Kamis, Oktober 30, 2008

Laskar Pelangi; Sebuah Film Anak atau Sebuah Propaganda Ormas?




Hari Senin kemarin, tepatnya tanggal 27 Oktober 2008 pukul 14.25 WIB, aku dan adikku, -setelah lama sekali gak pernah nikmati waktu bersama dengan my little sister,akhirnya bisa nonton film Laskar Pelangi yang ditunggu banyak orang, ini terbukti dengan antrian yang panjang dan diputar pada dua theater sekaligus. Tepat disebelahku ada seorang bocah kelas lima SD, tiba-tiba anak ini berseru khawatir “aduh ada ibu guru saya!” sembari menutupi muka kecil itu sekenanya begitu ada beberapa rombongan ibu-ibu masih berpakaian seragam PNS melintas dua baris didepan. Tingkah laku bocah ini mau gak mau menarik perhatianku, Aku akhirnya jadi melakukan `interogasi semu` dengan maksud untuk mengetahui seberapa besar minatnya untuk menonton film ini, yaa itung-itung sambil menunggu habisnya film-film ekstra yang sedang memenuhi layar lebar itu.


“Loh kenapa de? Kok sembunyi! Bukannya film ini memang tentang cerita anak-anak sekolah jadi kenapa harus takut ketauan guru kamu?”.Bocah ini merasa tenang setelah dirasa posisinya cukup aman dengan memastikan berdiri sejenak untuk melihat gurunya duduk dikursi beberapa baris jauh didepan kami. “Bukan begitu Kak, saya ini harusnya sekolah, masuk siang” Ooo, sekarang aku tahu kenapa dia harus sembunyikan mukanya tadi, “loh kalau masuk siang kenapa ade ada dibioskop ini? Bolos atau sakit? Kalau gak sekolah karena sakit bukan berarti bisa keluyuran dong” kalau memang dia sakit aku justru merasa salut dengan minatnya untuk menonton film ini bahkan dia tidak mempedulikan sakitnya dan mengalahkan keinginan sekolahnya, mungkin sama semangatnya dengan Seneca yang pernah bilang; Non scholae sed vitae discimus - We do not learn for school, but for life! Tapi kemudian aku jadi tertawa kecil begitu si bocah menjawab ini; “Saya gak sakit kok Kak, sepatu saya tuh basah!” perlu diketahui bocah ini baru pertama kali masuk 21 dan betul-betul sendirian masuk bioskop 21 ini, kukira dengan rombongan geng-nya yang hampir mirip Laskar Pelangi, mengingat film ini tentang persahabatan anak kecil.


“Masak gak bisa sekolah cuma gara-gara sepatunya basah? Terus boleh nonton bioskop gitu, emangnya sepatu kamu cuma satu de?” menurut sepengamatanku bocah ini pasti cerdas (wuits gaya neh bisa tau kecerdasan seorang anak cuma dalam beberapa menit, mentang-mentang pernah jadi guru SD sukarelawan). “Saya gak sekolah `kan gara-gara sepatunya basah, kalo sepatunya basahkan boleh gak masuk sekolah, kalau saya sakit baru gak boleh kesini. Beneran sepatu saya cuma satu, sumpah!” sambil menekuk kakinya diatas kursi, hehehe dalam hatiku “kamu bilang dirumah ada seribu pasang sepatu juga aku tetap mengangguk-anggukan kepala kok”, salut deh untuk bocah ini, i think this is white lie walaupun bohong tetaplah bohong but this is something different!


Si bocah yang begitu ingin tahu bagaimana dunia dan perjuangan anak sekolah seumurannya pinggiran Sumatera hingga mengorbankan satu hari bolos sekolah, aku bisa pahami hal itu karena aku sepakat dengan semangat teman-teman gerakan anak-anak yang selalu mengorbankan panji-panji “semua orang itu guru, alam raya sekolahku”, sebagaimana juga yang diterapkan oleh Bu Muslimah dalam film Laskar Pelangi ini yang mengajak muridnya belajar dari alam, tapi kemudian yang menarik adalah para rombongan guru-guru bocah tadi! Jika muridnya bolos sekolah didalam bioskop ini, lantas apa namanya bagi mereka yang berada ditempat yang sama dengan si murid yang bolos?! Apakah mereka juga menganut prinsip “alam raya sekolahku” dalam hal ini “bioskop adalah sekolahku”???? Proses belajar-mengajar pindah ke bioskop 21! hahahahahaa.


