Jumat, Maret 09, 2012

Nike Agustina Ramadhan Berhak Untuk Sehat dan Ceria Kembali


(foto courtesy FBN)

Hak anak untuk sehat dan kembali ceria tidak dapat dihalangi oleh siapapun dan dengan dasar alasan apapun! Hal ini berlaku juga bagi seorang bocah bernama Nike Agustina Ramadhan berusia berusia 6 bulan penderita hydrocephalus asal Cilegon, Banten.

Sungguh malang nasib seorang bocah bernama Nike Agustina Ramadhan (6 bulan) penderita Hidrocephalus anak dari pasangan Muksin (35) dan Rohayati (23) warga tidak mampu asal kampung Pasir Seureuh, Desa Gunung Sugih, Kecamatan Ciwandan-Cilegon, ini. Ketika pertamakali ditemukan oleh beberapa orang relawan yang bergerak di Fesbuk Banten News (FBN), Nike yang masih bayi terlihat sangat memprihatinkan dengan kondisi lingkaran kepalanya sudah sangat membesar, ukurannya sudah melebihi 2 kali kepala orang dewasa, serta urat-urat di seputar kepalanya terlihat menonjol. Bahkan dua kelopak matanya seakan tertarik oleh urat-urat kepalanya, sehingga kedua bola matanya tidak bisa melihat dengan sempurna. Akibat latarbelakang ekonomi yang kesusahan Nike tinggal bersama Ibunya, Rohayati, di sebuah rumah kontrakan di Desa Anyer, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, ibu Nike mengatakan, mulai merasakan perbedaan pada kepala anaknya semenjak Nike berusia dua bulan, sebagaimana dilansir oleh Banten Pos Online[1] dan Fesbuk Banten News[2].

Dalam perjalanannya kawan-kawan Relawan dari FBN terus melakukan advokasi dengan melakukan pendekatan secara langsung kepada pihak keluarga, dinas-dinas terkait serta melakukan jejaring gerakan sosial kepada masyarakat luas melalui berbagai media massa dan jejaring sosial di dunia maya. Segala upaya telah dilakukan mulai dari pencarian rumah Nike, membujuk pihak keluarga agar Nike bisa dilakukan upaya pengobatan yang layak, menghubungi Dinas Sosial setempat, mengupayakan JAMKESDA dan persyaratan administratif lainnya, hingga aksi penggalangan kepedulian bagi Nike.

Upaya tersebut setidaknya membuahkan titik terang bagi upaya pengobatan Nike hingga mendapatkan rujukan kepada Yayasan Sayap Ibu yang berlokasi di daerah Bintaro, Tangerang. Pada hari Rabu malam, 29 Februari 2011, dihantarkan oleh Relawan FBN, Nike diterima dengan baik, bahkan pihak yayasan yang konsern terhadap kesehatan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu ini, menyatakan bersedia memfasilitasi segala bentuk penanganan medis hingga sampai tahap operasi.

Kerja keras kawan-kawan Relawan FBN cukup membuat puas dan bangga dalam diri para relawan malam itu karena Nike telah berada dalam penanganan yang tepat, namun ketika keesokan harinya, salah seorang relawan dihubungi oleh Muksin (35), ayah kandung Nike. Nada keras, lontaran kekecewaan disertai ancaman diucapkan oleh Muksin yang merasa tidak terima dan seolah dilecehkan dianggap tidak diakui keberadaannya karena tidak dimintai izin perihal penanganan anaknya bahkan para relawan akan dituntut untuk dimintai pertanggungjawaban jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terkait keselamatan hidup Nike. Hal ini sesungguhnya hanya karena kesulitan berkomunikasi antara Relawan dengan Muksin dikarenakan Muksin tengah berhadapan dengan hukum, sehingga sulitnya akses komunikasi sementara jeda waktu yang ada setidaknya dalam pandangan para relawan ‘dituntut’ untuk melakukan tindakan cepat. Melihat kondisi yang memprihatikan dan telah mendapatkan izin dari ibunda Nike, bahkan Kakek dan Nenek dari Nike memberi restu maka berangkatlah mereka ke Yayasan Sayap Ibu yang berlokasi di Bintaro, Tangerang, tapi apa mau dikata, sepertinya harapan Nike untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan yang layak hanya akan menjadi mimpi.

