Selasa, Januari 27, 2009

MENERTAWAKAN KDRT LEWAT TONTONAN SSTI





Sore ini seperti biasanya para suami kompleks perumahan berkumpul di pos ronda, bersekongkol merancang strategi agar dapat bertemu dengan pujaan hati mereka, Pretty, seorang janda tanpa anak yang memiliki tubuh sexy. Pak RT Sarmili posisinya dalam status sosial dilingkungan kompleks perumahan selalu didaulat menjadi ketua regu para Suami-suami Takut Istri (SSTI) dalam merancang strategi agar setiap usaha mereka lolos dari pengamatan para istri, terutama istrinya sendiri, -Sarmila-. Sudah dapat dibayangkan hukuman apa yang akan mereka derita jika strategi mereka bocor hingga ketahuan isterinya yang juga berperan sebagai kepala regu para istri kompleks perumahan.



Melalui kompleks perumahan ini seolah kita bisa melihat karakter (sebagian) Indonesia secara mini, jika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menyajikan mini-nya Indonesia lewat miniatur bentuk kepulauan nusantara lengkap dengan rumah adat dan berbagai kebudayaan Indonesia, maka lewat komedi situasi Suami-suami Takut Istri SSTI yang ditayangkan oleh salah atu stasiun televise maka kita bisa melihat miniatur karakter masyarakat Indonesia, meskipun tulisan ini tidak bermaksud men-generalisir keadaan sosiologis masyarakat Indonesia lewat karakter tokoh-tokoh yang disajikan dalam SSTI.



Perkumpulan para suami dalam komedi situasi SSTI adalah gambaran kecil keadaan (yang mungkin ada) dalam masyarakat kita. Mereka sering berkumpul di pos ronda, main catur atau kartu sambil membicarakan tentang pekerjaan mereka masing-masing tapi hal itu menjemukan bagi mereka, lain hal jika membicarakan pertemuan mereka dengan perempuan selain istri-istri mereka sendiri, terutama jika topik pembicaraan mengarah pada perempuan idaman para suami kompleks perumahan yaitu Pretty. Begitu juga perkumpulan para istri yang diciptakan sedemikian rupa oleh penulis skenario sebagai perwakilan tipikal ibu-ibu kompleks yang sering ber-gosip ria sambil sesekali arisan bergilir dari satu rumah ke rumah yang lain atau sekedar masak bersama sebagai sarana untuk memperbincangkan pertemuan mereka dengan lelaki selain suami mereka yang tidak menggairahkan bagi setiap istri yang ada dalam komplek perumahan.



Mari kita berkenalan lagi dengan masing-masing penghuni kompleks perumahan. Sebagaimana umumnya tatanan sosial terkecil dalam wilayah Indonesia maka kompleks perumahan inipun dikepalai oleh seorang Ketua RT, dalam hal ini diperankan oleh Sarmili, seorang betawi tulen yang digambarkan sebagai seorang bisnisman (tukang obyekan/makelar) barang apapun specialis tanah dan mobil. Status sosialnya dalam komplek dapat diterka karena Sarmili adalah putra daerah asli Betawi yang notabene `penguasa` tanah Betawi (baca; Jakarta). Isterinya, Sarmila, terkadang memiliki kekuasaan lebih dibanding suaminya yang secara de facto dan de jure sebagai Ketua RT dalam lingkungan ini, namun posisi istri secara de facto lebih berkuasa dalam rumah tangga mereka, parahnya kekuasaan ini merembet hingga lingkup kompleks perumahan, hal ini juga dapat kita lihat juga dalam duia nyata, jika ada istri pejabat pemerintahan maka dia akan menjadi ketua dalam organisasi perkumpulan istri dalam instansi/departemen tersebut. Anak mereka Lila (gabungan akhir suku kata dari Sarmili dan Sarmila) juga merupakan tipikal remaja seusianya: tak bisa lepas dari handphone, minta uang pulsa, pacaran sembunyi-sembunyi (back street), dll.



Kehidupan Rumah tangga Karyo-Sheila bisa jadi juga oleh penulis skenario dijadikan tipikal keadaan rumah tangga tertentu yang ada dalam masyarakat Indonesia. Karyo yang bekerja sebagai karyawan kantoran swasta yang merasa tertekan dengan istrinya yang menjalani kehidupan ala artis, meskipun selalu gagal casting, tapi tetap penampilannya tidak mau kalah dengan bintang iklan atau sinetron terkenal. Selalu sibuk dengan tatanan rambut, make up, akesoris dan pakaian ngejreng. Hal ini coba diturunkan kepada anaknya, Karla (gabungan nama Karya dan Sheila). Sheila menerapkan adagium yang dikenal dalam masyarakat kita; ”buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” atau di negeri paman sam sana ”like mother like daughter”, dia berusaha mencitrakan anaknya yang harus satu image dengan dirinya; dimulai dari gengsi, tatanan rambut yang sama, pakaian yang hampir sama dan sering diproyeksikan menjadi bintang cilik baik dalam lingkup RT, RW maupun Kelurahan, meskipun akhirnya bernasib sama seperti ibunya.



Kehidupan Rumah tangga Tigor-Welas juga tidak kalah menariknya, karakter khas yang coba ditawarkan oleh penulis skenario bisa jadi pen-citra-an terhadap orang Medan yang biasa keras dalam ucapan dan tubuhnya besar (terkesan menyeramkan) tapi kemudian tidak diimbangi dengan nyali yang dimiliki, meskipun bekerja sebagai bodyguard dan mantan preman namun hal itu tidak mampu dia buktikan jika ada masalah terjadi dalam kompleks mereka sementara setiap orang berharap banyak agar Tigor si Tiger yang notabene berbadan kekar dapat mengatasinya. Karakter Welas yang sejatinya manutan sebagaimana tipikal perempuan Jawa, namun akhirnya dia berani menentang suami hal ini yang sebenarnya `tabu` bagi perempuan Jawa (bahkan dulu berkembang sikap dalam perempuan Jawa bahwa `suwargo nutut-neraka katut` ketika mengabdi terhadap suami) namun akhirnya terkena pengaruh ibu-ibu kompleks lainnya, latar belakangnya sebagai orang kampung menciptakan kesan ketinggalan jamannya (baca: `tulalit`), sementara ibu-ibu kompleks lainnya lebih dahulu tinggal lama di kota, karenanya terkadang tidak dapat mengimbangi pemahaman ibu-ibu yang lain, ke-`tulalit`-annya ini membuat kesan paling menarik perhatian di mata pemirsa, tingkah lakunya tak jarang lebih membuat tawa di banding penokohan yang lain.



Menarik juga jika kita tilik kehidupan rumah tangga Uda Faisal-Deswita, kentalnya logat melayu mereka mau tidak mau mengingatkan kita bagaimana tipikal suku Minang (Padang dan sekitarnya) ketika di perantauan. Prinsip hidup irit (bahkan kesan pelit lebih dominan) jelas ditonjolkan oleh penulis skenario, lemahnya posisi suami dalam rumah tangga bisa jadi ditarik dari sistem matriakal yang hidup dalam kampung Uda Faisal, terlebih ketika Pamannya datang berkunjung seolah mengambil alih semua kendali, sebagaimana penghormatan mereka terhadap `ninik mamak` mereka. Uda Faisal yang tidak pernah lepas dari pantun setiap kali hendak berbicara adalah perlambang yang kuat atas budaya Minang, lebih-lebih backsound yang disajikan ketika kamera menuju keadaan rumah tangga Uda Faisal seolah mengingatkan kita dengan theme song film Siti Nurbaya.



