemudian yang terjadi di `rumah rakyat`, tidak peduli pagar itu bernilai 10 milyar, bukankah ini adalah bagian dari demokrasi yang katanya dijamin oleh `MEREKA` tapi sepertinya dianggap kudeta. Karena itu pilihan yang diambil, maka, bukan cuma kebenaran deh yang terancam tapi bisa jadi nyawa juga terancam!

Baca lagi deh tulisan Wiji, kalau masih mau bersedia sih!


(foto dari; farm1.statistic.flickr)


apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan menggangu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!


Kemarin nonton berita di televisi, ada seseorang yang dituduh subversif dan mengganggu keamanan Republik oleh intelijen (bagian dari `MEREKA`) hanya karena usulnya ditolak tanpa pertimbangan terlebih dulu, kritiknya dilarang tanpa alasan bahkan gak cuma kritik tapi juga suara dibungkam dan dia ditahan pun tanpa alasan penangkapan yang jelas. Jika kondisinya seperti ini, Wiji kayaknya jangan cuma kasih satu pilihan, tapi dua atau lebih; bukan cuma satu kata `LAWAN!` tapi juga `LARI!` atau `SEMBUNYI!` atau `MENYERAH!` atau `CUMA NGELUH AJA DEH!` atau yang lainnya.

Nah loh (lagi)! Jangan-jangan Wiji beneran paranormal karena Wiji bisa melihat dan menerka keadaan 2008 saat dia meramalkan pada 1986 bahwa situasi ini akan terjadi lagi…. Apapun yang terjadi tapi aku masih percaya jika 1986 Republik kita Indonesia maka 2008 pun Republik kita masih Indonesia, Bung!. Sayangnya aku (pemuda Republik ini) cuma bisa ngeluh sambil minum teh! Apa karena masih ada banyak pemuda Republik ini yang minum teh yang bukan terbuat dari BBM dan dimasak pake arang ya???

Ahh, bingung aku! Bukan karena Republik ini, tapi `MEREKA`. Supaya gak bingung lagi, Mungkin kawan punya istilah selain `MEREKA`? Atau kita ngeteh lagi aja, ngapain bingung?... bingang-bingung… bingung-bingang!

Jangan-jangan kebingunganku ini dianggap subversif?! Atau jangan-jangan (lagi), ngeteh juga dianggap mengganggu keamanan?! Lantas apa pilihan kita?

(sekedar tulisan dari salah satu Pemuda Republik yang gak memilih bersuara, membantah, turun kejalan atau berkumpul dan berorganisasi memikirkan BBM apalagi mikirin Republik ini. Pemuda Republik ini cuma menikmati teh dan jadah bakar tapi begitu pulang kampung ternyata dapur Ibu tidak ngebul bukan karena pake kompor gas tapi…..)



AKU MASIH PERCAYA REPUBLIK KU MASIH INDONESIA

...... itu sebabnya sekarang disini aku lebih memilih air putih......

Sabtu, Juni 28, 2008


CEREWET!!!

Semakin kau teriak,
Bibirmu semakin memerah oleh gincu
Bertambah kau ngotot,
Dada berbulu itu berubah menjadi toket

Rupanya kau datang juga
Hanya untuk menunjukan jati diri?
Atau perubahan kelamin rupanya!
Atau kau minta tambah pembalut??

o..a..aallaaa… datangnya rame-rame
yang beringas pake rok dan gincu tebal
yang `pahlawan` keliatan banci
yang sarjana, kok lebih idiot!

Tapi tidak semua berganti kelamin
Solidaritas mempertahankan kelaminnya
Jati diri ini lebih jantan, ketimbang brengos!


(Medio Okt 2003. Satu memoar pahit kala belasan `kawan` kos lama datang dg murka setelah kukirimi pembalut lewat kantor pos. Maaf `kawan-kawan` stok pembalut yg kukirim terbatas)
SAAT TERDAMPAR PADA PHERIFERI

Hinaan telak menghujam ke jantung
Lari ke mata, menjadi nanar
Pindah ke otak, kemudian kalut
Tapi, tetap saja terdampar

Satu gambar manusia kubakar
Kujadikan debu jasad busuknya
Kusebar dalam septic tank
Ditambahi tahi dan siraman kencing

Anggap saja aku marah
Bisa kau mengira aku kalut?
Tapi tetap aku di pojokan
Anggapan tak mengangkatku dari sana

Keberanian justru membunuh
Menjadi bumerang
Idealitas, sekarang jadi komoditas
Kujual menjadi cerita, hanya sampah

(Ontorejo, 7 Okt 2003 pada 01.36)

God, Take Care My Twin Little Brothers




Angan bergerak di batas nyata
Kepakan terlampau lemah
Sampai pada isak pertama itu
Tak kusangka isak akhir pula
Hadirnya tak dapat kupeluk

Kenyataan berbicara lain
Rest In Peace My Twin Little Brother



Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

-Chairil Anwar-



jika camar dapat terbang
kenapa tidak pipit ringan melayang
jika jiwa kembali hilang
maka berpulanglah ia dengan tenang
akankah Arrasy itu terang?
-medio 2004-




Jat & Eve, Where Are You?



KUBAKAR PATUNG BESI PRESIDEN REPUBLIK DRAKULA
(Jatmoko Putra Kota Gede)

Aku adalah mahasiswa yang membakar patung besi presiden Republik Drakula
Mula-mula kubakar kupingnya
Agar mereka mendengar teriakan rakyat
Lalu aku bakar hidungnya
Agar mereka menghirup bau amis darah kaum miskin kota korban pembantaian
Lalu aku bakar mulutnya
Agar bisa teriak lantang atas hati nurani rakyat
Lalu aku bakar puting susunya
Agar memuncratkan air susu segar
Lalu aku bakar anunya
Agar memuncratkan sperma kehidupan
Lalu aku bakar kaki patung besi Presiden Drakula
Agar mampu melangkah mendekati hati nurani rakyat
Ya, aku bisa membakar
Berbicara atas nama rakyat
Rakyat pun bertanya apakah mereka pernah menjadi rakyat?
Aparat hukum kongkalikong
Aparat birokrat ledha-ledhe
Demonstrasi mahasiswa dituduh cemarkan nama baik jogja

Sekalipun terinjak sepatu tentara kami tetap berteriak
`lawan terhadap ketidak adilan!`
karena kami barisan-barisan pemberani masa depan

-suatu malam di Malioboro, medio 2003, tapi kawanku satu ini jadi Momok Hiyong sekarang-



WAITING FOR EVE IN THE EVENING
(Menunggu Eve pada Suatu Malam)

Baru saja kuterima kabar
Bahwa seorang kawan datang ke kota ini
Dari sberang pulau, jauh jika berenang

Malam ini kabar itu kuterima
Sosoknya tak berubah
Belum lagi kuselami samudera pikirnya
Aku sudah terseret romansa

Ketika kutanya kabar kesehatannya
Senyum mengembang
Matanya hilang menjadi garis hitam
Pertanda kondisinya stabil

Manik Borneo satu ini, ah…
Tak kusangka kita bersua lagi
Tapi baru sedikit kudengar kicaumu
Belum juga kusaksikan pengakuanmu

Wahai manik Borneo
Masih ingatkah dirimu bertanya tentang bulan?
Tentang kebodohan malaikat maut
Tentang peluang suatu kebenaran
Juga tentang penentangan atas religi

Pastikan kau telah temukan jawabnya
Hasil pengembaran sebagai referensimu
Sementara ku tak menjawab
Kaulah pengembara itu bukan!


