Minggu, Februari 01, 2009

Lir handaya paseban jati

Aku kenang dia dalam suatu masa
Dianya tersenyum, melambaikan tangannya
Kusayangi dia dalam segalanya
Tapi kini dia pergi entah kemana…


Kenikmatanku mendengarkan lagu aransemen Erwin Gutawa yang bergema lewat ear phone dari alat pemutar musik digital seukuran ibu jari terganggu ketika motorku tiba-tiba berjalan oleng akibat pecahnya ban depan motor Binter Mercy tua ini. Kuhentikan motorku pada pinggiran jalan, sama halnya seperti tipikal orang Indonesia umumnya, sudah tahu ban motorku meletus masih juga kutekan karet bulat yang tidak lagi tersisa angin didalam situ. Langit sore semenjak siang tadi menunjukkan pertanda alam akan turun hujan masih juga menggelayutkan awan hitam penuh dengan hasil penguapan zat cair, siap menunjukkan siklus perputaran air secara alamiah.



Pertanyaanku pada pengatur alam sederhana saja, mengapa harus Kau tunjukkan siklus alam itu justru ketika ban motorku pecah? Penyakit akut motor tua ini pasti akan kambuh jika terkena air, benar saja busi yang seharusnya tertutup aman oleh karet klepnya tak kunjung memercikkan api dari ujung kepalanya. Lengkap sudah penderitaan, belum kering luka hati akibat kacaunya hubungan dengan kekasih, aku masih harus menerima perlakuan tidak adil dari Sang Maha Adil, sementara aku berada di suatu titik entah dimana, middle of no where, yang dapat kupastikan aku belum melintasi batas wilayah NKRI. Entah telah berapa kilo meter aku berjalan mendorong motor tua warisan pamanku ini, siraman hujan lebat dan kabut dingin menambah beratnya beban yang sedang kutanggung, belum juga ada tanda-tanda kehidupan di sepanjang jalan, hanya berjajar deretan pohon karet dan sawit. Kilatan petir berwarna perak terang memberi kesan kontras langit yang menghitam, suara gelegarnya sempat membuat nyaliku ciut, terasa dekat sekali.



Lututku mulai bergetar, kupaksakan tetap mendorong motor ini, setidaknya menahannya jika tidak ingin terkena imbas hukum gravitasi, tanjakan yang cukup panjang mau tak mau harus kuhadapi, setelah ini aku sudah dapat menerka jalan turun curam akan kuhadapi di ujung tanjakan nanti. Aku menikmati hukum gravitasi kali ini, duduk sejenak di atas motorku meluncur menyaingi derasnya hujan, yang perlu kuperhatikan adalah cekatan dalam menekan rem kaki itu saja. Beberapa detik meluncur menyadarkanku bahwa ini adalah nikmat Sang Pemberi Kuasa, bukan penderitaan. Tuhan telah buktikan kuasaNya, tepat ketika hukum gravitasi tidak lagi menunjukkan pengaruhnya pada laju motorku, di sebelah kanan jalan kulihat gubuk tua.



Untung saja gubuk kosong ini tidak banyak memiliki celah pada atapnya, terkesan cukup terawat meski aku tidak melihat ada orang lain disini. Mungkin ini biasa dijadikan tempat menunggu truk pengangkut hasil panen sawit, kulihat beberapa butir biji sawit berwarna merah dan sebagian lagi menjadi busuk betebaran dekat sebuah pasak kayu yang biasa digunakan untuk menimbang setiap janjang tempat puluhan buah sawit bergerombol dalam satu kesatuan. Dibawah dipan kulihat tumpukkan kayu dan ranting kering, kuambil beberapa batang untuk kujadikan penghangat tubuhku yang mulai menggigil, bibir biru dan kulit jemari semakin keriput. Layaknya anak kecil yang mencuri mangga dari sebuah kebun, aku meminta ijin agar dapat menggunakan ranting kering ini, aku diperbolehkan, tentu saja ucapan pengabulan ijin itu keluar dari mulutku sendiri.



Kunikmati sensasi hangat dari ranting kering yang membara ini, sambil kutunggu air dalam cangkir stainless mendidih akan kuseduh dengan kopi instan. Aroma kopi instan hitam pekat cukup melumerkan sebongkah penderitaanku. Pemutar lagu digital kembali mengeluarkan suara berupa musik, kepalaku mengikuti irama ketukan musik genre rock and rollI, lantunkan lagu The Rolling Stones. Kuhirup minuman hasil campuran serbuk hitam mengandung kafein dan gula ini. Kuserap kehangatan yang memancar dari cangkirku

……
I can get no satisfaction!
I can get no satisfaction!
.....


