Kamis, November 10, 2011

DHANDHAKA

“Umi, ini cucumu datang menjenguk Umi. Maafkan Radit baru sempat menjenguk, sekarang Radit sudah bekerja di Kota Semarang. Mohon doanya Umi, mudah-mudahan proses magang Radit lancar, supaya Radit cepat diangkat jadi pegawai tetap.” Dapat kurasakan pancaran sinar kebahagiaan nenekku yang biasa kupanggil dengan sebutan Umi, hanya itu pertanda yang mampu kupahami setelah kubisikan tepat di daun telinga kanannya. 

Umi pasti tengah mengucapkan doa untukku dalam bahasa diam itu, sudah beberapa tahun aktifitas yang dia bisa lakukan hanya berbaring. Aku hanya tersenyum, menganggukan kepalaku, meyakinkan Umi bahwa aku mendengarkan doanya, air mataku tak kuasa kubendung. Kubelai bagian kepalanya yang putih, Umi hanya terbujur lemah di peristirahatannya yang setia menemani tubuh ringkih perempuan tua ini. Janjiku dalam hati, jika gaji pertamaku sudah kudapat pasti akan kusisihkan untuk mengganti ranjang tua ini, rasanya tak tega melihat Umi berbaring disini, jauh dari kesan nyaman, tak bersih dan tak terurus.

Kusodorkan air kendi dingin untuk Umi, musim kemarau seperti ini pasti membuatnya kehausan atau bisa jadi dehidrasi, kekeringan. Kuganti bunga yang mengering itu dengan bunga-bunga segar kesukaan Umi; mawar, melati dan tanjung. Aku selalu teringat masa kecilku setiap kali mencium aroma bunga tanjung, dahulu sering kali Umi mengajarkanku membuat kalung atau gelang dari rangkaian bunga kecil berwarna putih ini. Mungkin tidak banyak yang tahu bunga berbentuk hampir mirip seperti bunga melati ini didapatkan dari pohon tanjung yang sangat besar, tak sebanding dengan ukuran bunga yang sangat kecil.

Dulu dekat rumahku terdapat pohon tanjung yang sangat besar, setiap malam hingga subuh hari bunganya berguguran, menciptakan suatu kawasan beraroma harum yang khas. Siapa pun yang melintas pasti dapat mencium wewangian bunga dari pohon yang tumbuh di pinggiran jalan Jayadiningrat, konon nama jalan ini diambil dari nama orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, putera Banten.

Umi sudah pasti senang ditemani oleh bunga-bunga ini. Masih kupandangi sosoknya, aura wajah teduhnya masih menyisakan kecantikan masa mudanya yang masih lekat dalam ingatanku. Orang tua dan Paman-pamanku sering mengatakan bahwa semua keunggulan genetika, terutama kecantikanku, didapatkan langsung dari Umi. Mereka bilang kalau ingin tahu sosok nenekku saat muda, tinggal lihat aku saja. Sintal, tinggi semampai, kulit bersih, rambut panjang hitam berkilau dan yang tak bisa dipungkiri lagi, aku memiliki senyum khas Umi; lesung pipi.

Selesai mengurusi nenek, aku duduk di pekarangan depan, menikmati suasana sore yang tenang, semilir angin, gemerisik daun bambu dan guguran dedaunan pohon beringin yang menguning menutupi hampir seluruh pekarangan ini. Badanku terlampau lelah, membuatku malas untuk membersihkan dedaunan yang rontok itu, belum juga hilang sisa pegal pada punggung setelah perjalanan tiga belas jam dari Kota Semarang menuju Kota Serang. Hanya terpaut dua huruf saja memang, tapi dua huruf itu; ‘-ma-‘ tersimpan perbedaan yang sangat menonjol, kuharapkan perbedaan nasib yang akan mendominasi masa depanku, menuju kehidupan yang lebih baik tentunya.

Seorang bocah perempuan berlarian dari arah barat mendekat ke arah depan tempat peristirahatan Umi, dia seperti mencari-cari sesuatu. Berjalan dari satu titik, kemudian berlari ke arah pohon kamboja tak jauh dari tempat dudukku.

“Dhakaaaa…. Dhakaaa! Dhakaaaaa!!! Iihhh, kamu sembunyi dimana sih?!” bocah itu berteriak ke berbagai penjuru.

Kuamati raut kesal bocah itu. Ahhh, bukankah bocah itu bernama Dhana? Yaa ampun, sudah besar rupanya! Mungkin sekarang usianya sekitar sepuluh tahun. Aku mengingat-ingat kalau tak salah terakhir kali aku melihat bocah itu beberapa bulan sebelum aku melanjutkan kuliah di Jogja. Yaa, waktu itu acara selamatan untuk Dhana yang telah lancar berjalan, sementara segerombolan anak-anak kecil berkumpul di depan rumahnya berebut uang receh yang dilemparkan Wak Masitoh. Sebuah adat kebiasaan yang disebut ‘saweran’ sebagai wujud rasa syukur yang masih sering dilakukan warga Serang, begitu juga di kampungku, kampung kecil yang mengambil nama ibunda dari nenekku, Kaloran Hajjah Jenab.



