Rabu, Februari 17, 2010

Ali Topan, Sang Pemberontak dan Kritik Sosialnya






..lanjutan Reportase Jalanan II...


”Sialan lu, Nir! Gue serius nih!” kata Ali Topan, bersemangat, ”kalo dulu-dulu sih, gue masih bisa tahan. Sekarang udah kelewatan banget orang tue gue. Yang laki jadi bergajul, yang perempuan jadi tante girang. Blangsak banget,” sambungnya. (ATWJ, halaman 51)


Sebenarnya saya masih sangat ingin mengorek kehidupan rumah tangga keluarga Amir tempat Ali Topan tinggal tapi saya rasa gambaran tulisan sebelumnya dan awal tulisan ini bisa dianggap sebagai representasi gejolak batin seorang anak broken home and generation gap ini. Saya ingin mengajak kawan-kawan berdiskusi tentang nilai guna seorang yang dianggap tidak berguna oleh lingkaran terdekatnya tapi justru sangat didambakan oleh lingkaran yang lebih besar lagi, yaitu masyarakat atau society!


Mengawali karirnya sebagai wartawan jalanan, Ali Topan mulai mencari berita, di jalanan tentunya. Dia tidak menunjukkan cara interview tipikal antara wartawan dengan narasumber tapi sekedar berbincang layaknya obrolan warung kopi. Pernah dalam sebuah acara perayaan hari kemerdekaan Republik ini, Ali berbincang dengan seorang bapak yang tengah membawa anaknya melihat iring-iringan parade. Pepen, si anak, merengek-rengek minta dibelikan permen, meski hanya bersisa uang Rp. 50 di kantongnya, akhirnya sang bapak tetap saja memberikan.


“Yaah, namanya anak kecil… segala permen yang nggak bisa bikin kenyang perut dibeli. Sebetulnya uang lima puluh perak kan dapat secangkir beras,” gumam ayah Pepen dengan wajar. ---
Ali Topan banyak kenal dengan gembel-gembel, tukang becak, tukang-tukang parkir, bocah tukang semir sepatu, kaum gelandangan sejenis itu. Ia tahu, mereka juga kerja sangat keras untuk mencari uang, tapi wajah mereka jarang kelihatan sedih dan muram seperti pesuruh kantor yang sekarang duduk di sebelahnya…..(ATWJ, halaman 110-111)


Ali Topan banyak sekali belajar dari lingkungan sekitarnya, bukankah semua orang adalah guru dan alam raya merupakan sekolah kita? Prinsip ini saya pribadi pegang erat-erat. Ali Topan menangkap nilai iklas yang sesungguhnya lewat sekolah yang bernama jalanan. Membaca dua halaman pada novel ini saja, pikiran saya menjadi penuh, pepak dengan gambaran realita sosial saat itu dan masih terjadi hingga detik ini.


”Kalo tidak pasrah mau apa? Mau protes sama Tuhan?” ---
”...... tapi kalo saya tidak pasrah dan istri saya tidak tabah, barangkali sudah lama saya bunuh diri atau masuk bui! ---- Ketiban susah melulu di jaman yang katanya serba membangun ini! Apa yang dibangun? Gedung-gedung mewah dan pabrik-pabrik mobil untuk orang kaya? Tapi rakyat kecil dan bodo kayak saya ini, siapa yang mikirin? Nyekolahkan anak satu aja setengah mati susahnya!” katanya dengan nada keras, seakan melampiaskan beban berat pikirannya kepada Ali Topan. …..(ATWJ, halaman 111)


Tiba-tiba saja Ali Topan seolah mendapatkan klien dan berperan menjadi psikolog dengan metode katarsis (tempat sampah batin) bagi narasumbernya. Satu peran yang mungkin jarang ditemukan di kalangan jurnalis saat ini terutama ’wartawan’ infotainment yang justru bikin sakit hati siapapun yang coba korek-korek kehidupan pribadinya. Adegan ini justru memberikan gambaran yang kuat sekali bahwa jika saja wartawan menerapkan pola yang sama maka gelontoran berita akan keluar dengan sendirinya.