Emosi dan kekhawatiran Muksin selaku orang tua bisa saja dianggap sebagai hal yang wajar, akan tetapi jika melihat manfaat yang lebih besar lagi demi kepentingan kesehatan terbaik bagi Nike, sudah selayaknya, Muksin harus menyadari hal ini dan turut merelakan, mendukung, mendoakan serta seharusnya berterimakasih karena masih ada pihak lain yang peduli terhadap kondisi anaknya. Saya yakin para relawan bergerak tanpa berharap pamrih atau imbalan apapun, cukup melihat Nike tertangani oleh pihak yang tepat, itu saja. Sementara di sisi lain, keadaan ekonomi dan posisi Muksin yang tengah berhadapan dengan hukum maka secara otomatis dapat menghambat segala upaya penanganan perbaikan kesehatan bagi Nike, sekalipun Muksin beralasan bahwa Dia tengah mengupayakan cara alternatif yang sulit untuk diterima oleh akal sehat di jaman modern seperti sekarang ini, yaitu MEMINDAHKAN PENYAKIT NIKE KEPADA SEEKOR AYAM!

Sesungguhnya saya secara pribadi sangat memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh semua pihak yang terlibat dalam upaya advokasi kesehatan bagi Nike, karena hal ini juga pernah saya alami ketika berupaya melakukan hal serupa bagi Alenta (3 tahun) yang juga menderita penyakit hydrocephalus yang berasal dari daerah Rangkasbitung, Banten. Saya juga pernah membuat catatan pengalaman mengenai upaya ini.[3]

( foto saat almh. Alenta (3 thn) penderita hydrocephalus yang sempat dirawat di Yayasan Sayap Ibu, namun orangtua menarik pulang Alenta, tak lama kemudian Alenta kembali kepangkuan Yang Maha Merawat)

Hak Nike Dilindungi oleh Hukum

Hak Nike untuk sehat dan kembali ceria merupakan hak anak bangsa yang harus diberi perlindungan hukum sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999 (UUHAM), dalam konsideran huruf b;

“Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.”

Hak asasi manusia merupakan hak yang kodrati memiliki sifat non derogable human right yang mengandung arti tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Pengertian HAM tersebut tidaklah terbatas oleh usia, jenis kelamin maupun kondisi ekonomi bahkan kesehatan seseorang, terlebih seharusnya perlindungan HAM lebih ditingkatkan lagi bagi mereka yang terabaikan atau diabaikan, terlemahkan atau dilemahkan oleh kondisi ekonomi.

Spirit HAM tersebut kemudian diadopsi dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), jika menilik batasan usia yang diatur dalam undang-undang ini maka Nike sebagai Warga Negara yang baru berusia sekitar 6 bulan, tentunya berhak dilindungi oleh hukum, sebagaimana diatur oleh Pasal 1 (12);

“Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.”

Pengaturan dari kedua Undang-undang yang saling terkait ini lantas menimbulkan konsekuensi bahwa segala bentuk dan proses perawatan serta pelayanan kesehatan bagi Nike adalah hak kodrati yang tidak dapat simpangi oleh siapapun (non derogable human right) sebagaimana hal ini diperkuat/diatur dalam UUPA, Pasal 8;

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”

UUPA yang memiliki semangat dasar diantara adalah; “kepentingan terbaik bagi anak”, memberikan perhatian khusus untuk anak-anak seperti Nike ini, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 (15) dan Pasal 59, diantaranya memberikan perlindungan khusus yang diberikan kepada anak dalam situasi;

  1. anak korban kekerasan,
  2. anak yang menyandang cacat,
  3. anak korban perlakuan salah dan
  4. anak korban penelantaran.

Melihat begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak dan amanat undang-undang ini maka Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA) menganggap perlu dibuatnya sebuah pedoman yang diperkuat dengan Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.

Dalam pedoman ini terdapat pengertian mengenai Kekerasan Terhadap Anak, yaitu; setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya;.[4]

  1. kesengsaraan atau
  2. penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis,
  3. penelantaran dan
  4. perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.

