Sabtu, Oktober 11, 2008

Rubbish! Everybody has bad times. Don`t give up!



Jika Pras berkutat dengan diskusi antara `dia` versus `dirinya sendiri`, lain halnya dengan Tristan, dia harus berhadapan dengan petugas pemeriksa karcis kereta api. Kesalahan fatal baginya hanya karena mengikuti seorang gadis yang hampir mirip dengan mantan pacarnya, mungkin mantan idaman hatinya lebih tepat lagi, sekarang Tristan harus main `kucing-kucingan` atau lebih tepatnya `kucing-tikus-an` adalah hal biasa bagi penumpang gelap kereta api yang selalu dijadikan kambing hitam atas penyebab defisit atau selalu dijadikan alasan bagi Perum penyedia layanan transportasi massal itu selalu meruginya setiap tahun akibat banyaknya penumpang tak berkarcis yang mengakibatkan sedikitnya setoran pada Negara, ah bagi Tristan setoran itu pasti mampir di kantong pejabat teras Perum dan menguap menjadi rumah mewah atau serupa mobil sport import keluaran dari negeri pemberi hutang negerinya ini.


Rangkaian demi rangkaian gerbong telah dijadikan persembunyian, sementara toilet busuk sudah digembok karena diketahui menjadi tempat persembunyian favorit penumpang gelap, alhasil penumpang resmipun tak berhak menggunakan fasilitas busuk itu. Kini Tristan berada pada sambungan antara gerbong restorasi dan loko, seorang tua memanggilnya untuk turun dari atas gerbong.
“Anak muda lebih baik turun dari situ sia-sia kau korbankan nyawamu hanya sekedar lari dari petugas, ayo turun sini gabung dengan oom,” Tristan hanya tertegun.
Eksentrik sekali lelaki tua ini, rambut putih tapi gondrong terkucir, jaket kulit penuh dengan emblem logo-logo tak asing di matanya, celana jeans belel menyaingi kulit hampir keriputnya dan sepatu catterpillaar tua. Orang ini minta dipanggil oom? ahh dengan eyang kakungnya saja mungkin sebaya, sedikit lompat mendarat pada baja padat lalu dia rebahkan badannya berlindung dari angin, Pras duduk di sebelah lelaki tua itu tapi tidak ada tanda-tanda percakapan diantara mereka. Tristan hanya memberi kode `siapa orang ini?` sementara yang diberi kode hanya mengangkat bahunya sedikit kemudian bersin.
“Hhhuatsyii!”


“Oke Ratri, aku sms sekarang tenang aja…”
“Kamu ngomong apa Bro?” Tristan seperti mendengar Pras berbicara tapi tidak jelas
“Ahh, gak ada apa-apa kok!” tangannya merogoh saku jaket, mengambil handphone. `aku lagi di kereta api bareng Tristan, nanti aku kirim email foto-foto perjalanan kami. Tenang aja kondisi aman terkendali. Salam untuk kawan-kawan di Jogja` ibu jarinya menekan tombol `ok` lalu pada layar tertera `sending message` tak lama layar berkedip `message sent to Ratri`.


“Dulu kawan oom sampai patah tulang kaki dan pergelangan kaki remuk gara-gara jatuh dan berguling puluhan kali tapi dia cuma ketawa karena sebelum jatuh kami ditemani si `TOMI`, kamu pahamkan?” gerakan tangan membentuk topi di kepala lalu dimiringkan yang menyakinkan Tristan atas maksud pembicaraan dari oom eksentrik itu, Tristan masih tersihir pesona eksentrik teman sesama pelariannya itu. Lelaki tua itu memahami ekspresi anak muda berkaca mata di hadapannya.
“Hahaahhaaa… Anak muda…anak muda, engkau terlihat begitu kokoh! Otak mu tidak pernah aku ragukan akan sama dengan udang kali, semangatmu sama seperti mereka prajurit seroja di medan tempur timur laut Dili, tapi kenapa hanya karena tak paham bentuk perhatian dari kekasih lantas kau serupa pesakitan Nusakambangan yang hilang dukungan politis kroni-kroni cendana karena terjerat kasus korupsi, merasa hancur karirnya, kekayaan disita negara atau mungkin lebih tepatnya koruptor seniornya sementara keluarganya kabur keluar negeri menikmati kekayaan yang tidak terlacak tapi lupa menjeguk Ayahnya yang rela mendekam akibat tuntutan istri dan anaknya yang haus akan kehidupan jetset! Baahh… macam mana pula kau ini anak muda!”