Keadaan rumah tangga Dadang dengan tiga istrinya mungkin saja benar-benar ada dalam masyarakat kita, tidak kita pungkiri kehidupan poligami sering kita temukan. Ketiga istrinya yang berasal dari tiga suku yang berbeda bahkan dengan panggilan masing-masing yang berbeda pula, Ibu (pangilan umumnya untuk istri Jawa), Ambu (sebagaimana orang Sunda) dan Mamah (yang diwakilkan oleh Memey dari etnis Tionghoa) namun yang menarik adalah kemudian pilihan karakter Dadang yang berasal dari tatar suku Sunda yang sering kali dipandang negatif dalam masyarakat kita sebagai `tukang kawin`, pesan yang coba ditonjolkan dari kehidupan poligami Dadang adalah bisa rukun tapi dengan konsekuensi kehidupan cukup sengsara. Karier Dadang sebagai SATPAM kompleks jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, karena itu strategi `ngobyek` atau `mengiba` bahkan tak jarang `memeras` sering dia lakukan disekitar kompleks. Kedekatannya dengan dua kubu (suami-istri) yang saling berlawan terkadang lebih sering dimanfaatkan oleh Dadang demi meraih keuntungan dari kedua belah kubu. Kubu Suami yang berharap Dadang bisa mengamankan dari setiap rencananya terlebih tekanan `atasan` dari Pak RT dan imbalan rupiah tapi kemudian Dadang sering tidak dapat berkutik dibawah ancaman dan tentunya sogokan uang dari kubu para Istri. Desakan kondisi ekonomi keluarga menyebabkan Dadang harus hijrah ke negeri orang menjadi TKI, -kemudian posisinya digantikan oleh Ki Daus yang tidak jauh berbeda- juga merupakan gambaran masyarakat yang merasa tidak dapat mengais rejeki di negeri sendiri maka pilihan menjadi TKI/TKW adalah solusi.



Saya menduga penulis skenario dalam menempatkan posisi Dadang diantara ketiga istrinya ini sebelumnya telah melakukan sejenis penelitian `sos-antro` atau `survey` atau paling tidak ada `polling` untuk memperkuat keyakinannya dalam menempatkan Dadang dan tokoh-tokoh SSTI lainnya sebagaimana kita saksikan namun tentunya proses kreatif dari penulis skenariolah yang lebih dominan. Lantas apa kaitannya antara SSTI dengan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT)? Media massa terutama berupa media audio visual sebagaimana diterangkan oleh banyak pakar komunikasi dirasakan memang telah menjadi sarana paling efektif dalam melakukan transformasi informasi yang sedikit banyak dapat merubah pola pikir dan prilaku masyarakat. Tak jarang juga tontonan tertentu dijadikan sebagai media propaganda dalam menyampaikan pesan atau program tertentu melalui berbagai format atau konsep yang telah diusung oleh rumah produksi atau oleh masing-masing stasiun televisi. Film, sinetron atau komedi situasi juga memiliki peran sebagai kritik sosial dalam melihat fenomena yang ada dalam masyarakat.



Ada alasan tertentu bagi saya memilih judul diatas, meskipun tidak dipungkiri program televisi tersebut juga menjadi salah satu program terfavorit bagi saya pribadi karena memang sangat menghibur namun bukan berarti lepas dari pengamatan saya ada beberapa point penting yang cukup meresahkan hati saya (setidaknya) mungkin juga beberapa pemirsa yang turut menyaksikan program acara tersebut. Komedi situasi SSTI yang berdurasi hampir dua jam ini (plus iklan) hampir 70 % dari keseluruhan porsinya memberikan tayangan yang kurang baik dalam hal pembelajaran bagi masyarakat yaitu dalam hal KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA tapi sebelum berbicara adegan yang bisa kita temukan yang mengandung unsur KDRT, ada baiknya kita lihat Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dalam hal ini sebagai barometer pembanding adegan dalam SSTI.



UUPKDRT merupakan usaha besar kawan-kawan yang tergabung dalam elemen perlindungan perempuan, pemerintahan dan unsur-unsur lain yang terlibat secara langsung atau tidak. Perjuangan panjang ini membuahkan hasil dengan disahkannya UU tersebut namun bukan berarti hal ini menjamin kekerasan khususnya yang terjadi dalam rumah tangga bisa hilang begitu saja, tetap diperlukan pemantauan dan kerja keras serta kesadaran semua pihak untuk mencegah timbulnya kekerasan ini. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1: ”Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan” jika kita melihat definisi ini kita belum dapat mengambil kesimpulan siapa saja pelaku dan korban atau batasan yang jelas tentang lingkup yang lebih mengerucut lagi.



Untuk menjawab keraguan di atas maka sebaiknya kita cermati isi Pasal 2; Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
b. sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Batasan yang paling tegas menurut UUPKDRT adalah semua orang yang berada dalam rumah tangga tersebut baik keluarga inti (suami, istri dan anak) namun dapat juga diluar itu seperti saudara/kerabat bahkan pembantu rumah tangga juga termasuk didalamnya selama dalam rentang waktu tersebut berada dalam rumah tangga, sebagaimana dijelaskan Pasal 2 angka 2. Dari sini kita bisa melihat siapa saja yang rentan menjadi korban atau pelaku atas tindak KDRT, namun yang perlu dicatat adalah setiap orang - tidak mengenal jenis kelamin ataupun status sosial- tidak bisa lepas dari hukum jiak dia melakukan kesalahan.



Meskipun UU ini tidak secara tegas menyebutkan siapa yang dapat menjadi pelaku namun kita bisa melihat definisi lingkup rumah tangga yang dapat menandakan siapa saja subjek yang dimaksud menurut UU ini. Lain halnya dengan korban, dalam Ketentuan Umum ditegaskan bahwa Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga, karenanya menurut penilaian saya UU ini memiliki perspektif korban (victim) dimulai dari pengertian KDRT itu sendiri (Pasal 1angka 1) yang lebih memuat siapa yang menderita atas tindak KDRT dan efek yang diderita. Pengertian korban (Pasal 1 angka 4), Asas dan Tujuan (Bab II); demi perlindungan korban, batasan kekerasan yang diderita korban (Pasal 5-8), perihal penelataran korban (Pasal 9), Hak-hak Korban (pasal 10), Kewajiban Pemerintah dan Unsur lain dalam melindungi korban (Bab V-VI), dan Pemulihan Korban (Bab VII) semua ini dalam kerangka perlindungan korban maka dapat saya simpulkan UU ini sangat berperspektif korban, aturan mengenai Pelaku hanya tertera pada Ketentuan Pidana (Bab VIII) yang sudah pasti memberikan batasan hukuman bagi pelaku yang melanggar UU ini.



Kita ulangi kembali pertanyaan diatas, “Lantas apa hubungan UUPKDRT dengan SSTI?.” Sebagaimana sedikit disingung diatas, sebagian besar adegan dalam SSTI banyak menggambarkan kekerasan yang mana telah dilakukan oleh hampir setiap tokoh yang masuk kedalam ranah rumah tangga, maka saya berkeyakinan (itu sebabnya saya membuat tulisan ini) bahwa perlu ada penilaian dan kritik tertentu mengenai tontonan yang menghibur namun juga memberikan tuntunan buruk sebagaimana adegan dalam SSTI, media massa tidak dapat dipungkiri bak pedang bermata dua, di satu sisi memberikan keuntungan namun di sisi lain dapat merugikan masyarakat. Mirisnya lagi kita (penonton) seolah meng-amin-i setiap kekerasan dengan tertawa cukup keras dan tetap terus menonton komedi situasi ini bahkan lebih parahnya lagi jika dalam satu episode saja tidak ada adegan kekerasan yang dialami suami (seperti dibentak, diancam, dijewer, dicubit, dikurung dalam kamar mandi, dihukum agar bertindak seperti binatang dll) seolah ada yang kurang dan sangat tidak menarik sama sekali, dalam kesimpulan serampangan saya, bisa jadi penonton menjadi `ketagihan` akan adegan kekerasan tersebut. Bis repetita placent, hal yang membuat kita senang adalah tindakan yang berulang-ulang (Horace).



