Sabtu, April 25, 2009

Petit Doigt Petit

(Jari Kelingking si Kecil)

“Bagas, ayo cepat mandi! Bunda sudah siapkan baju batik dan celana yang harus kamu pakai. Ayo Bagas… nanti kita telat, Bunda tidak mau ketinggalan momen penting ini.” Suara Bunda memang terdengar jelas dari kamar mandi ini, terlebih berkali-kali dengan penegasan ketukan pintu kamar mandi. Aku masih saja menatapi wajah yang mulai tumbuh rambut-rambut liar dihampir seluruh wajahku, bahkan Bunda mempersiapkan pisau cukur baru lengkap dengan foamnya, letaknya sudah berpindah dari kotak kecil peralatan mandi tepat didepan cermin wastafel, jelas sudah Bunda menginginkan aku tampil sebersih mungkin. Ahh Bunda, putramu satu ini bukan lagi bayi mungilmu. Kali ini pintu bukan lagi terketuk lembut, iramanya menjadi seperti penggerebekan sarang judi.

“Loh kok kamu hanya mandi begitu saja, coba lihat kumis, jenggot dan jambang di mukamu itu! Keramas saja malas, ayo sana balik lagi!” Bunda sudah siap dengan kebaya barunya, aku melangkah ragu menuju kamar mandi. “Jangan lupa keramas, seharian tadi kamu terkena panas matahari lokasi proyek, bau apek” pintu kututup, keran air shower terbuka penuh. Deras air menghantam ubun-ubunku, kunikmati sensasi pijatan air pada batok kepalaku.

“Ya ampun Bagas anak Bunda paling ganteng! Coba sekali ini saja kamu dengar dan turuti keinginan Bundamu ini.” Bunda menarik paksa tanganku menuju kembali kamar mandi. Bunda tolong sebutkan satu saja pembangkangan putramu ini, empat puluh tahun rentang hidupku tak sedetikpun hamba lepas dari ketiak Bunda. Pernahkah hamba menolak menggunakan pakaian yang selalu saja Bunda samakan dengan pakaian Abang, (hanya berbeda warna)? Sekolah favoritku tak pernah Bunda restui hanya karena jauh dari rumah. Sayur bayam yang selalu saja Bunda paksakan agar masuk dalam mulut akhirnya tetap juga kutelan, aku tidak ingin seperti Popeye, bahkan ketika hamba mendapatkan panggilan kerja dipedalaman Kalimantan yang paling didambakan harus rela dilepas karena Bunda takut putramu ini menjadi korban pembantaian perang etnis.

Pasrah aku mengikuti perintah Bunda, hampir seluruh wajahku terselimuti busa putih pencukur kumis, terduduk kaku diatas closet. Bunda melepas kebayanya agar tidak terkena air, menarik kursi kecil hinga wajah Bunda sejajar dengan wajahku, tiba-tiba saja aku seperti melihat wajahku sendiri dihadapanku, tentunya tanpa sedikitpun ada rambut liar diwajah Bunda. Lihatlah hamba ini Bunda, bayi berumur empat puluh tahun yang tak pernah lepas dari timanganmu, bahkan untuk mencukur kumis pada wajah saja harus Bunda yang melakukan. ”Bagas, anak Bunda satu-satunya. Bahagiakan Bunda sekali ini saja, sekali saja. Kamu satu-satunya perhiasan yang Bunda miliki, setelah Abangmu tiada...” cepat kututup mulut Bunda dan menghentikan air mata yang mengalir diwajah teduhnya.

Hanya karena ini aku rela mematikan mimpi-mimpiku. Aku pernah bersumpah untuk membahagiakan Bunda dan tidak ingin satu titikpun air matanya menetes ketanah karena jika saja aku lengah maka air mata itu akan berubah menjadi samudera kesedihan Bunda tak berkesudahan. Dua kali aku melihat Bunda mengaliri air serupa derasnya air terjun yang bebas terurai dari kedua matanya, dua kali Bunda kehilangan lelaki pelindungnya; Ayah dan Abang.