Belum habis pengaruh sihir eksentrisme lelaki tua itu, tiba-tiba mulut Tristan dengan ringannya menceritakan perang kecilnya dengan kekasihnya pagi tadi dan sekarang dia seperti Gogon di tengah panggung Ketoprak Humor yang menggigil sakau ditertawai penonton justru bukan karena tingkah polahnya yang membuat geli penonton melainkan cibiran ratusan mulut penonton yang mengetahui dirinya sebagai pengguna narkoba. `Siapa kakek tua ini? Kenapa aku jadi curhat kepada orang itu? Apa hak dia menertawai aku sedemikian puasnya? Biar ku pukul dagu rapuh itu agar diam atau ku lempar dia, mari kita lihat, tertawakah dia berguling puluhan kali tanpa `TOMI`!!` tapi hal itu tidak akan terjadi karena berkas teduh dari balik mata hampir katarak itu menyihir Tristan untuk tetap diam.


“Hey, Kek bisa diam ga? Nanti terdengar penjaga!” Tristan tahu persis ancamannya itu sia-sia, ini akan dilakukan oleh siapapun yang kehormatannya terancam cemooh.
“Apa terdengar penjaga?! Hahahahahha… anak muda…anak muda…Disini?? Kau bernyanyi Indonesia Raya pake versi dangdut dengan menggunakan megaphone pun tak akan terdengar aparat Kodim di dalam sana…hahahhaa… ada-ada saja anak muda ini.” Gila! menyanyi Indonesia Pras versi dangdut adalah sama saja dengan bunuh diri. Jaman SMA dulu Tristan pernah merasakan 27 jam sel dingin Kodim hanya karena tim Marching Band SMAnya memainkan lagu Indonesia Raya versi dangdut tanpa pengawasan pelatih, itupun mereka terselamatkan karena pelatihnya harus turun tangan rela meninggalkan tugas melatih Marching Band Gubernuran Jawa Barat begitu mendengar asuhannya mendekam sel Kodim, sebuah keuntungan mempunyai pelatih anggota Kodim juga.


“Ahh, maafkan kelancangan mulut tua ini anak muda. Sudahlah jangan panggil aku dengan sebutan kakek, bisa mati aku jika kau panggil kakek. Panggil aku oom, oom Binsar!” tangannya menjulur kearah Tristan, kini mata Tristan jelas merasakan keteduhan sihir mata abu-abu itu, tapi kemudian terbelalak begitu tangannya berjabat erat dengan lengan lelaki tua itu semakin ototnya mudanya meregang, reaksi otot lelaki di hadapannya itu tak kalah tegasnya, bukan orang tua biasa kesimpulan singkatnya. Pras hanya sekedar menghormati orang tua ini, tangannya ikut menyambut uluran, berkenalan singkat sekedarnya lalu tenggelam dalam dunia lamunannya, berbeda dengan Tristan.


“Ok oom… tapi dengan satu syarat, berhenti sebut aku anak muda!” lengan mudanya melepas pasti jabat erat lawan bicaranya.
“Aih, anak muda dengan darah mudanya, luar biasa!. Ok, aku tidak akan sebut Kau lagi dengan sebutan anak muda, setuju anak muda…ooo maaf siapa namamu anak muda?” pancingan Binsar langsung diterkam Tristan.
“KODOK, bukan A NAK MU DAA!” Kereta ekonomi berhenti sesaat untuk memberi kesempatan bagi kaum borjuis pada kereta kencana Argo Lawu melaju, tak berubah jaman ini sejak Max Havelaar merasakan perbedaan kelas antara Adipati dengan kawulo alit di tanah Banten sana.