Seikat ranting basah tiba-tiba terjatuh tepat di depan api unggun buatanku, kuperhatikan sosok yang berdiri di hadapanku mulai dari sepatu boot karetnya, celana pangsi hitam dan sebilah parang tergenggam. Terlihat jelas siluet sosok di hadapanku ketika kilatan petir kembali menyala terang disusul gemuruh guntur yang menggetarkan nyaliku. Pikiran burukku tiba-tiba menjadi teroris bagi diriku, kusesali kuputar lagu itu terlampau keras sehingga aku lengah tidak mendengar langkah sosok yang masih berdiri di depan pintu gubuk dengan parang di genggamannya. Apakah aku akan menjadi korban dari parang panjang itu?



”Rupanya ada orang disini?” suara khas itu jelas milik orang tua tetapi getar suaranya didominasi akibat dingin yang menggigilkan tubuhnya, wajah tuanya baru sempurna kulihat ketika dia sedikit berjongkok mendekat api, tersenyum ramah dengan geligi depan tanggal beberapa diantaranya, kubalas dengan senyuman canggung. Hujan masih belum juga memberikan tanda akan reda, kakek tua itu menyodorkan sebatang rokok lintingan hasil racikan tembakau, klembak, cengkeh dan candu kemenyan. Aku menolaknya karena pernah kucoba racikan yang sama buatan Lik Dirjo, pamanku yang memberi naungan selama aku hidup di Sumatera, tapi aku terbatuk-batuk tak kuat menahan asap yang seolah memukul dada dan menyobek tenggorokanku. Kutawarkan kopi panasku, aku sambut plastik berisi ramuan rokok tradisional, kali ini aku cukup menambahkan bubuk cengkeh saja, itu pun hanya seujung kuku.



Pak Ngabidin, lelaki tua ini diberi tugas merawat dan mengambil hasil panen kebun sawit pada lahan seluas sepuluh hektar, sementara pemiliknya orang kaya di Jakarta sana. Pertemuan awal sudah dapat kunilai betapa bersahajanya lelaki tua ini, pasti kehidupannya sederhana saja tapi tak pernah merasa kekurangan sedikitpun. ”Kalau boleh tau, siapa namamu anak muda? Kenapa bisa ada di hutan sawit saat hujan lebat seperti ini?” asap rokoknya mengepul tebal dengan aroma kemenyan pekat, seolah memanggil mahluk halus dengan aroma mistisnya. Praktis dalam gubuk kecil ini hanya berisi asap; asap dari pembakaran ranting dan dari dua batang linting tembakau.



“Ganda Manggala Hanacaraka tapi teman-teman memanggil saya dengan sebutan Raka.” kusebutkan nama pemberian kakek dari ayahku. ”Nama yang bagus sekali anak muda! Apa kamu mengerti arti dari nama itu?” parang panjang kakek tua itu memotong tali pengikat ranting tadi, mengeluarkan beberapa batang singkong yang dia selipkan diantara ranting-ranting bawaannya kemudian membakarnya. Gelengan kepalaku disambut kekeh kecilnya, aku tidak pernah menanyakan arti nama pemberian kakekku, ayahku sendiri tidak memahaminya meskipun dia keturunan Jawa, kepergiannya ke Jakarta sejak SMP membuatnya lupa akan akar budayanya. Sayangnya lagi ayah tidak sempat menanyakan arti namaku, kelahiranku bertepatan dengan wafatnya kakek.



”Betul kamu tidak tahu arti namamu? Tapi setidaknya kamu pernah mendengar istilah HANACARAKA bukan?” tangannya masih sibuk memutar-mutar lintingan tembakau yang sering lepas. Gelengan kepalaku hanya disambut dengan anggukan-anggukan kecil kepala berambut putih itu. ”Hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga adalah aksara Jawa, pasti bapakmu asli Jawa” pandangan kakek tua kearahku memancarkan keteduhan, bukan karena bola matanya yang sudah tersaput warna putih di lingkar hitam korneanya. ”Saya tidak pernah tahu arti nama saya, apa Bapak mengerti artinya? Nama itu pemberian almarhum kakek saya.” Rasa penasaranku semoga terjawab dari penjelasan kakek ini, apapun yang akan dia terangkan pastinya sebuah ilmu yang tidak akan kudapatkan dari bangku sekolah. Alat digital pemutar musik itu kurubah setting fungsinya sebagai alat perekam suara, tak mungkin akan ada pengulangan kuliah singkat ini.



