Sabtu, Januari 24, 2009

Eyang Kandi

“Eyang Putri, boleh ndak Diandra tanya?” bola mata bocah lugu ini masih bulat besar layaknya anak kecil yang ingin tahu banyak tentang misteri dunia ini, duduk manja dalam pangkuanku. “Boleh saja, memangnya kamu mau tanya apa cucuku sayang?” dikursi goyang inilah tempat favorit kami berdua selalu menjadi sekolah baginya sebelum dia betul-betul berseragam lucu, mungkin tahun depan Diandra masuk taman belajar tapi terkadang usia tuaku tidak dapat menjadi guru yang baik yang dapat memuaskan hasrat keingintahuan bocah ini. Selalu saja ada pertanyaan baru yang dilontarkannya, tidak sekedar pertanyaan anak seusianya yang hanya bertanya dimana letak mainan atau boneka kesayangan yang tercecer kemarin sore.



“Eyang bisa ndak cerita kenapa Eyang Kandi punya banyak anak? padahal Eyang Kandi `kan gak punya Eyang Kakung.” Ahh bocah lugu ini tiba-tiba saja ingin tahu tentang masa lalu sahabat karibku yang paling akrab dan paling kucintai, aku terpaksa meminta bantuan teh hangat agar bisa mencairkan kumpulan kalimat yang bergumpal di benakku, teh ini masih mengepulkan uap panas yang telah disediakan Marni pada meja marmer disebelah kursi goyang tempat kami menghabiskan pergantian hari diberanda belakang. Harus dari mana aku memulai jawaban pertanyaan malaikat kecilku ini.



“Begini cucuku yang pintar-cantik, semua anak-anak Eyang Kandi itu adalah anak angkat jadi Eyang Kandi gak perlu punya Eyang Kakung. Kalau Diandra `kan lahir karena ada ayah dan bunda yang mencintai Diandra sedangkan anak-anaknya Eyang Kandi sebenarnya punya ayah dan bunda mereka masing-masing tapi karena Eyang Kandi sayang dengan mereka jadi Eyang Kandi mengurus mereka dan menyekolahkan mereka.” Aku bersukur cucuku ini sejak usia dini dari kedua orang tuanya telah diberikan pemahaman logis dan rasional tentang segala sesuatu yang dia tanyakan, dia dibesarkan jauh dari bayang-bayang mitos dan penjelasan yang hanya berupa perlambang semata, bahkan dia telah paham bahwa dia lahir di dunia ini bukan karena titipan burung pelikan yang membawa kantung berisi bayi-bayi mungil. Ini juga berkat sahabatku yang dengan iklas turut membantuku memberikan pendidikan tinggi bagi putriku semata wayang ketika aku berkubang penderitaan.



“Jadi Oom Bayu, Oom Laksa, Oom Pandu, Oom Baskoro, Tante Luna, Tante Maya dan Tante Ratri semua itu bukan anak kandung Eyang Kandi! Tapi kenapa Eyang Kandi mau mengurus oom dan tante semua?” cahaya matanya berkilauan menandakan kualitas didalam kepalanya, aku bangga pada cucuku. “Ooh bukan cuma mereka sebenarnya sayang, masih banyak lagi yang kamu belum tahu karena mereka semua sudah banyak yang sukses, ada juga yang masih kuliah di luar negeri sana, mereka semua disekolahkan oleh Eyang Kandi bahkan bundamu juga bisa mendapat gelar Doktor dari luar negeri berkat bantuan Eyang Kandi, “jadi bunda juga toh, pantes bunda koq sayang banget dengan Eyang Kandi, sama sayangnya seperti kepada Eyang Putri” aku tersenyum, bahkan bocah sebelia ini saja sudah dapat menilai, siapa saja pasti akan berbakti pada sahabatku itu sama seperti menunjukkan sembah baktinya kepada orang tua kandung.



