Rabu, September 17, 2008

Padang Pelangi

Sabtu pagi ini sesuai janji kami yang telah terikrar kemarin sore pada rumah pohon, markas kami ber-sembilan. Semua telah siap dengan perlengkapan masing-masing yang telah ditentukan dan dirapatkan baik-baik, ditulis dengan jelas pada buku bergambar Garuda dan dikertas coklat bekas semen., segala sesuatu mengenai misi rahasia kami, lokasi, waktu, peralatan, penanggungjawab setiap seksi, kapten regu bahkan kami membuat rencana cadangan jika rencana awal kami tidak berjalan lancer.


Rencana matang dan ide murni ini keluar dari kepala kami, manusia berukuran tidak lebih dari 1,5 meter bahakan 3 orang anggota kami penisnya belum menjadi korban pisau mantri sunat. Bagi kami rencana ini sangat penting dan sangat rahasia. Top sikret, begitu kalau kami melihat di film seri Mission Imposible dari layar televisi.


Sebagai Kapten regu, dihadapan anggota lainnya, kuucapkan basmallah ketika parang kecilku membelah salah satu bamboo tiang penyangga atap rumah pohon kami, yang digunakan sebagai brangkas untuk mengumpulkan dana misi kami dari hasil jerih payah kami selama hamper tiga minggu, tepatnya 20 hari.


Kami berhamburan mengumpulkan rupiah yang keluar dari bamboo yang terbelah itu, sementara Bayu –anggota terkecil kami, menunggu dibawah jika ada uang receh yang menggelinding terjatuh dari sela-sela papan yang kami jajarkan pada pokok, batang dan cabang-cabang terkuat pohon jambu air yang terletak jauh di halaman belakang rumah Moko.


Bayu naik keatas dengan membawa beberapa keping koin, setelah kami hitung seluruh unag kami berjumlah 43.500 rupiah. Hasil tabungan dari aksi menjual plastik hitam besar yang bisa digunakan unutk membawa barang belanjaan di pasar-pasar tradisional, kami memilih pasar lama sebagai lokasi pencarian dana halal dan tidak mengikat untuk menyokong rencana kami.


“Semuanya ada empat puluh tiga ribu lima ratus rupiah,” suara Ayu sang bendahara merangkap sekretaris kami, merapihkan gulungan ribuan yang kusut dan menumpukkan keping koin sesuai nilainya dengan ketinggian masing-masing sepuluh keping. “coba liat itu!” tangan Ayu yang penuh dengan aksesoris gelang plastic berwarna ungu, tangannya menunjuk pada kertas semen.


“Uang kita masih kurang enam ribu lima rarus rupiah lagi, jika kitamau sesuai dengan rencana anggaran dana awal, jadi bagaimana caranya supaya kita dapat menutupi kekurangan dana kita in?”. Nilai matematika Ayu memang lebih bagus diantara kami tapi kalau sekedar menghitung rupiah kami tidak akan kesulitan untuk penjumlahan dan pengurangan.


Aku tidak begitu risau dengan kekurangan uang itu, begitu juga aku tidak melihat raut muka khawatir pada wajah kawan-kawanku. Aku berdiri, berjalan kearah cabang utama pohon jambu air ini, mengorek tanah liat yang menutupi lubang bekas sarang tupai, kemudian duduk dengan bangga menunjukkan kumpulan kertas berwarna merah terpilin rapi seperti kertas yang akan diundi keluar dari gelas belimbing setiap kali acara arisan ibu-ibu. Ada seribu dua ratus rupiah kutambahkan.


Andi tertawa keras diantara kawan-kawan yang lain begitu mengetahui aku mempunyai tabungan rahasia, ternyata kawan-kawan yang lain juga mempunyai tbaungan rhasia yang tersimpan aman di markas ini. Wawan, memaksa Agung unutk bergeser dari alas katon bekas kardus mie instant, diantara lipatan itu ada tujuh lembar uang kusut berwarna merah. Sapto tak kalah cerdiknya, gundukkan coklat pada ranting sbelah barat bekas sarang lebah itu dijadikan safety depositnya.


