Jumat, Maret 13, 2009

Ikarus Terbang dengan Sayapnya Sendiri




“Kamu dimana sekarang Rus?” 

Dari layar kecil telepon genggam via video call kulihat wajahnya sendu seperti memendam sesuatu. Wajahnya kusut, matanya memerah berkaca-kaca, air mata yang mengalir keluar dari sudut matanya langsung mengering, jelas terlihat tiupan angin begitu kencang menampar wajahnya. Rambut panjang ikalnya beterbangan bebas, sesekali menutupi penuh wajahnya ketika menunduk. Aku masih menerka-nerka dimana kawanku sekarang ini? Rangka-rangka baja berwarna merah kulihat beberapa kali menjadi back ground sebagai petunjuk keberadaannya, tapi kutepis rasa curigaku karena memang kawanku yang satu ini paling aneh diantara kawan-kawanku yang lainnya, pernah dia menelpon tengah malam dengan ekspresi wajah seperti menahan rasa sakit demikian hebat, rupanya dia hanya ingin memberitahuku bahwa dia tengah berada di dalam toilet sedang buang air besar!

“Raka sahabatku, tolong nanti kamu kasih tahu secara langsung rekaman pembicaraan kita ini pada Astuti, ingat langsung kepada Astuti! Aku percaya kamu bisa menyampaikan ini!” wajahnya menoleh kearah kiri, tangannya sesekali menyibak rambut yang berhamburan menutupi sketsa tulang rahang tegasnya, sekilas karakter wajahnya sangat cocok dengan kriteria Natural Born Criminal sebagaimana teori Lombosso, kemudian dia menunduk lama. ”Rus, apa sih maksud kamu telpon aku subuh-subuh gini?” aku masih harus mengumpulkan sisa-sisa jiwa, ruh dan atmaku yang masih melayang-layang di batas dunia mimpi dan kenyataan. Lima belas menit lalu kudengar adzan subuh. Semburat warna merah langit pada latar belakang Ikarus menegaskan bahwa hari ini matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur.

Ada delapan belas kali panggilan masuk yang tidak sempat kujawab, nomor yang sama dengan penelpon yang sedang kulayani pertama kali setelah bangun tidurku yang hanya sekitar empat jam saja dari nyenyak tidurku. Awalnya si penelpon memprotes aku karena setelah ke sembilan belas kali usahanya menelpon baru berbuah hasil, itu pun aku belum sepenuhnya sadar. ”Sebentar Rus aku mau nyalain dispenser dulu ya! Kamu mau kubuatkan kopi juga?” senyumku menggoda pada kawanku yang juga penikmat kopi hitam, hanya dibalasnya dengan menunjukkan termos kecil terbuat dari stainless steel tempatnya menyimpan kopi. Kepulan asap yang membawa harumnya aroma kopi arabika yang teracik kental dengan sedikit gula pasir pabrikan Madukismo. Aku siap berbincang denganmu wahai Ikarus!

”Kenapa aku harus merekam pembicaraan ini Rus?” seruput kopi panas bisa kuterka dapat memprovokasi dirinya untuk melakukan hal yang sama, mencecapi air hitam caffein kental dan kepulan tembakau beracun nikotin, dua jenis `narkotika` yang masih diterima masyarakat. Termos berbentuk lonjong seperti botol tak berleher itu dibuka, kopi hitam yang terjaga panasnya dalam suhu ruang termos masih juga terlihat mengeluarkan uap aroma, Ikarus mengangkat tutup termos yang digunakan sebagai cangkir, memberi simbol toast! Senyumnya sedikit merekah setelah membiarkan cairan kopi mengalir dalam tenggorokannya. Tangannya memijiti sebatang rokok kretek bermerk deretan tiga angka, sebuah prosesi ritual khas bagi penikmat tembakau racikan rahasia fatsal sembilan.

”Hey tumben `kali kau ini menelepon lambat seperti ini! Biasanya kau hanya menelepon dengan durasi beberapa detik saja, itupun dengan perintah tegas. Rupanya banyak pulsa kau hari ini! Pake video call segala lagi! Ckk…cckk…ckk” entah jin apa yang merasuki tubuhnya yang sudah tidak lagi mengenal adanya dogma agama dalam hidupnya, tidak seperti biasanya kutemukan raut wajah sendu itu. Ikarus adalah tokoh sentral dalam setiap diskusi atau sekedar obrolan ringan diantara kawan-kawan, kelakar konyolnya yang khas diantara pisau bedah analisis sosialnya mendominasi dalam setiap mimbar diskusi malam kami. “Raka kawanku! Pernahkah kau memikirkan jika seluruh anggota Srimulat, Benyamin S, Charlie Chaplin, Mr. Bean atau Komeng tiba-tiba menuntut semua penonton yang pernah tertawa akibat kelakar mereka dengan tuntutan agar membuat mereka tertawa ketika mereka sedang sedih?” tatapan mata kawan akrabku tiba-tiba menajam dan bibirnya bergetar menghembuskan asap nikotin.