-buat Eve, Jogja10 Feb 04-


Kamis, Juni 26, 2008



CHILDREN LEARNS WHAT THEY LIVE
(Dorothy Law Nolte)

If children lives with criticism
They learns to condemn

(jika anak dibesarkan dengan celaan
mereka belajar memaki)

If children lives with hostility
They learns to fight

(jika anak dibesarkan dengan permusuhan
mereka belajar berkelahi)

If children lives with ridicule
They learns to be shy

(jika anak dibesarkan dengan cemoohan
mereka belajar rendah diri)
If children lives with shame
They learns to feel guilty

(jika anak dibesarkan dengan penghinaan
mereka belajar menyesali diri)

If children lives with tolerance
They learns to be patient

(jika anak dibesarkan dengan toleransi
mereka belajar menhan diri)

If children lives with encouragment
They learns to be confident

(jika anak dibesarkan dengan dorongan
mereka belajar percaya diri)
If children lives with praise
They learns to appreciate

(jika anak dibesarkan dengan pujian
mereka belajar menghargai)
If children lives with fairness
They learns justice

(jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan
mereka belajar keadilan)

If children lives with security
They learns to be faith

(jika anak dibesarkan dengan rasa aman
mereka belajar menaruh kepercayaan)

If children lives with approval
They learns to like him self

(jika anak dibesarkan dengan dukungan
mereka belajar menyenangi dirinya sendiri)

If children lives with acceptance and friendship
They learns to find love in the world

(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
mereka belajar menemukan cinta dalam kehidupan)

LINGKARAN AKU CINTA KAU


LINGKARAN AKU CINTA KAU
Sawung Jabo

Kini kami berkumpul, esok kami berpencar
Berbicara tentang kehidupan
Berbicara tentang kebudayaan
Berbicara tentang ombak lautan
Berbicara tentang bintang di langit

Kami berbicara tentang Tuhan
Berbicara tentang kesejatian
Tentang apa saja

Malam boleh berlalu
Gelap boleh menghadang
Disini kami tetap berdiri
Disini kami tetap berpikir
Disini kami tetap berjaga
Disini kami tetap waspada
Disini kami tetap membuka mata
Disini kami tetap selalu mencari kesejatian diri

Alang-alang bergerak
Mata kami berputar
Seperti elang kami melayang
Seperti air kami mengalir
Seperti mentari kami berputar
Seperti gunung kami merenung

Dilingkaran kami berpandangan
Dilingkaran kami mengucapkan
Aku cinta padamu
Aku cinta padamu
Aku cinta padamu
Aku cinta padamu

Ada satu catatan menarik berkaitan dengan lirik lagu ini, waktu itu (17 Juni 2008) sepulang interview kerja di kawasan industri Pulogadung, aku naik bus menuju pulang dari terminal Pulogadung (aku berharap tidak akan lagi naik bus dari terminal keparat itu! Lamanya gak umum, No publis, kalo kata Dibyo).
Sengaja aku tidak naik bus dari dalam terminal (sudah terbayang betapa lamanya) cukup jauh dari pintu keluar terminal tapi tetap saja ngetem pada lokasi pertama (15 menit oke lah) bus jalan dengan lambatnya (mungkin kalah cepat dengan nenek-nenek usia 80 tahun yang berjalan kaki dibantu dengan tongkat lagi disamping bus!)
Berhenti di lokasi ngetem ke2 (another 15 minutes! still I`m sober) sopir menunggu kode dari kernetnya bahwa di belakang sudah terlihat bus searah tujuan yang sama
Nah di lokasi pemberhentian ke3 ini ada hal menarik, 2 orang pengamen kata-kata (aku bingung mengkategorikan usaha mereka, nyanyi jelas gak masuk kategori, baca puisi pun.Entahlah) mereka be2 membacakan lirik Lingkaran Aku Cinta Padamu karya Sawung Jabo, bergantian dengan sistem satu baris lirik dibacakan oleh pengamen kata-kata pertama (PKK 1) kemudian baris kedua dibacakan oleh pengamen kata-kata ke2 (PKK 2), lebih mudahnya seperti ini;

PKK 1; kini kami bErrkumpul, Ezok kami bErpEncarr (dengan logat Me**n kental)
PKK 2; bErrbicarra tEntang kEhidupan (juga dengan logat Me**n kental)
PKK 1; bErrbicarra tEntang kEbudayaan (masih dengan logat Me**n)
PKK 2; bErrbicarra tEntang ombak lautan (konsisten dengan logatnya)

Salut, di Jakarta masih ada orang yang punya mental untuk ngamen puisi, eh ngamen kata-kata ding (setidaknya ini menurut istilahku aja, soalnya di jogja aja banyak seniman berlomba melagukan puisi atau menghidupkan puisi menjadi musik (musikalisasi puisi meskipun banyak pro kontra atas istilah ini), kok mereka me-lafal-kan lirik lagu kedalam ucapan tidak serupa deklamasi maupun baca puisi pada umumnya, meskipun setiap orang berhak untuk mengekspresikan dengan cara mereka sendiri) ini yang bikin aku salut terhadap mereka!
Mereka terus bergantian me-lafal-kan baris demi baris, sampai pada pertengahan lirik mereka gubah seenak udel mereka sendiri (kadar salutku mulai berkurang mulai dari sini). Di akhir aksi perform, mereka mengucapkan terimakasih terhadap bapak supir dan kondektur, mengharap keiklasan penumpang dan menghimbau agar penumpang menjaga barang bawaan (biasalah Standard Operation Prosedure dan kode etik pengamen jalanan karena kalo gak begitu mereka bisa kena pelanggaran kode etik dan mendapat teguran Dewan Kehormatan Pengamen Jalanan…boong ding! Gitu aja dianggap becanda)