“Hai Dhana, kamu lagi cari siapa?” kupanggil bocah yang masih juga belum menemukan yang dia cari.
“Tadi Teteh liat Dhaka main disini, gak?” nada suaranya meninggi, tak mampu menutupi rasa jengkelnya.
Belum sempat kutanya lagi, tiba-tiba dari balik pohon beringin terdengar tawa kecil, lalu sesosok bocah dengan tinggi, perawakan, model rambut bahkan baju yang sama persis, keluar dari tempat persembunyiannya.

Yaa, ampun! Bagaimana mungkin aku bisa jadi begini pelupa? Yaaa… yaa.. yaa.. Aku baru ingat, Dhana dan Dhaka adalah bocah kembar! Dhana berlarian ke arah kakak kembarnya yang konon hanya berselang lima belas menit saja selisih kehadiran mereka di dunia ini, setelah sembilan bulan bersama berbagi dalam dunia sempit, rahim ibu mereka.

Tak kulihat lagi rasa jengkel dari raut wajah Dhana, mereka sudah berlarian kecil, kejar-mengejar, saling membalas lempar dedaunan kering. Ahh, dunia anak-anak yang lugu dan damai, tidak perlu berlama-lama marah atau bermusuhan seperti orang dewasa, sebentar saja sudah kembali ke dunia mereka yang ceria. Aku merasa iri menyaksikan keakraban kedua bocah kembar ini.

Banyak sekali aktifitas menyenangkan yang mereka lakukan, baru saja mereka mencari bambu untuk mengambil buah duku di pojok sebelah utara, sempat kudengar suara mereka meminta ijin untuk mengambil buah duku itu. “Wak Babay kumis, minta duku yaaaa?!” suara Dhana sedikit berteriak meminta ijin, lalu terdengar suara permohonan mereka dikabulkan, “Iyaa, ambil ajaaa!!” rupanya Dhaka yang mengucapkan kalimat itu. Ahh, dunia anak-anak yang jujur sekali. Kagum aku melihat keluguan mereka.

Energi mereka seolah tak ada habisnya, selepas membagi rata buah duku ‘pemberian’ itu dan menghabiskannya, kini mereka sudah bermain ‘rumah-rumahan’. Kurasa setiap anak-anak di kampung kami berpotensi menjadi pemain drama, teater atau mungkin sutradara film yang handal karena terbiasa menyusun skenario dadakan, lengkap dengan lakon, tokoh, setting panggung dan properties a la kadarnya, cikal bakal pertunjukan teater versi anak-anak

Kuperhatikan mereka memainkan peran sebagai suami-istri, Dhana berperan sebagai ‘bapak’, sementara Dhaka menjadi ‘ibu’. Aku geli sendiri menyaksikan acting mereka yang hampir sempurna, terkadang mereka harus mengulang adegan tanpa ada aba-aba ‘cut!’ atau ‘action!’ Aku pun sering memainkan hal yang sama sewaktu kecil.

“Teh Radit, sini dong! Ayoo, main bareng kami!” tangan Dhana melambai-lambai, memanggil ke arahku.
“Waahh, kalian lagi main apa, nih? Kayaknya seru banget!” semula aku ragu untuk mendekat tapi jika aku menolak permintaan mereka maka akan ada dua bocah yang kecewa, lagi pula, kapan lagi aku bisa kembali ke masa kecilku.

Kunikmati betul nostalgia masa kecil dengan kedua bocah kembar ini, adegan demi adegan tergelar dengan begitu mengalirnya. Bocah kembar ini memberikan arahan lakon yang harus kuperankan; bangun tidur, pergi ke sekolah, pulang sekolah, makan siang lengkap dengan piring yang mereka buat dari lembar daun kamboja dan kebiasaan keseharian yang layaknya kita lakukan di dunia nyata, sampai pada satu adegan dimana aku akan dinikahkan oleh kedua ‘orang tuaku’ ini.

‘Ibu’ menyelipkan bunga kamboja di telingaku, “Nah, anak ibu sekarang sudah cantik deh! Sebentar lagi calon suami kamu datang.” Tangan ‘Ibu’ mengusapi wajahku, seolah-olah tengah memperbaiki make up.
Kulihat seseorang datang mendekati kami, jangan-jangan orang ini yang memberikan kabar bahwa iring-iringan perwakilan keluarga mempelai pria telah tiba. Lelaki separuh baya itu berdiri tegak di hadapan kami.
“Dhana, pulang yuk! Sekarang udah sore. Dhana `kan belum mandi…” suara orang itu menyadarkanku yang semula masih larut dalam dunia peran kecil yang disusun bocah kembar ini, perlahan kembali kepada dunia nyata, fade in.