Siapa sajakah yang berpotensi melakukan kekerasan tersebut?

  1. orang tua,
  2. keluarga dekat,
  3. guru, dan
  4. pendamping.

yang merupakan pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya.

Demikian jelasnya segala upaya perlindungan harus diberikan kepada Nike, mengingat nyata-nyata bahwa Nike berada diposisi sebagai anak korban kekerasan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya dengan menarik kembali Nike dari tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang jauh lebih layak dan terjamin serta dilakukan oleh pihak-pihak professional yang kompeten di bidangnya bahkan siap difasilitasi hingga operasi, namun hal ini ditolak oleh Ayah Nike sehingga dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, serta mengancam integritas tubuh Nike.

Tindakan penolakan dari Ayah Nike ini tergolong dalam perbuatan penelantaran dan perlakuan buruk, tragisnya hal ini dilakukan oleh orang tuanya memiliki kuasa asuh atas anak tersebut. Hal ini dipertegas dalam Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan diatas yang memberikan batasan bahwa; “Perlakuan salah terhadap anak adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab dan/atau mereka yang memiliki kuasa atas anak, yang seharusnya dapat dipercaya yaitu orang tua, keluarga dekat, guru, pembina, aparat penegak hukum, pengasuh dan pendamping”. Demikian halnya bahwa; “Penelantaran anak adalah tindakan sengaja atau tidak sengaja yang mengakibatkan tidak terpenuhi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang secara fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.” Kedua batasan ini mengadopsi dari ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang telah diakui oleh seluruh dunia.

Penelantaran; merupakan tindakan kekerasan yang dialami anak baik disengaja atau tidak sengaja yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang secara fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dari orang yang memiliki kewenangan atas anak tersebut. Adapun bentuk penelantaran tersebut antara lain pengabaian terhadap kebutuhan dan keinginan anak, membiarkan anak melakukan hal-hal yang akan membahayakan anak, lalai dalam pemberian asupan gizi atau layanan kesehatan, pengabaian pemberian pendidikan yang tepat bagi anak, pengabaian pemberian perhatian dan kasih sayang dan tindakan pengabaian lainnya.

Tindakan penolakan Muksin atas upaya perawatan dan pengobatan Nike yang akan difasilitasi lembaga yang kompeten yakni RS Fatmawi, bahkan Muksin akan mengupayakan pengobatan alternatif oleh seorang tabib dengan metode pemindahan penyakit Nike kepada ayam, jelas-jelas merupakan perlakuan yang salah dan dengan sendirinya Muksin juga telah melakukan penelantaran terhadap Nike karena telah dengan sengaja atau tidak sengaja yang mengakibatkan tidak terpenuhi kebutuhan dasar Nike yaitu untuk hidup sehat!

Penyakit yang diderita oleh Nike terjadi akibat akumulasi abnormal cairan cerebrospinal di dalam otak. Cairan ini sering meningkatkan tekanan sehingga dapat memeras dan merusak otak. Pada normalnya cairan otak itu diproduksi dan diserap dengan seimbang. Jadi, begitu serapannya terganggu akibat suatu proses, seperti penumpukan cairan di otak, sehingga terjadi pembesaran di sekitar kepala atau lazim dikenal dengan Hydrocephalus. Penyakit ini sering ditemukan (90 persen) pada anak berusia di bawah 6 tahun yang hidup dalam keadaan keluarga yg tidak mampu secara ekonomi. Penyebab penyakit ini bermacam-macam, dapat berhubungan dengan beberapa sebab termasuk cacat sejak lahir, pendarahan di otak, infeksi, meningitis, tumor, atau cedera kepala.[5]

Melihat kondisi Nike yang baru berumur sekitar 4 bulan dan tanda-tanda penyakit ini mulai terlihat sejak usia 2 bulan maka besar kemungkinan penyakit ini merupakan cacat sejak lahir. Undang-undang Perlindungan Anak memberikan perhatian khusus bagi anak yang memiliki kecacatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 (7) Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Begitu juga dalam UUPA Pasal 1 (15), Pasal 9 (2), Pasal 12, Pasal 51, Pasal 59, Pasal 62, Pasal 70.

