Senin, Januari 31, 2011

MELATI VAN SD INPRES



Pagi hari ini, berbeda dari pagi sebagaimana biasanya bagi Harto. Dua belas tahun pengabdiannya pada sebuah sekolah dasar menjadi jauh lebih bersemangat dari tahun-tahun sebelumnya karena ini hari istimewa gumamnya maka dia pun bekerja lebih awal lagi dari hari biasanya.. Selepas subuh Harto telah siap dengan sapu lidi bergagang bambu itu, lapangan upacara telah bersih dari dedaunan yang gugur sepanjang malam tadi, podium kecil terbuat dari papan tempat pembina upacara telah dipersiapkan dan satu lagi podium berukuran sama disandingkan di sebelahnya, sedikit sentuhan manis dia tambahkan pada seputar lapangan upacara dengan menggunakan kertas warna-warni yang biasa digunakan dalam acara ulang tahun anak kecil, tidak banyak memang tapi ini menjadi pembeda dari upacara senin biasanya. Dia tersenyum puas, pagi ini semuanya telah dipersiapkan menyambut hari istimewa itu, ya tentunya dengan pendanaan a la kadarnya bagi sekolah dasar inpres pada desa yang masuk daftar IDT ini.

Air dalam ceret telah mendidih, sejumput teh tubruk diracik, cangkir-cangkir kaleng dengan penutup yang memudar warnanya telah tertuang teh panas, Harto sudah hafal betul gelas mana saja yang biasa digunakan masing-masing guru, meskipun hampir kesemua cangkir kaleng tersebut bermotif sama loreng dengan taburan karat di sana-sini. Harto juga sangat paham gelas milik siapa saja yang perlu ditambahi gula bahkan tahu persis takaran sesuai permintaan guru bersangkutan tapi hari ini ada perlakuan special pada salah satu dari cangkir itu, Harto dengan sengaja menambahkan sekuntum melati putih dia biarkan mengambang pada teh panas racikan nasgitelnya, sejenak dia menikmati aromanya lalu menutup kembali agar aromanya tetap tersublim menjadi uap tertahan pada tutup cangkir. Racikan yang sama juga dia sajikan untuk sang istri di rumah sebelum dia berangkat kerja.

Ruang guru telah bersih, begitu juga ruang kelas yang hanya berisi tiga lokal sederhana biasa digunakan murid kelas satu hingga kelas tiga pada pagi hari dan giliran berikutnya setelah mereka pulang murid-murid dengan tingkatan lebih tinggi bergantian belajar di tempat yang sama. Bel berbahan baku potongan rel kereta api dengan mantapnya dipukul berkali-kali, ratusan murid bergerombol memenuhi lapangan upacara, semuanya wajib hadir sekalipun murid kelas empat hingga kelas enam seharusnya belajar siang hari, mereka juga harus menjadi saksi di hari istimewa ini. Harto mengambil tempat pada sebuah pojokan sekolah, menyeruput kopi hitam ditemani kretek Djarum Coklat, angin bertiup manja di pagi cerah ini, hatinya penuh.

Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru

Namamu Akan Selalu Hidup Dalam Sanubariku

Semua Baktimu Akan Kuukir Di Dalam Hatiku

Sebagai Prasasti Terima Kasihku

Tuk Pengabdianmu

Engkau Sebagai Pelita Dalam Kegelapan

Engkau Laksana Embun Penyejuk Dalam Kehausan

Engkau Patriot Pahlawan Bangsa

Tanpa Tanda Jasa

Suara cempreng murid-murid menyanyikan lagu Hymne Guru, sekalipun suara mereka cempreng hymne tetap menyentuh hati bagi siapapun yang mendengarkan, terlebih mereka-mereka yang diberi tempat kehormatan dalam hymne itu. Guru-guru terharu, tidak sedikit dari mereka menitikan air mata mendengarkan lagu hyme dari ketulusan ratusan muridnya yang berseragam lusuh, bersepatu dekil, hampir semua dari mereka berkulit legam, berkoreng dengan taburan panu hasil ciptaan garangan matahari, bau ternak kambing anggonan dan air sungai keruh.

Lamunan Harto mengajak dirinya larut kembali pada kenangan tahun di awal dia masuk sekolah dasar ini. Keterpurukan ekonomi dan bobroknya penegakan hukum yang melanda negeri ini membuat dirinya muak dengan lingkungan kerjanya, mau tidak mau tidak termakan dalam kondisi hina itu, menjadi pelaku kebusukan yang sama seperti rekan sejawat lainnya sekalipun hati nurani selalu berontak dengan kondisi jawatan tempatnya bekerja. Sebetulnya jika dia masih bersabar mungkin dia yang saat itu berstatus honorer kini telah diangkat menjadi pegawai negeri penuh pada sebuah jawatan penegakan hukum. Harto menanggalkan gelar kesarjanaannya, menggunakan ijasah sekolah menengahnya melamar pekerjaan sederhana, dia memilih menjadi pembantu, pesuruh, tukang bersih-bersih alias jongos disini karena di sekolah dasar terpencil ini sebutan office boy terlampau agung. Dia ingin memulai dari nol membayar semua kesalahannya, bekerja pada tempat yang tidak membutuhkan pertaruhan nurani. Ketulusan hatinya ini menarik perhatian salah satu guru senior pada sekolah dasar ini, memintanya menjadi menantu tanpa melihat honor seorang jongos.

Teriakan lantang tanpa pengeras suara dari Kepala Sekolah berumur kepala lima menyadarkan lamunan Harto, momen ini yang dia tunggu-tunggu, momen tahunan pada Hari Guru yang memberikan apresiasi tertinggi bagi para pengabdian pendidikan di sekolah sederhana ini, pemberian penghargaan bagi guru-guru berdedikasi tinggi. Tiga nama disebutkan; Bapak Drs. Mustofa, Ibu Dra. Nanik Wijayanti dan Ibu Wandari Tri Sekar Melati, S. Pd. Semua bertepuk tangan riuh ketika tiga orang yang disebutkan satu persatu naik podium di sebelah Kepala Sekolah, ungkapan penghargaan dan terimakasih berulang-ulang diucapkan Pembina Upacara. Seluruh guru dan murid-murid menyalami ,memberikan apresiasi tertinggi pada mereka. Harto tersenyum bangga meski tidak tampak terkejut karena dia sudah mengetahui nama-nama tersebut ketika membersihkan ruangan Kepala Sekolah yang tidak sengaja terbaca pada lembar hasil rapat Dewan Guru dan Komite Sekolah dalam menentukan mereka yang berhak mendapatkan penghargaan guru terbaik.

Pesta sederhana berupa upacara khidmat telah selesai, Harto kembali pada ruang kerjanya, sebuah dapur kecil berukuran dua kali tiga meter dari papan lapis tipis. Salah seorang guru penerima penghargaan itu mendatanginya, terlihat cantik sekali hari ini, secantik melati, sesuai namanya. Bibir tipisnya mengembang, menyajikan senyuman bangga, manis sekali. Harto menyematkan salam selamat, disambut ucapan hangat dari guru terbaik itu, “Terimakasih atas dua cangkir teh melatinya.”

tribute to my lovely wife, the best teacher for me


-tercipta setelah menyanyikan Hymne Guru pada telinga istriku yang tertidur lalu sejenak terbangun mendaratkan ciuman-

Koelit ketjil, Sempu, 25 Nopember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!