“Eh, Oom Rahmat. Selamat sore, Oom.” Aku bersalaman dan mencium punggung tangan Oom Rahmat yang masih kerabat jauhku ini.
“Terimakasih, Teh Radit mau menemani Dhana. Anak satu ini memang bandel, Teh! Tiap hari mainnya disini terus. Setiap Dhana mau berangkat sekolah harus lewat sini, pulang sekolah juga mampir dulu kesini, lalu sebentar pulang ke rumah, sehabis makan, ehhh main ke sini lagi. Kalau bukan Dhana, mana ada anak kecil yang berani main di sini sendirian?” aku merasakan sepertinya ada yang janggal dari ucapan Oom Rahmat.
“Loh, Oom, kok dari tadi yang disebut cuma Dhana aja, sih? `kan juga ada Dha…” aku sampai harus memutar-mutar badanku mencari satu bocah itu.
“Kenapa, Teh Radit?” Oom Rahmat masih belum memahami ucapanku.
“Anak Oom Rahmat `kan bukan cuma Dhana tapi juga ada Dhaka. Gak boleh pilih kasih dong!” Aku menjawab pertanyaan itu tapi mataku masih mencari-cari Dhaka.

Raut muka Oom Rahmat mendadak memperlihatkan ekspresi terkejut bercampur kesedihan. Dia mengajakku berbincang sebentar di gubuk kayu tak jauh dari pohon beringin.
“Teh Radit memangnya betul-betul belum tau, ya?” bibir Oom Rahmat bergetar kecil, dahi berkerenyit dengan tatapan mata berkaca-kaca.
“Apa sih maksud, Oom Rahmat?!” rasa penasaranku semakin bertambah.
Kuperhatikan lelaki paruh baya ini, menarik nafas cukup panjang, kepalanya menunduk, pandangan matanya tertuju pada sandal jepitnya yang menendangi kerikil-kerikil kecil. Betapa sulitnya persiapan yang dia perlukan hanya untuk bercerita.
Berceritalah lelaki paruh baya ini.

“Haaahhhh!!! Apaaaa???!!!” sontak aku berteriak penuh keheranan.
Aku masih shock setelah mendengarkan cerita tadi itu. Aku memerlukan waktu untuk menenangkan diriku, menolak diajak pulang bareng dengan Oom Rahmat, berjalan semakin menjauh, hanya terlihat punggung rapuhnya sambil menggandeng tangan Dhana.

Hingga saat ini, Oom Rahmat masih bingung harus melakukan apa lagi setelah berbagai upaya telah dilakukan namun tak pernah berhasil mengatasi permasalahan yang masih dialami putrinya. Dhana beranggapan kakak kembarnya masih selalu menemaninya bermain setiap harinya, meskipun Dhaka sudah sejak lima tahun yang lalu meninggal dunia akibat sakit keras. Dhana masih saja setiap hari bermain d isini, di pemakaman umum ini, tempat Dhaka bersemayam yang juga tak berjauhan dari nisan putih kusam nenekku yang baru saja ku siram air kendi dan taburan bunga-bunga mawar, melati dan tanjung, selepas ku ziarahi.

- Koelit Ketjil-
15 September 2011 (Se-ma-rang) – (Serang) 16 September 2011
Dalam 12 jam perjalanan menghapus dua huruf; -ma-

NGLANGI SAMUDERA

Nglangi[1]Samudera

HUKUM PROGRESIF

(Sebuah Sintesa Hukum Indonesia)

Oleh; Koelit Ketjil [2]

Saat ini saya ingin mewujudkan hasrat (hobby) saya sewaktu kecil, yaitu berenang (nglangi) di sepanjang Kali Banten, dimana terdapat Kerajaan/Kesultanan Banten, tempat leluhur dan diri saya dilahirkan, namun kali ini saya menginginkan suasana yang berbeda dengan jaman kecil saya dulu, kali ini saya hendak nglangi buku! Yaa, berenang di buku! Saya akan coba nglangi di buku yang merupakan hasil pemikiran salah satu putra terbaik Bangsa Indonesia yang mencoba mencari solusi nyata untuk memperbaiki kacaunya dunia hukum kita.

Buku ini berjudul Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, penulisnya sudah pasti kita kenal sekalipun saya pribadi (mungkin sebagian kawan-kawan juga) belum pernah bertemu muka secara langsung dengan yang amat terpelajar, Bapak Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, atau dikenal dengan sebutan akrab “Prof. Tjip”. Buku bermuatan tawaran pemikiran hasil kontemplasi Prof. Tjip ini memang hanya berukuran kecil, jika kita bandingkan tawaran pemikiran-pemikiran Begawan-begawan hukum terkemuka yang pernah kita baca, tapi keluasan dan kedalamannya belum mampu saya perkirakan.