Semilir angin senja menjadi penghantar momen curhat yang nyaman terlebih kopi panas tertuang dari termos stainless steel setinggi 40 centi menghangatkan tubuh dari nakalnya angin bulan desember.
“Aku heran oom mengapa wanita tidak mau memahami kegelisahan kita kaum adam ini?” Tristan kembali mempercayakan gelora batinnya pada orang yang baru dikenalnya ini sementara Pras tenggelam dalam Nikon D10, lensanya kini mengarah pada langit senja dan belasan burung.
“Padahal aku sudah meghilangkan ego kelelakianku dan ku obral gengsiku bahkan derai tangisku laris manis menetes di hadapan dia ketika seluruh unek-unek ku ungkapkan pada pacarku, tolong digarisbawahi PACARKU, tapi apa yang kudapat? hanya tanggapan dingin! lantas pada siapa lagi aku harus berbagi? Apa pada seorang tua eksentrik di tengah jalan kupanggil dan kuberi uang lima rebu perak cuma untuk mendengar rengekanku tanpa perlu komentarnya, semurah itukah aku?”


“Hhmm, Tristan muda…” aihh mulai lagi kakek tua ini membangunkan macan lapar dalam diri Tristan
“Oom cukup Tristan saja, ok” senyum kecut jelas ditunjukan sebagai bentuk protesnya. “Kau harus memahami dirimu sendiri baru kau coba pelajari perempuan kekasihmu itu, kau akan sangat menyesal ada disini jika saja kau sudah paham betul dirimu sendiri dan perempuan kekasihmu itu adalah belahan jiwamu bukan? Ini juga berlaku untuk dirimu anak muda” Binsar menunjuk pada Pras, lalu menawarkan kopi panas dari termos stainless steelnya. Pras yang semula tidak ambil bagian dalam diskusi kecil itu akhirnya menjadi tertarik untuk mendengarkan.
“Otomatis kau pun akan memahami jalan pikiran kekasihmu itu. Panggil kembali memori biologismu yang pernah menyatakan bahwa dia adalah pilihan paling tepat bagi dirimu, mahluk yang akan meruntuhkan raksasa Gorgoyle dalam diri liarmu itu, panggil saja kembali toh ada dalam dirimu tidak kau buang,” auranya memancar tenang, mentari senja mencipta siluet tubuhnya kala menenggak kopi panas. Momen ini tak luput dalam jepretan kamera Pras.


Tristan serasa dibelai oleh Eyang kakungnya dulu saat dia menangis berebut bola tenis dari tangan sepupu tuanya. Meresapi kata-kata lembut tadi, terheran akan rasa hormat kakek tua ini terhadap kaum hawa, bahkan dia menyebut perempuan bukan wanita, meski Tristan pernah tidak sepakat berdebat sengit dengan kawannya yang sok aktivis itu mengenai perubahan istilah `wanita` menjadi `perempuan`, dia akhirnya mengakui ada makna dan efek berbeda lebih dari sekedar sebutan belaka, perempuan terasa lebih terhormat dan memberi efek psikologis hebat bagi yang disebutnya. Pras baru menyadari, bagaimana kakek tua itu dapat mengetahui kalau dia pernah mengatakan bahwa Nadhien adalah pilihan paling tepat bagi dirinya juga tentang raksasa itu?


“Aku pernah muda bahkan sekarang pun masih muda jadi jangan heran. Boleh aku menebak?” Tristan hanya menggerakan bahunya halus saja.
“Kulihat dari gayamu, pasti kau ini sering mendaki gunung tapi kau belum layak disebut pecinta alam, jangan marah dulu kawan,” sesaat darah muda Tristan berdesir tapi Pras menahan bahunya, peringatan kakek tua ini ada benarnya, walau ada protes dalam dirinya, hampir mati hypothermia di ujung puncak Pangrango demi selembar syal berwarna orange bertuliskan MAHASISWA PECINTA ALAM, kok bisa-bisanya diragukan kadar “cinta alam”nya. Baik mari kita dengarkan siraman rohani kakek tua ini, dalam hatinya coba berkompromi dengan gejolak batinnya.