”Aksara Jawa tersebut bagi sebagian orang Jawa memiliki nilai falsafah luhur, memiliki arti yang mendalam sebagai perwakilan hubungan antara Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai mahluk ciptaannya dan kewajiban manusia dalam menyelaraskan hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam tempat tinggalnya.” Kuhirup kopiku, penjelasan padat makna ini harus kuikuti dengan seksama. ”Kamu pasti anak kedua bukan?” pertanyaan itu kujawab dengan singkat, mungkin dia menerka dari nama depanku. ”Kata Hanacaraka dapat dipisahkan menjadi masing-masing suku kata yang dapat berdiri sendiri dengan makna di setiap suku kata itu, Ha-Na-Ca-Ra-Ka, sedangkan jika digabungkan Hanacaraka sendiri juga mempunyai filosofi yang dalam, yaitu bermakna adanya "utusan" yakni utusan hidup, kamu tahu kira-kira utusan hidup itu?” pertanyaannya membuat aku jadi tersedak, lintingan rokok itu kumatikan. Untuk menjawab pertanyaan berbentuk falsafah hidup aku tidak boleh menjawab sembarangan.



Memori biologisku berusaha mengaitkan kata-kata kunci, ”Tuhan,” ”Manusia,” ”Hidup” dan ”Utusan.” Meski kudapati titik temu tapi ragu kujawab pertanyaan itu, ”Mungkin maksud utusan hidup itu Nabi, benar Pak?” aku menunggu penilaian atas jawabanku tetapi respon senyum lepas yang memamerkan gigi yang terputus rangkaiannya itu meyakinkanku bahwa aku tidak tepat menjawab. ”Hahaha anak muda Nabi diutus untuk kemaslahatan umat banyak, utusan yang kumaksud adalah utusan masing-masing diri kita pribadi, utusan itu berupa nafas! Dimana nafaslah yang menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Ada tiga unsur atau kalau orang intelek bilang semacam trilogi; ada yang memberikan kepercayaan itu sendiri, maka ada yang dipercaya oleh si pemberi dan tentunya harus ada yang dijalankan dari kepercayaan yang telah diberikan. Singkatnya ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia.” Tatapan matanya seolah menganalisa kemampuan daya tangkapku.



Kulihat alat perekam digitalku, masih berjalan merekam dengan baik setiap pembicaraan kami. Tenang saja Pak Tua meski aku belum sempurna memahami ilmumu, setelah ini bisa kuputar berulang kali sampai kupahami betul apa yang telah kau ucapkan. Kukeluarkan tiga batang singkong yang sudah tercium aromanya dari bara api, tepat sekali sebagai pengisi perut kami yang mulai kelaparan ini. Kutiup singkong bakar bagianku sekedar mengurangi panasnya, Pak Ngabidin sibuk meracik lintingan keduanya. Sejenak teralihkan segala permasalahan yang telah kuhadapi sejak pagi tadi hingga aku mengambil keputusan untuk kembali menuju Pulau Jawa tinggalkan Pulau Sumatera ini yang kurasa tidak ramah bagiku. Lain halnya dengan lelaki tua dihadapanku, sudah hampir separuh hidupnya dihabiskan di daerah perantauan sebagai transmigran, bedol desa, mengikuti program pemerataan penduduk yang dipaksakan oleh pemerintah baginya dan seluruh warga desanya. Kemudian mereka ketahui desa tercintanya terendam air karena telah berubah menjadi bendungan, itupun dengan cara paksa bagi mereka yang menolak untuk ”di-transmigrasi-kan”, sebagai konsekuensi dari penolakan program pemerintah maka nyawa dan rumah mereka hilang tenggelam menjadi penghuni dasar waduk.



Aku tidak peduli lagi dengan arti namaku, aku belum merasa puas dengan ilmu falsafah Jawa yang telah diberikan Pak Ngabidin. Cerita masa lalunya memutuskan kuliah singkat dalam gubuk tua ini. ”Maaf tadi Bapak bilang hanacaraka datasawala padhajayanya maghabathanga memiliki makna yang dalam tapi Bapak baru menjelaskan makna dari hanacaraka saja kepada saya, jika tidak keberatan bisa Bapak jelaskan lanjutannya Pak?” kuperhatikan ekspresi wajahnya yang menandakan senang karena aku begitu antusias. ”Hahaha, saya kira kamu ndak tertarik dengan hal-hal yang berbau kuno ini. Oh ya sampai mana tadi ya? Jadi lupa! keasyikan cerita kampung halaman. Ehmm, baru hanacaraka ya!” dehemnya telah dinetralisir dengan air kopi.