Mereka mengeluarkan plastik bekas bungkus supermie untuk menagih keiklasan penumpang tapi dari kursi penumpang paling depan mereka sudah mulai kurang ajar (disini rasa salutku hilang sama sekali). Perempuan muda berjilbab didepan tidak memberikan sedekahnya tapi
PKK 1 mulai menyindir sampai memaki-maki perempuan ini seperti ini;
PKK 1; “jadi gak kazih nih! (tetap menyodorkan plastik meski perempuan ini memberi tanda maaf) Cuma gopEk aja gak bakal bikin bangkrrut mbak (plastik dekat banget dg mukanya), aih dasar kon#*l kau, kEpala zaja kau kazih zilbab, tapi kElakuan zama zEpErrti anz#*g, pElit zEkali kau! (dan sumpah serapah lainnya yang gak bisa kutulis semua)
mereka terus meminta kepada penumpang lainnya.
Hal ini berhasil sebagai teror dan intimidasi terhadap penumpang lainnya.Datang kekursiku aku cuma bisa merapatkan kedua telapak tanganku, intimidasi mulai dia lakukan dengan mendekatkan terus plastik itu, aku tetap senyum, eh kok terus-terusan orang ini, akhirnya aku senyum sambil liat matanya (lalu aku bacakan mantra `anda akan merasa mengantuk, berat sekali…berat...berat…anda akan merasa nyaman pada titik itu..gak perlu dilawan..santai…rileks…rileks….. HAHH! Apa yang kalian harapkan? memangnya aku hypno-terapis po! Jelas PKK 1 gak tertidurlah tapi terus berjalan ke penumpang lain)

Di bagian kursi belakang setelah penumpang terakhir, mereka be2 mengutuk dengan lantang pada semua penumpang yang tidak memberi uang tapi sama sekali tidak berterimaksih pada mereka yang terpaksa memberikan uang kepada mereka. Aku pun balas merapal kutuk dengan lantang juga (tapi dalam hati). Belum sampai selesai kutukan mereka be2, tiba-tiba datang orang berbadan tegap, kulit hitam, tulang pada wajah tegas dan tulang pada dahi lebih menonjol sehingga mata terkesan menjorok kedalam (mungkin preman, meskipun aku bukan penganut teori Lambroso (tokoh Kriminologi dari Italia) yang mengambil kesimpulan bahwa orang dengan ciri-ciri ini adalah Natural Born Criminal, jelas aja lah wong dia melakukan penelitian di penjara yg hampir 90% isinya orang negro lantas sample lainnya gimana Bros?)
Kembali kepada kutukanku yang mulai terjawab, ke2 Orang Bertubuh tegap (OBT) itu menarik ke2 PKK tadi keatas bus lagi dibagian belakang)
Samar ku dengar (gak samar ding, lah wong ternyata mereka be2 memiliki logat yang sama) tapi ada yg beda Bung!

OBT 1; tadi kau bilang apa zama pEnumpang hah?!, kalian pikirr ini dimana? Ini Zakarta! Banyak orrang dizini bukan cuma orrang Me**n zaja! Ada orrang zawa, zunda, zulawEzi, bahkan papua, bErrani-bEraninya kau macam-macam dizini! Kau pikirr cuma orrang Me**n yang hebat dizini hah!
PKK 2; bukan aku Bang dia ini tadi Bang (menunjuk PKK 1, suaranya berubah lembut banget)
OBT 2; AHH! ZUDAH DIAM KAU! (pasti gak lembut dong suaranya,jelas)
Semua penumpang awalnya tidak ada yang berani menengok kebelakang tapi begitu ada sinyal ke2 OBT ini melindungi penumpang satu persatu memberanikan diri menengok kebelakang
(ingat EYD yang tepat `menengok` berarti `melihat kebelakang`, tidak seperti contoh kalimat ini; “Zini kau, coba kau tEngok Zupir buz yang didEpan itu, cEpat!”… tengok kok kedepan?!). Kembali lagi ke OBT
OBT 1; apalagi kau bErani-bEraninya mEmbEntak pErEmpuan, Bah!! bEraninya cuma zama pErEmpuan, kupotong kau punya kon#*l nanti
(mungkin dalam hati ke2 PKK bilang; ‘kami berani juga kok dengan laki-laki Bang, buktinya tadi..”, pasti mereka gak berani dong bilang itu, secara..)
akhirnya ke2 PKK ditarik turun bus, entah apa yang terjadi berikutnya, mungkin muncul di harian POS KOTA! (sekedar info POS KOTA terkenal didaerah Jakarta dsk, kalo di jogja se-tipe dengan Koran Merapi, yang isinya; 80% Kriminal, 10% tentang pembunuhan, sisanya yang 10% space utk IKLAN!)
setelah sekitar 30 menit bus berjalan, perempuan muda tadi bicara dengan orang sebelahnya bahwa doanya terkabul (bagi dia mungkin doa, yang lain pasti kutukan), hal ini terdengar dengan penumpang dibelakangnya “saya juga tadi sumpahin mudah-mudahan orang tadi kena batunya, ehh beneran!” dan suara senada pun mulai keluar dari sekitar 50an penumpang lainnya (ahh ternyata kutukanku didukung dengan kutukan 50 penumpang lainnya, jelas kalahlah 2 lawan 50an).

Aku jadi ingat dengan perbedaan sudut pandang antara ilmu eksak dengan ilmu sosial jaman SMA dulu,
jika dalam sudut pandang ilmu eksak; 1 orang penakut ditambah dengan 49 orang penakut maka sama dengan 50 orang penakut.
Beda halnya dari sudut pandang ilmu gak eksak; 1 orang penakut ditambah dengan 49 orang penakut maka sama dengan 50 ORANG PEMBERANI.
Dalam kasus ini; kutukan 49 orang penakut ditambah dengan kutukan 1 orang pemberani (tapi dalam hati beraninya) sama dengan KUTUKAN YANG MANJUR!!!
Benar adanya dalil “doa orang teraniaya pasti makbul”
Bus kembali berjalan dengan sangat lambatnya, waktu tempuh Jakarta sampai rumahku biasanya 3 jam itupun sudah kena macet, tapi lain dengan hari itu, 6,5 jam tanpa macet!!
MUNGKIN ADA ORANG YANG LEBIH TERANIAYA LAGI DARI 50 ORANG PENUMPANG INI DAN MENGUTUK BALIK KUTUKAN TADI, RUPANYA KUTUKAN 2 ORANG JAUH LEBIH MAKBUL, BISA JADI DERAJAT TERANIAYANYA CUKUP BERAT…mari hentikan perbuatan mengutuk lebih baik menganiaya diri sendiri agar doa kita makbul. Ngamien…….
(tulisan diatas tidak ada niatan mengandung unsur SARA terutama terhadap satu etnis tertentu, sekedar berbagi pengalaman saja bahwa di Jakarta lebih aman naik bus way tapi kalo terpaksa naik bus biasa sediakan uang receh jika gak punya sediakan doa JANGAN KUTUKAN)
ADA BULAN, ADA KAWAN, ADA IMAJI

Pada kawan kesah ini bercerita
Ada kepedihan, ada imaji, ada bulan
Sementara kawan menatap bulan
Ada imaji menyematkan kebaya pada bulan