”Kamu memang tidak beda dengan ayah dan abangmu, mengapa kalian begitu senang dengan rambut-rambut liar diwajah kalian? Hanya sekedar lima menit membersihkan wajah sendiri saja harus Bunda yang lakukan.” Bunda memulai pekerjaannya, tak diragukan lagi Bunda memang pandai membersihkan wajah kedua lelaki tercintanya, sering kali kulihat Bunda mencukur ayah setiap kali beliau pulang dari lokasi proyek pembangunan bendungan dengan oleh-oleh rambut lebat diwajahnya, jangankan satu bulan, pagi ini dicukur, sore nanti saja wajah ayah sudah berwarna hijau gelap seolah tumbuh lumut disekitar rahang, bawah hidung dan dagunya.

Busa putih itu tidak lagi terasa mengelitiki wajahku, Bunda dengan telatennya membabat setiap helai rambut yang tumbuh. Kain lap basah memastikan busa itu benar-benar hilang, kini datang penyiksaan berikutnya, telapak tangan Bunda sudah siap dengan cairan penyegar after shaving. Dahiku berkerenyit dan geligiku bergemeretak menahan pedihnya cairan berbahan zat aktif yang masuk kedalam pori-pori kulit wajahku, kukutuki orang menciptakan formula cairan penyegar wajah yang menyakitkan ini. Bunda menarik nafas pendek dan memamerkan senyum puasnya, seolah pematung yang baru saja menyelesaikan karya agungnya.

”Lihatlah Bagas, lelaki kebanggaan Bunda! Betapa tampannya engkau, aih perempuan mana yang tidak akan takluk menatap wajah tegas dan terang putraku ini.” Bunda menepuk-nepuk lembut wajahku, ritual terakhir yang selalu Bunda lakukan sama kepada kedua lelakinya selain aku; ciuman tiga menit pada dahi. Subhannallah, beginikah rasanya siraman kasih sayang Bunda yang ayah dan abang rasakan, setiap pori-pori tubuhku bergetar hebat. Spontan aku bersimpuh pada kedua lutut Bunda yang terselimutkan kain batik terbaiknya. Mulai saat ini putramu tidak akan lagi berani membangkang keinginan Bunda, hamba bersumpah, sumpah yang sama serupa Patih Gajah Mada ikrarkan.

Lagi-lagi tangan Bunda tidak pernah lepas dari bayi berumur empat puluh tahunnya ini, setiap detail sisiran rambut dan pakaianku diperhatikan baik-baik. Wajah Bunda muncul dari balik badanku, dihadapan cermin ini kembali Bunda menyirami aku dengan motivasi hidup. ”Wahai para leluhur kami, lihatlah tetes darah terakhirmu ini, seorang pangeran yang telah siap menghadapi medan laga pertempuran hidup, mohon percikkan pada keturunanmu ini sedikit saja restumu. Saatnya putraku ini menjadi lelaki sejati.” Mantera Bunda membuat badanku seolah membesar serupa para patih perkasa yang siap dengan beribu bala tentara.

”Bagas Prawira Negara, inilah saatnya putraku tersayang, titisan leluhur agung bumi putera nusantara, temui perempuanmu!”



- Banten, 25 April 2009; dari sebuah rumah tua berlokasi di jalan yang mengambil nama Sarjana pertama Nusantara, Bumi putera terbaik dari Banten pada jamannya; Raden Mas Husein Jayadiningrat -

-Ucapan terimakasih kepada ”G” atas inspirasinya! Comment allez-vous?-
-Sumpah serapah untuk Kika atas provokasinya; ”Jancuuk!! Lagek saiki iso nulis cuk! Kesuwen yo? Hahahaha”-
-Pertanyaan untuk Bli Nanoq; ”Mengapa tak kau sapa daku difesbuk?”

6 komentar:

  1. Hohoho... Bagas, Bagas, ganteng2 ternyata anak mami, hiiiikssss....

    BalasHapus
  2. wuuuah..sumpah serapahnya manteb bangeeeetz!!!
    hehehehehehee

    BalasHapus
  3. Alyith Koelit Ketjil, temui perempuanmu!

    hihihihihi ;)

    BalasHapus
  4. @ mal-kec;hahaha..itu BAGAS PRAWIRA NEGARA non!
    @ G : maklum bayi berumur 40 thn..
    @ Elsa : bukan serapah... tapi PALAPA

    BalasHapus
  5. @Em: itu bunda yg maniak agar anaknya dapat perempuan.. hehhehehe :D

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!