Sabtu, Mei 30, 2009

Putera Para Monster


Arrrgghh… lagi-lagi selalu saja ada teriakan keras di rumah ini, bentakan, makian, umpatan segala jenis spesies hewan keluar dari mulutnya yang berbau alkohol, benda-benda kesayangan melayang hancur-berantakan dan yang terparah seolah kau ingin tunjukkan eksistensimu sebagai seorang penguasa rumah tangga ini dihadapan anakku, mahluk rapuh itu milikku, ya milikku! Bahkan pada proses penciptaannya kau tak sadarkan diri, terlebih kau menolak kehadirannya dalam dunia ini. Tetap kupertahakan sampai kapanpun.


Rere menggigil dipojokkan kamar mendekap boneka kelinci bertelinga panjangnya. Sejenak menatapku ragu... ragu akan kekuatanku menahan pintu kamar ini dari amuk monster berbadan kecil dan berkacamata itu. Rere pernah menggambarkan ayahnya, setara dengan monster-monster lainnya, dengan karakter berbadan kecil, berbulu merah, bertanduk dari hidungnya menyemburkan api sementara tangannya memegang botol dan yang mencurigakan; monster itu berkaca mata! ketika kutanyakan maksud karyanya dari gores pastel berwarna merah itu, air mataku menitik karena Rere sudah bisa berbohong, sudah jelas Rere menggambarkan sosok ayahnya bahkan memberi nama PEA, aku menduganya ini pasti inisial ayahnya.


Kubujuk pangeran kecilku agar tidur saja, badanku masih membelakangi pintu, Rere menolak, dia berteriak lirih jika dia tertidur maka monster bernama PEA itu akan menculiknya karena bunda juga ikut tertidur. Aku tidak boleh melemah, meski setiap sendiku bergetar begitu mendengar suara lirih pangeran kecilku jika sedikit saja kukendorkan badanku dari pintu ini sudah dapat dipastikan monster itu berhasil masuk dan menculik pangeran kecilku. Tidak akan terjadi.


Kudengar monster bertubuh kecil-berkacamata itu mengancam akan membakar rumah ini, cukup sudah sudah, kau telah membangunkan monster yang sesungguhnya kini. Kubuka pintu kamar, kunci yang sejak semula berada pada lubang sebelah luar papan pintu ini kupastikan terputar penuh mengunci kamar Rere, kumasukan saku agar lelaki yang berlaga seperti monster itu tidak merebutnya dan mengambil pangeranku di dalam sana.


Lelaki itu masih mengumbar kata-kata kosongnya dari ruang dapur sambil mengacungkan jerigen minyak tanah dan korek api gas di tangan lainnya. Aroma alkohol dari mulutnya mengalahkan minyak tanah yang sebagian sudah ditumpahkan pada lantai dan kompor gas. Aku tak gentar. Dia berkoar-koar, tidak akan merugi harus membakar rumah yang telah dia bangun dari hasil keringatnya. Emosiku berhasil berontak dari ujung ubun-ubunku. Kau bilang ini rumahmu? Sejak kapan kau turut menyumbang satu sen bagi rumah ini? untuk membeli sebatang paku saja tak ada andilmu.


Kurebut jerigen minyak tanah dari tangannya, kutampar wajah lelaki kecil itu hingga terhuyung dan berdebam keluar halaman belakang, kusiram sekujur tubuhnya terutama mulutnya dengan sisa minyak tanah yang ada, mari kita lihat kuat mana pengaruh alkoholmu atau minyak tanah yang selalu kami, kaum perempuan, perebutkan dalam antrian panjang hanya demi beberapa liter ini? sekarang tidak akan sia-sia kesabaranku menunggu dan berdesakan antri minyak tanah jika dapat menciptakan arang dari tubuh busukmu.


Kau ingin ambil pangeran kecilku ini begitu saja. Dimana kau ketika pertama kali baru kusadari ada darah mengalir dari sela kedua pahaku? Kau lari dari kamar kos hanya meninggalkanku dengan setengah botol cairan yang membuatku pening bahkan kau lari dari kampus tempatmu kuliah, menghilang beberapa semester. Dimana kau ketika aku mengejang dan mengerang mengeluarkan anakku? Bahkan kedua orang tuamu yang dulu turut menghadiri ritual ijab kabul kita, meski hanya sejenak, juga tak tampak saat aku melahirkan pangeran kecilku, lagi-lagi hanya keluargaku juga yang menghadapi bagian keuangan rumah sakit itu. Ada dimana kau ketika pangeranku tengah malam menggigil demam tinggi? Bahkan ketika kuhubungi teleponmu hanya sejenak kau jawab dengan alasan sibuk berkumpul dengan kawanmu! Adakah satu rupiah yang pernah kau sumbangkan untuk biaya rumah, sekolah dan segala kebutuhan hidup kita bertiga? Lantas apa hakmu merebut pangeranku? Dia milikku!