Sekeping realitas nyata yang kutemui dari bangku bioskop ini menggambarkan orang begitu rela melakukan apapun untuk mengetahui bagaimanakah kisah Laskar Pelangi yang diterjemahkan dari tulisan -yang memprovokasi imajinasi kita kedalam situasi itu, menjadi format lain -audio visual, berharap terpuaskan lewat penggambaran yang jauh lebih sempurna dari apa yang telah disajikan oleh buku, Rosa rubicundior, lilio candidior, omnibus formosior, semper in te glorior - Redder than the rose, whiter than the lilies, fairer than everything, I will always have glory in thee. Setelah menonton film itupun beragam pendapat kemudian terlontarkan, ada yang merasa bahwa film ini lebih sempurna dari apa yang disajikan oleh novel, ada yang berpendapat bahwa tidak ada esensi yang berkurang dari yang ditayangkan oleh film tersebut (sebagaimana juga dilontarkan oleh sang penulis ketika launching filmnya), ada juga yang kecewa terhadap penyajian film yang banyak menampilkan hal-hal yang tidak penting ketimbang semangat yang diusung dalam novel tersebut bahkan ada juga yang mengambil kesempatan berharga ini untuk kepentingan politis.


Sebagaimana kita ketahui orang nomor satu di Republik ini saja ikut menonton film ini, siapa yang tidak curiga kemudian, jika orang yang seharusnya paling sibuk di Republik ini tiba-tiba saja meluangkan waktunya untuk sekedar menonton film didepan khalayak publik, bukankah beliau memiliki kekuasan hampir tidak terbatas? Jika memang beliau ingin tahu isi film itu apalah susahnya memerintahkan salah satu ajudannya untuk meminta copy film tersebut dan menontonnya dalam istana (aku yakin pembuat film tidak akan keberatan), kondisi ini kemudian menjadi bola panas bagi beliau. Kita masih ingat bagaimana reaksi masyarakat ketika beliau menitikkan air mata saat menonton film Ayat-ayat Cinta, yang akhirnya menggelindinglah pendapat nyinyir bahwa beliau sedang melakukan `tebar pesona` atau `cengeng`lah..bla..bla..bla.. mungkin ini juga sebagai bentuk apresiasi lain atau efek yang ditimbulkan oleh film tersebut.


Tidak bisa dipungkiri film sering dijadikan alat propanda terhadap isu atau misi-misi tertentu bagi beberapa golongan. Film Rambo yang begitu fenomenal adalah senjata yang sangat efektif bagi Amerika untuk menutupi malu dari kenyataan kalah perang di Vietnam, maka diciptakan sosok yang dapat menyelesaikan itu semua hanya dengan satu orang! begitu hebatnya sosok Rambo hingga menjadi idola para penontonnya bahkan dalam masyarakat Vietnam.


Kawan-kawan aktivis pergerakan juga memanfaatkan film seperti misalnya dalam Film `Behind Border` `Burning Mississipi` dan `I am Sam` yang mengusung misi kemanusiaan dan advokasi bagi masyarakat yang terpingggirkan. Kita pasti masih ingat `film wajib` yang setiap tahun diputar semasa penguasaan orde baru yaitu `G 30 S/PKI` juga merupakan sarana propaganda yang sangat efektif sehingga begitu meyakinkan masyarakat akan kekejaman dan menunjukkan betapa heroiknya seorang Soeharto padahal kita belum mengetahui kebenaran fakta sejarah, meskipun sejarah juga cenderung subjektif kearah hal yang menguntungkan bagi si penyusun (penyaji) sejarah itu.