Pada bagian muka (cover) buku ini kita dapat melihat illustrasi segenggam tangan dengan gergaji yang berusaha memotong balok kayu, saya semakin tertarik untuk membaca buku ini karena sejauh pendengaran saya, tawaran keilmuan Prof. Tjip adalah sebuah upaya untuk menerobos kekakuan hukum yang berlaku di republik ini, “genggaman tangan yang kuat dan gergaji” itu, langsung saya asumsikan sebagai “hukum progresif” dan “balok kayu” sebagai perlambang “hukum yang kaku”.

Buku yang dicetak oleh penerbit Gentha Publishing, Yogyakarta, Cetakan 1, Juli 2009 ini, hanya berisi 147 halaman dengan 7 halaman kata pengantar editor yang juga merupakan murid dari Prof. Tjip, yaitu Ufran, SH., MH yang telah berhasil membukukan kembali pemikiran-pemikiran Prof.Tjip, yang tersebar diberbagai media penulisan ke dalam bentuk buku, setidaknya ada 5 buku yang telah dia sajikan kepada kita. Kiranya jika saya bertanya, “Siapakah murid yang paling mengetahui arah dan pola pikir serta tawaran-tawaran keilmuan dari Prof. Tjip lewat berbagai tulisannya?” maka Saudara Ufran adalah salah satu dari ratusan bahkan ribu murid-murid terbaik beliau. Oleh sebab itu, saya selaku ‘perenang sekilas’ dari buku ini, menyadari dengan sedikitnya pemahaman dan ‘keasingan’ saya terhadap pemikiran Prof. Tjip maka tulisan ini akan sangat jauh dari upaya mendekatkan diri saya untuk memahami samudera keilmuan yang bisa membuat saya tenggelam dalam buku kecil ini, tapi paling tidak, saya akan berusaha untuk nglangi samudera ini dengan menggunakan pelampung ban mobil atau terkadang gedebok (batang pohon) pisang, pun jadi! ;p

Sebelum saya nglangi keluasan samudera pemikiran Prof. Tjip ini, terlebih dahulu dari zona aman saya harus melihat dan mengamati ketinggian setiap permukaan gelombangnya dan tingkat kedalaman dari jarak setiap meternya samudera pemikiran ini. Layaknya kita melihat tepian pantai tempat bertemunya gelombang dan hamparan pasir putih, terkadang kita akan melihat berbagai benda terbawa menuju daratan atau bahkan ada berbagai benda terseret arus gelombang maka di tepian samudera kita akan melihat pertemuan berbagai pemikiran-pemikiran besar dari para Begawan hukum dan sosiologi, dua basis keilmuan ini seolah menjadi representasi dari pantai (perairan dan daratan) yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Apakah bisa dikatakan pantai jika hanya ada perairan? sebaliknya, apakah hanya hamparan pasir putih dapat disebut pantai? Pada bagian pertama, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), kita dapat melihat hubungan berbagai teori yang coba dipadu-padankan oleh Prof. Tjip, menarik teori-teori dengan berbagai pendekatan sosiologis sebagai bagian kubu kesepahaman pemikiran dan menghantam kubu lawan paradigma-paradigma kaku sekokoh karang dengan deburan air keilmuan.

Beranjak ke bagian kedua, kita akan disajikan tawaran Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, kita diperlihatkan bagaimana kondisi Negara kita yang semakin terpuruk akibat penyalahgunaan hukum namun sebagai bangsa yang terhormat kita harus mampu berdiri dengan gagasan ide baru yang memiliki kemanfaatan hukum itu sendiri, yaitu “membebaskan”. Seolah kita akan melihat bagaimana proses gelombang itu tercipta dan kemudian bergerak bebas menderu, bergulung-gulung penuh semangat menuju daratan kesadaran pemahaman kita bahwa Hukum Progresif, sebagaimana samudera, memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan manusia.

Di bagian ketiga, Prof. Tjip memaparkan; Hukum Progresif: Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun, pencapaian kesadaran lewat gerakan hukum yang progresif yang bermoral, bak gelombang menghantam roboh karang terjal kekacauan penegakan hukum itu harus mampu dimanfaatkan dengan membentuk peluang demi perbaikan hukum. Selanjutnya di bagian, Arsenal Hukum Progresif, kita akan diperlihatkan betapa kekayaan alam bawah samudera sedemikian melimpahnya, demikian pula Hukum Progresif memiliki pasokan amunisi dari gudang (arsenal) keilmuan yang akan meruntuhkan paradigma status quo menuju hukum yang membebaskan. Bagian selanjutnya pemaparan mengenai; Penafsiran Hukum yang Progresif dan Hukum Progresif: Terapi Paradigma Untuk Menghadapi Korupsi dalam Proses Peradilan, untuk bagian ini, silahkan kawan-kawan kaitkan (gathuk-gathukke) sendiri dengan kondisi samudera.