“Setelah hanacaraka dilanjutkan dengan kata Da-Ta-Sa-Wa-La yang merupakan gabungan suku kata yang dapat juga berdiri sendiri. Makna yang terkandung adalah bahwasanya manusia setelah diciptakan Tuhan sampai dengan “data” yang berarti saatnya dipanggil dan tidak bisa mengelak atau “sawala” karenanya manusia sebagai mahluk dengan segala kekurangan dan kelebihannya harus menunjukkan ketaatnya kepada Sang Khaliq dengan cara menerima, melaksanakan dan menjalankan kehendakNya.” Mendengar penjelasan ini, rasanya menyesal aku tidak sempat bertemu dengan kakekku.



Kakek itu masih bersemangat memuaskan rasa haus keingintahuanku menjelaskan padat makna falsafah Jawa. Asap tembakau lintingan dengan tambahan racikan klembak, cengkeh dan candu kemenyan yang mengepul tebal dari mulutnya dijadikan sebagai bahan bakar lokomotif pembicaraan malam ini, sementara aku menjadi pendengar budiman hanya sesekali menganggukan kepala sebagai tanda sedikit paham dan kekagumanku terhadap pembicara di hadapanku. ”Pa-Dha-Ja-Ya-Nya memberikan gambaran sebuah proses penyatuan antara Sang Khaliq sebagai sumber pemberi hidup dengan makhluk sebagai yang diberi hidup itu sendiri. Sehingga pada suatu titik menjadi ”padha” atau bahasa Indonesia-nya berarti sama atau sesuai, jumbuh, cocok. Kesatuan batin yang tercermin dalam setiap perbuatan yang menjunjung tinggi nilai keluhuran dan keutamaan. Nah, jika Padha secara harafiah berarti sama, kamu pasti mengerti arti kata Jaya, bukan?” Kakek tua ini rupanya menerapkan metode diskusi dua arah yang egaliter, tidak ingin merasa dia lebih tahu akan segalanya.



Aku mencoba menjawab dengan mantap, ”Jaya berati unggul atau menang, sebagaimana kata kejayaan yang berarti kemenangan atau kesuksesan tapi saya yakin menang yang bukan sekedar mengalahkan sesuatu atau mendapatkan nilai lebih tinggi dari yang lain, melainkan kemenangan sejati karena berdasarkan penjelasan Bapak tadi mengenai padha yang berarti penyatuan antara Tuhan dan mahluk, kalau tidak salah seperti istilah manunggaling kawulo gusti sebagaimana juga ajaran Syekh Siti Jenar. Berarti dengan begitu manusia memiliki sifat ke-ilahi-an, tidak sekedar mencari kemenangan yang tanpa arti, bukan begitu Pak?” aku telah terpancing sifat egaliter Pak Ngabidin sehingga aku dapat memberikan jawaban yang aku sendiri merasa heran darimana kudapatkan rangkaian kata yang kuucapkan tadi, seolah-seolah keluar begitu saja. Pak Ngabidin tidak dapat menutupi kekaguman atas ucapanku.

Pak Ngabidin meneruskan penjelasan berikutnya mengenai Ma-Ga-Ba-Tha-Nga, bahwa menurutnya manusia harus mampu menjauhi segala laranganNya dan yang utama menjalankan perintahNya. Lebih jauh Pak Ngabidin mengingatkan bahwa meski manusia terlahir dengan keistimewaan dan kemampuan untuk berusaha dan terus berusaha tapi manusia seyogyanya harus mampu berserah diri ketika telah melakukan dengan segala upaya tersebut karena manusia tidak bisa menghindar dari ketentuan nasib. ”Ingat sehebat apapun manusia memiliki rencana tapi Tuhan yang memegang kendali kehendakNya, kita memang diberi keistimewaan mewiradat tapi juga harus sumarah pada garis kodrat.” Falsafah padat makna ini masih kuproses dalam dangkalnya pemahamanku. Aku masih mengulang-ulang ucapannya terakhir. Mewiradat...sumarah...garis kodrat. Coba kuhubungkan dengan keberadaanku saat ini, apakah Tuhan juga telah menentukan garis nasibku menuju gubuk kecil ini hingga dapat bertemu Pak Ngabidin dengan ilmu ke-pujangga-annya.