“Tapi Eyang, kenapa orang tua oom dan tante tidak menyekolahkan mereka? Kenapa koq Eyang Kandi mau menyekolahkan padahal mereka bukan anak kandung Eyang Kandi?” Kuberikan malaikat kecil ini botol berisi susu sekedar untuk menghambat derasnya pertanyaan dari bibir mungilnya. “Begini sayang, tidak semua orang memiliki rejeki yang lebih baik dari keadaan kita sekarang ini, sementara diluar sana banyak sekali orang-orang yang punya cita-cita menjadi orang pintar tapi justru harus putus sekolah karena tidak punya cukup uang untuk melanjutkan sekolah mereka dan akhirnya mereka tidak dapat meraih cita-cita mereka. Nah kebetulan Eyang Kandi memiliki rejeki yang lebih dari cukup tapi itu semua tidak cukup kalau tidak punya sifat baik dalam diri, kamu harus bisa mencontoh Eyang kamu itu, dia sisihkan hampir sebagian besar rejekinya untuk membantu mereka yang kurang beruntung.”



Mulut cucuku sibuk dengan botol susunya tapi aku yakin dia memperhatikan betul ceritaku, dia begitu mirip dengan bundanya yang selalu banyak bertanya tapi aku bersukur kehidupannya jauh lebih baik dari masa kecil bundanya dulu. Aku bahkan tidak mampu membelikan susu bagi anakku saat itu, jangankan susu, untuk mempunyai beras sekedar menjadi nasi satu piring saja aku harus menunggu truk pengangkut beratus ton beras untuk memunguti setiap butir yang jatuh dari sela-sela papan truk atau beberapa butir yang jatuh ketika gancu merobek karung yang akan diangkat oleh kuli panggul. Air untuk membersihkan beras itulah yang menjadi susu palsu bagi putriku, aku bahkan tidak sanggup memberikan perasa manis didalamnya karena harga gula sama mahalnya dengan beras.



Keadaanku saat itu berada pada batas terakhir dari garis yang ditentukan pemerintah yang dijadikan sebagai instrumen menggolongkan manusia di negeri ini yang sering dijadikan alasan untuk mengemis pada negara-negara kaya, batas akhir paling bawah dari garis kemiskinan. Aku begitu bodohnya terbutakan oleh cinta palsu yang justru menjeremuskan aku dalam lubang nista kehidupan, semua nikmat dunia dan kejayaan yang kumiliki runtuh satu-persatu, semua yang kupunya bahkan kehormatan dimata masyarakat sirna begitu saja, semua yang dekat denganku perlahan mundur, menjauh dan menghilang. Semua disebabkan mata yang terbutakan oleh ambisi masa depan lebih baik, tersandung oleh cinta dab materi, aku kemudian tersadarkan bahwa orang yang paling dicintai justru dapat menjadi orang yang paling kejam.



“Eyang koq nangis sih?” telapak tangan mungilnya menyapu bulir air yang mengalir dari sudut mataku, “Eh, iya Eyang kemasukan debu tadi,” alasan seadanya kulontarkan begitu saja, “Loh Eyang `kan pake kacamata, koq debunya bisa masuk? Berarti debunya nakal ya, hihihi” ceriwis bocah kecil ini sanggup memecah ingatan masa lalu yang pedih. “Mau diterusin gak ceritanya?” “Diandra dah nunggu tapi Eyang diam aja dari tadi tapi Eyang nanti jangan marah ya kalo Diandra ketiduran” senyum kecilnya berkembang lalu tertutup botol susunya. Sebenarnya jalan hidup kami akan sangat sulit dipahami bagi bocah belia ini tapi daya ingatannya sangat luar biasa dan untuk saat ini hanya cucuku yang menjadi teman bicaraku, aku pun menjadi teman bermainnya ketika kedua orang tuanya sibuk dengan karirnya.



“Eyang Kandi adalah sosok perempuan luar biasa, dia begitu teguh menepati janji, kalau dia sudah bersungguh-sungguh pasti segala sesuatu akan terlaksana selama tetap konsisten, bekerja keras dan tentunya berdoa. Semua yang dia lakukan selama ini sebenarnya adalah tuntutan Eyang Putri juga tapi itu dulu sekali, sebelum bundamu lahir dan sebelum Eyang menyaki.. eh maksudnya sebelum Eyang Kandi sakit” tak tega rasanya aku harus menceritakan lebih detail mengenai masa lalu kami. “Eyang konsisten itu apa sih? Terus kenapa dulu Eyang menuntut Eyang Kandi, memangnya apa salah Eyang Kandi? Terus sakit apa Eyang Kandi, apa sampai masuk rumah sakit?” Ya Tuhan setiap detik kuabdikan diriku untuk memohon padaMu agar dikarunia keturunan yang pintar dan berbakti inikah perwujudan rasa sayangMu dengan mengabulkan doaku., tapi apa dayaku menghadapi pertanyaan darah dagingku ini yang pastinya akan membuka luka lama kawanku dan dosa besarku nantinya.