Aku jadi ingat ketika masa-masa kuliah dulu ketika sering menghadiri undangan diskusi kawan-kawan, ada seorang pemateri yang bilang bahwa komponen perubahan ada 4 elemen; ide, masa pendukung, media propaganda dan yang jelas uang. Secanggih apapun ide yang dimiliki seseorang jika tidak ada yang mendukung (sepakat) mungkin ide itu hanya menjadi tumor otak bagi si pencetus, agar ide ini dapat tersebar luas maka diperlukan alat propaganda (bisa melalui koran, radio, poster, lagu, film dll) yang secara efektif meluas dan sporadis (eits dah lama gak denger istilah sporadis euy!), elemen yang terakhir tak perlu diragukan lagi. Sepakat berarti ada persamaan persepsi; baik dengan cara temuan kesadaran sendiri atau upaya memaksakan kesamaan itu, bagiku bull shit jika ada movie maker yang bilang “kami sekedar menyajikkan tontonan, terserah bagaimana penonton menyikapi, kami tidak memaksakan untuk sepakat dengan ide yang kami tuangkan dalam film kami”, film dijadikan alat bagi mereka untuk menggiring pikiran penonton agar sepakat terhadap apa yang mereka sajikan, setidaknya mempengaruhi pikiran penonton –meskipun kekuatan pikiran penonton bebrbeda-beda.


Sebagai contoh misalnya film horor “Jembatan Cassablanca” aku yakin bagi orang yang pernah menonton film itu begitu melintasi sekitar situ ada sedikit keinginan berharap melihat penampakan hantu itu, kenapa aku bilang begitu? Jika mereka tidak berharap melihat penampakkan mereka tidak perlu tengok kanan-kiri, bunyikan klakson atau memainkan lampu saat melintas, bukankah ini sebuah indikator (meskipun sepele banget) bahwa film berhasil merubah pikiran penonton kearah apa yang diinginkan movie maker.


Benarkah film Laskar Pelangi adalah representasi semangat anak-anak dalam meraih impian untuk mengejar cita-cita mendapatkan pendidikan setinggi mungkin sebgaimana yang digembar-gemborkan? Perlu diingat film Laskar Pelangi tidak bisa lepas dari Novelnya, meskipun tidak mungkin seluruh isi novel dapat berubah wujud menjadi audio visual. Movie maker gak mau spekulatif mengangkat naskah yang belum diketahui reaksinya dalam masyarakat, maka mereka ambil jalan singkat ambil yang sudah jelas tenar dimata masyarakat


Ini yang menjadi dilema bagi para movie maker, seperti misalnya kejengkelan Hanung Bramantyo ketika menggarap AAC yang menjadi terbatas dalam melakukan eksplorasi karena harus berhadapan dengan penulis novel itu (yang berharap kemurnian materi), produser (segi duit/komersil pastinya) dan ormas islam (yang tidak mau kemurnian nilai jadi rusak oleh film itu sendiri), banyak bermunculan kritik bahwa film AAC bukanlah melulu tentang nilai islam yang tak ada bedanya dengan film romantisme (percintaan belaka) hanya settingnya saja yang berada dalam lingkungan islam, tapi apa yang terjadi? Kenyataannya; bioskop 21 dipenuhi oleh ibu-ibu pengajian. Aku tidak menangkap begitu kuatnya semangat anak-anak (Laskar Pelangi) dalam menunjukkan keinginan mencari ilmu dalam film ini, (tidak sekuat yang disajikan dari tulisan Andrea tentunya). Film ini terlalu banyak menyajikan domain pada mind set-nya orang dewasa. Mungkin secara sinis kubilang film ini mengenai kegalauan hati guru yang mengajar pada sekolah yang hampir rubuh! Mengapa demikian…


Dimulai dari adegan awal masa masuk sekolah, begitu khawatirnya dan kalutnya para guru hanya karena kekurangan seorang murid -karena jika kurang dari sepuluh maka sekolah tersebut ditutup, pertanyaannya apakah jika memang kurang seorang murid lantas kemudian mereka berhenti menjadi pendidik (jika guru dikatakan sebagai profesi tetapi pendidik bukan)? Kegelisahan Bu Mus sampai-sampai harus melontarkan perkataan “Seharusnya ini menjadi hari pertamaku menjadi guru!” sampai-sampai dia bersiap diatas sepedanya untuk mencari seorang anak hanya untuk memenuhi kuota (entah dia ketemu anak siapapun disepanjang jalan nantinya).