”Ada apa anak muda? Mas Raka masih heran kenapa bisa terdampar di tengah hutan dalam gubuk reyot ini? Tenang saja, kalau tidak ada hujan mungkin kita tidak pernah mengenal satu sama lain, jadi hujan adalah berkah bagi alam, begitu juga pertemuan kita adalah berkah bagi kita sendiri. Setidaknya saya bisa nikmati kopi panas dan ada temannya pula dalam gubuk ini. Coba kalau ndak ada kamu, berarti saya sendirian disini, kehujanan hanya bisa makan singkong bakar tanpa kopi.” Kekeh renyahnya cepat menular kepadaku, menciptakan kehangatan tersendiri. Diluar sana hujan mulai sedikit mereda meskipun masih cukup deras. Lokasi perkebunan ribuan hektar yang sedianya hutan hujan tropis alami ini masih terlihat basah oleh hujan kawasan tropis meski hutannya telah berubah menjadi hutan homogen. Tidak ada lagi keaneka ragaman hayati, hanya satu-dua jenis tanaman yang dominan sepanjang puluhan ribu hektar, sebuah harga mahal yang harus dibayar atas nama pemerataan penduduk.



Rasa ingin tahuku kembali tergugah setelah kami terdiam cukup lama menikmati singkong bakar ronde kedua, kini persediaan singkong milik Pak Ngabidin tersisa dua batang lagi setelah tiga batang berikutnya masuk kedalam bara api di hadapan kami. Udara dingin seperti malam ini memang memaksa tubuh manusia membakar kalori cukup banyak untuk menstabilkan metabolisme tubuh. Untungnya Pak Ngabidin datang membawa singkong yang padat akan zat karbohidrat, bagus untuk proses pembakaran dalam tubuh. Malam belum juga memberikan tanda hujan akan berhenti total, sempat kutanyakan pada Pak Ngabidin perihal rumah dan keluarganya yang mungkin menunggu kedatangannya malam ini tapi dia menjelaskan di rumahnya tidak ada siapapun. Dia lebih memilih untuk tidur di gubuk malam ini, selain masih jauh menuju rumahnya ada alasan lain yang cukup penting berkaitan keselamatanku jika ditinggal sendirian disini. Minggu lalu seorang petani sawit tewas diterkam Harimau Sumatera.



Kali ini Pak Ngabidin menjelaskan secara cepat arti setiap suku kata yang membentuk rangkaian aksara tersebut Ha-na-ca-ra-ka da-ta-sa-wa-la pa-dha-ja-ya-nya ma-ga-ba-tha-nga.” Hampir keseluruhan penjelasannya tidak dapat kuikuti kecuali ketika menjelaskan arti aksara Ha; Hana hurip wening suci yang bermakna adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci dan aksara terakhir yaitu Nga; Ngracut busananing manungso, Pak Ngabidin memberikan wejangan khusus ketika memberikan penjelasan makna yang terkandung pada akhir aksara ini. ”Jika kita ingin hidup sentausa dalam bermasyarakat maka ada baiknya kita harus bisa mendahulukan kepentingan orang banyak, jangan mengutamakan sikap egoisme untuk kepentingan pribadi, karena manusia hidup tidak sendiri.”



Akal sehatku pasti tidak akan membantah hal itu tapi memang tidak dapat dipungkiri manusia sering lupa, termasuk aku sendiri. Terkadang manusia menganut pepatah Martial; Nec possum tecum vivere, nec sine te; I am able to live, neither with you, nor without you. Itu sebabnya aku pergi tinggalkan Pulau Sumatera, meninggalkan semua yang ada dalam genggamanku karena aku merasa apa yang ada dalam genggamanku begitu rapuh bahkan tidak lagi berupa bulat utuh, terlihat retak disana-sini dan mulai melapuk, terutama perihal kepercayaan. Ajaran cinta kasih antara manusia dengan pencipta, antar sesama manusia dan hubungan harmonis-sinergis manusia dengan manusia lainnya yang telah disampaikan oleh Pak Ngabidin seolah menohok kebodohanku yang lari dari kenyataan. Mungkin ini yang diharapkan dari almarhum kakekku dengan memberi namaku yang sarat makna ini.