Maaf jika tulisan ini terkesan tidak serius, saya hanya ingin ‘bermain-main’ dalam memahami pemikiran besar dari Prof. Tjip sebagaimana beliau sendiri menganjurkan kepada saya untuk bermain-main dalam artinya menikmati pembacaan setiap kalimat yang beliau tulisan, mudah-mudahan hal ini bisa menghantarkan saya kepada dermaga pemahaman. Pertemuan pertama saya dengan Prof. Tjip ketika saya ‘membaca beliau’ dalam buku “MENGGAGAS HUKUM PROGRESIF”. Prof. Tjip menulis; “Ilmu Sebagai Permainan Bahasa (Language Game) bahwa mendefinisikan hukum berarti memberikan rumusan kata-kata atau kebahasaan untuk suatu fenomena yang disebut hukum itu[3]. Seolah kata-kata tidak mampu memberikan pemahaman mengenai hukum yang luas, namun beliau juga memberikan rambu-rambu “Luas atau tidak, komunitas ilmu hukum menunggu perumusan itu, karena memang dari situ ilmu hukum baru akan bekerja”

MATA AIR Samudera Itu Berupa AIR MATA; Latar Belakang Lahirnya Pemikiran Hukum Progresif

Asal-muasal Rawa Pening yang berada di Ambarawa dapat kita lacak dari legenda Baru Klinting yang konon katanya bermula dari kisah seekor ular raksasa yang menjelma seorang bocah dekil yang kelaparan namun tidak ada satupun orang yang memberinya makan padahal semua orang di kampung itu baru saja ‘pesta barbeque’ daging ular raksasa itu sendiri. Hanya seorang nenek renta yang iba lalu memberinya setusuk sate, kemudian bekas tusuk sate itu ditancapkan oleh bocah tersebut dengan menantang seluruh orang di kampung untuk mencabut tusuk sate itu. Singkat cerita tidak ada satupun yang mampu mencabut sampai akhirnya bocah itu mencabut tusuk sate tersebut yang kemudian meluapkan mata air yang sangat deras hingga menenggelamkan kampung tersebut dan hanya nenek renta itu yang selamat berkat kemurnian budi dan moralnya. Hingga saat ini kita bisa melihat Rawa Pening sebagai bukti keserakahan manusia yang tidak lagi peduli dengan mereka yang tidak mampu, sekalipun berupa legenda namun inilah local genuine/ local wisdom, budaya pitutur yang seharusnya kita gali.

Saya tidak pernah mengetahui bagaimana asal muasal mata air hingga terciptanya samudera Hindia atau samudera lainnya, akan tetapi asal-muasal samudera ilmu Hukum Progresif dapat saya temukan justru bukan tercipta dari MATA AIR melainkan dari AIR MATA Prof. Tjip yang mengalir deras akibat melihat kondisi hukum yang demikian memprihatinkan, hukum telah jauh dari nurani bangsa ini yang konon katanya memiliki keagungan nilai-nilai budi dan moral. Berulang-ulang kalimat “HUKUM UNTUK MANUSIA” selalu hadir dalam setiap bab buku ini,juga selalu beliau tegaskan dalam buku-buku lainnya dan tulisan diberbagai media massa bahkan konon di setiap perkuliahan, akan tetapi mungkin kalimat yang terkesan sederhana itu tidak dapat dipahami sedangkal yang diperkirakan dan sulit untuk mengukur keluasan dari maksud yang terkandung di dalamnya. Menurut Prof. Tjip ketika kita berbicara mengenai ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi, begitu luas karena ia bersentuhan dengan dengan sejumlah besar aspek kehidupan manusia.[4]

Hukum Progresif yang ditawarkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo merupakan sebuah sintesa Hukum Indonesia, keprihatinan setelah melihat kondisi keterpurukan hukum, seperti;

  1. Pengalaman konkret masyarakat menjadi lemah berhadapan dengan hukum, sementara orang kuat cenderung lolos dari hukum
  2. Komersialisasi dan commodification hukum makin tahun makin marak
  3. Langka dan mahalnya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum
  4. Kerendahan budi dimana-mana
  5. Rakyat dan bangsa makin tidak bahagia
  6. Gagasan hukum dan ilmu progresif pertama-tama didasari oleh keprihatinan terhadap kontribusi rendah ilmu hukum di Indonesia dalam turut mencerahkan bangsa Indonesia ini untuk keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum.[5]
  7. Pencarian dan pembebasan,[6]
  8. Pendekatan tradisional yang selama ini dipraktikkan hendaklah ditinggalkan. Saat ini kita membutuhkan suatu penegakan hukum yang progresif, bukan penegakan undang-undang yang secara linear diartikan sebagai penegakan hukum.[7]
  9. Pertanyaan kontemplatif;

- “apa yang salah dengan hukum kita?” dan

- “apa serta bagaimana jalan untuk mengatasinya?”

  1. Pernyataan kontemplatif;

- “Hukum adalah suatu instansi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia”

- “Hukum adalah untuk manusia” ketika ada permasalahan hukum, maka hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum

Bertolak dari berbagai keprihatinan tersebut maka digagaslah pemikiran-pemikiran tipe hukum yang progresif atau hukum progresif, yang ingin dicari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna (significant).