“Sewaktu muda dulu kami sangat dekat sekali bahkan kedekatan kami melebihi dari sekedar sahabat” Yaa Tuhan apakah harus kujelaskan siapa jati diri sebenarnya sahabat karibku itu pada bocah yang begitu hijau ini. “Ooh tadi Diandra tanya tentang konsisten ya? Konsisten itu hampir sama artinya dengan kuat pendiriannya dan tidak mudah berubah pendiriannya, itu sifat Eyang Kandi yang paling dasar sayang. Segala sesuatu yang diinginkan pasti dikerjakan dengan sungguh-sungguh, nah ketika Eyang Kandi tidak bisa mempunyai anak tapi bukan berarti dia tidak punya perasaan sayang terhadap anak-anak makanya Eyang Kandi berniat mengangkat anak meskipun waktu itu dia belum punya rejeki seperti sekarang ini tapi kerja kerasnya membuahkan hasil sebagaimana sekarang ini hasilnya bisa dilihat.” Angin sore menghantarkan kami pada damainya hari ini pada pekarangan rumah yang teduh, asri, berbagai tanaman tumbuh subur berkat perawatan telaten tangan sahabatku, Srikandi.



“Terus Eyang Kandi sakit karena apa?” mata bocah ini pancarannya menjadi redup mengikuti isi susu dalam botolnya yang hampir habis, semilir angin rupanya memancing tubuhnya untuk beristirahat. “Niatnya untuk dapat memberikan pendidikan bagi anak angkatnya membuat dia menjadi pekerja keras sampai-sampai dia tidak meghiraukan kesehatannya, akibat kerja siang dan malam akhirnya Eyang Kandi sakit.” Maafkan aku sayang, ini terlalu singkat, belum waktunya kau mengetahui seluruh isi dunia dalam masa mudamu yang begini belia. Botol susu kesayangan cucuku terjatuh dari genggamannya, akhirnya dia tertidur sore ini, tapi tetap kubiarkan dia tertidur dalam pangkuanku sampai bundanya pulang kerja, begini setiap hari kami menghabiskan hari. Aku yang hanya dapat terduduk menghabiskan sisa usiaku pada kursi goyang atau berpindah pada tempat lain dengan bantuan kursi roda, sementara cucuku hampir setiap hari selalu minta diceritakan dongeng rakyat atau apapun hingga tertidur lalu dipindahkan oleh bundanya.



Ada perasaan bersalah, aku tidak jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan cucuku. Aku sendiri belum siap untuk menceritakan hal ini bahkan aku hampir menghapus memori pada rentang waktu itu, biarlah kuceritakan pada cucuku semua kondisi terbaik dalam keluarga tak perlulah kau turut merasakan masa lalu kami yang kelam. Srikandi, andai saja waktu itu aku tidak begitu bodoh maka kau tak perlu begitu beratnya terjebak dalam sumpah yang keluar dari mulutmu, bahkan diusia senjamu masih juga harus banting tulang demi menghidupi ratusan anak yang bukan keluar dari rahimmu, bahkan kau tidak mempunyai rahim sama sekali, akulah yang seharusnya menanggung ini semua. Tak kusangka seputih inilah hatimu. Lihatlah aku sekarang, inilah buah karma atas perbuatanku yang tega melukai kepercayaanmu.