Tokoh Bu Mus yang seharusnya sangat kuat menonjolkan upaya dia mendidik anak-anak justru ternodai dengan remeh-temeh gangguan rayuan Tora Sudiro, pekerjaan sampingannya sebagai penjahit dan keterpurukan mental setelah ditinggal Kep Sek, ini sama sekali tidak penting dalam film ini, adegan ini tidak dimunculkan pun tidak akan mengurangi esensi film ini, lagi-lagi ini domain orang dewasa yang mengambil porsi durasi peran anak-anak yang cukup banyak.Sementara peran anak yang ditonjolkan lebih banyak remeh-temeh belaka.


Kepasrahan Kepala Sekolah yang tak perdaya pada selembar kertas keputusan sehingga harus tega mengubur impian anak-anak untuk bersekolah. Tapi bandingkan dengan adegan ketika KepSek berdiskusi dengan kawannya, bersikukuh mengatakan akan mempertahakan sekolah itu meskipun tidak mendapatkan bayaran atau minimal tertunda beberapa bulan dan rela mendidik anak-anak, meskipun keadaan sekolah begitu menyedihkan. Kecurigaanku kemudian adalah adegan ini dimanfaatkan sebagai alat propanda untuk menunjukkan nilai-nilai institusi Muhammadiyah, cukup panjang durasi diskusi ini. Bukankah anak-anak itu tidak peduli dengan institusi sekolah mereka (nasib juga yang membawa mereka pada sekolah yang menyedihkan itu karena pilihan sekolah lain sangatlah sulit bagi mereka) yang mereka inginkan hanya sekolah itu sudah! jadi untuk apa dijelaskan mengenai nilai yang dibawa institusi? Sementara porsi adegan yang menggambarkan semangat anak-anak akhirnya tidak tereksplor dengan maksimal.


Aku masih mau menilai film ini yang banyak mengeksplor mind set orang dewasa (sekedar mencari jawaban apakah benar film ini murni tentang semangat anak mengejar cita-cita). Kita lihat lagi kegalauan hati seorang guru bernama Bakri yang harus mengubur idealismenya karena merasa tidak ada jaminan hidup yang pasti dalam meniti karir disekolah itu. Kenyataan desakan pemenuhan kebutuhan hidup telah mengalahkan idealisme untuk mengajar anak yang tidak berkecukupan. Aku pribadi pernah mengalami situasi ini ketika beberapa bulan menjadi posisi guru sukarelawan SD pada sebuah yang termasuk IDT, aku bilang posisi karena tidak sepenuhnya aku berniat `sukarelawan` disekolah itu dan tidak dilandasi dari awal niat menjadi pendidik, lebih dari sekedar mengisi waktu luang sambil menunggu pekerjaan lain, terus terang saja. Jadi yang kumaksud dalam hal ini (kasus Bakri) adalah bahwa ini domain orang dewasa.


Masih ada lagi, entah mungkin aku yang lupa dengan isi buku. Aku jadi heran dengan kemunculan Tora Sudiro dalam film ini, aku coba mengingat-ingat siapakah tokoh dalam buku yang diperankan Tora (sialnya novelku kutinggal di Sumatera!). Sejak mula-mula film ini diputar terlihat sekali upaya pendekatan Tora untuk meraih hati Bu Mus, sampai membujuk agar berpindah kesekolah PN Timah, beberapa adegan bersepeda, pertemuan mereka disekolah PN Timah, saat kematian Kep Sek. Lagi-lagi ini wilayah orang dewasa. Mungkin ini kekhawatiran movie maker yang gak mau kehilangan penonton orang dewasa dengan menambah sedikit bumbu-bumbu mendekati romantisme.