Ayu dengan muka masamnya mengeluarkan dompet kecil bermerk toko mas ‘MURNI’, satu lembar rupaih berwarna hijau dengan gmabar orang utan yang sedianya dia gunakan untuk menambah koleksi gelang-gelangnya. Agung lah yang paling sering mengolok-olok Ayu dengan gelang-gelang yang mengumpul pada tangan kecil Ayu sebelah kanan-kiri.


Bayu, bocah kelas satu Sd ini tak mau kalah menjadi donator teriklas diantara kami. Dia sengaja merengek-rengek lama pada kaki Bu Liknya agar disuruh untuk membeli minyak tanah pada pedukuhan sebelah. Minyak tanah menjadi barang yang langka dipedukuhan kami. Satu keping koin bergamabra melati, diserahkan kepada Ayu masih berbau minyak tanah. Upah yang setimpal setelah menjual jasa pada Buliknya, mengangkat jerigen berisi 3 liter minyak.


Agung menyerahkan upeti lima keping koin dan tiga lembar lagi dengan nilai yang sama. Moko mantap mengeluarkan dompetnya yang terikat rantai panjang dari celana jeansnya. Satu lembar uang seribu dan lima ratus dengan kondisi masih baru , tidak kusut terlipat. Bagi kami melihat uang baru yang beraroma khas adalah fenomena langka, mungkin hanya dua kali sdalam setaun kami dapat melihatnya, itupun setelah berkeliling kampung masuk satu rumah kerumah lainnya setelah selesai shalat Ied. Mata kami menatap curiga kearah Andi, tatapan mata mengandung arti ‘apa maksud tertawamu yang membahana tadi?, Ayu mencibir ketus, Moko seolah tak ambil pusing, mungkin dia siap keluarkan lagi beberapa lembar dari dompetnya untuk menambah kekurangan, sementara Agung yang tak pernah bisa menjaga mulutnya, terus terang bertanya dengan nada menuntut pada Andi.


Kami pernah terkena getah dari mulut Agung yang tak dapat terkontrol. Suatu saat ketika kami pergi memancing, tidak pada titik pemancingan biasanya. Agung memaksa kami untuk menyebrangi sisi barat sungai. Bayu protes habis-habisan karena dia harus menunggu disisi lainnya sementara kami bersusah payah mengangkat batang bambu yang kami gunakan untuk memancing itu.



Kami baru mneyadari maksud Agung mengajak memancing disini, “Akhirnya daytang juga!” Agung mendesis riang, matanya tidak lepas menatap Bu lik Marni yang baru saja satu buklan menjadi janda. Pemendangan perempuan dengan balutan jarik, rambut terikat keatas, melenggak-lenggok menuju sungai dengan membawa ember cucian bagi kami yang berusia sangat hijau ini adalah suatu hal yang lumrah, terlebih diseberang sana merupakan tempat yang biasa digunakan bagi ibu-ibu kampong kami mencuci pakaian, tapi tidak bagi Agung.


Aku dan tujuh orang kawan-kawanku duduk dikelas yang sama sejak kelas satu hingga kelas empat sekarang ini, sementara Agung satu kelas yang sama dengan kami tapi sebelumnya dia menduduki kelas yang sama ini selama tiga tahun berturut-turut. Seharusnya dia kelas satu SMP jika otaknya tidak tumpul dan berkarat.


Posisi strategis dipilih Agung tepat dihadapan Lik Marni. Agung sudah gelisah pada posisi memancingnya - seharusnya dibutuhkan ketenangan. Terlalu sering dia mengangkat kailnya hanya untuk mengganti umpan cacing yang tidak tersentuh ikan sama sekali. Kepalanya menunduk tapi ekor matanya tak sedetikpun mengamati gerak-gerik Lik Marni yang tengah berendam dan sesekali menyibakkan jariknya yang basah itu.“Ssst… ppssst…Riss..Hariisss… riss,” ah Agung mengganggu konsentrasi memancingku. Lik Marni menenggelamkan tubuh sintalnya beberapa detik, Agung melempar sebongkah batu kecil memohon perhatianku. Mataku melotot, gigiku gemertak, pergi sudah sentuhan pertama pada mata kailku.