· Bermakna: pengubahan secara lebih cepat, melakukan pembalikan yang mendasar, melakukan pembebasan, terobosan

· Penjelajahan gagasan hukum progresif dimulai dari pikiran, filsafat serta pandangan (outlook) yang mendasarinya.

Layaknya Pantai tempat bertemunya daratan dan perairan; Hukum Progresif, Pertemuan dan Pertentangan Pemikiran Hukum

Kali ini saya berada di tepian pantai tempat bertemunya gelombang air dan daratan dimana pasir putih terhampar, terkadang kita akan melihat berbagai benda terbawa menuju daratan atau bahkan ada berbagai benda terseret arus gelombang maka di tepian samudera kita akan melihat pertemuan berbagai pemikiran-pemikiran besar dari para Begawan hukum dan sosiologi, dua basis keilmuan ini seolah menjadi representasi dari pantai (perairan dan daratan) yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kiranya tepat adagium ‘ibi societas, ibi ius’ ini.

Pada akhir tahun 1990an, muncul gerakan “a new form of sociological jurisprudence’ yang proklamasikan sebuah teori “realistic socio-legal theory”. Menurut Brian Tamanaha, hal ini mengindikasikan dan mengembangkan dasar-dasar keilmiahan sosial bagi keilmuan hukum. Bagaimana caranya Tamanaha melakukan pendekatan tersebut? “He draws on philosophical pragmatism to establish an epistemological foundation which specifies the nature of social science and knowledges claims, and a methodological foundation which uses both behaviourism and interpretivisme”[8] lebih lanjut, Tamanaha percaya bahwa ‘legal theory’ dan ‘socio-legal studies’ harus dipelajari lebih dalam satu sama lainnya.

Demikian juga halnya Prof. Tjip menegaskan berulang-ulang dalam buku ini, bahwa gagasan Hukum Progresif tidak bediri sendiri dan sejalan/berbagi paham dengan pemikiran-pemikiran;

  1. Hukum Responsive (Nonet-Selznick), hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, (The Souvereignity of Purposes) sekaligus mengkritik; “due process of law”, Analytical jurisprudence yang berkutat dalam system hukum positif, otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu dan digugat,
  2. Legal realism; pemahaman orang mengenai hukum melampaui peraturan atau teks dokumen, menentang (from abstraction, verbal solutions, bad apriori reasons, fixed, principles, closed systems, and pretended absolutes and origins), mengarah kepada “completeness, adequacy, facts, actions and powers” dan freirechtslehre, bahwa hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan social yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum
  3. sociological jurisprudence (Roscoe Pound), bahwa studi mengenai hukum bukan hanya mengenai peraturan, melainkan keluar dari dari itu dan melihat efek hukum serta bekerjanya hukum. “…to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of social facts upon which law must proceed and to which it is to be applied…
  4. interresenjuriprudenz bahwa hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya melakukan konstruksi logis dalam membuat keputusan yang akan menjauhkan hukum dari kebutuhan hidup yang nyata.
  5. Teori hukum alam dengan “meta-juridicial” (Hans Kelsen) mengutamakan “the search for justice”. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut “logika dan peraturan”
  6. critical legal studies melakukan kritik terhadap hukum liberal yang didasarkan pikiran politik liberal, tujuan teoritis utama dari gerakan ini adalah “to provide a critique of liberal legal and political philosophy, and that at the focal point of critique, lies the concept of the rule of law”. (Altman, 1990). Politik liberal yang merangkul rule of law sebetulnya bertentangan dengan prinsip-prinsip esensial dalam alam pikir politik liberal.
  7. Hukum yang digunakan sebagai institusi yang bermoral
  8. Hukum yang “pro-rakyat” dan “hukum yang pro-keadilan”
  9. Hukum adalah proses untuk terus menjadi, secara terus menerus membangun dan mengubah diri menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik, (law as a process, law in making)

Hukum Progresif tidak sejalan/menolak terhadap pemikiran-pemikiran;

  1. Analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai bangunan peraturan yang dinilai sistematis dan logis. Unsure manusia, masyrakat dan kesejahteraan ditepiskan.
  2. Hukum modern -> sarat dengan birokrasi
  3. System hukum yang liberal, karena hukum Indonesia juga turut mewarisi hukum tersebut
  4. Ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi kenegaraan
  5. Status quo
  6. Hukum yang digunakan sebagai teknologi yang tidak berhati nurani
  7. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final melainkan bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Serta kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.