Pertanyaanku mengenai sosok Tora sedikit terbuka justru ketika hampir diakhir fim tapi kemudian aku jadi ragu lagi, jika memang dugaanku Tora memerankan tokoh (pada novel) seorang guru PN yang begitu arogannya dengan embel-embel keilmuannya bahkan gelar akademik yang menyangkal jawaban akhir Lintang saat lomba cerdas cermat dan menurut penilaianku sendiri justru penulislah yang begitu arogan, karena menggunakan Lintang yang nota bene anak SD dengan akses keilmuan yang terbatas dapat mematahkan arogansi guru SD bertitel itu dengan memaparkan teori yang diakui oleh sang guru sebagai teori yang sangat tinggi, ini menjadi berbeda dalam film dimana Tora justru mendukung jawaban Lintang.


Yang kumaksud mengenai arogansi penulis adalah Andrea tidak sadar bahwa dia berubah menjadi Lintang dan anak-anak LP lainnya. Andrealah yang pernah mengecap ilmu dan teori itu dari bangku SMA, kuliah bahkan Sorbonne Perancis sana, bukan anak-anak SD itu! Banyak sekali sebenarnya dalam novel (yang membuat aku muak) tentang ketidak sadaran Andrea memerankan posisi yang harusnya lebur menjadi anak-anak, bukan menunjukkan arogansi keilmuan yang pernah dia dapatkan tapi dituturkan lewat mulut seorang anak SD, yang terjadi kemudian adalah novel tersebut menjadi serupa kamus lengkap ilmiah atau kamus lengkap tumbuh-tumbuhan (lihat beberapa halaman terakhir), hal ini juga menjadi suatu hal yang tragis ketika diawal pengantar buku -dengan bangganya (arogan) mengatakan bahwa novelnya sering dijadikan rujukan ilmiah, benarkah begitu?


Apakah dengan mengutip materi dari buku orang lain tanpa menulis rujukan kutipan itu disebut suatu hal yang ilmiah? Sepengamatan saya yang lemah ini dan pelupa ini, tidak ditemukan sepotongpun tulisan yang menunjukkan referensi yang diambil oleh penulis ketika dia berkoar-koar mengenai ratusan nama latin bunga-bunga, hewan dan teori-teori ilmiah yang tersebar memenuhi lembar-lembar dalam novel ini (apakah Andrea sendiri yang memberi nama latin bagi bunga-bunga itu? Benarkah dia hafal nama itu semua tanpa melihat lagi buku acuan sebelum dia tuliskan dalam novelnya? Bersifat ilmiahkah tindakan ini?).


Kembali lagi pada film, pemilihan set film dengan menggunakan narasi suara Ikal dewasa yang pulang untuk pamit menuju Sorbonne menunjukkan bahwa peran utama dalam film LP berada pada Ikal, ingat film ini digembar-gemborkan sebagai penggambaran anak desa yang begitu semangatnya menimba ilmu yang dimulai dari sekolah yang hampir roboh sampai akhirnya bisa kuliah diluar negeri dan tokoh utamanya adalah Ikal, tapi sayang aku tidak menangkap kesan yang begitu kuat dari semangat itu ada pada tokoh Ikal dalam film ini (berbeda kesanku terhadap Ikal dalam novel), bukan karena penguasaan peran dari pemain tetapi proporsi untuk menunjukkan itu tidak tereksplor dengan baik.


Pemunculan Ikal diawali dengan ketidak pede-an untuk sekolah dikarenakan menggunakan sepatu perempuan. Sebagai pemeran utama yang memiliki semangat untuk mengejar ilmu justru terkalah dengan sosok Lintang, dimana beberapa kali ditunjukkan adegan dia harus berhadapan dengan buaya, mengasuh adik-adiknya mengejar waktu untuk sekolah setelah kepulangan ayahnya dari melaut dan bersepeda dengan jarak yang sangat jauh. Peran Ikal justru terjebak (atau dijebakkan oleh movie maker) kepada hal-hal yang tidak menunjukkan semangat untuk sekolah. Berulang-ulang adegan seputar kapur, toko keloontong dan kuku indah bahkan dalam kelas pun berulang-ulang ditunjukkan keinginan Ikal untuk membeli kapur. Bandingkan dengan tokoh Denias yang begitu tereksplor dengan sangat baik sekali bagaimana sangat besar porsi adegan penunjukkan keinginannya untuk bersekolah hingga jatuh-bangun menuju kota.