Tak perlu kebaya, bulan tetap anggun
Imaji itu untukmu kawan
Ada kawan, ada bulan, ada kebaya
Semoga purnama esok imaji menjadi nyata

Ah, ramuan teh poci terseduh gula batu
Racikanmu mencipta imaji
Pada bulan imaji kawan berkebaya
Anggun saat purnama
Secercah damai dicerah mentari pagi, esok….semoga

-Pak Min, saat full moon, 04.05.04-




Tempo Hari Pengumuman


Selasa, Juni 24, 2008

Hear No Evil, See No Evil, Talk No Evil

Bear All and Do Nothing
Hear All and Say Nothing
Give All and Take Nothing
Serve All and Be Nothing

(Sathya Sai Baba)
The wonderful human brain is the source of our strenght and the source of our future, if we use the brilliant human mind in the wrong way, it`s really a disaster
(Dalai Lama)

My room, my space, my idea, my mother hand made bread





VERSI KU, CERITA KU



VERSI KU, CERITA KU

Kawan coba kesini
`kan kubisiki satu cerita ceria
Tentang Malinkundang terkutuk
Namun, kembali hidup karena masa kutuk telah habis

Coba dekat kemari, cepat!
`kan kuberi tahu kisah bahagia
Tentang romantisme Siti Nurbaya
Kisahnya kugubah, sebabnya Maringgih mati atas nafsunya

Mari duduk dekat aku
Nikmati tembakau linting dan kopi tubruk
Ceritaku satu lagi, Roro jongrang tak membatu
Sebabnya candi tak selesai, dana tlah menguap

Atau kau ingin dengar cerita lain?
Dalam versi ku, si Kancil jadi mati dimakan Buaya
Koq bisa?
Soalnya Kancil tak lagi dapat berhitung
Karena aku bercerita


(Ontorejo, 5 Okt 2003)




IDE, ASU!

Tuhan,
Coba lihat aku disini
Pada pojok tersiksa oleh ide
Otak tertumpuki citra hari depan
Tapi apa jadinya ketika esok kuhadapi?
Tanpa pendukung, ide ini menjadi tumor
Membengkak, tapi menggerogoti
Serupa kanker dalam benak
Terlampau beratkah `Prakarsa`ku
Begitu `Kecil`kah aku, hingga
Tak mampu menggerakan ide?
Tersiksa pada dini hari bisu
Ya, sekarang ini Tuhan
Sama seperti kemarin, lusa dan lalu
Sama saja seperti ini


(Kajor, Medio April pada Dini hari)



IKUTI AKU DI UJUNG

Bahkan ada
Kau tiadakan
Manusiawi…. Ego!
Tapi persahabatan ini
Tidak datang dari hati, adalah
Proses pencermatan karakter ku pilih
Semakin terpendam ketakutan itu
Dengan sendirinya
Kau pilih rindu, pembunuhmu
Coba saja kau hilang
Pasti hilangmu, pencari keberadaanku
Tidak dapat wujud,
Melainkan bayang!
Lebih nyata…. Semakin kau takut
Lebih takut…. Maka
Sayap rindu mencekikmu
Seperti asap kutakuti hilangnya
Kepudaran kucari
Tapi itu tak seberapa
Coba bayangkan
Jika
Takut itu ….. hilang…
Dapat kau berani?
Ingin kau mati?
Sementara
Bulu rindu dalam sayap hitammu
Tak beri kau udara
Manusia hidup untuk
Mati
Bukan untuk kehilangan udara
Ya, aku berbicara
Jika kau menolak
Biar, bisulah kata ini
Jika kau sepakat
Pejamkan mata


…….. temukan hitam dalam terang……

(Bugisan, August, 10, 2003 at 21.55)

Senin, Juni 23, 2008

Ada Matahari Tambahan di Kos ku!

HOREEE BUNGA MATAHARI DI KOS KU DAH BERKEMBANG!!!


























kawan ku qiting bertanya;

"untuk apa toh bunga natahari ini?"

ku jawab;

"supaya kos ku gak gelap"

Qiting bilang;

"endokmu!!!"

Sabtu, Juni 21, 2008

Jalan Hidup... Hidup Di Jalan


SUDAH HAMPIR LIMA TAHUN

Sudah hampir lima tahun
Aku hidup di jogja, memperkosa atmosfernya
Justru aku tercekik oksigennya

Hampir lima tahun
Kucumbui kemesraan romansanya
Eh, koq malah dicampakkan realita

Lima tahun!
Kubelai jalan panjang kota jogja,
Rupanya terlampau banyak kerikil!
Sementara aku tidak bersepatu

Tahun ke lima,
Kenyataan memutar ulang romantika
Terbius bius seduhan teh gula batu
Selama lima tahun!!

Setelah lima tahun
Aku menjadi manusia…………… semoga


(Jogja, 10/02/04)
(foto from; faridmustaqim.wordpress.com)

allerindividueelste emotie




SEORANG KAWAN, SECANGKIR TEH DAN SEJUTA MIMPI
(untuk Ikal)


Ekplorasi otak dan untaian ide
Tanpa henti, tak kenal kata `putus`
Secangkir teh hangat cairkan kebekuan
Benak, mengendap, tak tetap!

Biar saja sore ini berwarna lembayung
Biar menjadi penuntun bagi Belibis pulang sore
Biar Belibis pulang pada sarang, biar
Tapi kau tetap disini ceritakan duniamu

Maya, tidak mengaku jika kau bertutur
Apapun kau ucap bukan lagi impian
Keyakinanmu menghidupkan
Nyala api di matamu yang membangunkan

Kawan, mari kita nikmati nuansa lembayung sore
Tapi kau harus berjanji satu hal
Ceritakan dunia disana
Dunia yang sejak dulu kau sebut “Kedamaian Abadi”

…… walau cukup kecil……

(Jogja, 23 Maret 2003)
Poezie is het vertalen van gevoel in woorden”
(puisi adalah terjemahan perasaan kedalam kata-kata)

“Poezie is de alleerindividueelste expressie van de allerindividueelste emotie”
(puisi adalah ungkapan paling individual darei emosi paling individual)

De Tach Tigers
(Sastrawan Belanda 1880)

Jumat, Juni 20, 2008

HENTIKAN PERANG... TITIKKK!!!



(newsimg.bbc.co.uk foto korban perang Irak bernama Ali Ismail Abbas)


SURAT UNTUK KAKAK

Kakak, bagaimana kabar kakak di jogja?
Semoga Kakak tidak lupa Ade yang Kakak tinggal
Semoga Kakak tidak lupa rumah, Ade kangen!
Satu yang Ade tidak mengerti
Kakak lari dari perang atau pergi kuliah?
Kalau Kakak lari dari perang, kenapa Ade tidak Kakak bawa serta!
Kalau Kakak pergi kuliah, Ade juga ingin pandai, disini capek Ade terus lari
Disini Ade gak kuat dengar tangis Poma,
Ade gak bisa lagi bantu Ayah berjalan,
Kaki Ayah harus putus!!
Ade gak tahu kenapa bola besi itu minta kaki Ayah?!
Ayah gak bisa lagi main bola dengan Ade,
Bahkan Ade takut dengan bola sekarang,
Jangan-jangan meledak lagi
Ade masih ingin main bola, tapi tidak disini!