Tidak kulihat rasa letih dari tubuh kecilnya, sepanjang hari ini pasti dia berkeliling lahan seluas sepuluh hektar, melakukan pekerjaan rutin seperti memangkas pelepah daun pohon sawit menggunakan galah panjang terbuat dari besi dengan sejenis arit tajam di ujungnya. Memastikan tidak ada hama ulat api yang bias menjadi penyakit tnaman sawit, membersihkan lingkar tanah dari berbagai jenis gulma agar tidak terlalu dekat dengan batang pohon, memastikan diameter lingkarnya sama dengan luas ujung pelepah daun, menaburkan pupuk serta menyemprot obat penghambat perkembangan gulma yang tumbuh liar, terkadang dia tidak terlalu suka dengan zat kimia keras yang dapat mematikan tumbuhan liar itu hingga menjadi kering seperti habis terbakar tetapi sepuluh hektar tidak akan pernah selesai jika hanya menggunakan parang. Hari ini membabat tumbuhan liar maka tiga hari kemudian sudah tumbuh lagi padahal belum tentu satu hari dia dapat membersihkan satu hektar dari sepuluh hektar lahan tanggung jawabnya.



”Mas Raka pasti suka dengan puisi atau jenis sastra lainnya?” tiba-tiba topik pembicaraannya beralih dari seputar perawatan sawit berganti kearah sastra. ”Ya sedikit sih, saya cuma penikmat karya sastra saja Pak! Memangnya ada apa Pak?” kejutan apa lagi yang dapat menghangatkan pembicaraan tengah malam di tengah hutan ini? Aku yakin Pak Ngabidin bukan sekedar petani sawit biasa yang melulu berkutat dengan lahannya. ”Kalau Mas Raka paham dengan arti nama tengahnya pasti akan lebih menyukai lagi karya sastra terutama dengan karya-karya pujangga nusantara tempo dulu.” Senyumnya cukup provokatif, memaksa aku untuk bertanya mencari tahu tentang apa yang telah dia lontarkan baru saja.


”Apa hubungannya nama tengah saya, Manggala, dengan karya sastra tempo dulu?” rasa penasaranku tidak bisa kusembunyikan. ”Dulu sewaktu masih muda saya pernah bekerja sebagai tenaga honorer di perpustakaan daerah, jadi teman saya hanya buku-buku lama saat itu. Menurut buku tulisan Piet Zoetmulder yang pernah saya baca, manggala erat kaitannya dengan seni sastra-puisi Jawa kuno yang disebut ”kalangwan” yang mengandung arti keindahan, karena dengan membacanya kita akan terseret arus indahnya karya itu sampai-sampai seperti mabuk kepayang.” Misteri jati diri intelektualitasnya perlahan dia buka sedikit demi sedikit. ”Puisi Jawa kuno sesungguhnya sebagai salah satu media pendekatan dan pengalaman spiritual sang pujangga dengan dengan Istadewata-nya, yaitu dewa pilihan sang pujangga itu.”



”Nah, untuk dekat dengan Istadewata maka sang pujangga perlu menciptakan manggala yang memiliki kemampuan sedemikian kuatnya sehingga dapat membuat senang, mensucikan bagi siapa saja yang membaca atau mendengarkan karyanya itu. Agar mendapatkan berkah dari dewata maka diperlukan lelaku dengan memuji manggala itu sendiri yang fungsi sebagai patokan hidup bagi sang pujangga itu sendiri sehingga mampu mencipta karya yang berdaya magis religius.” Asap rokoknya menandingi derasnya padat makna yang keluar dari mulut keringnya. Pak Ngabidin meminta konfirmasi apakah aku dapat mengikuti penjelasannya, semampuku jujur kukatakan sedikit bingung mengikuti penjelasannya, sikap humble-nya dia tunjukkan sekali lagi dan mengulangi dengan memberikan kaitan arti manggala dengan suku kata aksara Jawa. ”Manggala memiliki empat suku kata. Ma; Madep mantep manembah maring Ilahi, kurang lebih artinya keyakinan kuat manusia ketika berhadapan dengan penciptanya atau beribadah itu harus khusyuk. Suku kata kedua, Ng; Ngracut busananing manungso yakni membuang semua hal yang bersifat egoisme manusia, suku kata berikutnya Ga; Guru sejati sing muruki bahwa hakikatnya guru yang paling sejati adalah hati nurani kita, karenanya dengarkan hati nuranimu. Suku kata terakhir adalah La; Lir handaya paseban jati karena hidup ini seperti air yang mengalir dimana titik awal mata air dan samudera luas tempat air itu bersatu kembali adalah Tuhan, maka untuk mengalir mengikuti arus hidup, manusia harus mengikuti tuntunan Tuhan agar tidak terseret arus jaman.” Pemaknaan yang mendalam ini disampaikan dengan santainya sambil sesekali mengepulkan asap tembakau lintingannya. Aku coba meraba kesimpulan dengan hanya mencari kata kuncinya saja, lagi-lagi tak lepas dari; Tuhan, manusia dan hidup!