Kesan terburuk yang didapat dalam film ini bahwa Ikal pergi ke Sorbonne hanya karena kaleng bergambar menara Eiffel pemberian pujaan hatinya, seharusnya ditonjolkan secara kuat bagaimana Lintang menjelaskan Perancis sebagai lumbung ilmu yang banyak mencetak tokoh-tokoh dunia dan teori-teori keilmuan yang begitu mendunia sehingga muncul ketekad hati mereka untuk meraih cita-cita itu (jika memang film ini konsisten dengan jargonnya `impian seorang anak desa yang mengejar ilmu hingga ke Sorbonne) tidaklah cukup dengan durasi beberapa detik saja sementara banyak sekali frame-frame yang menunjukkan hal-hal yang tidak perlu!.


Keinginan subyektifku sebagai penonton (yang telah membaca novelnya) justru terletak pada bagian ketika Mahar dan Flo membentuk persaudaraan rahasia sejenis Ilumnati. Bagaimana bocah seumuran Mahar dapat mempunyai ide cemerlang itu hingga mampu meyakinkan orang-orang dewasa dalam proses perekrutan tersembunyinya dan melakukan petualangan demi memecahkan permasalahan berbau mistis, misterius, gaib dan takhayul yang dipercayai oleh pandangan masyarakat tapi mereka memecahkah misteri itu dengan hal yang ilmiah. Meskipun akhirnya anak-anak ini terperosok terlalu jauh dalam kegilaan mereka sendiri hingga nilai sekolah mereka turun drastis dan mengambil jalan singkat meminta bantuan kepada seorang dukun yang paling disegani. Tapi pesan moralnya sangat HEBAT sekali bahkan dukun sekaliber Tuk Bayan saja memberikan `mantra` bagi anak-anak itu; `KALAU MAU PINTAR, YA BELAJAR!`


Sayang dalam film ini porsi petualang mereka tidak terkesplor dengan luas, hanya sekedar ditunjukkan dengan adegan turun dari perahu dan bayangan sang dukun fenomenal itu saja. dan esensi perjuangan anak-anak dalam mencari ilmu, movie maker lebih tertarik mengeksplor pencarian ide kreatifnya Mahar dalam menghadapi Karnaval, sementara persaingan studi (nilai sekolah) dimana masing-masing unggul dalam mata pelajaran tertentu antara sesama anak-anak dikelas tidak terlihat. Terakhir pada penutup film dimana Lintang dari balik jendela menatap bangga anaknya yang bersekolah dan beranggapan pentingnya arti sekolah bagi anaknya, lagi-lagi ini point of view orang dewasa. Terlepas dari itu semua, film Laskar Pelangi sebagai sarana hiburan memang menjadi rekomendasi bagi kita yang haus akan tontonan bermutu, yang capek dengan film-film yang sekedar mengejar trend film. Tulisan diatas adalah murni subyektifitas aku yang merasa ada sesuatu bergerayangan dikepalaku, bikin tangan gatel untuk menulis sesuatu.


Semper letteris mandate - Always get it in writing!




5 komentar:

  1. Wuah... panjang banget... :D Tapi bagus argumennya. Aku nggak nyangka sebegitu rentannya film Laskar Pelangi.

    PS: Kayaknya aku kelewatan pas adegan dia ke dukun deh... :-S Abis bosen... :p

    BalasHapus
  2. hehehehe dah kubilang pst jd panjang, sebenarnya msh ada sih yg bergentayangan diotakku tp takut dikira nyaingi novel LP lge
    bayangin aj klo kritiknya bs jd tetralogi kan repot tuh :p wkakakakakakak
    (tp kynya keren deh ada kritik novel bs smp jd tetralogi, hehehehehe mangnye gue siape?!)

    BalasHapus
  3. wah wah wah, kupas tuntas...

    salam kenal pak :)

    BalasHapus
  4. Gimanapun itu adalah teknis, tp scra emosional serasa da motivasi lebih setelah mengkhatamin bukunya. Silahkan mampir ke blog sy. Sy mengutip dr bku LP ttg sosok Lintang.

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!