Aku paham maksud pembicaraannya, “Wahai Ikarus putra nusantara dari belahan timur laut, berapa tahun kita berkawan? Pernahkah satu detikku menyia-nyiakan dirimu tertelan dalam kesedihan? Adakah noktah rahasia diantara kita? Untuk apa kamu bangunkan Chaplin dan Benyamin dari alam damai mereka hanya untuk menuntut keceriaan di hadapanku?” lagi-lagi kepalanya menunduk berat patuh pada hukum gravitasi. Tak kulihat lewat layar kecil telepon genggamku, kepalanya tenggelam beberapa detik kemudian muncul dengan derai air mata yang tersapu hembusan angin keras yang menerbangkan rambut panjangnya. Ada apa dengan kawanku ini?

”Bukankah kau sendiri yang sering berkoar-koar dalam berbagai mimbar malam kita bahwa kita bukan lagi dalam ikatan persahabatan tapi lebih dari itu, kau juga yang sering mengutip kata-kata para filosof yang hidup dalam otakmu itu. Aku ingat betul kau pernah mengutip Nietzche sang Zarathustra bahwa ”kerinduan kita akan seorang sahabat adalah penghianat kita” kau pasti ingat itu kawan. Untuk apa kau menghianati dirimu sendiri! Ayolah kawan, bicaralah!!” kedua telapak tangannya menutupi seluruh wajahnya, kurasakan ada sesuatu yang bergelora dalam batinnya tapi entah apa? Kedekatanku bertahun-tahun dengannya bukan berarti membuat aku mampu membaca perasaannya karena aku bukan paranormal. Aku hanya mampu merasakannya, baru kusadari ketika Ikarus pernah bercerita tentang ikatan batin persahabatan dengan mengutip kalimat Henry Ward Beecher `In friendship your heart is like a bell struck every time your friend is in trouble.`

Satu persatu permasalahan pribadinya yang sebagian besar kupahami keluar dari mulutnya tapi ada beberapa hal pembicaraannya yang aku tidak paham sama sekali, aku sedikit paham dengan keteguhan idealismenya dalam menilai hal-hal bersifat fundamental bagi dirinya tapi kali ini terlampau berat kurasakan apa yang ada dalam pikirannya, pengakuannya yang mengejutkanku. Berarti memang benar apa kata kawanku, tidak kuragukan lagi Ikarus mengalami gangguan psikotik. Ya aku ingat saat itu kami menghadiri diskusi rutin kawan-kawan Fakultas Psikologi, selesai diskusi kawanku Tiwi mengajakku ngobrol serius tanpa sepengetahuan Ikarus.

“Bang, kawanmu itu terlalu tinggi pemikirannya sehingga terkesan halusinatif dengan pemaparan ide-ide yang terkadang tidak sesuai dengan fakta dan realita. Mungkin terlalu dini untuk mendeteksi adanya gangguan kejiwaan dalam diri kawanmu itu tapi aku juga cukup lama kenal Bang Ikarus, semua ciri-ciri perilakunya yang terkesan aneh sudah masuk kedalam kategori terkena gangguan psikotis!” mendengar penjelasan itu emosiku cukup terpancing, akulah yang lebih mengenal Ikarus, “tidak mungkin! Kamu jangan bicara sembarangan ya?” kurasakan nada bicaraku cukup tinggi, wajah Tiwi yang sendu menjadi menunduk, cepat-cepat aku meminta maaf.

“Bang Raka, sang penderita sendiri pasti tidak menyadari akan hal ini bahkan akan dengan keras menyangkalnya, tapi kita juga sering lihat dia begitu bingung dan sering mengalami disorientasi, sering juga di kos kutemukan dia lebih memilih menyendiri padahal saat itu kawan-kawan kosnya sedang bernyanyi dan bermain gitar, dia sering mengalami anhedonia, tidak dapat merasakan kesenangan. Aku yakin abang lebih sering menemukan keanehan dalam dirinya” tatap mata Tiwi dari balik kacamatanya kurasakan sebagai tatapan analisis terhadap keadaan psikologisku. “Oke jika memang Ikarus mengalami gangguan psikotis, kira-kira dia masuk kedalam kategori manakah?” kali ini aku yang menjadi penilai dari apa yang ada dalam pikiran Tiwi, menunggu penjelasannya, berharap tidak menyebutkan istilah skizoprenia, meskipun aku tidak paham akan arti dan gejalanya. “Begini saja bang, aku akan coba mendekati Ikarus dengan caraku sendiri, bukan untuk menjadikannya kelinci percobaanku tapi untuk mengetahui what inside his mind dan menjawab kecurigaan kita.” Aku menyatakan kesepakatanku, semoga aku tidak ragu akan kemampuan mahasiswi semester akhir yang juga aktif menjadi relawan konselor bagi perempuan korban perkosaan.