Hal ini bukan permasalahan sepele yang dapat diabaikan begitu saja karena prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak ini telah berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahkan turut memasukkan prinsip-prinsip dasar universal sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak-hak Anak.

Adanya hukum yang merupakan perwujudan kesepakatan bersama yang memiliki tujuan luhur agar terciptanya ketertiban (order), perlindungan masyarakat (social defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) maka mau-tidak mau, suka-tidak suka, hukum akan melakukan intervensi kepada ranah pribadi dan domestic setiap orang sesuai dengan koridor yang telah ditentukan. Begitu juga halnya di bidang perlindungan anak, kekuasaan hukum bahkan dapat membatasi hak dan kewenangan orang tua terhadap anak yang hidup bersama mereka, ini menunjukkan bahwa anak yang hidup dalam sebuah rumah tangga tidak mutlak ‘milik’ dari orang tua yang membesarkan anak.

Hal ini bukan semata-mata dilakukan oleh Negara Indonesia yang seolah menunjukkan kekuasaannya yang tak terbatas di hadapan Warga Negara, melainkan pengaturan ini sudah menjadi consensus (kesepakatan) masyarakat dunia, misalnya lewat Konvensi Hak-hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1987. Indonesia sebagai anggota peserta pada tanggal 25 Agustus 1990, telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child, sehingga konsekuensinya adalah turut membuat segala kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak, sebagaimana amanah KHA pada Pasal 4; “Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah legislatif dan administratif, dan langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini…”

Bahkan secara spesifik jika kita kaitkan dengan kondisi Nike yang menurut pandangan saya yang telah dipaparkan di atas dengan pendekatan beberapa ketentuan hukum, bahwa Nike merupakan korban kekerasan, penelataran dan salah perlakuan ketika dalam pengasuhan orang tua, kiranya hal ini juga menjadi amanah dari KHA khususnya pada Pasal 19 (1); “Negara-negara Peserta akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah, luka (injuiry) atau eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak.”

Segala kebutuhan Nike pun sesungguhnya sudah diakui oleh masyarakat internasional dan diberikan pengaturan agar diperhatikan bagi setiap Negara peserta, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 (3); “Mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus anak cacat, bantuan yang diberikan sesuai dengan ayat 2 dari pasa ini akan diberikan secara cuma-cuma, bilamana mungkin dengan memperhatikan sumber-sumber keuangan orang tua atau orang lain yang memelihara anak yang bersangkutan, dan akan dirancang untuk menjamin bahwa anak-anak cacat bisa memperoleh dan menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemulihan,

Tidak hanya perjanjian internasional yang memberikan amanah perlindungan bagi anak-anak seperti Nike, para founding father kita juga berpesan kepada penerus bangsa ini lewat Undang-undang Dasar yang pada saat itu sudah berpihak kepada ‘wong cilik’ bahwa; “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”.

Kiranya para penerus bangsa ini tidak hanya puas dengan ‘pesan agung’ tersebut yang dalam pelaksanaanya hanya menjadi slogan belaka dari pemerintah yang masih tidak peduli dengan kondisi rakyatnya. Saya jadi teringat kalimat dari Soe Hok Gie dalam catatannya pernah menulis; “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat…”

Maka pada tanggal 10 Agustus 2002, sejak 19 Oktober 1999 telah beberapa kali dilakukan perubahan atas UUD 1945 bahkan menjadi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang sebelumnya merupakan hal yang sakral, bahwa tidak ada satu pihak pun yang boleh merubah UUD. Hingga pada Perubahan IV, khususnya pada Pasal 34 menjadi;

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Sekalipun dalam pelaksanaanya sulit sekali diterapkan, tapi setidaknya Negara telah ‘gentle’ atau berani menyatakan kesanggupan bertanggung jawab akan hal ini, maka selayaknya rakyat menuntut ‘pesan agung’ yang terpahat dalam Undang-undang Dasar ini, sehingga orang tua Nike (dan jutaan rakyat lainnya) tidak perlu lagi khawatir anaknya tidak terobati dengan layak.

( foto Nike saat ditemukan oleh relawan FBN. courtesy FBN)

Siapa sajakah yang Seharusnya Bertanggung jawab Atas Perawatan Nike?

