Senin, Januari 04, 2010

Audiatur et altera pars!


“Baiklah jika itu kemauanmu! Tapi ijinkan aku bertemu dengan perempuan pilihanmu itu, sekedar meyakinanku bahwa aku akan melepaskanmu pada orang yang tepat.” Sekeras apapun usahaku `tuk menampilkan suara tegar di hadapannya, air mata ini selalu saja mengalir seolah tanpa katup.




Selepas menutup telepon kemarin, setiap detikku hanya mengutuki mulutku yang mengeluarkan kalimat pemberian ijin itu. Sudah dua jam kutunggu pada cafe nyaman seperti suasana rumah ini, satu poci teh camomille sudah hampir tandas pada dasarnya, mereka belum juga datang. Lagi-lagi airmata ini mengalir begitu saja, terprovokasi lantunan lagu ”Kehilangan” yang dinyanyikan penuh sesal oleh Firman seolah mewakili perasaanku, ditambah lagi aliran air pada permukaan kaca yang berfungsi sebagai kamuflase, samar menutupi bagian dalam cafe mungil ini. Handphoneku bergetar, cepat-cepat kusambar.

”Sudah dua jam kutunggu!” kututup lagi dan kubanting pada sofa.

Bel kecil pada pintu cafe berdenting genit, aku sudah tidak melihat tangan mereka saling berpegangan lagi, dia kira dari dalam sini aku tidak bisa melihat, mereka bahkan sempat berbisikan dan sebuah kecupan manja itu, ahhhh! Dada ini begitu sesak. Kuperlihatkan senyumku di hadapan mereka sementara gigiku gemeretak menahan emosi, setanganku bisa saja sobek di bawah meja ini.

”Hallo Say, apa kabar? Duhh tambah cantik aja nih!” ritual menyentuhkan kedua belah pipi yang semestinya hangat, kali ini menjadi sedingin permukaan kaca berair itu karena aku merasakan kebohongan belaka.

Dua orang yang paling kusayangi duduk di hadapanku, kikuk satu sama lain dengan tatapan-tatapan sedetik-sedetik saja pada masing-masing wajah kami, menghindari kontak mata lalu mencari titik pengalihan pada objek lain selain wajah masing-masing kami. Aku masih memilih permukaan kaca berair itu, sang lelaki lebih memilih memain-mainkan zippo sementara sang perempuan berpura-pura memilih-milih menu. Aku tahu di bawah meja, kaki perempuan itu memberi kode pada sang lelaki agar membuka pembicaraan tapi harga diriku terlalu tinggi saat ini.

Maria, betapa teganya! Tak sekedar kawan tapi lebih kuanggap menjadi saudara perempuanku sendiri tapi lihat dirimu kali ini, tidakkah kau sadar lelaki di sampingmu itu, lelaki yang kau kecup manja begitu keluar mobil sejak di parkiran tadi itu adalah masih menjadi suamiku, sah menurut hukum dan agama! Ahhh, begitu liciknya Kau! Seharusnya tak kuberi informasi kesempatan kerja pada perusahaan suamiku untukmu saat itu.

Sempat kucuri pandang ke arah senyum Maria yang coba dia tutupi dengan daftar menu yang sedari tadi hanya dia pandangi tanpa menentukan pilihan satupun dari daftar itu. Pikiranku menjadi teroris saat itu juga, tiba-tiba aku mencurigai lagu ”Lucky” yang dilantunkan oleh Jason Mraz dengan mesra featuring Colbie Cailat yang menyebabkan Maria tersenyum nakal kearah suamiku. Betul-betul menjadi teroris bagi diriku sendiri pikiranku ini, penjepit rambut berbatu merah tiruan bunga mawar yang terselip pada rambut ikal Maria, ahhh, pasti suamiku yang memberikannya special untuk Maria ketika mereka berdansa di apartemen kami dengan iringan lagu ini yang terputar memenuhi ruangan cafe.

Mereka mulai menjelaskan duduk perkara sejak dari awal pertemuan mereka, adanya distorsi hubungan jarak jauh antara aku di Jogja dan suamiku di Jakarta, keputusanku berpindah keyakinan, selebihnya aku hanya melihat bibir mereka bergerak-gerak tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kepalaku pusing, dadaku semakin sesak, kutinggalkan mereka kearah toilet, tangisku menjadi ketika aku bersimpuh pada closet memuntahkan sesuatu yang tak juga kunjung keluar dari kerongkonganku, aku berharap ada sebongkah emosi menggelontor keluar maka `kan kusiram bersatu dengan cairan berwarna biru dari closet ini.



Maria..Mariaa..Mariaaaaa!!! kukutuki nama itu berulang-ulang dengan keluarnya ludah, carian bening dari hidung serta lelehan air mataku. Meledak sudah bom waktu dalam rongga dada ini, kuhapus berkas lelehan airmata, ahhh mentariku! Wadah tisu dengan ornamen bunga matahari kuning ini mengingatkanku pada anakku, matahari hatiku, satu-satunya alasanku tetap hidup dan bertahan. Kubasuh sekali lagi mukaku, kucermati wajahku pada cermin wastafel. Kumantapkan hatiku, baiklah Felix, kau dapatkan perempuan barumu tapi anakku menjadi hakku.


Tak ada lagi perasaan iri atau cemburu ketika kulihat Felix memainkan rambut Maria lalu buru-buru memasang sikap begitu menyadari aku telah keluar dari toilet. Hey, begitu leganya aku duduk di sofa ini, kuperlihatkan senyum terbaikku kehadapan mereka; suamiku dan sahabat terbaikku.

”Baiklah, aku setujui perceraian kita dengan beberapa persyaratan; Surya, anakku, matahariku ikut denganku ke Jogja dan tentunya mengikuti kepercayaan baruku, kau harus relakan dia mengikuti agamaku, itu yang kau jadikan alasan utama tidak lagi mencintaiku karena aku telah berpindah agama bukan?” Felix hanya menunduk, mungkin tidak menduga sama sekali bahwa aku akan setegas ini memberikan peryaratan-persayaratan lainnya.

Kuberi senyuman terbaik juga kepada Maria.

”Maaf aku sempat membencimu, sangat! Tapi aku selalu mencintai sahabat terbaikku, bahkan aku bersedia melamarkan suamiku untuk dirimu Maria..” bibirku sempat bergetar. Yaa Tuhan dari mana asalnya kekuatan ini, tak hanya melepaskan kepergian suamiku bahkan aku bersedia melamarkan suamiku untuk sahabat terbaikku.



Koelit ketjil
-Kota S, 4 Januari 2010-
thanks to: yang dah ngasih ijin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!