Mari kita bandingkan lagi adegan dalam SSTI dengan ketentuan UUPKDRT, sebagaimana telah saya paparkan diatas bahwa ranah kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga, hal ini juga terjadi dalam rumah tangga Sarmili-Sarmila, Karyo-Sheila, Tigor-Welas, Faisal-Deswita, bahkan Dadang dan ketiga istrinya meskipun dibuat kesan mereka menjadi korban keadaan ekonomi. Batasan korban dalam UU ini tidak menegaskan gender tertentu atau usia tertentu yang dapat menjadi korban, meskipun dalam Pasal 1 angka 1 diberikan perhatian khusus dengan menambahkan kalimat ”terutama perempuan” tapi bukan berarti hanya perempuan yang dapat menjadi korban, siapapun dapat menjadi korban, sayangnya dalam hal ini (SSTI) yang selalu menjadi korban adalah para suami.



Penonton harus waspada terhadap reaksi yang dilakukan oleh para istri terhadap suaminya semata-mata karena tindakan nakal dari para suami yang telah menggoda si janda cantik Pretty, sehingga seolah-olah wajar saja para isteri memberikan hukuman dengan melakukan tindakan kekerasan terhadap suami. Ingat dalam kehidupan nyata banyak dijumpai kasus kekerasan terhadap anak dengan alasan si anak nakal, tidak mau menurut sehingga orang tua sah-sah saja menghukum anak tersebut dengan dasar pembenar: memberi pendidikan pada anak atau kekerasan terhadap istri karena menolak permintaan suami untuk melakukan hubungan badan layaknya suami-istri sehingga suami naik pitam dan semena-mena melakukan kekerasan dengan dasar pembenar: kewajiban istri adalah melayani suami. Korban tetaplah korban apapun alasan yang digunakan sebagai dasar pembenar namun bukan berarti ketika ada kesalahan dari suatu pihak kemudian adalah sah jika dibalas dengan kekerasan lagi (tak jarang lebih parah lagi), sebagaimana pepatah (adagium) Latin mengatakan; ”Commodum ex iniuria sua nemo habere debet - No person ought to have advantage from his own wrong.” Pelaku KDRT menurut UU ini bisa siapa saja dalam rumah tangga (Istri terhadap suami, suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, bahkan ada juga kekerasan anak terhadap orang tua dan tidak menutup kemungkinan majikan terhadap pembantu), inilah yang hendak saya tegaskan sebagaimana penegasan dalam Pasal 5; ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.”



Bagaimana batasan suatu tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai KDRT? UUPKDRT tidak secara rinci menjelaskan bahwa tindakan tertentu terhadap seseorang dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan namun secara umum ada lingkup tertentu yang dapat dijadikan patokan bahwa telah terjadi KDRT manakala timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan, jadi secara garis besar terdapat tiga ranah yaitu;
1. Kekerasan secara fisik: perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6).
2. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). Menurut hemat saya ancaman dan pemaksaan melakukan perbuatan diluar kehendak masuk kedalam ranah ini.
3. Kekerasan seksual (Pasal 8) meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu



Mari kita bandingkan adegan dalam SSTI dengan aturan ini. Perbuatan para istri ketika menghukum para suami dengan tindakan mencubit, menjewer, mengurung dalam kamar mandi, dll, apakah setara dengan yang diterangkan pada Pasal 6 diatas? Kemudian ketika suami mendapat hukuman berupa bentakan (teriakan keras), ancaman tidak diperbolehkan masuk rumah atau tidak mendapatkan makan, disuruh melakukan tindakan seperti binatang (jalan bebek, lompat katak) adalah setaraf dengan aturan Pasal 7 diatas? Culpam poena premit comes - Punishment closely follows crime as its companion, hukuman sangat dekat dengan kejahatan, sebagaimana dikatakan oleh Horace.



Sayangnya dalam UU ini mengalami kemunduran dalam memberikan batasan kekerasan seksual yang sebenarnya dapat lebih dalam lagi memberikan batasan atas tindakan tertentu masuk kedalam ranah kekerasan seksual, terlebih dalam UUPKDRT setiap kekerasan yang terjadi (fisik, psikis dan seksual) merupakan delik aduan (Pasal 51-53), dimana jika telah nyata-nyata Tindak Pidana Kekerasan itu telah terjadi namun belum ada aduan atau pihak korban (keluarga) tidak melapor kepihak yang berwenang maka hal ini dianggap tidak ada. Berikut ini saya sertakan sebagai bahan perbandingan luasnya kategori kekerasan seksual yang didefinisikan oleh banyak LSM dan lembaga studi di Yogyakarta memberikan kategori lain yang masuk kedalam kekerasan seksual, salah satunya adalah Center for Population and Policy Studies Universitas Gadjah Mada memberikan pandangan lain seperti; Ditatap penuh nafsu, disenyumi nakal, disiuli, diajak berbicara cabul, ditelepon seks, diintip dengan maksud seksual, dicolek, dicubit, diraba bagian tubuh, dipaksa memegang bagian tubuh pelaku, dicuri cium/peluk, dipertontonkan alat kelamin, dipertontonkan foto/benda porno, diserang untuk diperkosa, diperkosa. Meskipun tindakan-tindakan ini merupakan tipikal yang biasa dilakukan oleh laki-laki (namun tidak menutup kemungkinan siapapun dapat melakukan), sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para suami dalam tokoh SSTI.



Tingginya angka kekerasan dalam wilayah domestik (rumah tangga) dengan perbandingan kasus kekerasan lainnya ternyata cukup fantastis, sebagaimana data yang saya dapatkan dari situs resmi Riffka Annisa, sebuah LSM yang bergerak dibidang perlindungan perempuan terutama korban kekerasan; bahwa dari Januari sampai Juli 2002 Rifka Annisa WCC telah menangani 248 kasus. Seperti pada bulan dan tahun-tahun sebelumnya Kekerasan terhadap istri menempati angka tertinggi (146 kasus) kemudian diikuti kekerasan dalam pacaran (60 kasus), perkosaan (31 kasus), Kekerasan dalam keluarga (8 kasus) dan terakhir Pelecehan Seksual(3 kasus). Data ini dapat dilihat melaui www.rifka-annisa.or.id tertanggal 01 Desember 2005. Melihat banyaknya kasus kekerasan yang menempatkan perempuan sebagai korban merupakan suatu hal yang tragis dan kemungkinan hal ini akan terus terjadi dalam masyarakat. Hal ini harus segera dihilangkan namun tidak dipungkiri diperlukan kerja keras semua pihak, harus dapat dimulai dengan cara merubah pola pikir masyarakat dalam memandang pola hubungannya (relasi) antara laki-perempuan, suami-istri, orang tua-anak, pemerintah-warga, pemberi informasi (media massa)-penonton dan masyarakat secara luas.



Tapi apa yang terjadi jika masyarakat (yang didalamnya termasuk pejabat pemerintah, aparat hukum bahkan korban) disuguhi tayangan yang justru mengaburkan nilai-nilai harapan itu? Lagi-lagi muncul dugaan nakal saya secara subyektif setelah mencermati tayangan SSTI, bisa jadi tayangan ini ingin merubah pola pikir masyarakat bahwa kekerasan dalam wilayah domestik (rumah tangga) adalah urusan masing-masing keluarga sehingga orang diluar rumah tangga mereka hanya dapat menertawakan kekerasan yang kita lihat, dalam hal ini adalah sebagai penonton belaka. Dalam beberapa kali diskusi ala kedai kopi dengan beberapa kawan yang aktif dalam perjuangan keadilan gender di Yogyakarta, bisa jadi ada skenario besar dibalik tayangan SSTI yang coba merusak citra perempuan (yang telah diperjuangkan oleh lembaga perlindungan perempuan) melalui tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan perempuan (baca;istri dalam tokoh SSTI). Ada upaya sesat pikir secara terstruktur oleh kaum kapitalis (melalui tayangan SSTI) bahwa perempuan juga dapat memiliki kekuasaan diatas laki-laki sehingga dapat bertindak sesuka hati namun hal ini (baca; adegan) seharusnya tidak akan meraih simpati masyarakat bahkan perempuan itu sendiri tapi ironisnya karena dibungkus dengan tampilan menarik dan menawan hati (dengan adegan lucu) seolah hal tersebut adalah wajar-wajar saja.