Hukum progresif lebih menempatkan faktor prilaku di atas peraturan. Faktor manusia adalah symbol dari unsur-unsur greget (compassion, empathy, sincerety, edification, commitment, dare dan determination). Dengan begini maka kita dapat memahami hukum sebagai suatu proses dan proyek apabila kita mengutamakan faktor manusia daripada hukum. Contoh nyata yang bisa dilihat adalah lewat integritas Hakim Agung Bismar Siregar yang selalu memutus berdasarkan hati-nurani terlebih dahulu kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim harus memutus berdasarkan hukum. Sejalan juga dengan pendapat Karl Renner, (1969) “The development of the law gradually works out what is socially reasonable”

Ombak dan Gelombang yang Terus Menghantam Karang Terjal Itu. Hukum Progresif: Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun

Bagian ketiga ini, Prof. Tjip memaparkan; Hukum Progresif: Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun, saya merenangi kalimat-kalimat beliau di bagian ini seolah pencapaian kesadaran lewat gerakan hukum yang progresif yang bermoral, Hukum Progresif saya metaforakan bak gelombang menghantam roboh karang terjal kekacauan penegakan hukum itu harus mampu dimanfaatkan dengan membentuk peluang demi perbaikan hukum, sebagaimana saya kerap melihat deburan ombak seolah tak lelah tiada hentinya menghantam karang terjal.

Apakah dapat dikatakan ombak jika hanya datang satu kali pada dinding karang?

Seolah Prof. Tjip menjawab pertanyaan ‘bodoh’ saya ini, mungkin beliau akan terbatuk-batuk terlebih dahulu sebelum menjawab, “ilmu yang harus berbicara tentang kebenaran, harus mengatakan, sesungguhnya hukum tidak bisa berhenti. Itulah watak asli yang melekat padanya. Hukum adalah sebuah institusi yang penuh dengan dinamika. Hukum hanya bisa bertalian (survive) untuk mengatur, apabila hukum dinamis dan progresif.” Suara batuk Prof. Tjip terdengar lagi namun melanjutkan gelombang semangat lagi, “Hukum tidak pernah berhenti, stagnan, melainkan terus tumbuh, berubah dan berkembang.” Sungguh luar biasa kebijakan kalimat beliau ini, bahkan bisa jadi batuknya saja memiliki nilai filosofis, berupa teori!

Jawaban Prof. Tjip tersebut sama halnya untuk menampar kesadaran diri saya yang menginginkan suasana tenang di atas batu karang, saya tidak ingin terganggu dengan suara deburan ombak yang monoton. Prof. Tjip memotret bahwasanya manusia selaku pengguna hukum selalu berusaha untuk menyuruh hukum berhenti, agar bisa leluasa dan tenang membiarkan dirinya diatur oleh hukum.[9]

Baiklah kali ini saya hanya akan duduk khidmat di atas karang terjal, seperti otak saya yang membatu, membiarkan deburan pemikiran Prof. Tjip merontokkan serpihan kerak ‘otak karang’ ini.

Deburan entah yang kesekian kalinya menghantam ‘otak karang’ ini;

“Hukum ternyata memang harus berubah, supaya tidak sekedar menjadi monument sejarah yang akhirnya gagal mengatur denga efektif”

Lalu datang lagi deburan itu;

“Tanpa perubahan, hukum akan ditinggalkan masyarakat. Pada tataran konkrit, maka perubahan terjadi pada sistem dan peraturan hukum”

Sesaat, sempat saya hendak maju kedepan menantang gelombang, padahal dipunggung saya karang terjal membentang. Saya terhantam lagi oleh deburan kebijakan Prof. Tjip;

“Melawan perubahan tersebut hanya akan menyebabkan hukum melakukan bunuh diri karena menjadi tidak berguna untuk masyarakat”

Pandangan saya menyapu kesegala penjuru tepian samudera, saya melihat sebentuk ombak yang menghantam seonggok karang dan airnya berpercikan riang melompati karang itu;

“hukum tidak hanya mengalami perubahan, tetapi disana-sini juga perubahan yang melompat. Perubahan yang melompat tersebut adalah perubahan revolusioner, yang masuk ke dalam kategori perubahan paradigmatis (paradigmshift)”

Saya semula tidak percaya akan hal itu, tetapi kemudian muncul gelombang yang serupa;

Dengan fasihnya (sekalipun logat Banyumasan masih kental), Prof. Tjip mengutip Arrest Hoge Raad (Putusan Mahkamah Agung Belanda), “Onrechtmatig is niet slechts wat sjrijdig is met de wet, maar ook wat strijdig is met de geode zeden of de maatschappelijke betamelijkheta”. Seolah memahami tidak ada sepotong katapun yang dapat saya cerna, Prof. Tjip dengan sabar menerjemahkan kalimat itu, “melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan tata susila dan kepatutan menurut masyarakat.” Prof. Tjip menyebut putusan ini sebagai ‘revolusi di bulan Januari’

Saya terduduk mengigil terhantam deburan itu, perlahan saya merasakan ada serpihan karang dalam otak ini yang rontok, betapa dalam pemahaman saya yang selama ini berdiri tegap dan angkuh dinding karang azas legalitas, bahwa seseorang tidak bisa dianggap melawan hukum jika tidak ada aturan yang terpahat dalam dinding undang-undang/peraturan kaku itu,