“Seorang pecinta alam sejati pasti mampu memahami perempuan, kau pikir orang membuat perumpamaan yang sia-sia antara perempuan dengan alam dan berpikir tidak ada kaitannya sama sekali? Coba sadari lagi kenapa alam nusantara raya ini disebut BUNDA PERTIWI, coba kau khayalkan kembali kenapa padi di sawah sebagai perlambang Dewi Sri, pernah dengar pegunungan yang diumpamakan dengan keindahan payudara Putri Sheeba (THE BREAST OF SHEEBA)?, atau kau perlu menyelam laut selatan untuk menemui Ratu Roro Kidul?, coba kau renungkan lagi kenapa Shopia akar kata philoshopy bermakna sisi perempuan dari Tuhan, bahkan agamaku menaruh keistimewaan teramat indah pada diri perempuan; cita-cita paling luhur dari manusia paling suci hingga manusia paling bejat sekali pun, siapa tak ingin menuju SURGA? Kau tahu letaknya dimana? Telapak kaki ibumu, ibumu, ibumu bukan ayahmu! Melebihi tanaman padi, melebihi nusantara raya, melebihi sebuah dimensi. S U R G A! anak muda, surga pada diri perempuan, begitu juga agama lainnya yang menaruh penghargaan tertingi terhadap perempuan, pasti kau pernah dengar Holly Marry The Virgin atau Dewi Kuan Iem.” Binsar memperhatikan ekspresi wajah Tristan.


“Berapa kali kau mendaki gunung? Gunung tertinggi mana pernah kau taklukan?” Tristan sadar pertanyaan itu bukan untuk dijawab terlebih dengan arogansi penaklukan.
“Tapi pernahkah kau berdiskusi dengan alam? Ya… memang gunung bisa menjadi guru alam paling hebat bahkan melebihi guru besar dari UGM sana yang lagaknya melebihi kemampuan wali, seolah-olah hanya dia yang pernah sekolah saja, tak perlu jauh-jauh jika untuk sekedar berdiskusi dengan alam, apa menurutmu Ebiet G. Ade adalah seorang gila ketika dia berteriak lembut dengan gitar usangnya … `tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…`, Ebiet telah mendapatkan jawaban maha dahsyat dari situ bukan pertanyaan sia-sia dia ajukan pada rumput bergoyang dengan jawaban angin lalu semata” diam beberapa detiknya mencipta decak kagum akan keluasan pandangan kakek tua ini.


“Aku tidak akan membuat mu menjadi paham karena aku pun sekedar berdiskusi dengan salah satu unsur alam paling sempurna yang Tuhan pernah ciptakan, bukan begitu pemuda pendiam?” matanya menatap dalam kearah Pras, sementara dalam hati Tristan bergema, `hey Binsar tua sudah berapa gunung pernah kau ajak diskusi?` dia yakin pada pandangan pertamanya bahwa lelaki tua ini juga pastinya sering mendaki gunung, begitu juga keyakinan lelaki tua yang menebak tepat hobinya, dia jadi teringat seloroh kawan laki-laki genitnya pernah berkata `hanya Gay tulen yang dapat mengetahui ada beberapa Gay berkeliaran dalam gedung mall ini` kawannya itu dapat menunjukan dengan yakin orang-orang tersebut. Rasanya sia-sia dia menunjukkan pada kawan-kawan kosnya puluhan lembar poto ekspedisi alamnya dan koleksi potongan ranting kayu bakar dari setiap gunung yang dia beri catatan serupa inventaris sebuah departemen yang dibeli dengan uang negara, tak pernah dia sadari untuk berdiskusi dengan alam, dengan gunung, pohon, semak, burung, ular atau apapun yang dia temui sepanjang langkah ekspedisinya. Bodoh kau anak manusia!