Sejatinya perjuangan kesetaraan gender bukan berarti mendukung jenis kelamin tertentu (laki-laki atau perempuan dsb) sementara mendholimi jenis kelamin tertentu, idealnya adalah kesetaraan kedua belah pihak, adapun keberpihakan seharusnya ditujukan kepada orang yang menjadi korban tanpa melihat jenis kelaminnya. Pergerakan perlindungan perempuan sesungguhnya sudah menunjukkan arah peningkatan, sebagaimana telah disinggung oleh Istianah Za, S.H., M.Hum, seorang aktivis perempuan Aisiyah yang juga anggota DPRD Yogyakarta, dalam sebuah kesempatan menjelaskan bahwa dalam perspektif perundang-undangan, sesungguhnya perempuan telah mendapat perlindungan yang cukup memadai, meskipun belum dapat dikatakan sempurna, dari berbagai tindak diskriminatif, marginalisasi dan tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan berupa pelecehan sexual. Namun lebih jauh Istianah juga menegaskan bahwa diperlukan Political Will dari pemerintah dan kesungguhan dari seluruh penegak hukum, disamping itu juga diperlukan tingkat kesadaran hukum yang tinggi dari seluruh warga masyarakat. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa perlindungan perempuan dan lebih jauh lagi kesetaraan gender akan menjadi sia-sia jika masyarakat sendiri tidak bijak dalam memahami persoalan sosial yang ada, akan tetapi hal ini juga menjadi sangat kompleks jika masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah kearah itu justru semakin dikaburkan dengan tayangan-tayangan yang kurang mendidik serta mengalihkan semangat itu sebagaiman kekhawatiran saya diatas.



Pertanyaan berikutnya yang muncul dalam benak saya adalah, Apa yang kemudian harus dilakukan (oleh siapa?) ketika melihat fenomena `sahnya` KDRT dalam tayangan SSTI?
Segala produk yang disajikan melalui media massa (terutama televisi) sedikit-banyak mampu mempengaruhi masyarakat (penonton) baik itu melalui iklan komersil, berita, gosip, film, sinetron, acara debat dan lain-lain. Contoh kecil melalui iklan pemutih yang diperankan oleh model yang cantik, berkulit kuning langsat, tinggi dan langsing, maka bagi penonton yang mendambakan tubuh ideal seperti model itu akan berusaha membeli produk tersebut (atau setidaknya sejenis) meskipun hal tersebut menjadi mustahil karena jika melihat gen yang diwariskan kepadanya tidak mendukung impiannya, parahnya masyarakat yang tidak didukung finansial cukup, akan mengambil cara cepat dengan membeli produk murah (palsu) yang justru membahayakan kesehatannya. Berita juga dapat mempengaruhi masyarakat sedemikian rupa sebagaimana maraknya berita telah diketemukan tambang emas yang begitu mudahnya disepanjang pinggiran sungai disebuah daerah di Sulawesi, maka masyarakat berbondong menuju lokasi tersebut tanpa mempedulikan pengalamanannya dalam mendulang emas. Lewat film mengenai mahluk luar angkasa (Alien) misalnya, tidak sedikit orang menjadi percaya dan terobsesi untuk mendapatkan bukti otentik mengenai Alien bahkan ada banyak yang mengakui telah diculik dan dibawa kesuatu tempat oleh piring terbang, terlepas kebenaran hal tersebut namun hal ini sangat dipengaruhi oleh industri film.



Di Indonesia tayangan yang marak menghibur penonton adalah berupa sinetron, jika anda tidak percaya sinetron dapat merubah pola pikir masyarakat bahkan menuju perubahan prilaku, bisa kita lihat banyaknya keluhan para artis sinetron yang sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari penonton ketika sang aktor/aktris berada dalam dunia nyata, seperti misalnya mencubit karena gemas setelah melihat sang aktor/aktris yang berperan sangat kejam sebagai tokoh antagonis, ada juga kasus artis yang sampai diludahi oleh penonton ketika dia berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, meskipun hal ini kasusistis tentu saja namun dapat kita lihat begitu besarnya dampak yang ditimbulkan sehingga penonton tidak dapat memilah yang mana dunia nyata-yang mana dunia maya.



Pola duplikasi (peniruan) yang rentan terjadi sesunguhnya berada pada penonton yang berusia anak dan remaja yang belum mampu secara penuh membedakan baik-buruknya sebuah tayangan. Kita pasti masih ingat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak setelah menonton tayangan Smack Down dan sejenisnya bahkan tak jarang kejadian tersebut merengut korban jiwa. Saya mengajak kembali para pembaca untuk fokus terhadap tema tulisan ini, bagi yang sering melihat komedi situasi SSTI pasti tidak lupa karakter Karla (anak pasangan Karyo-Sheila) yang begitu senang melihat Ayahnya (Karyo) jika mendapat berbagai hukuman dari Sheila (Ibunya), begitu juga Lila (anak pasangan Sarmili-Sarmila) yang telah masuk usia remaja, sangat menikmati melihat Babehnya kena hukuman Enyaknya, bahkan seusia Lila terkadang mencari kesempatan dengan cara bersekongkol dengan kedua belah pihak (Babeh-Enyaknya) jika hal itu mendatangkan keuntungan bagi dirinya seperti mendapatkan uang untuk membeli pulsa sementara ujung-ujungnya dia terkadang menari diatas penderitaan Babehnya. Anak-anak Dadang pun melakukan pola duplikasi sebagaimana perbuatan Bapaknya, berbagai cara dilakukan asalkan dapat menghasilkan uang.



Komedi situasi SSTI ini ditayangkan pada jam keluarga menikmati waktu istirahatnya di rumah atau dalam istilah pertelevisian prime time, berarti tayangan ini ditonton oleh orang dewasa dan anak-anak. Saat menonton tayangan ini selayaknya orang tua mendampingi, memang saat itu orang tua menonton bersama anak-anak namun kemudian apa jadinya jika orang dewasa saja sulit untuk mencerna bahwa adegan tersebut kurang baik bagi perkembangan pemahaman anak jika dilenakan oleh `bungkusan` lucu yang membuat tertawa orang dewasa dan parahnya lagi saat tayangan ini pihak stasiun televisi sedikitpun tidak berusaha menyadarkan orang dewasa dengan rambu-rambu yang selayaknya muncul disudut layar televisi sebagai tanda bahwa adegan tersebut kurang baik untuk anak dan perlu penjelasan orang tua yang menontonnya.



Menonton tayangan komedi situasi Suami-suami Takut Istri bagi saya pribadi adalah melihat miniatur tatanan sosial di Indonesia dengan segala dinamika kehidupan yang banyak menampilkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di hampir setiap adegan dan setiap episodenya, lantas apa yang harus kita lakukan? Apakah tertawa spontan atau tertawa namun tetap mencerna efek negatif yang terus dicekoki kehadapan kita? Atau pembaca mempunyai pendapat lain? Kebijakan dan kearifan diperlukan dalam setiap memandang permasalahan hidup.



Amare et sapere vix deo conceditur - Even a god finds it hard to love and be wise at the same time (bahkan Tuhan pun sulit untuk mencinta dan menjadi bijak pada saat yang bersamaan)



Kaloran Pena, 27 Januari 2009

Sabtu, Januari 24, 2009

Eyang Kandi

“Eyang Putri, boleh ndak Diandra tanya?” bola mata bocah lugu ini masih bulat besar layaknya anak kecil yang ingin tahu banyak tentang misteri dunia ini, duduk manja dalam pangkuanku. “Boleh saja, memangnya kamu mau tanya apa cucuku sayang?” dikursi goyang inilah tempat favorit kami berdua selalu menjadi sekolah baginya sebelum dia betul-betul berseragam lucu, mungkin tahun depan Diandra masuk taman belajar tapi terkadang usia tuaku tidak dapat menjadi guru yang baik yang dapat memuaskan hasrat keingintahuan bocah ini. Selalu saja ada pertanyaan baru yang dilontarkannya, tidak sekedar pertanyaan anak seusianya yang hanya bertanya dimana letak mainan atau boneka kesayangan yang tercecer kemarin sore.