“Perubahan seperti itulah yang disebut sebagai “rule breaking” atau dalam tulisan ini disebut dengan istilah “merobohkan”

Begitu dahsyat gelombang-demi gelombang pemikiran, kebijaksanan ucapan Prof. Tjip membuat diri ini menggigil di sebuah ceruk karang yang terkikis oleh hantaman deburan ombak, menjadikan saya tidak lagi mampu melanjutkan penggembaraan pe’langi-an diri ini. Saya tetapkan sebuah keputusan untuk beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan pengembaraan menuju gudang, Arsenal Hukum Progresif, yang sejatinya saya akan diperlihatkan betapa kekayaan alam bawah samudera sedemikian melimpahnya. Kaki saya pun terlampau lemah untuk menuju bagian selanjutnya, Penafsiran Hukum yang Progresif dan Hukum Progresif: Terapi Paradigma Untuk Menghadapi Korupsi dalam Proses Peradilan.

Saya perlu beristirahat, menikmati kopi hitam panas dan kepulan asap beracun nikotin, sambil menunggu ditambalnya pelampung ban mobil yang kemps setelah saya gunakan untuk nglangi keteduhan samudera pemikiran Hukum Progresif Prof. Tjip ini.

Kesimpulannya untuk saat ini, saya sepakat sekali dengan mantera Prof. Tjip, bahwa;

“HUKUM UNTUK MANUSIA”

Sumber mata air yang sempat saya teguk air segarnya;

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011

Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum, Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009

Phiippe Nonnet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2007

M. Ali Zaidan, Kontribusi Lembaga Kejaksaan Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan dalam Bunga Rampai, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta, 2007

Michael Freeman, Law and Sociology ,dalam Jurnal Law and Sociology, Current Legal Issues 2005, volume 8, Oxford University Press



[1] Nglangi (Jawa)= berenang-renang kecil (santay), judul ini terlintas setelah saya dan kawan saya, Christian Adi Putra (Sang Maha Raja dari Poso), terkekeh geli membaca salah satu judul buku yang juga membahas mengenai Hukum Progresif, menurut kawan saya ini, tidaklah mungkin mampu menyelami semangat lewat sebuah buku, itu sebabnya saya lebih memilih nglangi saja, itu pun hanya dipinggirannya saja bahkan menggunakan pelampung dari ban mobil. disampaikan pada Diskusi Buku Kaum Tjipian, Pleburan, 10 November 2011

[2] Pe’langi merupakan atlet nglangi yang terbiasa berlatih menyusuri (kanyutan) sepanjang Kali Banten dengan menggunakan pelampung ban mobil atau terkadang gedebok (batang) pisang, pun jadi! ;p

[3] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 3

[4] Ibid, hal 1

[5] ibid hal. 2.

Prof. Satjipto juga menjelaskan bahwa hukum progresif tidak hanya berkutat pada permasalahan hukum di Indonesia, tetapi juga terhadap dunia, jadi terdapat dua medan (front); Indonesia dan Dunia. Sebagaimana mengutip HLA Hart yang mengatakan “..No vast literature is dedicated to answering the questions ‘What is chemistry?’ or ‘What is medicine?’, as it is to the question ‘What is law’…” (Hart, 1961), Prof. Satjipto berpendapat, “Setiap usaha untuk merumuskan tentang hukum sebagai fenomena yang begitu luas, mengandung risiko untuk gagal”. Galanter juga mengatakan bahwa; that efforts to transfer formal law onto very different informal environments would be unsuccessful, and possibly even counterproductive (Galanter 1966)

[6] Ibid, hal 5 menurut Prof. Satjipto, Hukum Progresif sebagai keilmuan merupakan tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan, sebagaimana hakikat ilmu itu sendiri: mencari kebenaran.

[7] M. Ali Zaidan, Kontribusi Lembaga Kejaksaan Dalam Mempercepat Reformasi Peradilan dalam Bunga Rampai, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta, 2007, hal 124.

Ali Zaidan juga sependapat dengan pemikiran Prof. Satjipto, lebih lanjut mengatakan bahwa “Gagasan peradilan progresif sebagaimana dilontarkan oleh Satjipto Rahardjo hendaklah dilihat sebagai eksemplar atau alternatif keluar dari krisis peradilan saat ini. Peradilan yang progresif ditandai dengan cara-cara yang progresif dalam memandang hukum. Penegakan hukum hendaklah berpijak kepada kepentingan nilai-nilai kemanusiaan, oleh karena itu belenggu formalisme, prosedur dan sekalian doktrin konvensional hendaklah ditanggalkan karena akan menimbulkan kesengsaraan, ketidak adilan dan kesewenangwenangan.”

[8] Lihat tulisan Michael Freeman, Law and Sociology ,dalam Jurnal Law and Sociology, Current Legal Issues 2005, volume 8, Oxford University Press

[9] Baca halaman 57-58 buku ini