Tak perlu kurebut korek api gas dari tangan satunya, akupun sama dapat menyemburkan api dari kedua lubang hidungku, biar kutunjukkan padanya tapi kupastikan pangeran kecilku tidak melihatnya. Tidak terdengar sedikitpun suara dari mulutnya meskipun dia membuka-menutup mulutnya, terlihat seperti slow motion, sementara hidungku sudah memercikkan api, semakin kutahan nafasku-semakin membesar api itu menyembur, sekali hembusan saja pasti membakar lelaki ini.
Tak jadi...


Tak jadi kusemburkan api dari hidungku... tidak... aku tidak ingin pangeranku menggambarkanku seperti monster berambut api lalu memberi nama PEDE, inisial namaku. Tidak!


Maaf bang, aku harus hentikan pembicaraan malam ini, Rere terbangun, kudengar dia meneriakkan nama monster itu. Terimakasih atas kesediaan abang mendengarkan curhatku kali ini seperti malam-malam biasanya. Besok kita sambung lagi. Klikk!


***


Lima menit sejak perbincangan tadi, mungkin lebih tepatnya mendengarkan, curahan hati kawanku, kini aku yang yang menjadi gelisah. Kemana lagi akan kutumpahkan bergalon-galon air derita yang kutampung selama hampir dua jam tadi? Kusedot batang pencipta asap beracun nikotin di tanganku, kucampuri satu jenis racun lagi, caffein, dalam mulutku yang terjun dengan deras melewati terjalnya tenggorokanku. Biar sepotong liver dan dua bilah paru-paruku yang menyaring racun-racun itu. Dua racun itu bekerja dengan cepat, menjalar melewati venna pada seluruh sistem tubuhku, memercikkan sejenis daya dalam otakku meski jantungku kewalahan mengatur tempo degupnya.


Kunyalakan komputer, awalnya kubuka folder file undang-undang, lalu kutekan satu file berjudul UUPKDRT, kemudian muncul tampilan Acrobat Reader, pada awal ketikan file itu kubaca: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.


Kubaca terus berulang-ulang kalimat ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.” Berharap rahmat itu muncul detik ini juga. Perhatianku beralih pada kalimat tepat dibawahnya, bagian konsideran undang-undang ini; ”bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” meskipun kalimat terakhir kutertawakan dalam kekehku, hah, t@*i kuc*#g! Bukankah seharusnya sesuai dengan hak dan martabatnya sebagai manusia.


Kuperhatikan kalimat yang menyusul berikutnya ini; bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Tidak konsisten! Atau tak ingin istilah itu, yang disebut-sebut sebagai perjuangan founding father, hilang ditelan jaman? Seteguk cairan hitam menetralisir emosiku tapi tidak untuk jantungku, menciptakan kompromi, baiklah, kuhentikan kejengkelanku pada istilah yang selalu ingin diturutsertakan dalam setiap kesempatan itu, tidak penting. Mari kita pelajari tentang perlindungan perempuan kali ini, sebagaimana pesan undang-undang ini, bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat. Perempuan yang baru saja menelponku, yang mengaku menjadi korban, telah menumpahkan bergalon-galon air derita padaku hingga aku menggigil sendirian ditengah malam ini.


Kupejamkan mataku, kuingat-ingat kembali setiap kalimat dari klienku tadi, kutarik nafasku, kukendorkan setiap ototku yang menegang, kuatur nafas tujuh ketukan sehingga tercipta `segitiga; bumi-pribadi-angkasa` ku. Pusaran maya menyedotku dalam suatu dimensi tepat ketika klienku menahan pintu itu dengan tubuh bagian belakangnya. Betul kulihat Rere pada pojokkan itu. Pantas saja emosi klienku memuncak pada sosok yang dia sebut monster ini, terlampau kecil untuk disebut monster. Aku berdiri diantara mereka, sebelah kiri; monster berkacamata, berkoar-koar sambil menggedor pintu, di sisi lainnya; dua sosok mempertahankan diri mereka. Aku hanya menjadi penonton belaka. Kudekati sosok bertubuh mungil mendekap erat boneka kelinci bertelingga panjang itu, matanya tajam menatap kearah bingkai foto ayahnya pada sisi ranjang berwarna birunya, ada percikan api dalam tatap matanya, inikah pangeran mungil yang terlahir dari kedua orang tua monster?!