“Eyang bisa ndak cerita kenapa Eyang Kandi punya banyak anak? padahal Eyang Kandi `kan gak punya Eyang Kakung.” Ahh bocah lugu ini tiba-tiba saja ingin tahu tentang masa lalu sahabat karibku yang paling akrab dan paling kucintai, aku terpaksa meminta bantuan teh hangat agar bisa mencairkan kumpulan kalimat yang bergumpal di benakku, teh ini masih mengepulkan uap panas yang telah disediakan Marni pada meja marmer disebelah kursi goyang tempat kami menghabiskan pergantian hari diberanda belakang. Harus dari mana aku memulai jawaban pertanyaan malaikat kecilku ini.



“Begini cucuku yang pintar-cantik, semua anak-anak Eyang Kandi itu adalah anak angkat jadi Eyang Kandi gak perlu punya Eyang Kakung. Kalau Diandra `kan lahir karena ada ayah dan bunda yang mencintai Diandra sedangkan anak-anaknya Eyang Kandi sebenarnya punya ayah dan bunda mereka masing-masing tapi karena Eyang Kandi sayang dengan mereka jadi Eyang Kandi mengurus mereka dan menyekolahkan mereka.” Aku bersukur cucuku ini sejak usia dini dari kedua orang tuanya telah diberikan pemahaman logis dan rasional tentang segala sesuatu yang dia tanyakan, dia dibesarkan jauh dari bayang-bayang mitos dan penjelasan yang hanya berupa perlambang semata, bahkan dia telah paham bahwa dia lahir di dunia ini bukan karena titipan burung pelikan yang membawa kantung berisi bayi-bayi mungil. Ini juga berkat sahabatku yang dengan iklas turut membantuku memberikan pendidikan tinggi bagi putriku semata wayang ketika aku berkubang penderitaan.



“Jadi Oom Bayu, Oom Laksa, Oom Pandu, Oom Baskoro, Tante Luna, Tante Maya dan Tante Ratri semua itu bukan anak kandung Eyang Kandi! Tapi kenapa Eyang Kandi mau mengurus oom dan tante semua?” cahaya matanya berkilauan menandakan kualitas didalam kepalanya, aku bangga pada cucuku. “Ooh bukan cuma mereka sebenarnya sayang, masih banyak lagi yang kamu belum tahu karena mereka semua sudah banyak yang sukses, ada juga yang masih kuliah di luar negeri sana, mereka semua disekolahkan oleh Eyang Kandi bahkan bundamu juga bisa mendapat gelar Doktor dari luar negeri berkat bantuan Eyang Kandi, “jadi bunda juga toh, pantes bunda koq sayang banget dengan Eyang Kandi, sama sayangnya seperti kepada Eyang Putri” aku tersenyum, bahkan bocah sebelia ini saja sudah dapat menilai, siapa saja pasti akan berbakti pada sahabatku itu sama seperti menunjukkan sembah baktinya kepada orang tua kandung.



“Tapi Eyang, kenapa orang tua oom dan tante tidak menyekolahkan mereka? Kenapa koq Eyang Kandi mau menyekolahkan padahal mereka bukan anak kandung Eyang Kandi?” Kuberikan malaikat kecil ini botol berisi susu sekedar untuk menghambat derasnya pertanyaan dari bibir mungilnya. “Begini sayang, tidak semua orang memiliki rejeki yang lebih baik dari keadaan kita sekarang ini, sementara diluar sana banyak sekali orang-orang yang punya cita-cita menjadi orang pintar tapi justru harus putus sekolah karena tidak punya cukup uang untuk melanjutkan sekolah mereka dan akhirnya mereka tidak dapat meraih cita-cita mereka. Nah kebetulan Eyang Kandi memiliki rejeki yang lebih dari cukup tapi itu semua tidak cukup kalau tidak punya sifat baik dalam diri, kamu harus bisa mencontoh Eyang kamu itu, dia sisihkan hampir sebagian besar rejekinya untuk membantu mereka yang kurang beruntung.”



Mulut cucuku sibuk dengan botol susunya tapi aku yakin dia memperhatikan betul ceritaku, dia begitu mirip dengan bundanya yang selalu banyak bertanya tapi aku bersukur kehidupannya jauh lebih baik dari masa kecil bundanya dulu. Aku bahkan tidak mampu membelikan susu bagi anakku saat itu, jangankan susu, untuk mempunyai beras sekedar menjadi nasi satu piring saja aku harus menunggu truk pengangkut beratus ton beras untuk memunguti setiap butir yang jatuh dari sela-sela papan truk atau beberapa butir yang jatuh ketika gancu merobek karung yang akan diangkat oleh kuli panggul. Air untuk membersihkan beras itulah yang menjadi susu palsu bagi putriku, aku bahkan tidak sanggup memberikan perasa manis didalamnya karena harga gula sama mahalnya dengan beras.



Keadaanku saat itu berada pada batas terakhir dari garis yang ditentukan pemerintah yang dijadikan sebagai instrumen menggolongkan manusia di negeri ini yang sering dijadikan alasan untuk mengemis pada negara-negara kaya, batas akhir paling bawah dari garis kemiskinan. Aku begitu bodohnya terbutakan oleh cinta palsu yang justru menjeremuskan aku dalam lubang nista kehidupan, semua nikmat dunia dan kejayaan yang kumiliki runtuh satu-persatu, semua yang kupunya bahkan kehormatan dimata masyarakat sirna begitu saja, semua yang dekat denganku perlahan mundur, menjauh dan menghilang. Semua disebabkan mata yang terbutakan oleh ambisi masa depan lebih baik, tersandung oleh cinta dab materi, aku kemudian tersadarkan bahwa orang yang paling dicintai justru dapat menjadi orang yang paling kejam.



“Eyang koq nangis sih?” telapak tangan mungilnya menyapu bulir air yang mengalir dari sudut mataku, “Eh, iya Eyang kemasukan debu tadi,” alasan seadanya kulontarkan begitu saja, “Loh Eyang `kan pake kacamata, koq debunya bisa masuk? Berarti debunya nakal ya, hihihi” ceriwis bocah kecil ini sanggup memecah ingatan masa lalu yang pedih. “Mau diterusin gak ceritanya?” “Diandra dah nunggu tapi Eyang diam aja dari tadi tapi Eyang nanti jangan marah ya kalo Diandra ketiduran” senyum kecilnya berkembang lalu tertutup botol susunya. Sebenarnya jalan hidup kami akan sangat sulit dipahami bagi bocah belia ini tapi daya ingatannya sangat luar biasa dan untuk saat ini hanya cucuku yang menjadi teman bicaraku, aku pun menjadi teman bermainnya ketika kedua orang tuanya sibuk dengan karirnya.



“Eyang Kandi adalah sosok perempuan luar biasa, dia begitu teguh menepati janji, kalau dia sudah bersungguh-sungguh pasti segala sesuatu akan terlaksana selama tetap konsisten, bekerja keras dan tentunya berdoa. Semua yang dia lakukan selama ini sebenarnya adalah tuntutan Eyang Putri juga tapi itu dulu sekali, sebelum bundamu lahir dan sebelum Eyang menyaki.. eh maksudnya sebelum Eyang Kandi sakit” tak tega rasanya aku harus menceritakan lebih detail mengenai masa lalu kami. “Eyang konsisten itu apa sih? Terus kenapa dulu Eyang menuntut Eyang Kandi, memangnya apa salah Eyang Kandi? Terus sakit apa Eyang Kandi, apa sampai masuk rumah sakit?” Ya Tuhan setiap detik kuabdikan diriku untuk memohon padaMu agar dikarunia keturunan yang pintar dan berbakti inikah perwujudan rasa sayangMu dengan mengabulkan doaku., tapi apa dayaku menghadapi pertanyaan darah dagingku ini yang pastinya akan membuka luka lama kawanku dan dosa besarku nantinya.



