Senin, Juli 11, 2011

LIES INSIDE OF ME







Samuel berjalan terseok-seok, telapak tangannya merayapi dinding gang gelap, lembab. Malam di Kota New York sepanjang summer dapat dipastikan malam yang membuat semua orang tak nyaman tertidur. Sirine pabrik pengepakan barang baru saja melepaskan bunyi sebagai pertanda manusia berikutnya harus bergantian bekerja. Man versus machine, fuck!





Sirine itu juga digunakan Samuel sebagai clue, dua jam berikutnya dia harus siap bertanding melawan mesin- mesin. Kondisi perekonomian Amerika yang carut-marut memaksa dirinya menjadi keparat yang hidup bertumpuk dalam sebuah gedung rapuh. Memori mendapatkan bonus besar dari pekerjaannya yang dulu mapan di City Bank hanya menjadi placebo ketika dia lelah berlarian dari satu pekerjaan menuju tempat lain yang bersedia menerimanya kerja beberapa jam hanya demi dua dollar.





Tubuhnya terpental oleh buangan uap pabrik ketika merayapi tembok, berdebam pada genangan air kotor. Mengutuki diri ketika luka-luka sekujur tubuhnya terbasuh genangan air bercampur bebauan kencing gelandangan, tikus-tikus got dan kotoran anjing. Luka sayatan sepanjang lima senti tepat di bagian rusuknya membuat dirinya mengerang tetapi harus tetap menjaga kesadaran dirinya. Tangga besi samping gedung apartemen busuknya tak sanggup dia gapai dengan segala sisa kekuatan dan kesadaran, tanggannya meraih dengan sedikit lompatan, tulang kakinya mungkin retak terhantam pemukul baseball, kini genggaman tanggan yang semula berada di rusuk dan satu lagi berusaha menggapai tangga itu beralih ke tulang kering kakinya. Dia tidak boleh pingsan.





“Great! hanya inikah yang bisa kudapatkan! Shittt!!!” umpatannya harus pula tertahan, dia tak ingin membangunkan istrinya, dia tahu bencana apa lagi yang akan dia hadapi jika istrinya terbangun. Hanya ada sebaskom air yang tertampung dari tetesan kran, Samuel merobek satu kaos oblong bertuliskan “FAMILY GATHERING CITY BANK, ONE HAPPY FAMILY, ONE HAPPY BANK” kaos putih itu berubah warna menjadi merah pekat. Samuel harus mengirit air dan kaos yang dia jadikan lap juga pembalut luka, untuk ukuran luka-luka itu rasanya tidak mungkin.





Samuel sudah siap menggigit sikat giginya, meski ragu masih menimbang sebotol cairan kumur, tak ada alkohol, tak ada obat antiseptik, tak mampu untuk membeli itu semua, cukuplah dia percaya tulisan pada botol kemasan itu ‘MENCEGAH KUMAN MULUT’. Tekad Samuel bulat, disiramnya cairan berwarna biru terang itu pada luka sayatan di rusuknya, aroma mentol menyeruak “Arrrrggghhhh!!!!!” patah sudah sikat gigi diantara geliginya, dia tidak boleh pingsan.





Samuel tak dapat mencegah istrinya terjaga ketika engsel pintu kamar berderak, dia mengutuki pintu sialan itu karena sudah dapat dipastikan suara itu telah membangunkan monster yang tertidur tak lelap di malam lembab seperti ini. Istrinya menatap dingin lalu melemparkan beberapa lembar kertas, mendarat tepat di wajah lelahnya, Samuel tak berdaya melihat kertas-kertas tagihan yang melayang seolah slow motion itu terlebih berondongan kalimat kasar keluar dari mulut istrinya yang tidak ingin dia pahami sepatah kata pun.





Samuel bingung harus menutupi kedua telinganya atau luka di rusuk dan kakinya. Dia mengambil seutas tali, lalu mengikat dirinya pada pipa besi saluran pembuangan kotoran dari lantai atas di tembok pembatas kamarnya dengan kamar tetangga, berlutut tak berdaya. Istrinya terus memberondong dengan sejuta pertanyaan, cacian, sindiran, cerita-cerita masa lalu yang mapan yang tak lagi sebanding dengan kehidupan yang keparat kali ini. Samuel hanya diam sekalipun entah apa yang ada di dalam tubuhnya mengajukan pemberontakan.





Geligi Samuel bergemeretak begitu juga tulang-tulang pada pergelangan tangannya, “Sudah cukup Sam! Saatnya berontak!!” Suara itu berdengung dalam kepalanya. Itulah sebabnya dia mengikat dirinya pada pipa berkarat itu. Samuel sangat takut jika apa yang ada dalam tubuhnya berontak lalu melakukan hal yang sama terhadap tiga orang dari pabrik yang terkapar dengan luka yang jauh lebih parah dari dirinya. Monster dalam tubuhnya berontak ketika mandor pabrik tempatnya bekerja memaki-maki Samuel hanya karena terlambat sepuluh menit lalu ceramah mengenai kesempatan kerja yang sempit, sampai pada ancaman pemecatan membuat kupingnya panas. Samuel menghentikan sumber bising itu dengan kunci inggris besar, helm yang dikenakan mandor itu pecah mukanya bersimbah darah pertanda kepala yang terlindungi itu turut pecah, kedua rekan kerja yang sejak semula sinis terhadap Samuel seolah mendapatkan pembenaran untuk menghajar dia, namun justru mereka yang terkapar.





“Berdiri kau pengecut!!!”





Suara itu terus menerus menjadi teror dalam otak Samuel, hanya dengan membenturkan sumber teror pada temboklah yang mampu membebaskan Samuel dari penderitaan itu sekalipun tubuhnya terpenjara di balik jeruji besi. Kali ini Samuel bebas pingsan setiap kali tembok itu membuatnya KO, tembok derita yang sengaja dia tempeli sepotong berita dari koran;



“SAMUEL L KEMPERS, KILLED HIS WIFE AND THREE MEN IN ONE NIGHT”









Koelit Ketjil

Sempu Gedang, 10 Juli 2011





*foto from: http://wongndro.blogspot.com/






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!