“Boleh saya gabung disini?” senyum tipis pemuda tegap itu seakan sedikit lega, lega bisa lepas dari kejaran penjaga, lega mendapatkan kawan pelarian dan lebih lega lagi seorang tua menyodorkan kopi panas setelah wajahnya tertampar angin selama tiga jam lamanya. Entah ada chemistry apa bagi sesama pelarian mereka begitu mudahnya menggelontorkan bongkahan perasaan hati mereka yang membatu serupa gunung Merapi yang memuntahkan jutaan kubik material lahar dingin.
“Hahaha…lagi-lagi anak muda dengan dengan problematika hidup” ringan saja Binsar melontarkan ungkapan itu tanpa melihat ekspresi wajah kedua anak muda yang hanya saling berpandangan aneh.
“Maaf pak, nama saya Dewan… dan terus terang saya kurang suka dengan sebutan `anak muda` tadi, maaf,“ Tristan seolah sepakat dengan kawan barunya ini, ekspresi wajahnya menunjukkan hal itu dan dagunya memberi kode pada Binsar, seolah mengatakan dengan lantang `kau dengar, tidak ada satu anak muda pun senang untuk disebut anak muda` tentunya tidak dengan bahasa verbal sementara kakek eksentrik ini lagi-lagi hanya tersenyum.


“Jadi kau lari dari dunia pendidikan hanya karena kau menangis? Secengeng itukah pemuda segagah dirimu ini! Bisa kau ceritakan lebih jauh lagi?” Tristan yang tidak menjadi objek `pembantaian mental` dari Binsar menggeleng lembut bercampur salut akan keterbukaan kakek itu mungkin memang seperti inilah dia berbicara dengan semua orang yang baru dia kenal, tidak ada sedikitpun basa-basi keparat atau hormat palsu bagi lawan bicaranya.
“Jauh sebelum itu oom!, ketika aku masih di dalam rahim bundaku, nama Dewantara sudah dipersiapkan Ayahku yang berharap agar kelak anaknya menjadi pendidik seperti sosok Ki Hajar Dewantara karena Ayah pengagum sosok besar itu, terlebih Ayah adalah lulusan Taman Siswa di Jogja dulu kala, aku turuti keinginan agung Ayah selain itu juga aku pun terasa seperti ada panggilan untuk mendidik anak-anak Indonesia meski jauh dari bayangan untuk dapat menciptakan putera bangsa berkualitas, aku hanya terprovokasi setelah membaca Kartini ketika di sekolah dasar dulu, aku ingat betul ucapan Kartini `betapa sempurnanya hidup, menjadi Guru sekaligus menjadi murid dalam waktu bersamaan`, terus terang saat itu juga badanku bergetar.” Dewan tak ragu menceritakan masa lalunya


“Berapa lama kamu menjadi guru? Bukankah dirimu mendapatkan kesempurnaan hidup dari mendidik?” Tristan turut membuka diskusi sela gerbong bagi pelarian, ada rasa penasaran dari tutur kata Dewan terlebih ketika dia menyatir kata-kata Kartini.
“Hanya sekitar enam bulan saja, empat bulan terakhir sebenarnya sudah menjadi puncak pemberontakanku. Awalnya memang aku merasakan nikmatnya dunia mendidik anak-anak, bayangkan saja berpuluh-puluh anak menciumi tanganmu ketika kau baru sampai pada gerbang bambu sekolah terpencil itu, aku yakin dulu waktu SD kau pernah mengalami itu, bahkan anak-anak yang berada di pojok sekolah pun berlarian menyambutku dan memanggilku `pak guru..pak guru` berebutan menciumi tanganku, tapi kenikmatan itu tidak kudapatkan dari rekan sesama pendidik, mereka korup! Mereka memeras kantong orang tua dari anak-anak yang hanya sekedar buruh tani, menggarap sawah mereka sendiri tapi hasil panen menjadi milik tuan tanah hanya karena sertifikat tanahnya berubah menjadi uang pangkal masuk sekolah bagi anaknya, bahkan parahnya lagi tuan tanah itu adalah orang yang sama dengan Kepala Sekolah dari sekolah dimana anaknya mengecap pendidikan dari guru-guru setengah hati mengajar, tak layak mereka disebut mendidik!” Dewan menceritakan dengan menggebu-gebu.