“Sewaktu muda dulu kami sangat dekat sekali bahkan kedekatan kami melebihi dari sekedar sahabat” Yaa Tuhan apakah harus kujelaskan siapa jati diri sebenarnya sahabat karibku itu pada bocah yang begitu hijau ini. “Ooh tadi Diandra tanya tentang konsisten ya? Konsisten itu hampir sama artinya dengan kuat pendiriannya dan tidak mudah berubah pendiriannya, itu sifat Eyang Kandi yang paling dasar sayang. Segala sesuatu yang diinginkan pasti dikerjakan dengan sungguh-sungguh, nah ketika Eyang Kandi tidak bisa mempunyai anak tapi bukan berarti dia tidak punya perasaan sayang terhadap anak-anak makanya Eyang Kandi berniat mengangkat anak meskipun waktu itu dia belum punya rejeki seperti sekarang ini tapi kerja kerasnya membuahkan hasil sebagaimana sekarang ini hasilnya bisa dilihat.” Angin sore menghantarkan kami pada damainya hari ini pada pekarangan rumah yang teduh, asri, berbagai tanaman tumbuh subur berkat perawatan telaten tangan sahabatku, Srikandi.



“Terus Eyang Kandi sakit karena apa?” mata bocah ini pancarannya menjadi redup mengikuti isi susu dalam botolnya yang hampir habis, semilir angin rupanya memancing tubuhnya untuk beristirahat. “Niatnya untuk dapat memberikan pendidikan bagi anak angkatnya membuat dia menjadi pekerja keras sampai-sampai dia tidak meghiraukan kesehatannya, akibat kerja siang dan malam akhirnya Eyang Kandi sakit.” Maafkan aku sayang, ini terlalu singkat, belum waktunya kau mengetahui seluruh isi dunia dalam masa mudamu yang begini belia. Botol susu kesayangan cucuku terjatuh dari genggamannya, akhirnya dia tertidur sore ini, tapi tetap kubiarkan dia tertidur dalam pangkuanku sampai bundanya pulang kerja, begini setiap hari kami menghabiskan hari. Aku yang hanya dapat terduduk menghabiskan sisa usiaku pada kursi goyang atau berpindah pada tempat lain dengan bantuan kursi roda, sementara cucuku hampir setiap hari selalu minta diceritakan dongeng rakyat atau apapun hingga tertidur lalu dipindahkan oleh bundanya.



Ada perasaan bersalah, aku tidak jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan cucuku. Aku sendiri belum siap untuk menceritakan hal ini bahkan aku hampir menghapus memori pada rentang waktu itu, biarlah kuceritakan pada cucuku semua kondisi terbaik dalam keluarga tak perlulah kau turut merasakan masa lalu kami yang kelam. Srikandi, andai saja waktu itu aku tidak begitu bodoh maka kau tak perlu begitu beratnya terjebak dalam sumpah yang keluar dari mulutmu, bahkan diusia senjamu masih juga harus banting tulang demi menghidupi ratusan anak yang bukan keluar dari rahimmu, bahkan kau tidak mempunyai rahim sama sekali, akulah yang seharusnya menanggung ini semua. Tak kusangka seputih inilah hatimu. Lihatlah aku sekarang, inilah buah karma atas perbuatanku yang tega melukai kepercayaanmu.



(empat puluh tahun yang lalu)



“Maaf Mas Pram, aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam ketidak jelasan ini. Aku ingin kau mempunyai kehidupan yang lebih baik, tidak hanya mengandalkan penghasilanku yang tidak seberapa ini, lagipula aku punya kebutuhan sendiri. Aku juga sudah tidak tahan lagi dengan sifat sok idealismu itu, persetan dengan itu semua! Kau pikir bisa hidup dengan idealismemu? Sudah bukan jamannya lagi. Coba Mas Pram lihat kawan-kawan seperjuanganmu yang dulu sama-sama turun kejalan berteriak demokrasi, reformasi, keadilan dan impian negara ini bersih dari dari segala bentuk korupsi, tapi apa kenyataannya? Mereka menggadaikan itu semua pada partai politik dan akhirnya mereka juga menikmati kursi empuk itu bahkan berubah menjadi penindas baru. Lihatlah dirimu? Bahkan untuk nanti sore saja belum tentu kau akan temukan sebatang rokok yang selalu kau jadikan obat penawar stressmu!!” aku hanya manusia yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban batin bertahun-tahun tanpa kejelasan.



“Jadi apa yang kau harapkan? Aku harus menanggalkan satu-satunya kehormatan yang kupunyai, begitu? Aku sudah tidak punya segala kelebihan dalam dunia ini, rupiah? Kau sudah tau ada berapa rupiah dalam saku celana bututku, relasi yang memiliki posisi tinggi? Kalaupun ada tetap saja aku harus menyetor puluhan juta agar aku mendapat pekerjaan yang dia janjikan lewat pintu belakang, satu-satu yang kupunya hanya itu, ideliasme ku yang tidak ingin hidup dari uang yang kudapat dari cara yang tidak benar.” Nyala mata orang yang kucintai itu sama terangnya dengan idealisme yang berkobar dalam sanubarinya, tapi entah mengapa justru nyala mata yang membuat aku jatuh hati padanya ketika pertama kali kulihat dia berteriak lantang di atas sebuah mobil tangki bensin yang mereka bajak secara simbolik sebagai bentuk protes atas carut-marutnya ekonomi Negara, kini nyala mata yang sama itu pula yang membunuh semua rasa itu.



“Ahh.. itu selalu yang kau jadikan alasan tapi kenyataannya adalah kau terlalu malas untuk mencoba mencari pekerjaan! Aku memang belum menjadi istrimu karenanya aku belum berani menuntutmu untuk diberikan nafkah materil tapi belum menjadi istrimu saja aku sudah menafkahimu begini rupa.” Bagiku rasanya tidak adil, setiap pulang kerja kekasihku ini hanya berdiam diri di kontrakanku, melamun, merokok, nonton televisi, kadang menulis puisi setidaknya dia menganggap tulisannya itu adalah puisi, malas rasanya jika dia minta aku untuk memberikan komentar akan tulisannya itu, sementara aku sepanjang hari berkutat dengan pekerjaanku.



”Apa, kau bilang aku malas? aku tidak cukup berusaha keras untuk mencari pekerjaan? Kau sendiri tahu sudah berapa instansi yang kuajukan surat lamaran? Putri, tidak sadarkah kau berapa besar uang yang kupinjam darimu untuk membeli amplop, materai, bayar bea kirim pos, biaya ongkos keluar kota untuk interview dan tetek bengek keperluan lainnya.” Nyala mata kali ini berbeda, kali ini api amarah yang terpancar. ”Ya! Banyak sudah uangku yang telah kau habiskan, karenanya aku telah mengambil keputusan untuk tidak lagi sanggup untuk membantumu, biar saja uang yang telah kau pakai itu tak perlu kau kembalikan, anggap saja itu sebagai bentuk pertolonganku!” emosiku terpancing oleh nyala mata itu, tiba-tiba saja lelaki tangguh yang berdiri dihadapanku terduduk lemah. Aku telah melukai harga dirinya.



Kulihat punggung Pram begitu rapuh dari balik jendela ini, berjalan pelan tinggalkan kontrakanku, kutahu masih banyak yang ingin dia ucapkan tapi kata-kataku telah membisukan mulutnya. Tak kulihat lagi sosoknya setelah menghilang diujung jalan, kusesali apa yang telah kulakukan tadi dihadapan cermin rias. Kukutuki diriku sendiri tapi semangat untuk meraih masa depan lebih baik kembali menyadarkanku. Aku harus bisa mengubur segala sesuatu yang menghalangi masa depanku. Cinta tidak cukup hanya dengan cinta belaka, aku juga perlu jaminan hidup masa depan lebih baik dari seseorang yang mencintaiku.



