Kamis, November 10, 2011

DHANDHAKA

“Umi, ini cucumu datang menjenguk Umi. Maafkan Radit baru sempat menjenguk, sekarang Radit sudah bekerja di Kota Semarang. Mohon doanya Umi, mudah-mudahan proses magang Radit lancar, supaya Radit cepat diangkat jadi pegawai tetap.” Dapat kurasakan pancaran sinar kebahagiaan nenekku yang biasa kupanggil dengan sebutan Umi, hanya itu pertanda yang mampu kupahami setelah kubisikan tepat di daun telinga kanannya. 

Umi pasti tengah mengucapkan doa untukku dalam bahasa diam itu, sudah beberapa tahun aktifitas yang dia bisa lakukan hanya berbaring. Aku hanya tersenyum, menganggukan kepalaku, meyakinkan Umi bahwa aku mendengarkan doanya, air mataku tak kuasa kubendung. Kubelai bagian kepalanya yang putih, Umi hanya terbujur lemah di peristirahatannya yang setia menemani tubuh ringkih perempuan tua ini. Janjiku dalam hati, jika gaji pertamaku sudah kudapat pasti akan kusisihkan untuk mengganti ranjang tua ini, rasanya tak tega melihat Umi berbaring disini, jauh dari kesan nyaman, tak bersih dan tak terurus.

Kusodorkan air kendi dingin untuk Umi, musim kemarau seperti ini pasti membuatnya kehausan atau bisa jadi dehidrasi, kekeringan. Kuganti bunga yang mengering itu dengan bunga-bunga segar kesukaan Umi; mawar, melati dan tanjung. Aku selalu teringat masa kecilku setiap kali mencium aroma bunga tanjung, dahulu sering kali Umi mengajarkanku membuat kalung atau gelang dari rangkaian bunga kecil berwarna putih ini. Mungkin tidak banyak yang tahu bunga berbentuk hampir mirip seperti bunga melati ini didapatkan dari pohon tanjung yang sangat besar, tak sebanding dengan ukuran bunga yang sangat kecil.

Dulu dekat rumahku terdapat pohon tanjung yang sangat besar, setiap malam hingga subuh hari bunganya berguguran, menciptakan suatu kawasan beraroma harum yang khas. Siapa pun yang melintas pasti dapat mencium wewangian bunga dari pohon yang tumbuh di pinggiran jalan Jayadiningrat, konon nama jalan ini diambil dari nama orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, putera Banten.

Umi sudah pasti senang ditemani oleh bunga-bunga ini. Masih kupandangi sosoknya, aura wajah teduhnya masih menyisakan kecantikan masa mudanya yang masih lekat dalam ingatanku. Orang tua dan Paman-pamanku sering mengatakan bahwa semua keunggulan genetika, terutama kecantikanku, didapatkan langsung dari Umi. Mereka bilang kalau ingin tahu sosok nenekku saat muda, tinggal lihat aku saja. Sintal, tinggi semampai, kulit bersih, rambut panjang hitam berkilau dan yang tak bisa dipungkiri lagi, aku memiliki senyum khas Umi; lesung pipi.

Selesai mengurusi nenek, aku duduk di pekarangan depan, menikmati suasana sore yang tenang, semilir angin, gemerisik daun bambu dan guguran dedaunan pohon beringin yang menguning menutupi hampir seluruh pekarangan ini. Badanku terlampau lelah, membuatku malas untuk membersihkan dedaunan yang rontok itu, belum juga hilang sisa pegal pada punggung setelah perjalanan tiga belas jam dari Kota Semarang menuju Kota Serang. Hanya terpaut dua huruf saja memang, tapi dua huruf itu; ‘-ma-‘ tersimpan perbedaan yang sangat menonjol, kuharapkan perbedaan nasib yang akan mendominasi masa depanku, menuju kehidupan yang lebih baik tentunya.

Seorang bocah perempuan berlarian dari arah barat mendekat ke arah depan tempat peristirahatan Umi, dia seperti mencari-cari sesuatu. Berjalan dari satu titik, kemudian berlari ke arah pohon kamboja tak jauh dari tempat dudukku.

“Dhakaaaa…. Dhakaaa! Dhakaaaaa!!! Iihhh, kamu sembunyi dimana sih?!” bocah itu berteriak ke berbagai penjuru.