“Ssst.. Ris.. embuut! Ris…embutt!!” tangannya menunujuk kearah gelembung udara yang keluar dari titik dimana Lik Marni masih belum memunculkan tubuh sintalnya, rupanya Agung mengamati betul pola-pola gerakan Lik Marni. Setelah tenggelam Lik Marni pasti menyibakkan jariknya yang hampir lepas melorot, momentum tiga detik itu betul-betul dimanfaatkan oleh Agung. Mulutnya mengeluarkan suara lebih keras lagi ketika memanggilku kesekian kalinya. Inilah getah yang derita dari buah yang tidak kami makan, Lik Marni mendengar suara Agung dari seberang sana.


“Opo le? Embat… embut… embat ….embut! Gelem po? Nyoh!!” tanpa disangka-sangka Lik Marni membuka lebar tangannya yang memegang ujung-ujung jarik batiknya, maka terlihatlah semua. Kami lari tunggang langgang menaiki bukit keluar dari sungai. Suara tawa ibu-ibu membahana terdengar dari kejauhan sementara suara tawa Lik Marni semakin menjadi, dia mengalami gangguan jia setelah ditinggal pergi suaminya yang menikah lagi. Dibawah pohon jati kami tersengal-sengal, letih dan jantung berdegup kencang. Sayup terdengar suara tangis anak kecil disela suara tawa ibu-ibu. Bayu!!! Kami berteriak dan tertawa kompak.




“Semua sudah siap?” aku bertanya mantap pada agen-agen rahasiaku. Sisa uang yang kami belanjakan sesuai kebutuhan ternyata bersisa empat rbu seratus rupiah. Mulut besar Andi ternyata menyetarakan sumbangan terbesarnya. Setiap agen telah memegang plastic asoy hitam besar, didalamnya adalah benda ynga dapat membahagiakan salahsatu kawan kami.


Sebelumnya ada pertengkaran kecil antara Andi dan Agungyang meperebutkan salahsatu isi dari plastik yang sudah kami persiapkan itu. Masing-masing tidak mau mengalahpad awalnya. “Ahh, jangan karena kau menyumbang paling besar trus kau bpleh seenaknya sendiri. Kamu gak cocok! Warna merah itu hanya untuk orang yang besar dan pemberani” Agung mengaum tangannya menepuk dadanya, berdiri bangga dihadapan Andi yang hanya setinggi dagunya.


Akhirnya kami menyelesaikan permasalhan ini dengan gaya demokrasi milik anak-anak untuk menentukkan siapa yang berhak memegang masing-masing bungkusan plastik itu. “Homm…pimpah..alaihum..gambreng!!!”. suara kami membahana menentang terik matahari yang mengeringkan zat cair dikampung kami. Sudah tiga bula hujan tak kunjung membasahi padang rumput tempat kami bermain bola.


Dadaku berdegup kencang tidak karuan, ternyata beban menjadi kapten regu lebih kepada tekanan psikologis, berharap cemas rencana misi kami dapat berjalan dengan mulus. Kumantapkan hatiku membuka pintu pagar besi, memasuki halaman rumah peninggalan jaman Belanda.



Ragu kutekan tombol kecil berwarna merah disisi samping pintu kuno ini. Berkali-kali aku menengok kebelakang, pad balik pohon belimbing tubuh kecil Bayu siap menerima kode dariku dan akan berlari secepatnya setelah aku memasuki rumah ini. Mbok Narti tergopoh-gopoh membuka pintu. “Ono opo cah bagus?” suara serak si mbok terasa menenangkan, kami sering tersihir oleh buaian cerita si mbok, seolah ceritanya adalah kebenaran yang tak tersangkalkan bagi pemikiran kami.