Kakak, Ade cuma minta satu dari Kakak….
TOLONG KIRIM BOLA DARI JOGJA, KARENA BOLA DISINI PASTI MELEDAK!
ADE KANGEN……………..


(Bugisan, 18 Maret 2003)





(foto diambil dari warphoto.5u.com)

DOA BOCAH DARI SERAMBI

Dewi, di mata ini tak ada lagi warna
Yang ada hanya kelam, apa ini isebut warna?
Dewi, dimana letak warna itu?
Ya, seperti dulu itu Dewi, ketika semua ceria

Dewi kenapa engkau diam saja waktu itu?
Sewaktu Rahwana bersenjata canggih terjun disini
Mengapa mereka merusak sawah kami?
Menculik Bapak dan Poma menangis tiada henti

Dewi, apa Dewi telah lupa warna kedamaian?
Sama seperti kami ini, yang kami tahu hanya ledakan
Apa Dewi tidak lagi bersayap ketentraman?
Sehingga setiap saat kami harus siaga mengungsi

Dewi, bahkan kami lupa bagaimana caranya menangis
Yang kami kenal hanya berlari dan menutup telinga
Dewi, serambi kami tolong bersihkan
Karena disini kami bermain, tidak untuk berlari

Dewi, doa kami hanya satu semoga engkau tidak dipersunting Rahwana….

(Bugisan, 18 Maret 2003)
Poma dalam bahasa Aceh berarti Ibu




(foto diambil dari children.foreignpolicyblogs.com)

KUPEGANG BATU, KUTUNGGU KAU

Dibatas antara mimpi dan nyata
Aku tunggu kau, kupegang batu ini
Biar lengan ini kecil, walau batu kapur
Bocah ini siap tantang kau Rahwana!

Dibatas tipis hidup dan kematian
Aku tetap jaga Poma, tetap kupegang batu ini
Sekali kau sentuh jiwa rapuh Poma, kulempar batu
Kutunggu kau malaikat kematian!!!

Dibatas wilayah GAM dan Republik
Kupegang dua batu, batu kemarahan kali ini
Sekali kau lintasi pijakan kaki kurus ini
Kulempar kemarahan, kuhancurkan dengan lemahku

Tanah kami bukan Darussalam, BOHONG!
Disini tidak ada lagi tempat untuk selamat
Dewi telah bohong, Dewi diperkosa Rahwana
Dewi tidak lagi suci, Dewi bohong…………..



(Jauh dari Aceh cuma dari Bugisan, 16 April 2003)





Rubbish Everybody Has A Bad Times... Don`t Give Up!




KESEMUANKU, LAKONKU

Kepedihan membakar matamu
Melayukan semua harap dan kobar cita
Raut mukamu tak lagi kukenal
Akar keluar semrawut dari kulit wajah
Kutahu banyak beban dibalik itu
Topeng hitam kembali kau pasang
Lakon keheningan, lagi, kau perankan
Sementara kau setting pancaran sinar fade out
Ayolah, peran itu menjemukan
Keluarkan emosi terhambat di dadamu
Gelorakan amarahmu pada senyum khas
Siram sayu mata itu dengan air positivisme
Memang sutradara hidupmu sedang sentimen
Tapi bisa saja kau berdiri di bibir panggung
Cabut Excalibur yang tertancap itu
Turunkan layar, tentukan sendiri peranmu
Ingat kata orang Ndableg; “Akulah dalang hidupku sendiri”
Tidak hanya itu
Kaulah lakon itu, setting itu, kostum itu, make up itu dan
segala tetek bengek itu… KEHIDUPAN MU!!

Fade out… layar tertutup

(Kajor, 6 Okt 2003 pada 01.01)














LINTAH LATAH MELATA

Proses manusiaku
Diawali melata di jalan, trotoar, stasiun
Merambat melalui debu, sampah dan tahi
Kesejatian belum lagi kutemui

Stagnasi roda jiwa total tak ubah
Sandang raga remuk oleh murka
Pangan? Ruh resah ini tak perlu!
Sebabnya di noktah hitam hanya hampa

Jika suatu saat tak lagi melata
Sebagian hidupku kan kurindu
Hingga detik ini kerinduan tak kunjung datang
Sebabnya aku masih melata….


(Ontorejo, 5 Okt 2003)











ASAL SAJA KAU TAHU

Malam belum lagi tua
Aku sudah keparat
Terhina oleh kenyataan
Terdampar pada sisi jalan, Malioboro

Jika benar ini kehidupan
Kenapa napas jalan tak terhembus
Jika benar ini kematian
Kenapa raga ini bergetar

Sebut saja ini maya
Ilusi kematian atas kenyataan
Sebut saja ini realiti
Getir, lagi, tak berasa
Asal saja KAU tau!
Cukup, selesaikan mainan ini!


(Malioboro, 2 Okt 2003)








SEKALI TEMPO

Sekali tempo
Sempat kulihat kau tertunduk
Sepatu lusuhmu tersaingi wajah dan rambut
Sangkakala memang belum terdengar, tapi
Sepi telah merambati jiwa kalut itu

Sekali tempo
Seraut wajahmu memerah, padam!
Siang tak lagi berperan, sebabnya
Sore, kutemui kau mengerang

Sekali tempo

Sempat kulihat kau tertunduk
Seraut wajahmu memerah, padam!
Sore, kutemui kau mengerang
Sepi telah merambati jiwa kalut itu

Sepatumu lusuh, Sekali tempo


(Kajor, 6 Okt 2003 pada 01.08)




SAAT SUARA MENJADI HANTU

Bosan aku dengan suara
Suara yang ada di kepala
Suara yang ada di telinga
Suara yang tak pernah bersuara sepi
Suara hanya dapat memaksa berputar
Suara yang tak pernah memberi petunjuk
Hanya memaksa untuk berputar… muak
Bosan aku dengan suara….
Dari yang ada dalam kepala hingga keluar telinga
Hingga menuju tenggorokan sampai muntah
Sebab apa suara berputar? Untuk siapa?
Sekali lagi aku tetap bosan dengan suara
Kenapa saat ini sepi justru berteriak
Tidak kawan, bukan saatnya teriak
Ku ingin kau tetap sunyi, sekali ini saja
Kawani aku dengan ritme lambatmu
Bius aku dengan detik yang melenakan
Dekati aku dengan sunyi dan dingin di hati
Ya, di hati tetap disini
Biar di kepala tetap bising,
Biar telinga ramai

(Jogja, 27 April 2003)

Minggu, Juni 15, 2008

Siapa Wiji Thukul? Dimana Beliau Hari Ini?