(empat puluh tahun yang lalu)



“Maaf Mas Pram, aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam ketidak jelasan ini. Aku ingin kau mempunyai kehidupan yang lebih baik, tidak hanya mengandalkan penghasilanku yang tidak seberapa ini, lagipula aku punya kebutuhan sendiri. Aku juga sudah tidak tahan lagi dengan sifat sok idealismu itu, persetan dengan itu semua! Kau pikir bisa hidup dengan idealismemu? Sudah bukan jamannya lagi. Coba Mas Pram lihat kawan-kawan seperjuanganmu yang dulu sama-sama turun kejalan berteriak demokrasi, reformasi, keadilan dan impian negara ini bersih dari dari segala bentuk korupsi, tapi apa kenyataannya? Mereka menggadaikan itu semua pada partai politik dan akhirnya mereka juga menikmati kursi empuk itu bahkan berubah menjadi penindas baru. Lihatlah dirimu? Bahkan untuk nanti sore saja belum tentu kau akan temukan sebatang rokok yang selalu kau jadikan obat penawar stressmu!!” aku hanya manusia yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban batin bertahun-tahun tanpa kejelasan.



“Jadi apa yang kau harapkan? Aku harus menanggalkan satu-satunya kehormatan yang kupunyai, begitu? Aku sudah tidak punya segala kelebihan dalam dunia ini, rupiah? Kau sudah tau ada berapa rupiah dalam saku celana bututku, relasi yang memiliki posisi tinggi? Kalaupun ada tetap saja aku harus menyetor puluhan juta agar aku mendapat pekerjaan yang dia janjikan lewat pintu belakang, satu-satu yang kupunya hanya itu, ideliasme ku yang tidak ingin hidup dari uang yang kudapat dari cara yang tidak benar.” Nyala mata orang yang kucintai itu sama terangnya dengan idealisme yang berkobar dalam sanubarinya, tapi entah mengapa justru nyala mata yang membuat aku jatuh hati padanya ketika pertama kali kulihat dia berteriak lantang di atas sebuah mobil tangki bensin yang mereka bajak secara simbolik sebagai bentuk protes atas carut-marutnya ekonomi Negara, kini nyala mata yang sama itu pula yang membunuh semua rasa itu.



“Ahh.. itu selalu yang kau jadikan alasan tapi kenyataannya adalah kau terlalu malas untuk mencoba mencari pekerjaan! Aku memang belum menjadi istrimu karenanya aku belum berani menuntutmu untuk diberikan nafkah materil tapi belum menjadi istrimu saja aku sudah menafkahimu begini rupa.” Bagiku rasanya tidak adil, setiap pulang kerja kekasihku ini hanya berdiam diri di kontrakanku, melamun, merokok, nonton televisi, kadang menulis puisi setidaknya dia menganggap tulisannya itu adalah puisi, malas rasanya jika dia minta aku untuk memberikan komentar akan tulisannya itu, sementara aku sepanjang hari berkutat dengan pekerjaanku.



”Apa, kau bilang aku malas? aku tidak cukup berusaha keras untuk mencari pekerjaan? Kau sendiri tahu sudah berapa instansi yang kuajukan surat lamaran? Putri, tidak sadarkah kau berapa besar uang yang kupinjam darimu untuk membeli amplop, materai, bayar bea kirim pos, biaya ongkos keluar kota untuk interview dan tetek bengek keperluan lainnya.” Nyala mata kali ini berbeda, kali ini api amarah yang terpancar. ”Ya! Banyak sudah uangku yang telah kau habiskan, karenanya aku telah mengambil keputusan untuk tidak lagi sanggup untuk membantumu, biar saja uang yang telah kau pakai itu tak perlu kau kembalikan, anggap saja itu sebagai bentuk pertolonganku!” emosiku terpancing oleh nyala mata itu, tiba-tiba saja lelaki tangguh yang berdiri dihadapanku terduduk lemah. Aku telah melukai harga dirinya.



Kulihat punggung Pram begitu rapuh dari balik jendela ini, berjalan pelan tinggalkan kontrakanku, kutahu masih banyak yang ingin dia ucapkan tapi kata-kataku telah membisukan mulutnya. Tak kulihat lagi sosoknya setelah menghilang diujung jalan, kusesali apa yang telah kulakukan tadi dihadapan cermin rias. Kukutuki diriku sendiri tapi semangat untuk meraih masa depan lebih baik kembali menyadarkanku. Aku harus bisa mengubur segala sesuatu yang menghalangi masa depanku. Cinta tidak cukup hanya dengan cinta belaka, aku juga perlu jaminan hidup masa depan lebih baik dari seseorang yang mencintaiku.