Dering handphone kembalikan aku pada dunia nyata, setengah jam bicara sendiri dihadapan cermin serasa menyedotku masuk kedalam cermin. Suara lembut dari ujung sana menetramkan hatiku, segera kupasang aksi agar tidak terkesan sedang bersedih. ”Aku hanya lelah saja Mas” suaraku parau, hidungku masih saja mengeluarkan lendir bening, mataku masih sembab. ”Oh ya, tapi kok kedengarannya kamu seperti habis menangis Say? Ya sudah istirahat saja dulu, malam ini aku mau ajak kamu makan malam, sekarang aku lagi dibengkel, biasa servis bulanan mobilku. Nanti aku jemput jam tujuh ya, dandan yang cantik ya sayang, love you.” Meskipun sudah selesai pembicaran lewat handphone tadi tapi aku masih berharap dia menelpon kembali, handphone pemberiannya ini masih kupandangi sambil senyum-senyum sendiri, suara lembutnya mampu melumerkan hatiku yang baru saja membatu, aku harus mempersiapkan diriku untuk makan malam nanti.



Handphone kembali berdering, ”Ya sayang, apa masih ada yang kurang?” tak bisa kututupi letupan-letupan kecil didadaku menanti saat makan malam nanti. ”Sayang? Sejak kapan kamu pakai kata sayang? Apa ini berarti aku telah dimaafkan? Aku minta maaf telah menyusahkanmu selama ini, percayalah aku akan tetap terus berusaha, yakinlah masa depan kita akan jauh lebih baik dari hari ini.” aku terkejut karena suara yang keluar dari ujung sana tidak selembut suara sebelumnya, kulihat layar handphone ternyata nomor wartel! Aku gelagapan mencari tameng pelindung.



”Aku sudah capek mendengar kata maafmu yang telah ribuan kali kau ucapkan. Aku juga sudah capek menjalani hubungan kita yang belum juga menunjukkan kearah keadaan lebih baik. Sudah berapa tahun hubungan kita? Mau sampai kapan lagi keberanianmu untuk melamarku dapat muncul? Aku gak mau menjadi perawan tua yang menunggu hari depan yang cerah tapi entah kapan datangnya!” satu-satunya cara untuk melindungi diriku adalah menyerangnya, the best defence is to offence. Aku menunggu lama lawan bicaraku mengeluarkan kata-kata. ”Lihatlah dirimu, setiap kali kutanya kapan kau melamarku, kau hanya diam mas. Kenapa? Apa tiba-tiba lidahmu terpotong? Ayo, biasanya kau selalu ada argumen seperti biasanya kau lontarkan dalam berbagai forum diskusi bahkan profesor saja bisa kau kritik pedas.” Tekadku untuk meraih masa depan lebih baik sudah tidak bisa ditawar lagi dan aku harus berani menghadapi semua yang merintangi bahkan kekasihku sendiri.



”Begini saja Mas Pram, aku akan memaafkan semua kesalahanmu jika kau benar-benar siap dengan lamaranmu, Mas Pram tau sendirikan apa yang harus dipersiapkan? Karena itu yang selalu dijadikan alasanmu untuk mengulur waktu. Belum mapanlah, kalau mau hidup prihatinlah, aku tidak mau menghabiskan seumur hidupku akrab dengan keadaan prihatin. Mas juga paham tentang cita-citaku, aku ingin melanjutkan pendidikanku setinggi mungkin begitu juga anak-anakku kelak, sudahlah aku tidak ada waktu lagi untuk berdebat yang tidak ada untungnya.” aku masih belum mendengar suara dari lawan bicaraku, hanya terdengar gemertak gigi yang saling beradu, kumatikan handphoneku.

Deru mobil didepan kontrakanku membuat aku semakin tidak sabar menunjukkan pada pujaan hatiku bahwa aku telah habis-habisan mempersiapkan diriku untuk makan malam ini, kutebar senyum termanisku, bisa kuterka dari kilatan matanya bagaimana dia begitu mengagumiku. Mawar merah disodorkan kehadapanku dengan gayanya yang sedikit menunduk, hati perempuan mana yang tak luluh, terlebih sentuhan bibirnya yang lembut lagi hangat pada jari-jariku, aku serasa putri yang dikunjungi pangeran tampan dengan kuda putihnya, bedanya pengeran tampanku menggantikan kudanya dengan mercedes putih.



Momen makan malam sempurna telah dia sajikan special untukku, atap restoran berkelas telah disulap sedemikian romantisnya, ada lilin merah pada meja kecil dan dua kursi, hamparan langit malam bertabur bintang. Aah lelaki satu itu sangat mengetahui titik terlemahku. Hari berikutnya dia kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam memikat hatiku dengan makan malam yang lebih mengesankan lagi. Disambung dengan makan siang yang mengejutkan ketika disela-sela istirahat kerjaku, dia mengirim utusan membawa sekotak pizza panas dengan mawar merah terselip pada pita merahmuda sebagai pengganti tali pengikat, pernah juga tiba-tiba dia muncul dari balik pintu ruang kerjaku hanya demi mengantarkan rantang berisi masakan bundanya, menunjukkan jam tangannya, mencium keningku kemudian pergi begitu saja tanpa sepatah katapun, aku hanya tersenyum. Hari-hariku dipenuhi dengan kejutan dan momen indah dengannya.



Hingga pada suatu makan malam ”Say, ada yang mau aku katakan dimalam special ini khusus untuk orang seistimewa seperti dirimu.” matanya teduh lembut menatap setiap gerakku yang sebisa mungkin kututupi wajahku yang sudah pasti merona memerah, tiba-tiba saja seekor kucing cantik manja menyentuh kakiku, kejutan apalagi yang telah dia siapkan malam ini? ”Coba kau angkat kucing itu say,” yang dia maksud sudah pasti kucing yang mengeliat-geliatkan badannya dengan manja di kakiku. Kucing gemuk berbulu halus dan bersih itu kuangkat hingga berhadapan dengan wajahku, aku tidak bisa menutupi betapa terkejutnya aku ketika kulihat dileher kucing itu terikat pita merahmuda dengan sebuah cincin bermata berlian tergantung disitu.



”Ya, sayang berlian itu untuk kamu.” Aku belum menanyakan hal itu, pasti dia sudah membaca dari ekspresi wajahku. Dia melepas ikatan pita dari leher kucing itu dan cincin berpindah melingkar di jari manisku. Malam terindah yang pernah kurasakan, perasaanku tak dapat terbendung lagi, kusambut bibir hangatnya yang melumatkanku dalam pelukan nyamannya. Jiwa gersangku kembali bergelora, tersiram air teduh perhatian penuh sekaligus terbakar oleh hasrat membara, malam itu aku begitu sempurna hingga terasa sampai pagi, begitu kubuka mataku baru kusadari aku masih dalam pelukan tubuhnya yang polos, tak kusesali malam yang telah kulewati, segala nilai hilang begitu saja.



Kuciumi kedua kelopak matanya untuk membangunkan pangeranku, pagi ini ada rapat penting harus kujalani, begitu juga pangeranku karena dia yang nantinya akan memimpin rapat diruangan rapat yang sama denganku. Untungnya segala sesuatunya telah dipersiapkan asistenku, jadi kami tinggal mandi bahkan diwaktu yang bersamaan dan kamar mandi yang sama pula. Sisa gelora tadi malam belum juga terpuaskan, dering handphone menggangu kami yang bergairah dalam basah rendaman air, dering milik pangeranku, aku bersijingkat dengan balutan handuk hotel berbintang lima. “Pak Wandi telpon nih sayang.” tangannya merengkuh tubuhku memaksa untuk kembali bergabung dalam bath tub yang sama. “Pak Wandi, meeting diundur sampai tiga jam lagi” handphone dimatikan tapi dia kembali menyalakan gelora yang sempat tertunda.