Mimbar malam kami tidak lagi akan dipenuhi dengan keceriaan dan kritik sosial tajam Ikarus yang biasa mendominasi dalam diskusi-diskusi panjang kami, meskipun terkadang kami sulit untuk mengikuti jalan pikirannya yang meletup-letup, loncat kesana kemari membicarakan topik yang membuat kening kami berkerenyit. Dari pembicaraan video call itulah terakhir kali kulihat wajah kawanku tersenyum tapi kali ini tidak, dalam sebuah murde bag, kantung mayat berwarna kuning besar menutup wajahnya. Baru kuketahui secara pasti lokasi keberadaannya ketika dia berdiri memegang telepon genggamnya, dia memutar telepon genggamnya merekam keadaan sekitar dari ketinggian sekitar seratus meter dari permukaan tanah, tepatnya diatas menara penguat sinyal. Astuti masih menangis, menyembunyikan wajahnya di bahuku. Tak pernah menyangka kekasihnya mati dalam usia mudanya bahkan dengan cara terkonyol, bunuh diri melompat dari menara penguat sinyal salah satu provider jaringan selluler, tragisnya lagi Ikarus pengguna layanan itu. Aku harus berusaha keras untuk menenangkan hati Astuti yang masih dirundung duka dan penyesalan dosa atas kesalahan yang dibuatnya sehingga Ikarus menghabiskan hidup. Berkali-kali aku harus mengguncang-guncangkan tubuhnya agar sadar dan tidak larut dalam perasaan menyalahkan dirinya sendiri, kematian Ikarus memang menyedihkan tapi menyalahkan diri seolah menjadi penyebab kematiannya adalah hal lain.

Tanda tangan terakhir telah kububuhkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang disodorkan salah seorang petugas, penjelasan yang keluar dari mulutnya mengenai penyelidikan lebih lanjut tidak lagi terdengar olehku. Aku masih bingung, entah bagaimana caranya menyampaikan kepada pihak keluarganya yang akan datang dari Nusa Tenggara Timur esok lusa, sialnya aku menjadi orang terakhir yang mengetahui keberadaannya. Belum lagi sudah kubayangkan akan mendapat cecaran pertanyaan dari kawan-kawan bahkan untuk menjelaskan kehadapan Astuti saja aku belum sanggup, dia berhak lebih tahu dibanding siapapun. Kupeluk tubuhnya erat sebagai tanda dukungan mental begitu dia memasuki ruangan untuk dimintai keterangan oleh petugas. Kubisikan kata-kata yang biasa diucapkan Ikarus jika menghadapi kekasihnya yang tengah bersedih. ”Tenang saja, seberat apapun permasalahmu, aku akan berada disampingmu.”

Ikarus haruskah aku menjadi pengkhianatmu sekali ini? Sebuah wasiat pahit dan berat telah kau titipkan padaku Ikarus, aku tak sanggup memberikan rekaman ini! Aku masih menimang-nimang telepon genggamku, sudah dua minggu setelah kejadian itu tapi aku masih belum berani memutar ulang rekaman terakhir kami. Sore hari Tiwi datang, membawa kertas-kertas hasil pendekatan terakhirnya dengan Ikarus. Penjelasan Tiwi seolah terdengar begitu jauh meski dia hanya duduk dihadapanku, lembar-lembar yang kutatapipun tidak juga kutemui titik pahamnya: Wechler Adult Intelligence Scale, Minnesota Multiphasic Personality Inventory, Bender-Gestalt Test, Rorschach Test, entah apa ini semua. Aku masih melihat bibir Tiwi bergerak-gerak tapi tidak terdengar sedikitpun kata yang keluar dari situ, kepalaku berdenyut menghasilkan pening luar biasa. ”Wi, sepertinya aku memerlukan kopi hitam panas! Bersediakah kamu menemani aku?”

Masih lekat dalam ingatanku senyum terakhir Ikarus yang begitu lepas. Wajahnya kembali terlihat dengan ekspresi penuh kemantapan hati atas keputusan yang telah diambil, aku hanya bisa berteriak berkali-kali agar Ikarus mengurungkan niatnya tapi tiba-tiba citra dalam layar telepon genggamku bergerak cepat. Sempat kulihat beberapa detik wajah kawanku itu masih menghadap kearah kamera kecil pada telepon genggamnya, mengucapkan salam terakhir kemudian dia melepas telepon genggamnya, dari telepon genggam yang melayang dibelakangnya kulihat Ikarus meluncur deras merentangkan tangannya, Alis volat propriis, dia terbang dengan sayapnya sendiri, patuh terhadap hukum gravitasi, kemudian telepon genggam itu hancur berderai menghantam keras bebatuan gunung hanya sepersekian detik setelah tubuh Ikarus. 


-Kaloran Pena, 8 Maret 2009-

2 komentar:

  1. Ini true story ?. barangkali yang paling tepat untuk diucapkan adalah INNALILLAHI WAINNAILAIHIROJIUN ... sesuatu yang datang dari DIA pasti akn kembali ke dia.

    BalasHapus
  2. Blog nya diisi lagi dong Pak. Hehehe.
    oiya, itu wechsler lho. duh, jd keingetan kuliah! (^^)b

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!