Jumat, April 30, 2010

Isyarat Hening

Telapak tangan kanannya terkepal menghadap ke depan dengan jempol mengacung, lalu dengan sigap telunjuknya bangkit dari kepalan sementara ibu jari bertemu dengan telunjuk dan jari tengah yang masih tertekuk, lalu kembali telunjuknya bersatu bersama jemari yang lain. Kembali dia melakukan gerakan itu, jemari telunjuk dan tengahnya dari kedua telapak tangannya beradu di depan dadanya sambil berusaha dengan keras memperkenalkan diri, “Nak..meaaa nak..yeaa, akkk..nee” senyumnya mengembang manis sekali.




“Baiklah anak-anak sebagai mana tadi teman baru kalian telah memperkenalkan diri, mari kita sambut kehadiran murid baru ini dengan ciri khas kehangatan kita. Beri ucapan selamat datang pada Ade Hening Tamyiz!” instruksi Bu Melia cepat direspon oleh murid-murid dalam ruang kelas XI C, “Selamat datang Ade!!!” kompak sekali mereka, ada pancaran kebahagian dari senyum Ade atas sambutan hangat yang dia terima.


Ade, namanya panggilannya, singkat saja tapi menjadi sebuah usaha yang cukup sulit bagi si pemilik nama untuk memperkenalkan diri di hadapan teman-teman sekelas di sekolah barunya, lebih sulit lagi bagi puluhan siswa-siswi untuk memahami ucapan teman baru mereka ini. Ade Hening Tamyiz, keterbatasan kemampuan komunikasi yang dimiliki tidak membuat dirinya lantas menjadi minder bertemu dengan siapapun, raut wajahnya yang lugu tapi selalu memancarkan senyum beraura ramah menjadi modal bagi dirinya mudah bergaul meski dengan orang yang baru berkenalan sekalipun.


Ade tak pernah takut berkenalan karena Ade memiliki berkah istimewa berupa kemampuan tamyiz sehingga dia mampu mengetahui kesejatian diri orang yang baru dia kenali, apakah baik atau jahat. Pepatah “dalamnya samudera dapat diterka tapi dalamnya hati seseorang tak dapat diterka” tidak berlaku bagi Ade.


Sekolah Menengah Atas milik Yayasan Putera Bumi Nusantara ini merupakan sekolah kesepuluh sepanjang sejarah pendidikan Ade yang hampir setiap tahun selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. Bukan keinginan Ade ataupun perlakuan buruk yang diterima Ade akibat keterbatasan komunikasinya, melainkan tugas orang tuanya yang mengharuskan Ade berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya hampir setiap tahunnya. Ade tak pernah mendapatkan penjelasan yang rasional dari orang tuanya setiap kali akan berpindah sekolah, akhirnya hal ini menjadi suatu hal yang lumrah bagi Ade jika tiba-tiba dia harus berpindah sekolah, bahkan rekor tercepat mendiami sekolah baru yang pernah Ade alami adalah tak lebih dari dua minggu, tepatnya sembilan hari saja.



Kelahiran Ade yang hening tanpa tangisan awal kehadirannya di dunia ini justru membuat panik bidan yang membantu persalinan ibunya, berbagai upaya telah dilakukan oleh bidan agar bayi berwarna merah muda itu menangis atau setidaknya mengeluarkan sebentuk suara sekecil apapun. Bidan itu telah membersihkan hidung, rongga mulut dan tenggorokan jabang bayi ini, telapak kaki kecil itupun beberpakali ditepuk bahkan gosokan kain kering pada seluruh permukaan kulit lembutnya tidak menunjukkan efek apapun, segala usahanya nihil, Ade tetap hening. Bidan menduga pada saat kehamilan ibunya terkena virus Rubella atau moribili.


Keluarganya paham betul meskipun Ade dalam perkembangannya memiliki keterbatasan berbicara dan mendengar tapi hal itu tidak mereka anggap sebagai aib atau kutukan dari Tuhan tapi lebih kepada berkah tak ternilai karena mereka yakin Ade merupakan anak yang spesial bagi mereka. Tak hanya keheningan tanpa suara tapi raut wajahnya yang terang namun meneduhkan itulah yang membuat kedua orang tuanya menamakan dirinya ‘Hening’, sementara ‘Ade’ tetap disisipkan di awal namanya meskipun Ade anak sulung, sekedar mengingatkan bahwa Ade seharusnya memiliki seorang kakak tapi Tuhan berkehendak lain.


Waktu istirahat pertamanya di sekolah baru ini dihabiskan dengan cara berkenalan pada perpustakaan sekolah. Suasananya sepi hanya satu-dua siswa di perpustakaan ini, sangat kontras kondisinya jika dibandingkan dengan kantin. Perpustakaan selalu menjadi tempat favorit bagi Ade, bukan karena dirinya tidak ingin bersosialisasi dengan teman-temannya tapi memang ketertarikan Ade pada dunia membaca sudah dia minati sejak kecil. Ade masih mengamati suasana perpustakaan yang cukup besar ini, maklum sekolah barunya merupakan sekolah tertua di kota ini bahkan bangunan ini dulunya merupakan bekas gedung perkantoran pemerintahan jaman penjajahan Belanda.


Deretan rak buku dari kayu jati tua dengan ratusan -mungkin ribuan- koleksi buku tersusun rapi, pada bagian tengah ruangan terdapat meja super besar dari dua bilah kayu jati tua. Telapak tangannya meraba permukaan kayu jati yang terasa sejuk dengan pelitur berwarna netral sehingga kesan unik guratan kayu jati jelas terlihat. Motif lingkaran kambiumnya menegaskan kayu ini berasal dari pohon berusia sangat tua terlebih satu bilah papan jati ini berukuran kurang lebih satu setengah meter pada lebarnya dan sekitar lima meter pada panjangnya maka praktis meja berukuran tiga kali lima meter ini hanya terbuat dari dua bilah kayu jati.