Nama:Wiji Thukul
Lahir:Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963
Isteri:Dyah Sujirah alias Sipon
Anak:Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah
Pendidikan:Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari, sampai kelas dua.
Pekerjaan:Penyair dan SenimanKelompok Teater JagatAktivis (Partai Rakyat Demokratik)
Penghargaan:Wertheim Encourage Award 1999Yap Thiam Hien Award 2002
Status:Hilang


Wiji Thukul, Penyair
Penerima Yap Thiam Hien Award 2002
Penyair asal Solo, Jawa Tengah, Wiji Thukul dianugerahi Yap Thiam Hien Award 2002. Wiji Thukul yang hilang sejak tahun 1998, dikenal melalui puisi-puisinya yang selalu berusaha mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia. Ia terpilih karena kegigihannya dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.Sebagai reminder, Wiji mengingatkan masih banyak orang yang hilang karena alasan-alasan politik. Pengingatan yang dilakukannya memang suatu hal yang pahit, tetapi harus perlu disampaikan, khususnya ketika pemerintah sudah tidak berdaya lagi untuk melindungi rakyatnya.Sebagai orang yang aktif memperjuangkan HAM, ia pantas diberi penghargaan karena tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi tentang HAM, berani memperjuangkannya tanpa pamrih. Dalam perjuangannya, Wiji juga dikenal sebagai orang yang tidak memunyai suatu lembaga khusus untuk memperjuangkan HAM, tapi ia berjuang sendiri.
Salah satu perjuangannya adalah mengajak lingkungan agar sadar pada kekuasaan yang tiran, tergambar dalam puisi Momok Hiyong. Puisi itu berbunyi sebagai berikut.
'Momok hiyong si biang kerok, paling jago bikin ricuh, kalau situasi keruh, jingkrat-jingkrat ia bikin kacau dia ahlinya, akalnya bulus siasatnya ular, kejamnya sebanding Nero, sefasis Hitler sefeodal raja kethoprak luar biasa cerdasnya, di luar batas culasnya demokrasi dijadikan bola mainan, hak asasi ditafsir semau gue emas doyan hutan doyan, kursi doyan nyawa doyan, luar biasa tanah air digadaikan, masa depan rakyat digelapkan, dijadikan mainan utang momok hiyong momok hiyong, apakah ia abadi, dan tak bisa mati? momok hiyong momok hiyong berapa ember lagi, darah yang ingin kau minum'
Wiji juga bukan seorang sosok opinion leader, yang biasa memengaruhi opini masyarakat. Dalam wawancara dengan majalah Sastra 2 November 1994, ia mengungkapkan posisinya, ''Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan diri saya. Begitu saya drop out dari sekolah, saat itulah saya sadar tentang arti hidup yang sebenarnya. Ada semacam pembenturan nilai. Yah, setelah keluar sekolah, akhirnya saya harus memilih menjadi tukang pelitur. Saya harus mengatur diri sendiri dan memilih mana yang baik dan tidak. Kalau di sekolah yang baik sudah ditentukan, padahal itu belum tentu baik bagi kita.''Simak satu baris puisi “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul (1986):
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan! Juga puisinya berjudul Satu Mimpi Satu Barisan (1992): tak bisa dibungkam kodim/tak bisa dibungkam popor senapan/satu mimpi/satu barisan.
Puisi-puisi yang sangat terasa sensitive pada era represif ketika itu. Saat gelombang demonstrasi menggulingkan Presiden Soeharto makin bergema, puisi Thukul berjudul "Peringatan" ini menjadi lirik wajib untuk dikumandangkan.Wiji tidak berbicara mengenai deklarasi, konvensi, standar, dan lain-lain instrumen hak asasi manusia, tetapi sadar atau tidak sadar Wiji telah berjuang dalam memajukan nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dari pemajuan hak asasi manusia.Perjuangan Wiji tidak hanya bergerak di bidang pemajuan nilai kemanusiaan, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Wiji sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit bersama dengan warga lainnya bertindak melawan pencemaran lingkungan yang dilakukan pabrik tekstil Sariwarna Asli (1992).
Wiji juga ikut bergabung dengan aksi perjuangan petani di Ngawi (1994), ia memimpin pemogokan buruh di PT Sritex (1995). Selanjutnya, dengan kalangan mahasiswa dan orang muda yang kritis, Wiji terlibat untuk memperjuangkan kebebasan sipil melalui aksi-aksi di jalan di berbagai kota di Pulau Jawa. Wiji juga aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD).Sebagai sastrawan dan aktivis politik, Wiji telah mendapat perlakuan tidak adil dari rezim Orde Baru yang menjadikannya musuh. Aparat militer mengejarnya dengan tuduhan bertanggung jawab atas kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Setelah itu, Wiji hilang atau mungkin dihilangkan. Sebelum hilang, terakhir ia berhubungan telepon dengan Wahyu Susilo, adiknya, 19 Februari 1998. Ia hanya menanyakan kabar dan memberitahu segera akan pulang ke Solo. Tapi nyatanya setelah itu tak terdengar lagi kabarnya.Memang pemerintah Orde Baru, melalui Menko Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman pada 28 Desember 1997 menyatakan, Wiji Thukul sebagai buron aparat keamanan. Sejalan dengan langkah pemerintah yang menyatakan Partai Rakyat Demokratik sebagai partai terlarang. Sementara, ketika itu, Ketua PRD Budiman Sudjatmiko ditangkap.Sejak itu, isterinya, Ny Sipon tak bisa lagi menemui Wiji Thukul. Kecuali atas kemauan Wiji sendiri yang dilakukan secara kucing-kucingan, melalui kontak orang lain dengan lokasi yang berpindah-pindah.
Sebelum dinyatakan sebagai buron itu, Wiji Thukul terakhir kali merayakan Natal bersama istri dan kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani (11) dan Fajar Merah (7), di rumah mereka yang sangat sederhana.Wiji Thukul lahir di Kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga tukang becak. Ia mulai aktif menulis puisi sejak di bangku Sekolah Dasar. Kemudian sudah mulai tertarik pada dunia teater ketika SMP. Stelah itu, ia melanjutkan sekolahnya sampai Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari. Tapi karena kesulitan uang, hanya sampai kelas dua. Ia pun bergabung bersama kelompok Teater Jagat. Bersama kelompok ini ia ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Lalu, demi kelangsungan hidupnya, ia pun berjualan Koran, calo karcis bioskop dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Hidup yang berat dan keras dilalui apa adanya. Namun ia tidak kehilangan semangat untuk terus menulis, berkarya dan berkesenian.
Ia tetap aktif menulis puisi, menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat tinggalnya.Beberapa kumpulan puisinya sudah diterbitkan di Taman Budaya Surakarta. Ia juga pernah tampil membacakan puisi di Kedubes Jerman pada tahun 1989 dan di Pusat Kebudayaan Belanda pada tahun 1991. Lalu pada tahun 1991, memperoleh Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting, Belanda, bersama penyair WS Rendra, untuk karya-karya puisi sosial.Thukul disebut penyair radikal dan pembangkang. Puisinya bernuansa perlawanan. Pada 1992, ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Kemudian aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) yang jadi bagian Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Ia pun memimpin demonstrasi di pabrik tekstil PT Sritex Sukoharjo tahun 1995. Di situ sebelah matanya cedera dipopor seorang tentara. Kemudian, Tragedi 27 Juli 1996 terjadi. Ia salah seorang yang diburu aparat, dan sampai saat ini hilang. Sebagian orang menduga bahwa Thukul sengaja dilenyapkan aparat keamanan. Debab, ia anggota Partai Rakyat Demokratik yang dijadikan kambing hitam atas pecahnya kerusuhan massa pada 27 Juli 1996. Sejak itu, Thukul tak bisa leluasa pulang. Keadaan memaksanya untuk pergi, berlari tanpa bisa berhenti, menyelamatkan diri dengan meninggalkan istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon, dan dua anak, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.Sampai awal Februari 1998, terakhir kali Thukul berkomunikasi dalam sebentuk suara di ujung telepon. Akhirnya, April 2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Lalu, semua sahabatnya berharap "Thukul, Pulanglah" . Harapan ini, terpatri menjadi judul yang diangkat sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul, Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo. Mereka mengadakannya di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.