”Berupa apakah lelaku yang dilakukan oleh sang pujangga? Sepengetahuan saya selama tinggal di Jogja saya sering melihat masyarakat sana melakukan banyak ritual dan laku, seperti misalnya mencuci benda pusaka, puasa mutih, tapa bisu keliling benteng, bahkan sampai bertapa di tempat-tempat yang dianggap keramat.” Satu pertanyaan kulontarkan sambil melinting tembakau, rasanya kurang seru jika berdiskusi seperti ini tapi tidak ditemani asap tembakau meskipun berkali-kali aku masih terbatuk. ”Ooh sikap, tindakan atau perilaku masing-masing pujangga bisa saja berbeda-beda, saya sendiri tidak tahu secara persis apa yang mereka lakukan namun intinya adalah peleburan kesadaran diri untuk dapat bertemu dengan apa yang diharapkan, bisa berupa perwujudan sesuatu atau seseorang, bisa juga berupa perlambang atau sekedar suara. Mungkin secara sederhananya apa yang banyak orang sebut sebagai mencari wangsit tapi sesungguhnya lebih dari itu karena ada upaya pencarian kesejatian diri lewat pertemuan dengan dewata atau bahkan lebih tinggi lagi manunggaling dengan dewata itu sendiri, sebagaimana penjelasan saya mengenai manggala.” Pandangannya menduga-duga tingkat pemahamanku.


”Mungkin hampir sama dengan seperti yang dilakukan masyarakat Hindu-India yaitu dengan jalan melakukan Yoga, begitu Pak!” pernyataanku mendapat persetujuan dari Pak Ngabidin. ”Ingat budaya Hindu-India sangat dekat sekali dengan budaya Jawa kuno, selain juga pengaruh ajaran Budha, terutama seputar hal religiusitas masyarakat dalam memahami dan menjalankan hidup dengan alamnya, bahkan usaha untuk mempertemukan diri dengan Istadewata tersebut dikenal dengan istilah yoga tantris, dimana dengan upaya lelaku atau istilahnya Mas Raka tadi; yoga, dengan tujuan untuk bertemu dengan dewa yang bersemayam dalam sebuah media yang disebut dengan Yantra.” Tak kusangka perjalanan panjangku yang terdampar pada gubuk kecil ini memberikan banyak ilmu yang luar biasa adiluhung. Ilmu yang kudapati justru bukan dari seorang bergelar profesor dalam kesastraan kuno, melainkan dari seorang petani sederhana di hadapanku ini.



Cercicit burung-burung dan sinar matahari yang menembus celah-celah dinding bambu membangunkanku yang masih nyaman bersembunyi di dalam kantung tidur, kehangatan dalam sleeping bag ini membuatku malas untuk bangun. Aku baru tersadar bahwa aku tidak sedang di rumah Lik Dirjo ketika mataku tertuju keluar jendela gubuk ini, kulihat batang-batang pohon sawit. Tidak kutemui lagi kawan berdiskusiku tadi malam suntuk, di dekat perapian yang masih mengepulkan asap tipis sudah tersedia secangkir kopi dan dua batang singkong bakar, Pak Ngabidin pasti mempersiapkan ini sebagai sarapanku. Kunikmati betul setiap detik pagi ini, lengkap ditemani secangkir kopi, singkong bakar hangat bahkan selinting tembakau racikan tangan Pak Ngabidin tanpa klembak dan candu kemenyan.