“Mengapa kau begitu idealis anak muda, ooh maaf, Dewan? Tidakkah kau sadar akan kebutuhan hidup guru-guru daerah terpencil seperti rekan kerjamu itu? Seberapa besar gaji pokok dan tunjangan minimalis para pendidik kita? Terlebih mereka yang bertahun-tahun menjadi `budak` dari dunia pendidikan kita ini, alih-alih anggaran, pemerintah terkesan senang mempertahankan status `honorer` mereka bukankah itu sebuah penelataran? Aku juga yakin ada pergolakan batin antara idealismemu dengan kenyataan kebutuhan hidupmu. Begitu juga rekan kerjamu yang harus membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya yang harus mereka sekolahkan diluar tempat dia bekerja karena mereka paham betul rekan kerjanya akan mengajar separuh hati jika anak mereka bersekolah di tempat dia mengajar, maka dia harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mencari sekolah yang sedikit lebih memadai. Tokoh idolamu; Ki Hajar Dewantara dan Kartini berasal dari keluarga berkecukupan, anak muda. Pernah terpikir hal itu dalam diri pemberontakmu?” mata abu-abu Binsar seolah menyala di balik keremangan senja yang semakin pekat.


Dewan mengatur emosinya, menata napas, mempersiapkan kata-kata. Tenggorokannya seolah tersedak akibat masuknya oksigen yang tak terbendung oleh hidungnya akibat ucapan Binsar tadi.
“Aku berasal dari keluarga tidak lebih dari cukup pak, tidak lebih, bahkan cukup pun jarang kami temui, gelora mudaku tak pernah mempertanyakan besarnya honor kuterima dari sekolah dasar desa terpencil yang berdiri di atas tanah kas desa, berdinding kapur campuran pasir, atap genteng dengan ventilasi lebar di atasnya bahkan tiga dari empat ruang belajar tanpa daun pintu sama sekali, tak tega rasanya aku menerima rupiah dari kondisi itu, tapi kenyataannya aku membutuhkan biaya juga, maka hak honor empat bulan yang tak pernah kuambil terpaksa kumintakan.” Bibir Dewan bergetar sehingga suara yang keluar dari tenggorokan terdengar seperti menggigil, dia pun menarik napas panjang tapi wajahnya tak kuasa dia angkat. Sinar matahari senja menyentuh setengah wajahnya, lensa Nikon zoom mengarah pada detail wajah itu.


“Enam ratus ribu rupiah, pengabdian empat bulanku hanya dihargai enam ratus ribu rupiah. Satu bulan aku hanya berhak mendapatkan sebesar seratus lima puluh ribu rupiah, bayangkan enam hari kerja dengan enam jam kerja perhari maka aku mendapatkan enam ribu dua ratus lima puluh rupiah, sementara aku datang pada sekolah terpencil itu harus menggunakan satu kali angkutan kota disambung angkutan desa lalu berganti naik ojek pada ujung desa itupun aku diuntungkan tidak perlu mengeluarkan ongkos penyeberangan sungai karena si pemilik getek merupakan salah satu orang tua muridku,” intonasi yang keluar dari mulutnya terkesan bergetar.


“Bukan itung-itungan rupiah sebenarnya yang membuat aku mengambil keputusan untuk keluar dari sekolah itu, hampir setiap malam aku dihantui kesombongan akademisku, terror pengecut dalam batinku jika aku keluar dari garis juangku ini serta kenyataan rupiah selalu berkecamuk dalam malam-malamku, betapa tidak kesombongan akademisku berteriak kawan! Satu minggu setelah aku mendapatkan hak atas rupiahku aku menemukan lembar rekapitulasi pembayaran gaji para guru, disitu tertera nama penerima, latar pendidikan, jenjang dan jumlah gaji.” Pandangan Dewan menjadi kabur akibat air yang terbendung kelopak matanya.