Selain itu juga pergulatan batin ayah Pepen banyak dialami di hampir semua rakyat Repubik ini yang secara tegas diposisikan berada di bawah garis kemiskinan oleh pemerintah kita, di Republik hari ini masih juga terjadi fenomena orang tua yang sampai-sampai terpaksa membunuh anak-anaknya dan dirinya, menelantarkan anak-anaknya, stres mengancam terjun dari menara telepon seluler atau gedung bertingkat hanya untuk kabur dari kenyataan pahit yang mencekik.


Kita bisa mengetahui bahwa pesuruh kantoran (yang mendakwakan dirinya sebagai orang miskin dan bodo) itu sesunguhnya memiliki kedalaman pemikiran yang luarbiasa! keasikan mereka bercurhat ria terganggu dengan kemunculan seorang oknum aparat, tapi bukan Ali Topan jika dengan insiden ini menjadi kecut.


Kentara betul ingin mengesankan sebagai Polisi yang berwibawa. Dimata Ali Topan, ia lebih mirip jagoan lenong yang menggelikan----

Ali Topan kambuh nekadnya. Sikap oknum yang sok jagoan dan sewenang-wenang menegurnya itu, bikin gerah kalbunya. …..(ATWJ, halaman 112)


Ali Topan memberikan shock therapy buat si oknum, dia meminjam kamera milik kawannya, lalu berjalan santai mendekati oknum yang petenteng-petenteng itu. Semua orang yang berada di sekitar situ sudah menerka akan terjadi keributan, akan ada seorang pemuda kena pukul pentungan oknum polisi dan bakal diseret ke kantor polisi, tapi apa yang terjadi..... justru ketika didatangi Ali Topan, tiba-tiba si oknum itu ngeloyor pergi dengan ekspresi wajah kikuk!! Harry, kawan akrabnya yang semula paling khawatir sekarang menjadi orang yang paling penasaran, begitu juga orang-orang di sekitaran.


”Gue tanya dia, minum berapa botol tadi malam, kok maboknya baru sekarang.....” kata Ali Topan. Grrr! Orang-orang ketawa serempak mendengar jawaban sembrono itu. …..(ATWJ, halaman 113)


Bujug buneng! Plokis (polisi) dibecandain!! Ali Topan memang paling bokis (bisa) dengan caranya sendiri dalam hal ini, melakukan aksi tapi tidak perlu sesumbar atas apa yang telah dia lakukan. Kecurigaan saya pun sama seperti orang-orang itu, tidak mungkin Ali Topan mengatakan hal itu pada si oknum, bisa saja dia mengancam si oknum akan menerbitkan tingkah lakunya ke dalam surat kabar tapi siapa yang tahu, wallahu alam bissawab!


Perampokan Kickers di Sarinah, 20 langkah dari Pos Polisi” merupakan judul berita pertamanya dalam karir sebagai wartawan, judul ini muncul ketika tak lama setelah adegan di atas, mereka menemukan seorang anak yang ditodong lalu arloji, sepatu dan uangnya dirampas. Kabar buruk adalah Berita baik, jika tidak salah ini menjadi prinsip para jurnalis, saya memang tidak memiliki basic jurnalistik sama sekali meski pernah mengikuti training dasar (buangeett) jurnalistik, itupun semasa kuliah dulu. Kalimat terakhir pada judulnya itu menurut saya merupakan tamparan untuk institusi terkait, kejadian penodongan sudah dianggap menjadi hal yang lumrah terjadi di Ibu Kota tapi jika hanya berjarak 20 langkah dari pos yang seharusnya membuat takut para perampok, justru inilah yang bakal menjadi berita.


“Tulisanmu ekspresif, kadang impresif, dan berani menggunakan ungkapan-ungkapan khas jalanan. Bolehjuga. Relatif original, baik gagasan maupun penyampaiannya,” kata GM, si Redpel pada hari pemuatan artikel pertama dari seri tersebut. …..(ATWJ, halaman 168)


Demikian penilaian seorang jurnalis sekelas GM (tentu saja GM yang satu ini bukan inisial seorang kawan (brad) saya dari Negeri Tlatah itu, hahaha). Sosok Ali Topan sudah pandai membuat berita sensasional mengingat dia hanya otodidak dan ini berita pertamanya, tentunya hal ini tdak terlepas dari sang penulis, Teguh Esha, yang pernah kuliah jurnalistik meski tidak selesai.