If children live with security, they learn to have faith in themselves.

If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.

(Jika anak dibesarkan dengan keamanan, mereka belajar untuk memiliki kepercayaan dalam diri mereka sendiri

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, mereka pun belajar menemukan cinta dalam kehidupan)

[Dorothy Law Nolte, Ph. D]

Petikan kalimat dari Dorothy Law Nolte dari beberapa preposisi yang beliau tuliskan tersebut sering kali dijadikan semacam ‘kitab kuning’ atau ‘patokan’ bagi pergerakan advokasi anak atau bagaimana seharusnya penanganan terbaik bagi anak. Anak adalah amanahTuhan yang kebetulan dititipkan dalam rahim seorang perempuan dan kehidupan pasangan suami-istri. Anak memiliki kehidupan sendiri sekalipun belum mampu bertindak atau hidup mandiri namun anak bukan ‘hak milik’ yang dapat disamakan dengan ‘barang pribadi’ lalu kemudian para orangtua bisa sekehendak hati menentukan kehidupan sang anak.

Anak yang hidup dalam kondisi normal saja perlu diberikan jaminan perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 4; “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Merujuk pada ketentuan UUPA Pasal 20 maka para pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, adalah;

  1. Negara,
  2. Pemerintah,
  3. Masyarakat,
  4. Keluarga, dan
  5. Orang tua.”

Maka tidaklah berlebihan jika kondisi Nike yang sedemikian lemah dan tak berdaya perlu mendapatkan perhatian lebih serius lagi dari berbagai kalangan.


(foto almh.Alenta saat kami jemput dari Rangkasbitung menuju YSI, Bintaro)

Lalu Bagaimana Caranya?

(foto courtesy Komunitas Relawan Banten saat menyalurkan bantuan amanah kawan-kawan facebook untuk Nike)


Saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas segala upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan Relawan FBN, segala daya dalam upaya melakukan advokasi bagi rakyat tidak mampu telah mereka lakukan, dimulai dari tergugahnya hati mereka, menaikan kadar kepedulian dari tingkat simpati hingga ‘empati level akut’ (demikian istilah Kang Iip Syafrudin, Kordinator Relawan FBN), melacak keberadaan Nike dan keluarga, melakukan kampanye kepedulian (awareness) lewat berbagai media hingga penggalangan dana, memfasilitasi pembuatan berbagai fasilitasi administrasi pendukung (ASKESKIN, JAMKESMAS, dll) bahkan sampai pada mendapatkan jejaring rujukan yayasan yang kompeten dalam melakukan tindak medis yang sangat layak bagi kepentingan terbaik untuk Nike.

Hal ini menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap perbaikan kesehatan Nike bukan semata-mata menjadi beban tanggungan keluarga, peran serta masyarakat juga dapat dituntut pertanggunggjawabannya. Jika tidak percaya, silakan cermati kembali isi UUPA Pasal 20; “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”

Bukankah segala upaya yang telah dilakukan oleh kawan-kawan Relawan FBN ini menunjukkan bahwa INDONESIA MASIH ADA! Bahwa Pak Muksin tidak sendiri memikul beban berat ini!

Selayaknya anak dapat hidup berada di dalam lingkungan keluarga utamanya sendiri, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, namun jika melihat kondisi yang dialami oleh Nike dimana karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam UUPA Pasal 7.

Kondisi kesehatan Nike yang memprihatikan sangat perlu dilakukan berbagai upaya pengobatan, dalam hal ini seharusnya sudah masuk dalam tahap pengobatan kuratif , dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dijelaskan bahwa;

“Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.”

Banyak pihak yang mengatakan bahwa penderita penyakit hydrocephalus tidak memiliki umur yang panjang, tapi saya berkeyakinan bahwa persoalan umur adalah sepenuhnya Kuasa Tuhan, manusia boleh saya mempridiksi dengan melihat kasus-kasus sebelumnya, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting dalam kasus Nike yaitu pengurangan penderitaan akibat penyakit bahkan jika bisa hingga taraf penyembuhan penyakit. Saya jadi teringat ungkapan kesedihan hati dari Nenek yang mengurus (almh) Alenta, bocah berusia 3 tahun penderita hydrocephalus dari Rangkasbitung, setiap hari Alenta selalu menangis menahan rasa sakit bahkan jika sudah menangis bisa sampai 4 hingga 5 jam tanpa henti, dan kemungkinan pada saat berhenti menagis pun akibat rasa sakit itu hilang dengan sendirinya, menyerah atau air mata itu sudah habis terkuras. Hanya Alenta yang dapat merasakan, wallahualam.