Kami hanya tertawa saling berpandangan didalam mobil, kami pasti telat hadir dalam ruangan rapat nantinya tapi dia memastikan tidak akan ada yang marah, karena jika ada yang berani memarahi kami maka kariernya akan berakhir ditangannya, dialah yang berkuasa dalam perusahaan itu. Tepat dipersimpangan jalan, lampu rambu lalu lintas menyala merah. Kulihat dua orang pengamen mendekati mobil kami, sebisa mungkin aku menutupi wajahku. ”Kenapa sayang? Kok kamu seperti meihat hantu saja, mereka cuma pengamen,” Pangeranku melihat gelagat anehku. Kaca mobil yang memisahkan aku dengan pengamen itu diketuk beberapa kali. ”Ini kamu kasih saja mereka uang ini.”



Aku tahu pengamen itu mengetuk kaca bukan untuk meminta uang, terpaksa aku membuka kaca sedikit dan mengulurkan selembar uang. ”Putri kasih aku kesempatan satu kali lagi untuk buktikan, Put. Tolong percaya aku!” suara Pram mengejutkan Pangeranku, ”Hey pergi kau!” kacamata hitamnya dilepas untuk menunjukkan kemarahannya pada pengamen yang telah lancang mengganggu, ”Siapa dia sayang? Kamu kenal dia?” kali ini tatapannya beralih padaku. ”Ahh tidak! Tidak! mungkin dia cuma orang gila, udah say tinggalin aja cepat!” aku tidak mau kehadiran Pram merusak hari-hari sempurnaku, sudah tiga minggu sejak peristiwa terakhir itu aku dan Pram tidak pernah bertemu dan berkomunikasi, aku bahkan sengaja mengganti nomor telponku untuk menghindar darinya. Benar dugaanku, Pram tidak lebih dari sekedar gembel, buktinya dia tidak pernah bisa jauh dari kawan-kawan gembelnya itu.



”Aku akan buktikan bahwa aku mampu Put, aku pasti akan datang sesuai dengan permintaanmu,” Pram masih meraung-raung dekat kaca mobil yang mulai berjalan. ”Aku pasti akan buktikan dihadapanmu Putri!!! Jika aku tidak mampu lebih baik aku mati atau ganti kelamin!! Aku bersumpah!!!” kata-kata terakhirnya sempat kudengar tapi aku harus mampu menguasai perasaanku dan berperan seolah tidak ada hubungannya dengan pengamen itu dimata Pangeranku.


****


Sentuhan lengan dibahuku menyadarkanku. ”Bunda, kok ndak minta Marni untuk angkat Diandra dipindahkan kekamar toh?” rupanya anakku telah pulang. ”Kamu kan tau sendiri, mana pernah Diandra mau dipindahkan kekamarnya kalau bukan dengan bundanya sendiri.” kedua pahaku masih terasa kesemutan, badan rapuh ini sudah tidak kuat menahan berat badan cucuku yang kian hari tumbuh semakin besar. ”Bunda Kandi belum pulang dari Bogor, Bun?” pertanyaan itu ditujukan padaku seteah si penanya keluar dari kamar sehabis memindahkan putri kesayangannya. ”Belum sayang, katanya Bunda Kandi baru pulang besok siang karena habis dari Bogor dia ke Jakarta dulu, melihat keadaan panti asuhan yang disana. Memangnya kamu gak ditelpon tadi?” Putriku semata wayang ini memijati kaki dan pahaku, dia tahu aku sering mengeluh ngilu setiap habis menemani Diandra dalam pangkuanku. Langit Jogja sudah berwarna memerah jingga, sebntar lagi malam.



”Tadi handphoneku baterenya ngedrop, mungkin Bunda Kandi tidak bisa menghubungi aku, tapi Bunda Kandi hebat ya Bun, diusianya yang semakin senja saja dia masih begitu semangat demi anak-anak asuhannya” Bola mata anakku memercikan api semangat seolah diapun kelak mampu berbuat hal yang sama seperti yang telah dilakukan Srikandi. Mata itu mengingatkanku pada seseorang yang telah kusia-siakan kepercayaannya, dulu pada masa mudaku. Kini justru dia menjadi teman yang paling berjasa bagi hidupku, anakku, cucuku. Tindakan bodohku telah merubah kehidupanmu, jati dirimu, kau tetap tulus meski aku tidak menjadi milikmu.



”Srikandi terimakasih atas apa yang telah kau berikan terhadap kami. Pram, maafkan aku telah meragukan keyakinanmu, kau benar, kau mampu membuktikan permintaanku dan sumpahmu, semoga perjalananmu dari Jakarta selamat dan nyaman.”



Kaloran Pena, 15 Oktober 2008

Senin, Januari 19, 2009

Menanti Abaabiil

Bocah kecil bertudung menatap langit
berdiri sendiri pad puncak bukit
tetap berdiri meski dentuman meriam dekat sekali
masih menunggu meski rentetan peluru berdesing jutaan kali

mata beningnya masih menatap langit
meski kakinya mulai bergetar menunggu lama
ledakan berikutnya renggur bunda
desing sebelumnya ayah jadi sekarat

bocah kecil bertudung bernama Gaza
masih menatap langit pada puncak bukit
lelah memaksanya agar menyerah saja
keraguan mulai racuni imannyayang bulat

kini menyerah namun masih bertopang pada lutut
air mata menyapu debu pada pipi mudanya
"Tuhan... mengapa tak kau kirim burung abaabiil yang membawa batu api dari neraka Sijiil?
mengapa tak kau binasakan saja pasukan gajah ini?
Yaa...Allah... Faja`alahum ka`asfimmakul*"



-koelit ketjil-
diposting juga pada www.suaradamaiuntukgaza.blogspot.com

inspired by Q.S Al Fiil

* maka Dia menjadikan mereka seperti daun- daun
yang dimakan (ulat).

Rabu, Januari 07, 2009

Duka Gaza


TUHAN KAWAN TUAN


Tuhan…di puing ini kami berkeping-keping

Tuhan…di tanah harapan ini kami berdarah

Tuhan… di negeri sengketa ini kami menderita

Tuhan…di dunia ini kami berdoa


Tuhan bolehkah aku meminta agar aku tuli?

Aku tak kuat mendengar dentum dan jerit

Tuhan kabulkan doaku, butakan mataku

Aku tak ingin melihat Abah dan Ummi sekarat


Kawan, kuyakin kalian tak buta

Tapi aku ingin buta saat ini

Kawan, aku kalian tidak tuli

Tolong doakan aku agar Tuhan tulikan aku

Tuan, aku paham kau kuat

Bahkan lengan kecil ini tak mampu lontarkan batu rapuh

Tuan, tak kuragukan kekuasaanmu


Tapi tuan pernah berpuasa dari nafsumu?


Benarkah Tuhan Kawan Tuan??


-Banten 9 Januari 2009, Hanya bisa menangis untuk Gaza-





Harapan Bocah Gaza


Seorang bocah bertudung merah berdarah

Berlari tak peduli dentuman

Tak peduli tudung terkoyak

Tak beralas kaki penuh luka..penuh darah


Ledakan mortir tak surutkan lajunya

Sedikit berkelit hindari desing peluru

Tak perlu berlindung ketika rudal melesat

Matanya tajam nanar menatap kedepan, berlari menuju harapan


Seorang bocah bertudung merah berkaki kecil

Terus berlari tajamkan mata, tutup telinga

menerobos asap hitam buncahkan darah saudaranya

Harapan hidupnya berada di garis perbatasan


Berlari tak peduli dentuman

Matanya tajam.. berkari menuju harapan

Kali ini tubuhnya melemah tersangkut kawat berduri

Diseberang gerbang harapan hanya membisu, menatap tubuh bocah bertudung merah berdarah…darah…


-Banten 7 Januari 2009, saat berita bantuan kemanusiaan terhambat di perbatasan Mesir-