Dering handphone kembalikan aku pada dunia nyata, setengah jam bicara sendiri dihadapan cermin serasa menyedotku masuk kedalam cermin. Suara lembut dari ujung sana menetramkan hatiku, segera kupasang aksi agar tidak terkesan sedang bersedih. ”Aku hanya lelah saja Mas” suaraku parau, hidungku masih saja mengeluarkan lendir bening, mataku masih sembab. ”Oh ya, tapi kok kedengarannya kamu seperti habis menangis Say? Ya sudah istirahat saja dulu, malam ini aku mau ajak kamu makan malam, sekarang aku lagi dibengkel, biasa servis bulanan mobilku. Nanti aku jemput jam tujuh ya, dandan yang cantik ya sayang, love you.” Meskipun sudah selesai pembicaran lewat handphone tadi tapi aku masih berharap dia menelpon kembali, handphone pemberiannya ini masih kupandangi sambil senyum-senyum sendiri, suara lembutnya mampu melumerkan hatiku yang baru saja membatu, aku harus mempersiapkan diriku untuk makan malam nanti.



Handphone kembali berdering, ”Ya sayang, apa masih ada yang kurang?” tak bisa kututupi letupan-letupan kecil didadaku menanti saat makan malam nanti. ”Sayang? Sejak kapan kamu pakai kata sayang? Apa ini berarti aku telah dimaafkan? Aku minta maaf telah menyusahkanmu selama ini, percayalah aku akan tetap terus berusaha, yakinlah masa depan kita akan jauh lebih baik dari hari ini.” aku terkejut karena suara yang keluar dari ujung sana tidak selembut suara sebelumnya, kulihat layar handphone ternyata nomor wartel! Aku gelagapan mencari tameng pelindung.



”Aku sudah capek mendengar kata maafmu yang telah ribuan kali kau ucapkan. Aku juga sudah capek menjalani hubungan kita yang belum juga menunjukkan kearah keadaan lebih baik. Sudah berapa tahun hubungan kita? Mau sampai kapan lagi keberanianmu untuk melamarku dapat muncul? Aku gak mau menjadi perawan tua yang menunggu hari depan yang cerah tapi entah kapan datangnya!” satu-satunya cara untuk melindungi diriku adalah menyerangnya, the best defence is to offence. Aku menunggu lama lawan bicaraku mengeluarkan kata-kata. ”Lihatlah dirimu, setiap kali kutanya kapan kau melamarku, kau hanya diam mas. Kenapa? Apa tiba-tiba lidahmu terpotong? Ayo, biasanya kau selalu ada argumen seperti biasanya kau lontarkan dalam berbagai forum diskusi bahkan profesor saja bisa kau kritik pedas.” Tekadku untuk meraih masa depan lebih baik sudah tidak bisa ditawar lagi dan aku harus berani menghadapi semua yang merintangi bahkan kekasihku sendiri.



”Begini saja Mas Pram, aku akan memaafkan semua kesalahanmu jika kau benar-benar siap dengan lamaranmu, Mas Pram tau sendirikan apa yang harus dipersiapkan? Karena itu yang selalu dijadikan alasanmu untuk mengulur waktu. Belum mapanlah, kalau mau hidup prihatinlah, aku tidak mau menghabiskan seumur hidupku akrab dengan keadaan prihatin. Mas juga paham tentang cita-citaku, aku ingin melanjutkan pendidikanku setinggi mungkin begitu juga anak-anakku kelak, sudahlah aku tidak ada waktu lagi untuk berdebat yang tidak ada untungnya.” aku masih belum mendengar suara dari lawan bicaraku, hanya terdengar gemertak gigi yang saling beradu, kumatikan handphoneku.

Deru mobil didepan kontrakanku membuat aku semakin tidak sabar menunjukkan pada pujaan hatiku bahwa aku telah habis-habisan mempersiapkan diriku untuk makan malam ini, kutebar senyum termanisku, bisa kuterka dari kilatan matanya bagaimana dia begitu mengagumiku. Mawar merah disodorkan kehadapanku dengan gayanya yang sedikit menunduk, hati perempuan mana yang tak luluh, terlebih sentuhan bibirnya yang lembut lagi hangat pada jari-jariku, aku serasa putri yang dikunjungi pangeran tampan dengan kuda putihnya, bedanya pengeran tampanku menggantikan kudanya dengan mercedes putih.