Republik kita, hari ini juga masih cemas dengan ketidak jelasan Undang-undang Pers yang menjadi mandul karena tidak adanya aturan pidana di dalamnya. Mengapa menjadi mandul? Karena pada kenyataannya ketika ada permasalahan pidana dalam hal penyampaian berita, yaitu seputar;
1. Pencemaran (smaad)
2. Pencemaran tertulis (smaadschrift)
3. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
4. Fitnah (laster)
5. Fitnah pengaduan (lasterlijke aamklacht)
6. Fitnah tuduhan (lasterlijke verdachtmaking)
Maka UU Pers ini menyerahkan kembali kepada KUHP, sehingga dengan demikian UU Pers tidak dapat menjadi Lex Specialis Derogat Legi Generali? Jika konsisten terhadap asas peraturan yang lebih khusus (UU Pers) mengesampingkan peraturan yang umum (KUHP) sudah seharusnya segala permasalahan itu diselesaikan oleh UU Pers, tapi bagaimana mungkin jika hal tersbut tidak diatur didalamnya.


Dalam prakteknya penanganan masalah ini cukup diselesaikan dengan Kode Etik, celakanya lagi, di Republik kita tercinta ini terdapat dua Kode Etik dalam dunia wartawan, yaitu; Kode Etik Jurnalistik dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan Kode Etik Wartawan Indonesia (dari aliansi wartawan dan beberapa perusahaan Pers) yang terdapat perbdaan cukup fundamental dalam penanganan komplen seseorang yang merasa dirugikan dalam pemberitaan.


Pada Bab 13, entah memang sengaja diplotting oleh sang penulis atau tidak, saya menemukan pengalaman tersialnya Ali Topan, di banyak kebudayaan masyarakat angka ini merepresentasikan kondisi sial! Saya tak hanya ingin menggambarkan kembali kesialan Ali Topan pada bagian ini tapi justru disinilah kritikan paling berani dilakukan oleh Ali Topan, betapa tidak, pada bagian ini simbol teragung milik Republik ini telah diusik olehnya, dengan memplesetkan Lagu Kebangsaan; INDONESIA RAYA!


“Kami akan menyanyikan satu lagu yang syairnya ditulis oleh kawan saya Ali Topan yang sedang makan roti bakar. Judul syairnya Indonesia Kaya. Melodi lagunya adalah refrain lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman. Lagu ini diusulkan menjadi lagu kebangsaan he…he…he.. Selamat mendengarkan he he he,” celoteh Surman. …..(ATWJ, halaman 171)


Teguh Esha ringan saja menyampaikan hal yang begini berat dan berbahaya ini, mengingat simbol negara dan kondisi pemerintahan saat itu –saat ini juga masih deh- memang masih sensitif akan hal-hal yang dianggap berbau menganggu ketertiban dan keselamatan negara. Kita pernah tau grup Koes Bersaudara (Koes Ploes) pernah masuk bui akibat lagu-lagunya.


Saya tidak akan menuliskan syair plesetan itu, bukan karena saya takut akan terror pemerintah terhadap kebebasan berpendapat dan membela pemerintah ini tapi menurut saya, WR Supratman saat itu tidak pernah berniat untuk mendoktrin atau melanggengkan hegemoni kekuasaan pemerintah, saya percaya WR Supratman membuat lagu itu semata-mata agar rakyat memiliki kesatuan tekad. Entah apa alasan penulis memasukan plesetan lagu itu dan nama Surman itu! Aih, sungguh mencurigakan sekali, saya menduga ini sebagai plesetan dari WR Supratman, padahal bisa saja dia memberi nama Bejo, Parjo, Susila, Bambang atau Yudha bahkan Yono! Jika hendak melakukan kritik terhadap negara.