Kuamati raut kesal bocah itu. Ahhh, bukankah bocah itu bernama Dhana? Yaa ampun, sudah besar rupanya! Mungkin sekarang usianya sekitar sepuluh tahun. Aku mengingat-ingat kalau tak salah terakhir kali aku melihat bocah itu beberapa bulan sebelum aku melanjutkan kuliah di Jogja. Yaa, waktu itu acara selamatan untuk Dhana yang telah lancar berjalan, sementara segerombolan anak-anak kecil berkumpul di depan rumahnya berebut uang receh yang dilemparkan Wak Masitoh. Sebuah adat kebiasaan yang disebut ‘saweran’ sebagai wujud rasa syukur yang masih sering dilakukan warga Serang, begitu juga di kampungku, kampung kecil yang mengambil nama ibunda dari nenekku, Kaloran Hajjah Jenab.



“Hai Dhana, kamu lagi cari siapa?” kupanggil bocah yang masih juga belum menemukan yang dia cari.
“Tadi Teteh liat Dhaka main disini, gak?” nada suaranya meninggi, tak mampu menutupi rasa jengkelnya.
Belum sempat kutanya lagi, tiba-tiba dari balik pohon beringin terdengar tawa kecil, lalu sesosok bocah dengan tinggi, perawakan, model rambut bahkan baju yang sama persis, keluar dari tempat persembunyiannya.

Yaa, ampun! Bagaimana mungkin aku bisa jadi begini pelupa? Yaaa… yaa.. yaa.. Aku baru ingat, Dhana dan Dhaka adalah bocah kembar! Dhana berlarian ke arah kakak kembarnya yang konon hanya berselang lima belas menit saja selisih kehadiran mereka di dunia ini, setelah sembilan bulan bersama berbagi dalam dunia sempit, rahim ibu mereka.

Tak kulihat lagi rasa jengkel dari raut wajah Dhana, mereka sudah berlarian kecil, kejar-mengejar, saling membalas lempar dedaunan kering. Ahh, dunia anak-anak yang lugu dan damai, tidak perlu berlama-lama marah atau bermusuhan seperti orang dewasa, sebentar saja sudah kembali ke dunia mereka yang ceria. Aku merasa iri menyaksikan keakraban kedua bocah kembar ini.

Banyak sekali aktifitas menyenangkan yang mereka lakukan, baru saja mereka mencari bambu untuk mengambil buah duku di pojok sebelah utara, sempat kudengar suara mereka meminta ijin untuk mengambil buah duku itu. “Wak Babay kumis, minta duku yaaaa?!” suara Dhana sedikit berteriak meminta ijin, lalu terdengar suara permohonan mereka dikabulkan, “Iyaa, ambil ajaaa!!” rupanya Dhaka yang mengucapkan kalimat itu. Ahh, dunia anak-anak yang jujur sekali. Kagum aku melihat keluguan mereka.

Energi mereka seolah tak ada habisnya, selepas membagi rata buah duku ‘pemberian’ itu dan menghabiskannya, kini mereka sudah bermain ‘rumah-rumahan’. Kurasa setiap anak-anak di kampung kami berpotensi menjadi pemain drama, teater atau mungkin sutradara film yang handal karena terbiasa menyusun skenario dadakan, lengkap dengan lakon, tokoh, setting panggung dan properties a la kadarnya, cikal bakal pertunjukan teater versi anak-anak

Kuperhatikan mereka memainkan peran sebagai suami-istri, Dhana berperan sebagai ‘bapak’, sementara Dhaka menjadi ‘ibu’. Aku geli sendiri menyaksikan acting mereka yang hampir sempurna, terkadang mereka harus mengulang adegan tanpa ada aba-aba ‘cut!’ atau ‘action!’ Aku pun sering memainkan hal yang sama sewaktu kecil.

“Teh Radit, sini dong! Ayoo, main bareng kami!” tangan Dhana melambai-lambai, memanggil ke arahku.
“Waahh, kalian lagi main apa, nih? Kayaknya seru banget!” semula aku ragu untuk mendekat tapi jika aku menolak permintaan mereka maka akan ada dua bocah yang kecewa, lagi pula, kapan lagi aku bisa kembali ke masa kecilku.