Aku langsung masuk kekamar Langi yang tengah sibuk merapikan barang-barangnya. Foto-foto kami tertumpuk pada suatu kotak yang semula foto itu terpasang ditembok kamar dan meja belajarnya. Senyumnya menyambutku. Aku masih belum percaya kawan baru yang kami dapatkan ketika kelas dua ini sebentar lagi akan meninggalkan kampong kami, penghasil minyak sawit ini.


Rasanya baru minggu kemarin Maharani Cipta Pelangi, ketika Bu guru menawarkan nama panggilan untuknya; “Maharani,” “Rani,” “Cipta” atau “Pelangi”. Tiba-tiba dari kursi paling belakang Sapto berteriak “Langi saja Bu Guru!” nama cantik itu cukup menjadi “Langi,” akhirnya jika kawan-kawan menyebut perempuan cilik manis pemilik nama itu, menjadi mudah memang. Ayu sering bersaing mendapatkan perhatian tujuh orang bocah laki-laki dalam markas rumah pohon kami. Langi lebih santun tutur bahasanya, berbeda dengan Ayu, suara cemprengnya serasa memecahkan gendang telinga kami.


“Ada apa Ris?” Langi meletakkan foto kenaikan kelas kami pada tas yang biasa dibawanya ke sekolah. Momen itu menjadi penting baginya, karena dia berhasil menggeser posisiku di peringkat puncak menjadi satu peringkat dibawahnya. “Anu… aku mau pinjam kamera digital.u, sebentar saja” aku memantapkan diri, dalam pikiranku bergentayangan protes kawan-kawan yang menanti berharap cemas karena ikut ambil bagian pada misi ini. “untuk apa Ris? Aku ambil dulu di kamar ayah ya” Langi mempersilahkanku duduk. Kami dapat mengabadikan momen terindah kami seperti saat tujuh belas agustusan, menang lomba sepakbola antar SD, bahkan ketika ujung kulit penis kami terpotong. Ini semua berkat kamera milik ayah Langi.


Aku mengajak Langi ke halaman belakang rumahnya. Rumah kuno ini dulu tempat pejabat pengawasan perkebunan yang mengontrol roda perkebunan yang telah ada dikampung kami sejak usul edukasi, irigasi dan transmigrasi disetujui jaman colonial sebagai politik balas budi. Langi pergi kedapur sebentar membuatkan minum kesukaanku. Aku segera meniup peluit pramukaku dipinggir pagar besi halaman belakang yang menyajikan langsung pemandangan ribuan batang daun pohon Palm dan padang rumput lapangan bola kami.


Langi datang dengan dua gelas minuman dingin. “eh tadi kau belum bilang, pinjam kamera untuk apa toh?” Langi menjulurkan kamera saku digital milik ayahnya. Aku Cuma mengamat-amati tanpa tahu harus berbuat apa. Langi tertawa geli melihat aku sepeti munyuk ketulup dihadapan alat ini. “Sini, beginiloh caranya memotret. Buka dulu tutup lensanya, trus ini digeser kearah “ON” kalau lampu kecil ini menyala artinya kamera siap dipakai, tinggal bidik dan klik” Langi menirukan suara bunyi kamera, tidak terjadi apapun bagiku. Langi menunjukkan hasil kjepretannya, pada layer LCD dibagian belakang kamera ini.


“Loh koq gak terasa difotosih?” aku masih keheranan bahkan pose dalam kamera itu betul-betul mirip kera yang terkena senjata tiup dari bambu kecil. “Perasaan dulu ada sinar yang kaya kilat keluar dari kamera ini?” kepolosanku bertanya sebenarnya akan berguna nantinya bagi misi kami. “Oh itu namannya Blitz, digunakan unutk ruangan dengan pencahayaan kurang atau gelap. Tekan aja tombol sebelah kanana yang ada gambar petir kecil itu.” Langi menjelaskan fungsi dan cara pemakaian layaknya petugas sales barang elektronik.