Pemerintah lewat salah satu Menteri dalam kabinetnya pun patut kita mintai pertanggungjawaban, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang telah membuat Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan, diantaranya memaparkan Mekanisme Upaya Penanganan Anak Korban Kekerasan, yang siap menjadi salah satu pihak sebagai garda terdepan dengan langkah-langkah penanganannya yang tergabung dalam Pusat Pelayanan Terpadu, yaitu; unit kerja fungsional yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk korban. Pusat Pelayanan Terpadu sendiri dapat berupa tempat yang bernama shelter/rumah aman, RPTC, RPSA, P2TP2A maupun Pusat Pelayanan Terpadu yang ada dan berbasis di Rumah Sakit Bhayangkara dan sebagainya.

Pelayanan terpadu diawali dengan identifikasi korban untuk memastikan seseorang adalah korban kekerasan atau bukan. Identifikasi ini dilakukan dengan melakukan interview terhadap korban guna memastikan bantuan apa yang diperlukan oleh korban. Apakah memerlukan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum. atau langsung dipulangkan ke keluarga, atau keluarga pengganti.[6]

Ancaman Sanksi

Tujuan dari segala upaya perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Mengapa amanah dari Pasal 3 ini perlu dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu melihat kembali hakikat atau fitrah dari anak. Dalam agama, kepercayaan dan budaya manapun di muka bumi sudah pasti memberikan anak berada pada posisi yang penting karena merupakan titipan Tuhan, anak merupakan generasi penerus yang akan menjalankan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini, saya tidak perlu menjelaskan satu persatu bagaimana setiap agama, kepercayaan dan budaya mengatur mengenai hal ini karena pada dasarnya pasti memiliki kesamaan makna.

Namun karena Negara kita adalah Negara Hukum yang berasaskan Pancasila maka kiranya posisi penting anak perlu diatur oleh hukum, hal ini dapat dilihat dalam konsideran UUPA, bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Demikian pentingnya keberlangsungan hidup anak bagi eksistensi bangsa dan Negara ini, maka tidak ada lagi alasan bagi trhalanginya hak-hak dasar anak dalam kehidupannya.

Bertolak kembali dari prinsip non derogable human right bahwa hak Nike untuk kembali sehat tidaklah dapat disimpangi oleh siapapun, maka bagi mereka yang berani menghalangi hak tersbut harus siap dengan sanksi tegas yang telah diatur dalam hukum positif Negara kita.

Ancaman pidana dapat saja dikenakan kepada orangtua Nike dan Tabib (dukun) yang berupaya melakukan cara-cara alternatif yang tidak tepat dalam menangani proses kesembuhan Nike. Hal ini dapat dilihat dalam aturan;

UUPA Pasal 13;

“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang

bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

c. penelantaran;

f. perlakuan salah lainnya.

“(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.”

Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 191;

“Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).”

**** BERSAMBUNG ****

[1] http://bantenpos-online.com/2012/02/08/nike-butuh-uluran-tangan/

[2] http://www.fesbukbantennews.com/2012/02/meski-kondisi-bayi-hidrocephalus-sangat-memprihatinkandinkes-cilegon-belum-turun-tangan/

[3] http://timoerlaoetnoesantara.blogspot.com/2011/01/mencuri-mimpi.html

[4] Periksa; Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan, Bab I Pendahuluan, Bagian E, dijelaskan pengertian Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak yang dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, guru, dan pendamping.

[5] Baca artikel mengenai penyakit hydrocephalus salah satunya di ; http://www.smallcrab.com/anak-anak/853-sekilas-mengenal-hydrocephalus

[6] Lebih lanjut, silakan baca; Permeneg PP&PA Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan, Bab IV mengenai Mekanisme Upaya Penanganan Anak Korban Kekerasan