Kunikmati betul nostalgia masa kecil dengan kedua bocah kembar ini, adegan demi adegan tergelar dengan begitu mengalirnya. Bocah kembar ini memberikan arahan lakon yang harus kuperankan; bangun tidur, pergi ke sekolah, pulang sekolah, makan siang lengkap dengan piring yang mereka buat dari lembar daun kamboja dan kebiasaan keseharian yang layaknya kita lakukan di dunia nyata, sampai pada satu adegan dimana aku akan dinikahkan oleh kedua ‘orang tuaku’ ini.

‘Ibu’ menyelipkan bunga kamboja di telingaku, “Nah, anak ibu sekarang sudah cantik deh! Sebentar lagi calon suami kamu datang.” Tangan ‘Ibu’ mengusapi wajahku, seolah-olah tengah memperbaiki make up.
Kulihat seseorang datang mendekati kami, jangan-jangan orang ini yang memberikan kabar bahwa iring-iringan perwakilan keluarga mempelai pria telah tiba. Lelaki separuh baya itu berdiri tegak di hadapan kami.
“Dhana, pulang yuk! Sekarang udah sore. Dhana `kan belum mandi…” suara orang itu menyadarkanku yang semula masih larut dalam dunia peran kecil yang disusun bocah kembar ini, perlahan kembali kepada dunia nyata, fade in.

“Eh, Oom Rahmat. Selamat sore, Oom.” Aku bersalaman dan mencium punggung tangan Oom Rahmat yang masih kerabat jauhku ini.
“Terimakasih, Teh Radit mau menemani Dhana. Anak satu ini memang bandel, Teh! Tiap hari mainnya disini terus. Setiap Dhana mau berangkat sekolah harus lewat sini, pulang sekolah juga mampir dulu kesini, lalu sebentar pulang ke rumah, sehabis makan, ehhh main ke sini lagi. Kalau bukan Dhana, mana ada anak kecil yang berani main di sini sendirian?” aku merasakan sepertinya ada yang janggal dari ucapan Oom Rahmat.
“Loh, Oom, kok dari tadi yang disebut cuma Dhana aja, sih? `kan juga ada Dha…” aku sampai harus memutar-mutar badanku mencari satu bocah itu.
“Kenapa, Teh Radit?” Oom Rahmat masih belum memahami ucapanku.
“Anak Oom Rahmat `kan bukan cuma Dhana tapi juga ada Dhaka. Gak boleh pilih kasih dong!” Aku menjawab pertanyaan itu tapi mataku masih mencari-cari Dhaka.

Raut muka Oom Rahmat mendadak memperlihatkan ekspresi terkejut bercampur kesedihan. Dia mengajakku berbincang sebentar di gubuk kayu tak jauh dari pohon beringin.
“Teh Radit memangnya betul-betul belum tau, ya?” bibir Oom Rahmat bergetar kecil, dahi berkerenyit dengan tatapan mata berkaca-kaca.
“Apa sih maksud, Oom Rahmat?!” rasa penasaranku semakin bertambah.
Kuperhatikan lelaki paruh baya ini, menarik nafas cukup panjang, kepalanya menunduk, pandangan matanya tertuju pada sandal jepitnya yang menendangi kerikil-kerikil kecil. Betapa sulitnya persiapan yang dia perlukan hanya untuk bercerita.
Berceritalah lelaki paruh baya ini.

“Haaahhhh!!! Apaaaa???!!!” sontak aku berteriak penuh keheranan.
Aku masih shock setelah mendengarkan cerita tadi itu. Aku memerlukan waktu untuk menenangkan diriku, menolak diajak pulang bareng dengan Oom Rahmat, berjalan semakin menjauh, hanya terlihat punggung rapuhnya sambil menggandeng tangan Dhana.

Hingga saat ini, Oom Rahmat masih bingung harus melakukan apa lagi setelah berbagai upaya telah dilakukan namun tak pernah berhasil mengatasi permasalahan yang masih dialami putrinya. Dhana beranggapan kakak kembarnya masih selalu menemaninya bermain setiap harinya, meskipun Dhaka sudah sejak lima tahun yang lalu meninggal dunia akibat sakit keras. Dhana masih saja setiap hari bermain d isini, di pemakaman umum ini, tempat Dhaka bersemayam yang juga tak berjauhan dari nisan putih kusam nenekku yang baru saja ku siram air kendi dan taburan bunga-bunga mawar, melati dan tanjung, selepas ku ziarahi.

- Koelit Ketjil-
15 September 2011 (Se-ma-rang) – (Serang) 16 September 2011
Dalam 12 jam perjalanan menghapus dua huruf; -ma-

2 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!