“Untuk ambil foto siapa toh?” Langi masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sejak tadi. “Unutk ambil foto kamu” kujawab dengan mantap. “Koq unutk aku?” Langi masih belum mengira kepergiaannya mengikuti tugas ayahnya mengakibatkan sakut rindu bagi kami sahabat bermainnya “yaa, setidaknya aku punya foto bersama kamu sebelum kamu pindah ke Bandung” senyumku ternyata mengakibatkan duka bagi Langi yang tertunduk layu. Banyak kenangan masnis danpelajaran berharga yang dia dapat dari kampung ini.



“Berkat kalianlah aku jadi tahu arti persahabatandan bermain, dulu sebelum pindah dari Jakarta, temanku Cuma kucing dan si mbok,. Pulang sekolah dan les aku Cuma main dirumah. Jangankan main bola sambil hujan-hujanan, air susu yang tumpah dicelanaku saja langsung digantikan oleh si mbok” waktu itu bibirnya membiru menahan badannya yang mengigil setelah bermain biola ditengah hujan. Setelah itu kami berpindah tempat kelokasi favorit nomor dua kami setelah rumah pohon kami yaitu halaman belakan ini, sudah pasti menjadi lokasi favorit jika setelah kedinginan kami disguhkan susu panasdan goring pisang panas tapi bukan itu puncak kenikmatan kami. Lengkung sempurna pelangi yang menghiasi biru langit setelah hujan berhentilah yang membuat kami selalu ternganga kagum, meskipun hampir setiap hari kami melihatnya sepajnag musim penghujan.


Kadang si mbok bercerita tentang legenda Joko Tarub yang mencuri selendang putri bidadari yang turun dari kayangan meniti pelangi sebagai jembatan untuk mandi di air terjun sana. Kami betul-betul meng-imani cerita si mbok. tapiLangi hanya tertawa geli jika kami betul-betul menganggap bidadari itu ada, bahkan otak Agung yang telah mulai diracuni pubertas memaksa dirinya menuju air terjun demi melihat kemolekan tubuh bidadari yang mandi diair terjun yang berjarak 20 km. mengais sepeda bututnya, mesti sia-sia, dia tetap berusaha pergi kesana.


Belakangan setelah teleskop milik Kakeknya Langi telah diperbaiki, kami cukup menyaksikan dengan seksama secara bergantian melalui lubang kecil itu, mengarahkannya pada ujung lengkung pelangi yang menyentuh sungai dibawah air terjun. Setiap kali tiba pada bagian jatanhya Agung, dia selalu berteriak bahwa dia melihat bidadari itu menanggalkan kebayanya tapi begitu giliranku berikutnya setelah Agung, tidak kulihat tanda-tanda bidadari pernah turun melelui teleskop ini. Alas an Agung selalu sama. Hatiku tidak suci lah! Atau bidadarinya sudah pakai baju dan terbang lagi sebelum aku melihatnya.


Di halaman belakang inilah yang nantinya menentukan memori detik ini dan memori kebersamaan kami tahun-tahun kemarin dapat bertahan lama tidak terhalang waktu dan jarak yang memisahkan kami. Disinilah pentingnya perananku dalam mengatur misi ini sebagai kapten, setiap tahapan rencana kami telah berjalan dengan baik.


Jam antik berukuran super besar di ruang tengah berbunyi keras sebanyak dua belas kali, berarti hanya bersisa dua jam lagiwaktu kami sebelum melepas kepergian Langi. Aku sudah mantap mengusai alat fotografi modern ini. “Kita ambil foto disitu yuk!” aku mengajak Langi ditempat kami biasa menggelar tikar diatas rumput menikmati pelangi dan segelas susu panas melawan dingin yang menggerogoti badan kami. “Kamu berdiri disitu ya?” pose manis kulihat dari layer LCD, jari telunjukku siap menekan momen ini menjadi bentuk digital.