Momen makan malam sempurna telah dia sajikan special untukku, atap restoran berkelas telah disulap sedemikian romantisnya, ada lilin merah pada meja kecil dan dua kursi, hamparan langit malam bertabur bintang. Aah lelaki satu itu sangat mengetahui titik terlemahku. Hari berikutnya dia kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam memikat hatiku dengan makan malam yang lebih mengesankan lagi. Disambung dengan makan siang yang mengejutkan ketika disela-sela istirahat kerjaku, dia mengirim utusan membawa sekotak pizza panas dengan mawar merah terselip pada pita merahmuda sebagai pengganti tali pengikat, pernah juga tiba-tiba dia muncul dari balik pintu ruang kerjaku hanya demi mengantarkan rantang berisi masakan bundanya, menunjukkan jam tangannya, mencium keningku kemudian pergi begitu saja tanpa sepatah katapun, aku hanya tersenyum. Hari-hariku dipenuhi dengan kejutan dan momen indah dengannya.



Hingga pada suatu makan malam ”Say, ada yang mau aku katakan dimalam special ini khusus untuk orang seistimewa seperti dirimu.” matanya teduh lembut menatap setiap gerakku yang sebisa mungkin kututupi wajahku yang sudah pasti merona memerah, tiba-tiba saja seekor kucing cantik manja menyentuh kakiku, kejutan apalagi yang telah dia siapkan malam ini? ”Coba kau angkat kucing itu say,” yang dia maksud sudah pasti kucing yang mengeliat-geliatkan badannya dengan manja di kakiku. Kucing gemuk berbulu halus dan bersih itu kuangkat hingga berhadapan dengan wajahku, aku tidak bisa menutupi betapa terkejutnya aku ketika kulihat dileher kucing itu terikat pita merahmuda dengan sebuah cincin bermata berlian tergantung disitu.



”Ya, sayang berlian itu untuk kamu.” Aku belum menanyakan hal itu, pasti dia sudah membaca dari ekspresi wajahku. Dia melepas ikatan pita dari leher kucing itu dan cincin berpindah melingkar di jari manisku. Malam terindah yang pernah kurasakan, perasaanku tak dapat terbendung lagi, kusambut bibir hangatnya yang melumatkanku dalam pelukan nyamannya. Jiwa gersangku kembali bergelora, tersiram air teduh perhatian penuh sekaligus terbakar oleh hasrat membara, malam itu aku begitu sempurna hingga terasa sampai pagi, begitu kubuka mataku baru kusadari aku masih dalam pelukan tubuhnya yang polos, tak kusesali malam yang telah kulewati, segala nilai hilang begitu saja.



Kuciumi kedua kelopak matanya untuk membangunkan pangeranku, pagi ini ada rapat penting harus kujalani, begitu juga pangeranku karena dia yang nantinya akan memimpin rapat diruangan rapat yang sama denganku. Untungnya segala sesuatunya telah dipersiapkan asistenku, jadi kami tinggal mandi bahkan diwaktu yang bersamaan dan kamar mandi yang sama pula. Sisa gelora tadi malam belum juga terpuaskan, dering handphone menggangu kami yang bergairah dalam basah rendaman air, dering milik pangeranku, aku bersijingkat dengan balutan handuk hotel berbintang lima. “Pak Wandi telpon nih sayang.” tangannya merengkuh tubuhku memaksa untuk kembali bergabung dalam bath tub yang sama. “Pak Wandi, meeting diundur sampai tiga jam lagi” handphone dimatikan tapi dia kembali menyalakan gelora yang sempat tertunda.



Kami hanya tertawa saling berpandangan didalam mobil, kami pasti telat hadir dalam ruangan rapat nantinya tapi dia memastikan tidak akan ada yang marah, karena jika ada yang berani memarahi kami maka kariernya akan berakhir ditangannya, dialah yang berkuasa dalam perusahaan itu. Tepat dipersimpangan jalan, lampu rambu lalu lintas menyala merah. Kulihat dua orang pengamen mendekati mobil kami, sebisa mungkin aku menutupi wajahku. ”Kenapa sayang? Kok kamu seperti meihat hantu saja, mereka cuma pengamen,” Pangeranku melihat gelagat anehku. Kaca mobil yang memisahkan aku dengan pengamen itu diketuk beberapa kali. ”Ini kamu kasih saja mereka uang ini.”