Seorang Kawan, Wiji Thukul
(Linda Christanty. Jakarta, 25 April 2001)
Situasi pasca pemilihan umum disambung krisis ekonomi membuat Jakarta terus memanas sampai November 1997 itu. Telepon tiba-tiba berdering dan seseorang di seberang sana berbicara dengan tergesa-gesa, "Linda, aku minta izin pulang ke Solo dulu, ya." Dia adalah Wiji Thukul. Kalimat tersebut menjadi kalimat terakhirnya untuk saya, sebelum ia dinyatakan hilang bersama sejumlah aktivis politik yang diculik militer hampir tiga tahun lalu.Ia tak pernah ditemukan sampai hari ini.Ia seorang penyair.
Puisi-puisinya menggambarkan penindasan dan protes kaum buruh terhadap majikan, juga perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan.Pria ini berperawakan agak kurus. Penampilannya bersahaja, berkaos oblong putih merek Swan. Ia lalu memperlihatkan sebuah ruang rahasia, perpustakaan miliknya. Buku-buku tersusun dalam rak. Kebanyakan berbahasa Inggris. Saya menemukan sebuah buku tentang televisi di situ, yang menjelaskan pengaruh televisi terhadap perilaku homoseksual. Buku-buku lainnya tentang Bertold Brecht dan pemikiran Antonio Gramsci. Udara dalam perpustakaan terasa pengap, tapi ia menawari kami minum kopi dan bercakap-cakap di sana. Tak berapa lama Nganti Wani, putrinya yang berusia lima tahun, dan beberapa teman sebayanya masuk, kemudian keluar lagi.
Anak-anak kecil yang datang bertandang itu anggota Sanggar Suka Banjir. Wiji Thukul mengajak mereka bermain teater, menyanyi, dan menggambar bersama. Ia ingin mengajari mereka melawan keterbatasan dan kemiskinan dengan mengenalkan pada keindahan, karena keindahan bisa berada di mana saja, melampaui batas-batas kelas.Wiji Thukul mempunyai konsep sendiri dalam berteater. Baginya, tak ada jarak antara pertunjukan di atas panggung dengan penonton, bahkan terhadap realitas yang tengah berlangsung. Suatu hari Sanggar Suka Banjir mementaskan lakon tentang banjir. Antara pemain dan penonton terjadi dialog, sampai mencari jalan keluar bersama untuk menyiasati tanggul yang rusak. Di akhir pementasan, pemain dan penonton bersama-sama mengunjungi rumah pak lurah untuk mengadukan soal banjir tadi.
Kepeduliannya terhadap persoalan nasib rakyat tertindas dan aktivitas berkeseniannya tak bisa dipisahkan, seperti sepasang kekasih yang terikat janji mati. Ini mengandung risiko. Suatu hari, pada 1994, diskusi bertajuk "Sastra dan Perlawanan Rakyat" berlangsung di rumah Thukul. Seorang seniman Surakarta, mahasiswa, dan anak-anak dari Sanggar Suka Banjir hadir. Kebetulan, saya menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. Orang-orang tak dikenal berdatangan dan ikut bersila di atas plastik biru itu. Setelah selesai bicara, saya diantar lewat pintu belakang dan dijemput seorang teman. Istri Thukul, Mbak Pon, mengantar sampai di muka pintu. Ia mengepalkan tangan sambil berbisik lirih, "Hidup rakyat." Setelah kami bertemu lagi, Thukul bercerita dalam acara itu intel yang hadir sekitar 20 orang. Ia tertawa-tawa. Tiada terpancar kecemasan pada sepasang matanya. Intimidasi menjadi hal yang lucu barangkali.Pada tahun itu juga aksi petani terjadi di Ngawi. Thukul memimpin massa dan melakukan orasi. Ia juga membacakan puisi-puisinya. Thukul ditangkap, lalu dipukuli militer.
Puisi-puisi Thukul lahir dari kesadaran menjadikan seni sebagai media perjuangan terhadap kesewenang-wenangan. Wiji Thukul pernah memenangkan penghargaan Werdheim, sebuah anugerah bergengsi untuk karya-karya kemanusiaan. Puisi-puisinya memperoleh pujian, meski ia mengatakan tak pernah menulis puisi untuk menang perlombaan. Panitia penghargaan memberinya hadiah sejumlah uang. Tetapi, Thukul tak bisa datang ke Belanda untuk menerima langsung hadiah tersebut.
WS Rendra, penyair Indonesia yang juga memenangkan penghargaan Werdheim pada tahun yang sama dan datang untuk menghadiri penganugerahan itu menawarkan diri untuk dititipi uang hadiah Thukul. Namun, hadiah tadi tak pernah sampai ke tangan Thukul. Kami telah berkawan bertahun-tahun, meski bertemu hanya di waktu-waktu tertentu. Kami mulai membangun Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER) bersama Rahardja Waluya Jati dan pelukis Moelyono di penghujung 1994 itu (semula pelukis Semsar Siahaan dan sejarawan Hilmar Farid juga terlibat, lalu memilih tak aktif lagi). Meski para seniman masih memperdebatkan hubungan halal atau haram antara seni dan politik, tapi kami memutuskan untuk hidup dan berkesenian di tengah perlawanan rakyat yang kehilangan hak-haknya di masa Soeharto.
Pada akhir 1995, Wiji Thukul ikut memimpin pemogokan ribuan buruh PT Sritex di Surakarta. Saya lupa tanggal dan bulan peristiwa itu. Pemilik saham PT Sritex, antara lain Harmoko dan Angkatan Darat. Aksi kali ini membuat mata kirinya nyaris buta akibat kekerasan aparat.Spanduk acara bertulis "Thukul, Pulanglah" dipasang di belakang meja pembicara. Tamu-tamu belum banyak yang hadir. Seorang pria menyentuh lembut pundak saya dan berbisik, "Linda, Mbak Pon istri Thukul ada di sini dan ingin ketemu setelah tahu kamu datang." Hati saya tiba-tiba pedih. Perempuan itu menghampiri saya dan kami membisu dalam pelukan yang erat. Nganti Wani sudah tumbuh menjadi gadis remaja, berdiri di belakang kami. Tatapannya membuat saya tak tahan. Kerinduan, harapan, kepedihan, dan kemarahan berpijar dari sepasang mata anak semuda itu.Saya tidak tahu Thukul masih hidup atau sudah tak ada. Ini tahun keempat kepergiannya.
Tiap mengenang Thukul, saya teringat seorang penyair Bulgaria yang mati dieksekusi di muka regu tembak rezim fascis negerinya. Penyair ini bernama Nikolai Vaptsarov. Ia mati muda dalam usia 32 tahun. Vaptsarov seorang pejuang bagi rakyatnya, sama seperti Wiji Thukul. Tapi, jarang ada yang tahu bahwa perjuangan sama seperti cinta. Kematian tak pernah sungguh-sungguh menghampirinya.
(dari Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber. di edit seperlunya)

