Senin, Oktober 06, 2008

Matinya Kata-kata


“Sudahlah kawan, kau terlalu mabuk malam ini!” penyair muda itu membangunkan tubuh kawan lamanya yang telah lebih dulu berprofesi sebagai perangkai kata-kata indah, dia bukan sekedar kawan lama, dia adalah referensi kata-kata, dia terkapar pada pojokan kedai tuak yang juga menjual teh chamommile.

“Mabuk?...hahh!!..kau bilang aku mabuk! Hahaha…lebih baik kau sebut aku sebagai orang gila! Bukan mabuk kawan…bukan.. kau tahu mabuk itu hanya pantas bagi mereka yang berbaju biri-biri dengan bau tengik tapi mereka paksakan cendana mengalahkan bau itu. Peeehh!!” seluruh cairan meluap dari dalam perut, seluruh sumpah serapah dengan kata terangkai tumpah ruah dalam ruangan pengap bernuansa musik padang pasir. Menggeliat tubuh penari perut dihadapannya, kaki-kaki mulus serupa warna tembaga meliuk tawarkan gairah. Tangannya menggapai-gapai dari betis menuju pokok penawar gairah itu.

“Hati-hati kawan, kau dapat saja terkena racun bisa dari budak melata itu” sekali kibasan saja peringatan kawannya menjadi sia-sia terlontar begitu saja berdebum pada meja kayu reot. “Hahaha… aku mati terkena racun? Hai, coba kau lihat mahluk rapuh dan cantik hasil pahatan serta goresan kuasa dewa yang paham arti keindahan, ini adalah karya sempurna bodoh! Perlu kau ingat, akulah diabolos, aku beelzebub, aku panglima saythan! Jangan kau ceramahi aku tentang bahaya dunia, kau serupa mereka berbaju biri-biri tengik” badannya bergoyang limbung tapi suaranya tetap menggelegar membuncahkan kata-kata.

“Aku Lucifer takkan mati terkena gigitan mahluk melata ini, Karena aku maka anak-anak Prajapati ada. Asura adalah putra kesayanganku, kau dengar itu!” dadanya mengembang, dagunya ditarik melawan gravitasi, penari itu menggeliat meliuk sepanjang tubuh tambunnya, menyusuri keringat beralkohol yang mengalir deras dari setiap pori tubuhnya.

Bibir ranum mahluk melata itu mengucapkan mantra buluh perindu pada telinga korbannya, lidahnya menjulur, bercabang dan berdesis. “Wahai lelaki perkasa yang dianugerahi birahi dan gairah, bawa aku serta pada istana kata-katamu, ijinkan aku berenang dan tenggelam dalam kolam syair maha kata itu. Tubuh lenturnya melilit gemas, sang korban bergelinjang menantikan sensasi lebih nakal pada pori kulit legamnya yang diprovokasi sisik lembut budak melata.

“Bagaimana dengan Alexander mu yang agung itu? Angkaranya pasti meledak dan pedang pasti terhunus pada batang leherku jika tahu permaisurinya hijrah pada istanaku, tidak kah kau riskan dengan beban nama dan kehormatanmu yang disucikan dalam tata ruang istanamu yang adiluhung itu bahkan tamanmu serupa firdaus sarat makna dan ilmu?” kali ini kepala sang maha resi kata-kata itu tertarik oleh gravitasi, menatap penari yang menggeliat pada pokoknya, dia tidak sekedar penari, kehormatannya jauh lebih tinggi beberapa derajat. Setiap geraknya adalah tauladan, setiap lekuknya patut ditiru bagi mereka yang hadir pada pondokan tarinya.

“Ahh, biarlah Alexanderku membatu… kata-katanya bisu, sentuhannya sedingin angin senja yang membawa kering debu melayang, tak dapatkah kau lihat tubuhnya terbuat dari granit kasar. Alexanderku sekedar patung tak bergairah dan menggairahkan, dia tak lebih dari Gupolo, raksasa batu bergada palsu yang diciptakan menakuti prajurit lawan yang bodoh pada gerbang istana rapuhnya” Penari itu menjulur-julurkan lidahnya, mencecapi madu yang tercampur sempurna bersama susu, larutan candu dan ribuan galon alkohol yang menyembur deras pada gelinjang resam tubuh sintalnya.“Oohh… pencipta kata-kata indah, lembut tiada tara, madumu memabukkan aku…” penari itu tergolek lemah setelah bergelinjang disisi kulit usangnya yang terkelupas. Penyair agung itu menyeringai meninggalkan penari yang tak sanggup lagi melata.

Dihadapannya kini telah berkumpul darah muda yang bergejolak teriakan panji-panji kemenangan juang. Angkuh pada pelana bertahta emas dan beratus mutiara, Penyair agung itu mengaum kobarkan semangat didihkan darah juang muda hingga menggelegak pada batang tenggorokan mereka. Para pejuang muda yang terbius dari mulutnya berupa candu kata-kata sang agitator. “Maju… siapkan daging segarmu untuk kejayaan, siramkan darah merahmu pada padang kurusetra ini, kemenangan hanya bagi mereka yang tidak tunduk pada penguasa lalim yang otoriter mengatur jalur kebebasan pikir dan karya cipta kita. Maju untuk kejayaan kata-kata!!”seringai senyum liciknya tersembul hanya sedikit, berhasil dia mencuci otak angkatan darah juang muda bodoh ini.