“Miris rasanya dan menangis kesombongan akademisku begitu mengetahui guru lulusan setingkat D II mendapatkan gaji pokok sebesar dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, oke mungkin karena beliau memiliki masa bakti setelah belasan tahun jadi berhak mendapatkan gaji sebesar itu, tapi aku terkejut sampai terduduk tidak percaya, Pak Udin penjaga sekolah yang hanya berlatar pendidikan pernah mengikuti Kejar Paket C mendapatkan gaji sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah sedang aku lulusan Sarjana Sosial Politik dari Perguruan Tinggi Negeri paling bergengsi di Yogyakarta mendapatkan gaji sebesar seratus lima puluh ribu rupiah perbulan, aku merasa sang maha patih pun menangis melihat lulusannya dengan kondisi terpuruk ini,” ketiga pelarian itu hanya terdiam masing-masing mencari perlindungan batin atas kenyataan yang baru saja mereka saksikan dari pengakuannya. Ada yang menatap rembulan, memegang cangkir kopi dan satunya lagi hanya menyedot asap tembakau sekedar meredam efek dari cerita getir Dewan.


Lengan Binsar menepuk bahu Dewan memberikan sedikit sokongan mental, Dewan hanya menatap sebentar tangan pada bahunya itu.
“Disitulah aku sadari betul, ijazah sarjanaku belum menjadi jaminan kehidupan lebih baik, ternyata aku harus mengakui keunggulan orang beruntung dalam sistem kehidupan yang belum juga aku pahami kemisteriusannya hingga detik ini,” kali ini Dewan memberanikan diri untuk menatap mata kawan-kawannya untuk mengetahui reaksi dari cerita panjangnya itu. Binsar tak ragu membalas tatapannya tapi Tristan terkesan gelagapan mencari perlindungan lagi.


“Kawan, hidup adalah perjuangan, aku yakin semua orang sepakat akan hal ini. Kita perlu mempersiapkan segala amunisi dan logistik untuk mengarungi medan pertempuran masing-masing agar tidak mati konyol atau terdampar pada pojokan gelap kehidupan. Ada saatnya kita berkata, ya, sudah saatnya kita berdiri lalu berjalan mencari jawaban atas misteri sistem kehidupan yang belum kau temui hingga saat ini hingga berwujud kegelisahan, mencari, dicari, carilah! meski tak kau temui tetapi sesungguhnya proses pencarianmu itulah jawaban itu. Oh maaf, setidaknya hal itu yang sedang kulakukan kawan, mungkin saja bisa sama untuk dirimu, bisa saja karena kita sama-sama pelarian, bukan begitu kawan Tristan!” Tristan hanya mengangkat cangkir kopinya.


Pembicaraan mereka beralih pada perjalan hidup Binsar yang membuat perut mereka terkocok hingga kaku dan mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka bertukar alamat, nomor telpon bahkan email tradisi lama bagi para penjelajah alam sebagai tanda pertemuan mereka kali ini merupakan sebuah awal perjalanan panjang bersama dan seakan berikrar suci akan melakukan petualangan bersama di masa depan. Sisa pertanyaan diskusi panjang masih menunggu untuk dikeluarkan tapi malam terlanjur larut, rasa letih mereka memaksa tubuh untuk takluk pada rasa kantuk, berharap jiwa gelisah hilang terbawa angin laju kereta api yang menembus kegelapan malam alam pasundan. Mentari pagi menyentuh kelopak mata Pras, Tristan dan Dewan tapi mereka tak menemui sosok Binsar, pada jaket mereka terdapat bungkusan nasi rames panas dan termos stainless steel setinggi empat puluh senti terselip di bagian samping ransel Tristan sudah terisi penuh lagi, dia tahu ini hadiah spesial untuknya. Mereka saling bertatapan, tersenyum dan berkata
“Dasar lelaki tua eksentrik bernama Binsar!” tawa lepas keluar dari mulut mereka. Tristan berteriak mengacungkan termos kecil itu,
“Oooii, orang tua, kami anak muda ini berterimakasih, bangsaaattt!!!” Dewan tersenyum geli namun dalam batin Pras masih menyisakan misteri, dia merasa ada benang semrawut yang kedua ujungnya akan bertemu antara Pras dan Binsar.