Kuputar ulang rekaman diskusi bersama Pak Ngabidin semalam. Sampai pada akhir perbincangan sebelum aku meminta maaf untuk tidur terlebih dahulu, aku jadi teringat sesi terakhir diskusi semalam adalah semacam konsultasi permasalahan hidupku, Pak Ngabidin dengan sikap bersahajanya tidak memberikan saran yang seolah-olah menjadi solusi mujarab dengan nasihat-nasihat yang tidak membumi. Dia justru menceritakan masa lalunya, ”Saat itu saya akui gejolak darah muda lebih dominan. Seolah saya sanggup menantang matahari sekalipun demi mempertahankan pendirianku maka semua yang kupunya tidak lagi dipedulikan, saya tinggalkan semua itu. Saat kesadaran mulai datang akhirnya saya mengambil keputusan untuk kembali lagi pada semua yang telah ditinggalkan, saya terlambat! Mas Raka harus bisa Ngracut busananing manungso jika tidak ingin menyesal sepanjang hidup nanti. Ikuti kata guru sejatimu” setelah akhir kalimat itu kulihat pada layar kecil alat perekam digitalku ini, tertera keterangan bahwa sudah tidak ada tempat lagi untuk menyimpan data.



Semua peralatan telah kukemas dalam tas ranselku, kurenggangkan otot-otot tubuh sekedar mempersiapkan diri untuk mendorong motor tuaku yang mogok dan pecah ban. Betapa terkejutnya aku melihat ban motor bagian depan itu telah terisi angin lagi, tidak ada tanda-tanda seseorang telah menambalnya, bahkan seperti tidak pernah bocor sebelumnya. Aku menduga pasti tidak ada lagi dengan permasalahan pengapian pada busi juga, ternyata benar! Motor ini langsung saja meraungkan suara dari knalpotnya. Berkah apa yang telah Tuhan siraman padaku di pagi yang cerah ini? Aku masih merenungkan pengalaman hidupku, kilasan gambaran-gambaran tempo hari kembali muncul. ”Ya, benar ucapan Pak Ngabidin, aku harus mengikuti kata nuraniku, my inner voice, guru sejatiku!”



Keputusan telah kuambil dengan mantap. Motor tuaku kembali meraung dengan semangat berputar arah menuju jalan yang telah dilewati kemarin, menuju segala yang pernah kugenggam, akan kuperbaiki meski telah lapuk! Semilir angin menampar lembut wajahku dengan riang kusapa langit pagi yang cerah, berpacu dengan sekumpulan burung sriti yang melayang ringan terbang mengikuti arus angin sejuk hari ini. Alat pemutar musik digital teman perjalananku kali ini menyajikan lagu salah satu soundtrack film ”Gie”.

.....
Stop complaining, said the farmer
Who told you a cow to be,
Why don`t you have wings to fly me
Like the swallows so proud and free
…….
Donna…donna…donna…donna
Donna…donna…donna…donna
Donna…donna…donna…donna
……..
Never knowing the reason why
But who ever treasured freedom like a swallow has learn to fly
Like a swallow has learn to fly.


-Kaloran Pena, Jum`at-Sabtu penghujung Januari 2009-

1 komentar:

  1. kalau kita mau jujur, hanacaraka... adalah filosofi nusantara kecil (jawa-bali-nusa tenggara barat) berlatarbelakang hindu yang sekaligus menjadi konsepsi kehidupan bersama pada jamannya. hebatnya, konsepsi ini dapat berjalan dengan sangat sangat fleksibel, sehingga dia bisa selaras dengan konteks apapun, di manapun dan kapan pun.

    masalahnya sekarang, kebanyakan dari kita lupa akan KONTEKS. itulah sebabnya sekarang acap terjadi berbagai benturan ideologi bahkan dalam intern suatu paham/keyakinan. contoh nyata misalnya FPI. mereka sibuk sekali (konon) membela ayat-ayat, firman, wahyu, yang diturunkan Tuhan untuk menyelamatkan manusia (umat) pada jamannya. tetapi mereka lupa bahwa konteks saat itu sudah pasti berbeda dengan konteks saat ini. satu hal yang tak bisa dibantah bahwa sejatinya teks tidak bisa dilepaskan dari konteks. dan teks-teks wahyu sekali pun, sejatinya sangat fleksibel mengikuti konteks sehingga dia bisa menjadi abadi. bukankah teks-teks wahyu/firman hingga saat ini juga masih terbuka untuk ditafsirkan? bukankah dalam kenyataan sehari-hari sebuah firman saja bisa ditafsirkan berbeda oleh ulama yang berbeda?

    nah, konsepsi dan filosofi "hanacaraka" pun demikian. sekali lagi dia sangat fleksibel, bisa selaras dengan konteks apapun, di manapun dan kapan pun. salam :)

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!