Jelas hal ini langsung mendapatkan respon dari salah satu penguat kelanggengan rezim, setelah kedua pengamen itu menyanyikan lagu plesetan tersebut. Perhatikan, kawan-kawan pasti akan akrab kembali dengan isitlah di bawah ini;


”He! Kamu SUBVERSIF ya!” lelaki cepak berteriak dari tempat makannya sambil menuding Surman. ---- ”kamu mau makar ya?” katanya.
”Mbakar apa, Pak?” kata Surman dengan muka bloon...... (ATWJ, halaman 172)


Istilah itu diberi huruf besar oleh saya sendiri, sebagai penegas belaka. Kata sakti ini sangat ampuh dan sering kali digunakan rezim untuk membungkam sikap kritis rakyatnya yang berada dalam cengraman kekuasaannya. Istilah ini sempat menghilang tapi kemudian muncul kembali dengan wajah yang lebih manis lagi namun jauh lebih absurd; ”perbuatan tidak menyenangkan” pasal karet, subjektif sekali dan absurd sekali bahkan semua orang dapat menggunakannya.


Ali Topan sebenarnya tidak terlibat secara langsung atas perkara ini, hanya saja dia tengah berada di lokasi yang sama ketika pengamen itu tengah mencari nafkah karena memang niatnya ingin mewawancarai kedua temannya itu. Bisa jadi Surman dan Tresno pun menyanyikan lagu itu karena bertemu dengan Ali Topan, si pencipta lagu plesetan itu, di tempat yang sama.


Bukan Ali Topan jika hanya tinggal diam termangu ketika kawan akrabnya bermasalah dengan oknum aparat, terlebih mereka mendapatkan masalah itu karena lagunya sendiri.
”Urusannya apa dulu nih? Kawan saya ini salah apa sama Anda?” tanya Ali Topan.
”Urusan belakangan! Sekarang kalian ikut saya!” kata orang itu.
”Loh anda ini siapa kok main bawa orang?” kata Ali Topan. Harry memotret adegan itu.
”Saya intel! Kamu mau apa? Ayo ikut semua!” orang itu membuka jaketnya dan menongolkan sepucung pistol kaliber 35mm yang tergantung di dadanya. (ATWJ, halaman 172-173)


Sebuah adegan tipikal yang kerap dipraktekan petugas keamanan Republik ini, dari dulu hingga sekarang tak banyak berubah, mungkin karena ini berupa PROTAP (Prosedur Tetap) ya..jadi tidak berubah, tetap saja begitu! Hanya saja ada yang lucu dari gambaran adegan ini, masak intel rambutnya cepak! Hahahaa.. jadi teringat dengan tulisannya Seno Gumira Ajidarma, dalam MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI? Galang Pers, 2001.


INTEL:
Mbak Tumirah, perkenalkan saya Intel.

TUMIRAH:
Lho, intel kok bilang-bilang?

INTEL:
Ya, lebih baik bilang terus terang toh? Daripada diam-diam lantas kepergok dan digebuki?

TUMIRAH:
Itukan kalau intel goblok.

INTEL:
Lha saya ini termasuk intel goblok Mbak Tumirah. Bener! Lha wong saya ini menyamar, tapi orang langsung tahu saya ini intel kok!

TUMIRAH:
Lho kok bisa?

INTEL:
Waktu mahasiswa diskusi, saya langsung masuk. Lha mahasiswanya gondrong-gondrong, rambut saya cepak sendiri. Hihihi! Mana sabuk saya juga sabuk dinas, sepatu saya juga, dan HT saya krosak-krosak delapan anam terus… (MKCAK?, halaman 72)


Kawan-kawan pasti dapat menerka dan sepakat dengan komentar Mbak Tumirah setelah intel itu berbicara. (silakan terka sendiri kira-kira apa?) Hahahaa…tapi intel hari ini memang tak sebodoh intel itu, rambut dan penampilan mereka lebih funki, tidak lagi pake jaket kulit tapi begitu dilepas jaketnya mereka mengenakan kaos oblong bertuliskan ”KORP RESERSE” jiaaahhhh... eksistensi!