Aku tahu pengamen itu mengetuk kaca bukan untuk meminta uang, terpaksa aku membuka kaca sedikit dan mengulurkan selembar uang. ”Putri kasih aku kesempatan satu kali lagi untuk buktikan, Put. Tolong percaya aku!” suara Pram mengejutkan Pangeranku, ”Hey pergi kau!” kacamata hitamnya dilepas untuk menunjukkan kemarahannya pada pengamen yang telah lancang mengganggu, ”Siapa dia sayang? Kamu kenal dia?” kali ini tatapannya beralih padaku. ”Ahh tidak! Tidak! mungkin dia cuma orang gila, udah say tinggalin aja cepat!” aku tidak mau kehadiran Pram merusak hari-hari sempurnaku, sudah tiga minggu sejak peristiwa terakhir itu aku dan Pram tidak pernah bertemu dan berkomunikasi, aku bahkan sengaja mengganti nomor telponku untuk menghindar darinya. Benar dugaanku, Pram tidak lebih dari sekedar gembel, buktinya dia tidak pernah bisa jauh dari kawan-kawan gembelnya itu.



”Aku akan buktikan bahwa aku mampu Put, aku pasti akan datang sesuai dengan permintaanmu,” Pram masih meraung-raung dekat kaca mobil yang mulai berjalan. ”Aku pasti akan buktikan dihadapanmu Putri!!! Jika aku tidak mampu lebih baik aku mati atau ganti kelamin!! Aku bersumpah!!!” kata-kata terakhirnya sempat kudengar tapi aku harus mampu menguasai perasaanku dan berperan seolah tidak ada hubungannya dengan pengamen itu dimata Pangeranku.


****


Sentuhan lengan dibahuku menyadarkanku. ”Bunda, kok ndak minta Marni untuk angkat Diandra dipindahkan kekamar toh?” rupanya anakku telah pulang. ”Kamu kan tau sendiri, mana pernah Diandra mau dipindahkan kekamarnya kalau bukan dengan bundanya sendiri.” kedua pahaku masih terasa kesemutan, badan rapuh ini sudah tidak kuat menahan berat badan cucuku yang kian hari tumbuh semakin besar. ”Bunda Kandi belum pulang dari Bogor, Bun?” pertanyaan itu ditujukan padaku seteah si penanya keluar dari kamar sehabis memindahkan putri kesayangannya. ”Belum sayang, katanya Bunda Kandi baru pulang besok siang karena habis dari Bogor dia ke Jakarta dulu, melihat keadaan panti asuhan yang disana. Memangnya kamu gak ditelpon tadi?” Putriku semata wayang ini memijati kaki dan pahaku, dia tahu aku sering mengeluh ngilu setiap habis menemani Diandra dalam pangkuanku. Langit Jogja sudah berwarna memerah jingga, sebntar lagi malam.



”Tadi handphoneku baterenya ngedrop, mungkin Bunda Kandi tidak bisa menghubungi aku, tapi Bunda Kandi hebat ya Bun, diusianya yang semakin senja saja dia masih begitu semangat demi anak-anak asuhannya” Bola mata anakku memercikan api semangat seolah diapun kelak mampu berbuat hal yang sama seperti yang telah dilakukan Srikandi. Mata itu mengingatkanku pada seseorang yang telah kusia-siakan kepercayaannya, dulu pada masa mudaku. Kini justru dia menjadi teman yang paling berjasa bagi hidupku, anakku, cucuku. Tindakan bodohku telah merubah kehidupanmu, jati dirimu, kau tetap tulus meski aku tidak menjadi milikmu.



”Srikandi terimakasih atas apa yang telah kau berikan terhadap kami. Pram, maafkan aku telah meragukan keyakinanmu, kau benar, kau mampu membuktikan permintaanku dan sumpahmu, semoga perjalananmu dari Jakarta selamat dan nyaman.”



Kaloran Pena, 15 Oktober 2008

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!