Kekaguman Ade yang kedua adalah pada bagian atap ruang perpustakaan yang sedikit menonjol keluar mirip kubah masjid kecil dengan mozaik kaca berwarna merah, biru dan netral bermotif serupa cetakan batik yang menyerap sinar masuk yang jatuh tepat di tengah meja besar jika matahari berada pada titik kulminasi tertinggi pada pukul dua belas siang, pancaran spektrum warnanya begitu indah.



Sebuah buku cukup tebal berjudul ‘Laut Biru, Langit Biru’ menjadi pilihan Ade. Raut wajahnya menandakan keceriaan ketika menemukan buku itu, ini pertemuan kedua antara Ade dengan buku ini setelah pertemuan pertamanya pada perpustakaan sekolah terdahulu yang hanya kurang dari dua minggu dia singgahi. Perpustakaan pada sekolah-sekolah lainnya tidak terdapat buku itu pada deretan raknya. Ketertarikan Ade pada karya sastra mulai terlihat ketika di bangku Sekolah Menengah Pertama, bermula dari tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia membuat resensi kumpulan cerpen Nh Dini.


Ade langsung jatuh hati dengan gaya penulisan Nh Dini ketika membaca “Tuileries”. Imajinasi Ade menghantarkan dirinya seolah berada di tengah-tengah taman indah Kota Paris itu, penggambaran suasana taman oeh penulis membuat begitu terasa atmosfer adem, sejuk dan cericit burung serta kesegaran air mancur yang berasal dari Sungai Seine. Kali ini Ade disapa kembali oleh Nh Dini lewat buku yang dibacanya, pada halaman 337 terdapat sebuah fragmen berjudul “Pada Sebuah Kapal” karya Nh Dini yang menjadi salah satu bagian pada buku kumpulan karya sastra penulis-penulis handal lainnya seperti; HB. Jassin, Mochtar Lubis, Subagio Sastrowardojo, A.A Navis, Umar Kayam, Rendra dan masih banyak lagi penulis-penulis besar lainnya, semuanya tersaji pada buku ini; ‘Laut Biru, Langit Biru’.


Hari pertamanya di sekolah baru dilewati tanpa ada kesan yang begitu kuat, kondisi yang kerap dia rasakan di sekolah lain yang pernah dihinggapi ketika awal-awal kehadirannya. Hari kedua di sekolah ini, Ade mendapatkan sebuah kejutan berharga! Ade tidak memperhatikan awal kehadiran murid yang berdiri di depan kelas. Ade masih sibuk menulis sepenggal tulisan pada buku jurnal perjalanan hidupnya, jika Ade tengah larut dengan tulisannya terkadang Ade melepaskan alat bantu pendengarannya, dia ingin kembali pada kondisi sejati dirinya, hening.


Teman,
Bisakah kau meminta pada Tuhan yang kerap kau sebut gembala itu untuk menghadirkan dirimu di titik yang sama pada kordinat yang sama dimana kali ini aku tepat berada?
Jika bisa, pintakan segera!
Sekarang
Saat ini juga!!
Maka aku akan menyambutnya dengan penghayatan ’amien’ku yang terdalam


Ade menghentikan gores pena itu dari jurnalnya, pandangan matanya bertemu pada binar mata yang dia kenali, lentik bulu mata dan garis lengkung alis nyaris sempurna yang kerap dia pandangi itu kini ada dihadapannya. Doa lewat gores pena pada jurnal itu dikabulkan oleh Tuhannya dan Gembala sahabatnya. Sontak dia berdiri menatap tajam kearah murid yang berdiri di depan kelas, lalu menengadahkan kepalanya seperti merapal sepotong mantram dengan takzim.


Brenda, siswi itu hanya tersenyum menahan tawa kecilnya seraya membuat sebuah bahasa isyarat dengan kedua tangannya, jari telunjuk kanannya mengait pada jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang berada diatas dari posisi telapak tangan kirinya; T.E.M.A.N.



Ade membalasnya dengan gerakan sigapnya, jemari tangan kanannya tergenggam di depan dadanya hanya jari telunjuk yang berdiri lalu membuat gerakan melingkar sambil menutupkan jari telunjuknya: A.B.A.D.I.





-Koelit Ketjil-
Kota S, 29-30 April 2010. [22.20 – 01.31]

...semoga bisa bersambung...



6 komentar:

  1. ini pelatihan bahasa isyarat ya kak...?

    BalasHapus
  2. hhummm... ini sekedar memperkenalkan bahasa isyarat kepada kawan2 dunia maya.

    aku jadi males upload lagi terusannya karena respon tmn2 di notes facebook tidak ada yang menyinggung ttg bahasa isyaratnya, malah komen mouse ku..hehehehe

    makasih ya mbak Radesya :)

    BalasHapus
  3. dengan buku merupakan inspirasi penting dan cakrawala baru, seperti pepatah buku adalah jendela dunia ,salam sehat selalu. salam untuk adenya. semoga dia bertambah pintar dan cerdas dan berguna untuk bangsa dan negara

    BalasHapus
  4. eh...pngen belajar, langsung di prakteka kan nih, salam kenal ya postingan nya menarik.

    BalasHapus
  5. susah kah belajar bahasa isyarat bro?

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!