Membaca kedua buku itu asyiknya bukan kepalang, karena mereka menampilkan hal yang menyeramkan tapi menyajikannya dengan jenaka hingga menimbulkan respon tawa geli bagi kita pembacanya. Mari kita bergeli ria;
”Kasus subversib! Mereka coba-coba bikin makar di Blok M,” kata intel yang membawa anak-anak jalanan itu.
”Wah, kita karungi saja,” kata si petugas piket (ATWJ, halaman 174)


Pembicaraan itu didengar oleh Surman dan Tresno yang membuat Surman jadi kalang kabut akan nasib mereka masing-masing di dalam sel Kodim itu, tapi lain halnya dengan Ali Topan;
”Lhu ajha yhang dikharungin,” kata Surman
”Mana karungnya? Bawain sepuluh trok, entar gue borongin ke tukang loak Taman Puring,” kata Ali Topan.
”Inhi anhak ghimanha shiih? Oghut mngomhang sherius kok mhalah bhecandha bhae.. ” gerutu Surman .....(ATWJ, halaman 175)




Namun akhirnya mereka tidak mau tenggelam dalam teror mental itu, tidak mau ambil pusing dengan tuduhan subversif para intel, mereka menghibur diri dengan menyanyikan lagu dari grup band Koes Bersaudara yang pernah mengalami dinginnya sel penjara hanya karena penguasa rezim orde lama memberi label ’musik ngak-ngik-ngok’ pada aliran rock and roll yang mereka bawakan. Lagu yang ditulis ketika mereka masih DI DALAM BUI.
.......
.......
Kuncikan semua pintu
Matikan semua lampu
Kamar kurungku
Hatiku kan tetap tenang
Karena ada sinar terang
Dari Tuhanku.....

Usai menyanyikan lagu itu, tiba-tiba lampu sel mereka padam. Dan terdengar teriakan si Kopral, ”Ayo nyanyi teruus! Lagu-lagu Koes bersaudara ya! Kalau berhenti saya karungi kalian!” (ATWJ, halaman 176)


Kira-kira apa yang ada dalam benak mereka?
Ternyata si Kopral datang, menyalakan lampu sambil melemparkan sebungkus rokok Dji Sam Soe!!! Karena komandan mereka menyukai lagu itu! Mereka pun bersepakat menyanyikan lagu-lagu romantis koleksi milik Koes Bersaudara (Telaga Sunyi, Lagu Untuk Ibu, Pagi Yang Indah Sekali, Kisah Sedih di Hari Minggu, Why Do you Love me, Kembali ke Jakarta,dll). Anehnya lagi setiap satu lagu selesai justru disambut tepuk tangan meriah para tentara. Saya jadi curiga, jangan-jangan mereka sebenarnya suka dengan suara para pengamen ini hanya saja jaim kalau di muka umum, hahahahha. BTW, lagu yang mana yang menjadi lagu favorit bagi kawan-kawan?


Lagu-lagu Koes Bersaudara maupun Koes Plus memang menjadi lagu favorit saya dan kawan-kawan. Sewaktu masih di Jogja, kami sering mendendang lagu-lagu itu hingga menjelang subuh, bersyukurnya si pengamen berusia remaja itu, saya lupa namanya karena kami bisa menyebutnya dengan sapaan Koes Min (sungguh plesetan sekali!) Saking banyaknya lagu yang dia hafal dari koleksi Koes Plus sampai-sampai saya sering berteriak setiap habis satu lagu “Yaa.. lagu berikutnya! lagu ke 275.. BUJANGAN!” hahahhaa.. malam-malam yang menyenangkan di angkringan Kopi Joss Lek Man yang berlokasi tepat di tepi pagar Stasiun Kereta Api Tugu Jogja itu memang tak terlupakan!


Mau tau kisah Ali Topan selanjutnya??
Tunggu saja postingan berikutnya!
Atau kalau mau lebih puas lagi, beli bukunya! Itu juga kalau dapet! Hehehehhee.. buku langka neh


Terimaksih telah berkenan membaca tulisan remeh-temeh ini yang duoowwoo tenan!

trimkokas


...bersambung....


-Koelit Ketjil-
Kota S, 15 Februari 2010-02-17

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!