Bersujud dikakinya para penasihat raja, dijilatinya kumpulan daki pada sela jari dan kuku-kuku kaki penyair yang tak pernah tersentuh cairan selain hasil fermentasi. Terus menjilati sambil menantikan petikan wejangan keluar dari mulut yang mengaku telah mengajarkan strategi ilmu perang pada setiap kerajaan manapun. Takzim mereka menunduk, petikan wejangan yang keluar nantinya akan mereka klaim sebagai hasil perenungan mereka dan dipersembahkan pada sang raja demi membangun negeri. Membuncahlah berjuta metrik wejangan dari mulut sang resi kata-kata, pedas namun terkesan bijak tapi sayang para penasihat kerajaan bebal itu tak cukup pandai mengetahui niat dibalik ini semua. Mereka membungkuk hormat pamit meninggalkan peti-peti upeti dan tumbal berupa gadis tercantik.

“Hahaha… mereka tak tahu aku mengirim mereka agar kerajaan ini poranda, kalian pikir siapa yang mengirim Mephistopheles agar bersekutu dengan Faust? Aku dalangnya! Kau pikir aku hanya mendapatkan pepesan kosong? Salah besar!! Jiwa Faust menjadi milikku, dia hambaku! Begitu juga ribuan rakyat, askar muda, abdi kerajaan bahkan rajanya sekalipun, mereka hanya mengembik padaku!!” taringnya mencabik-cabik tubuh sintal gadis tumbal yang polos itu, lumuran darah perawan disiramnya dengan gemerincing emas sekujur tubuh tambunnya.

Kenikmatan segala nikmat duniawi terusik kala gerbang istana yang dibangun oleh rangkaian kata-kata itu diketuk oleh ratapan seorang dekil dengan baju biri-biri. Seluruh badannya menyentuh lantai kejayaan, merangkak takzim tidak berani menatap sang resi kata-kata. “Siapa kau mahluk dekil? Beraninya kau menyentuh duniaku! Duniamu adalah lorong sunyi kematian, kemabli pada alammu! Gelegar kata-kata tak sudi menerima kehadiran tamu dekil itu. “Hamba hanya berharap wangsit wahyu mulia dari baginda. Sudah sewindu ini hamba merindu untaian hikmahdari baginda yang mulia” tubuhnya masih menempel pada lantai, kepalanya tetap terbenam pada permukaan lantai pualam terhias abjad alpabetik indah.

“Apa?! Kau sebut aku baginda muliamu! Kau berharap wangsit dariku? Bukankah kau memuja zat yang kau anggap maha daya itu? Bukankah setiap detik kau abdikan mulut itu untuk menderas kitab berwarna kuning? Bukankah kau sudah jauhkan dirimu dari gelimang nikmat dunia hingga kau setarakan dirimu dengan kambing hanya untuk menyentuh firdaus?!” matanya membelalak, murkanya menjadi.

“Hamba hanya ingin meniru jalan darma seperti yang mulia jalani sebelumnya, begitu juga pendahulu kami, sang Zarathusra. Hamba memang membaca kitab itu setiap hari ribuan kali, tak kenal waktu tak pernah berhenti, kitab itu memang berwarna kuning tapi sudilah kiranya baginda melihat kitab ini” suara pasrah mahluk yang bertemu dengan penciptanya, mungkin seperti inilah gambarannya. Kitab itu melayang melawan hukum gravitasi, terbuka dihadapan mata yang masih memancarkan murka. Kitab lusuh berwarna kuning itu berbau apek, campuran debu, air mata dan keringat berkerak pada setiap lembarnya.

Angkah terkejutnya sang resi kata-kata –sang penyair mulia ini, begitu mengenal untaian kata-kata yang tertulis rapi dalam setiap lembar kitab lusuh itu. Kitab yang setiap detik dideras oleh para kaum berbaju kulit biri-biri ini –yang berharap agar hidupnya menjadi mulia setingkat dirinya kelak, merupakan rangkuman untaian kata-katanya sendiri. Syair-syair itu begitu dia kenali, tubuhnya melunglai, harga dirinya menguap, kulit legamnya mengelupas tunujukkan wujud asli berwarna keemasan kusut, mantar tobat tertambat pada ujung tenggorokannya. Terbenam dalam gemerincing ueti yang tiba-tiba berhamburan. Ribuan galon alkohol membuncah keluar dari mulut, setiap lubang pori-pori tubuhnya meledak menguapkan asap candu. Penyair itu tertelan bulat-bulat oleh kata-katanya sendiri. Menggelepar teriakan kata-kata terakhirnya; “Eloi…Eloi…lama sabhatani…”* persis seperi panutannya terdahulu.
(*ucapan Yesus ketika disalib)

KK X 130908

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!