“Sayang ya hari ini gak ada pelangi?” tiba-tiba wajah Langi menjadi tidak manis dilihat dari sini. Aku harus berusaha menghiburnya. “Ada kok” kujawab tulus seadanya. “Ngaco kamu, bagaimana bias?! Sekarang aja musim panas, jangan pelangi hujan aja malas muncul” Langi, bocah ini sudah terbiasa dengan pikiran terbuka, rasional dan logis berkat didikan bundanya yang lulusan Sarjana Pendidikan dan Ayahandanya yang ahli perkebunan. “sumpah aku gak bohong! Dari sini aku bias lihat pelangi” telunjukku dua kali menekan tombol kamera.


“Ooh, maksudmu aku ya! Hihihi…benar juga ya, kenapa aku gak sadar kalau namaku pelangi!” deretan geligi putih dari bibir dan pipi menggemaskan itu kurekam dengan baik melalui jepretan kamera ini. “Eh Ris, kenapa dari tadi kamu pake blitz terus sih? `kan aku kasih tau kalau cahaya cukup gak perlu pake blitz.” Dari layer LCD ini aku lihat bibir mungilnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.


“Hehehe.. maaf aku lupa. Maklum kameramen amatir!” sebenarnya ini adalah penentu abadinya memori terakhir kami. “Ya udah coba ulangi lagi aja” Langi memberikan instruksi. Aku menahan geli bukan karena pose-pose Langi yang hampir sama dengan model pada almanak seperti yang kulihat di kamar Agung tapi jauh dibelakang Langi kulihat warna-warni berkilauan serupa pelangi. Kilatan blitz tadi menjadi kode bagi kawan-kawanku beraksi dibawah sana. “Udah ah capek!. Coba aku lihat hasil jepretanmu, Ris” Langi bergerak kearahku, kuberikan kamera itu kepada Langi.


“Yaa ampun Haris!! Kok bisa begini?!” teriakan spontan Langi sudah dapat kuduga pasti akan keluar begitu melihat kamera itu. Matanya masih tidak percaya dengan citra hasil jepretanku, dilihatnya berulang-ulang file-file foto digital itu bahkan menggunakan alat zoom untuk menjawab rasa penasarannya.


Langi berlari menuju ujung pagar, dia berteriak keras kearah padang rumput tempat asal warna-warni itu, tapi percuma tak akan sampai sana suaranya. Langi bergegas masuk rumah kemudian keluar dengan dua lembar bendera berwana merah berpadu kuningditangan kanan dan kirinya. Dia mengirimkan sandi semapoer kearah lapangan dimana sahabat-sahabat terbaiknya berlarian dengan lembar-lembar plastik panjang sekali berwarna-warani. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu merangkai warna dasar pelangi tiruan MEJIKUHIBINIU.


Kucerna sandi yang ditujukan kepada mereka;
TERIMA…KASIH…SAHABATKU…AKU… CINTA… KALIAN… SEMUA… COBA… LAKUKAN… SEKALI… LAGI… DONG…PELANGI… TIRUANNYA…AKU…SUKA…SEKALI
Aku yakin kawan-kawan dibawah sana mampu memecahkan sandi semapoer yang dikirm Langi dari sini. Mereka mulai bergerak membentuk formasi pelangi tiruan. Merah oleh Agung, Sapto memegang jingga, kuning dipercayakan pada Wawan, hijau oleh Andi, si kecil Bayu harus merelakan warna ungu berpindah ketangan Ayu dan mengibarkan warna nila, hanya karena ungu adalah warna favoritnya. Langi terlonjak begitu gembira, dia menatapku nakal dan menebak bahwa ini semua adalah ulahku. Aku mendapatkan hadiah dari Langi untuk ini, cubitan diperut.


Angin tiba-tiba bertiup kencang membawa tempias ribuan butir air, mencipta gerimis. Hari ini turun hujan! Luarbiasa-fantastis! Sudah tiga bulan ini bumi kami meradang kekeringan bahkan kami tekah dua kali bersama tetua dan ulama bersama seluruh warga kampung memohon keridoan Tuhan agar menurunkan hujan tapi tidak berhasil, justru kami bocah-bocah kecil dengan warna meniru pelangi telah berhasil mebujuk hujan turun ke bumi dengan iklas.



Kuamang Kuning, 11 Sept 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!