Derit roda kereta api berhenti pada stasiun kereta api Kota Bandung. Dewan masih harus melanjutkan perjalanannya, Tristan sudah merengek untuk segera menuju BIP, Pras memberi menyetujui dengan syarat mandi dulu.
“Ini Bandung Bro! jangan samain dengan Jogja dong, katanya mau liat-liat cewek Bandung, mandi dulu abis itu sarapan, oke! Sayang kan nasi bungkus dari oom Binsar, Gak lama kok, lagi pula BIP masih sepi jam segini,” Tristan akhirnya sepakat karena sisa pencernaan semalaman memaksa untuk segera terbuang.


Tristan sibuk dengan pilihan lagu-lagu Punk yang dibuat secara indie-label, dia jadi tertarik dengan filosofi Punk setelah membaca novel Dewi Lestari bahkan dia yakin akan bertemu Bodi di Bandung ini, parahnya lagi Tristan akan memangkas habis rambutnya mirip Bodi, kalau bisa Bodi sendiri yang bersedia menggunduli kepalanya yang asimetris itu belum lagi bekas luka tahun baru lalu, entah apa jadinya orang ini nanti. Ahh bekas luka tahun lalu berarti mengingatkan dirinya pada sosok Genta. Pras memindahkan memory card pindah pada card reader masuk kedalam laptopnya, hari ini dia harus memenuhi janjinya pada Ratri untuk mengirim email cerita perjalanan mereka. Dipilihnya foto-foto hasil jepretan Nikon, anehnya tidak ada yang menampilkan wajah Binsar dengan jelas, yang ada hanya siluet, tertutup tangan ketika menggambarkan maksud pembicaraan, tertutup cangkir kopi dan beberapa hasil yang tidak fokus.


Beruntung mall BIP ini memiliki fasilitas hot spot, Pras leluasa mengakses internet tanpa harus keluarkan biaya, entah ada berapa rupiah dalam dompetnya, duduk pada deretan meja restoran siap saji waralaba dengan mascot badut ini bukan berarti harus memesan menu dari situ, Pras pun tetap dengan cueknya meski meja sebelahnya dilap berkali-kali, dia tau itu salahsatu strategi agar dia tidak nyaman dan pergi dari meja itu. Email telah terkirim, laptop ditutup lalu berpindah kedalam ranselnya, Senyumnya mengembang. Just like you said to me, Ratri; “You are single until you decide you are. Just until you decide.” Yap, kamu benar! Aku pun meng-amini ucapanmu, at the end I am taking care of my self! So, perjalanan ini bukan pelarianku, hanya sekedar kembali pada titik awalku.


Dengan polosnya Pras bertanya pada pelayan restoran siap saji itu, “Kang, kalau yang jual nasi kuning dimana ya? Saya gak biasa makan sampah euy!” haram baginya memakan junk food, si pelayan dengan muka masam menjawab tidak tahu. Pras tidak peduli lagi pula dia sudah sarapan nasi bungkus pagi ini. Perasaannya jauh lebih ringan.

Kaloran Pena, Medio June 2008
(Rubbish! Everybody has bad times. Don`t give up... adalah ucapan peringatan seorang kawan terbaikku (Eve) saat aku terpuruk !)

2 komentar:

  1. di dalam hatiku
    takkan pernah hilang
    bayangan dirimu

    akhirnya kini ku sadari

    adakah semua kan terulang, kisah ?
    yang seperti dulu

    hanya dirimu yang ku ? ku ? di ? hilang ...

    peterpan - kisah cintaku - andisaputro

    BalasHapus
  2. aprove gw di anug_h_him@yahoo.co.id
    untuk semua facebook dan friendster

    ....::[bekti]::....

    regars4allatentionare

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!