Tumbuh Benih

Apa Yang Berharga Dari Puisiku

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum bayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
Jika nasi harus dibeli dengan uang
jika kami harus makan
dan jika yang dimakan tidak ada?
Apa yang berharga dari puisiku
kalau bapakku bertengkar dengan ibu
ibu menyalahkan bapak
padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
kalau ibu dijiret utang
kalau tetangga dijiret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah-tanah pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit mati di rumah
karena rumah sakit yang mahal?
Apa yang berharga dari puisiku
yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan
yang menjiret kami?
apa yang telah kuberikan
kalau penonton baca puisi memberi keplokan
apa yang telah kuberikan
apa yang telah kuberikan?

(Wiji Thukul, Semarang 6 Maret 1986

dalam "Aku Ingin Jadi Peluru, Kumpulan Puisi Wiji Thukul)




Sajak Rambut


Rambutku gondrong benakku adalah hutan

keinginan terkurung didalamnya

di kegelapan aku berteriak: kebebasan!

sepanjang malam semakin ribut

jiwa siapa tak akan letih

menjelang pagi baru tertidur

hari hampir siang, matahari menegurku

hutanku kembali minta dilayani

inikah dirimu, di depan kaca aku bertanya

kening yang terlipat, mata yang nyalang

rambut yang gondrong dan debar jantungmu

menangkap bau warna putih: uban!

rambut yang panjang mendekati tanah

waktu memberat di tiap helai

berapa lagi bukit-bukit letih dan daki

sbelum sampai di sebuah pantai

melabuhkan lelah sementara

menyongsong badai kembali

(Wiji Thukul, 11 Juni 1983, sorogenen, surakarta)









Jumat, Juni 13, 2008

WANTED DEATH OR HALF DEATH!!!!


DI CARI
SARJONO, alias SRJ, alias Ono
MAHLUK PALING DICARI NO.1 OLEH:
BIN, CIA, FBI, KGB, INTERPOL, dan MALAIKAT MAUT
lokasi penampakan paling sering:
1. angkringan Lek Man
2. semua tempat kungkum di seluruh wilayah DIY
3. bengkel daerah jogja bagian barat (gamping dan sekitarnya)
KEJAHATAN UTAMA
1. merugikan Lek Man (coba liat ketinggian permukaan teh digelasnya dan jok selalu ada didekatnya)
2. pelecehan seksual bagi seluruh pengunjung Lek Man (semua jenis kelamin dia teror apalagi perempuan ora tertib) terlebih salah satu member (kasus Noey..hhhuuuuuu)
3. mengambil hak-hak member meja panjang (contoh; lontong+satenya tejo, tanpa ijin dan tanpa malu)
4. terobsesi dg semua barang milike member meja panjang khususnya Momi (masih inget minyak mentol?)
5. sering mempengaruhi member meja panjang untuk masuk aliran sesatnya (kl gak percaya tanya Qiting, berapa kali diajak kungkum dan upaya pembersihan helm tommy pake odol! n kasus `milk-milk`)
6. sering men-judge member meja panjang pasti ora tertib (kasus; alyt, rosna, tommy dll)
7. parkir motor selalu pengin aman sendiri (kasus sepeda anak kecil hampir mengenai motor dia)
8. melipir sak kepenake udele dewe
9. mungkin sering ngungkumi member meja panjang klo merasa di rasani
10. tidak sopan dalam berkomunikasi (siapa yg gak pernah liat punggung dia saat ngobrol? kl ada yg belum pernah berarti matane picek!)
11. selalu membohongi Istrinya klo pergi ke Lek Man
12. .... dan berbagai dosa kecil, sedang, menengah, hampir besar, besar, besar banget, gueeddiii yg hanya diketahui oleh malaekat pencabut nyawa
BELIAU DIKENAKAN PASAL BERLAPIS......LAPIS....LAPISSSSS......LAAAAAPPPPIIIISSSSSSS (wah gak cukup klo ditulis disini)
Barang siapa yang dapat menemukan atau pun menghukumnya dengan balasan setimpal akan mendapatkan Penghargaan dari Lek Man berupa
GRATIS JOK SAMPE PUUUUUUAAAAAAAAASSSSSS!!!!
(thanks to: yogyes.com/angkringan-lik-man, atas potonya.... asu ra fotone iso mlebu yogyes.com, kondang tenan!!!)

nocturno... nocturno...nocturno....

Ada 234 di tangan.....




ada pemantik...



ada sarana komoenikasi tempo doeloe....






ada teh hangat....



ada..... debyo....... (soriii)



ada... alyt... (ra popo asli)


ada..... tejo..... (dah ijin koq)


ada...tommy .... (habis tinggi sih lu..yaa maap)


ada... johan... (ojo aku terus dab!)


ada.... Qiting... (ting dawah loh...)






di sudut kota jogja tengah malam......


tepatnya di utara Stasiun Tugu.... ada kehidupan disana..... di MEJA PANJANG LEK MAN yang gak tertib pastinya!!!!

Nb; utk teman2 yg lain yg belum foto harap secepetnya kirim fotonya dong (nukman, ucik, rosna, momi, SRJ, dhira, agni, tunggal, mas gie, dkkk (sing tuo-tuo ra wani aku))

ada dua foto ku ambil dari (yogyes.com/angkringan-lik-man, dg edit secukupnya.. 2 sendok teh)

Selamaat malam jogjakarta.........