Kutarik lagi nafasku dalam-dalam, kali ini menjadi empat belas ketukan; empat belas tarikan nafas, empat belas ketukan menahan nafas, empat belas yang sama ketika kuhembuskan perlahan. Kuselami mata berapi itu. Beginikah citra kehidupan yang kau rekam selama ini wahai pangeran mungil yang terlahir dari dua pasang monster? Badanku terlontar dari kursi, menjauh beberapa jarak dari layar monitor komputer. Masih terasa panasnya. Luar biasa!


Kuhisap batang berasap yang semakin memendek itu, segera kuganti redaksional pada konsideran undang-undang itu, tanpa adanya usulan draft akademik untuk meminta revisi pada Dewan Perwakilan Rakyat maupun pengajuan uji materil pada lembaga Mahkamah Konstitusi. Kurubah sendiri redaksional konsideran undang-undang itu. Terserah kau anggap `sesuka hatiku belaka` aku tidak peduli. Kuketik ulang;


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.
(kalimat ini yang seharusnya ada dalam tanda kurung ini sengaja kuhapus)


Menimbang
a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan (kurubah menjadi; ANAK) harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;


Begitu juga pada Pasal 1; Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan (kurubah menjadi; ANAK) yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


Kopiku dalam gelas hanya tersisa ampas hitam pada dasarnya, rokok ini batang terakhir yang tengah kuhisap, itupun tak lebih dari separuh batang bara apinya mendekat kearah bibirku. Kuhembuskan asap terakhirku. Pikiranku menjadi buntu, jari-jariku enggan menari pada keyboard, mataku memerah lelah, lalu tertidur.

Tiba-tiba aku berada dalam sidang para aktivis dan aku sebagai terdakwanya karena telah merubah karya agung mereka.


Mari kita berdebat hingga subuh atau tiga hari tiga malam denganku jika kalian ingin! Karena kalian perancang dan pembentuk undang-undang ini selalu memberikan penekanan `perempuan`, maka dalam benak kalian yang paling penting untuk dilindungi adalah perempuan, maaf, jika kalian bilang `terutama` bukankah sebaiknya kalian masukan `anak` sebagai prioritas utama? harus! Wajib! Terserah kalian cap aku keras kepala! Atau kompromiku; hilangkan penekanan itu, mari!


Mengapa kepalaku menjadi keras dalam hal ini? Karena kalian berkoar-koar bahwa undang-undang ini sebagai refleksi dari keberhasilan perjuangan gender. Bagiku, maaf; Bull sh#*t! Sejak awal permulaan saja kalian selalu menekankan pada perempuan, jadi kalian pikir perempuan lemah? Bukankah kalian `pejuang gender`? Lantas mengapa kalian meremehkan kaummu sendiri? Kubilang; JANGAN! Coba kalian lihat Pasal 3; Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. Nondiskriminasi.


Nyata bukan? Kesetaraan gender bukan berarti mengunggulkan satu gender tertentu, keadilan gender bukan berarti terlalu memperhatikan satu gender tertentu, maka dengan kalian memasukan kalimat `terutama perempuan`, bukankah ini bentuk diskriminasi? Karenanya kukeraskan kepalaku dalam hal ini! Maaf, bukan sentimen terhadap gender tertentu tapi semoga ini dipahami sebagai bentuk keikutsertaanku dalam garis perjuangan kalian. Maka tawaranku; rubah, ganti, revisi! Jika kalian tidak berkenan maka akan kuganti sendiri.


Mereka mengeluarkan jilid tebal pledoi mereka sebagai bahan pembelaan untuk mengelak bahwa ini bukan mengusung isu gerakan tertentu tapi semangat besar hak asasi manusia. Kutampar mereka dengan isi Pasal 1 angka 7; Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan. Masih juga mengelak? Kusodorkan isi Pasal 2, kujelaskan kembali bahwa dalam rumah tangga tidak hanya satu gender bahkan disitu juga ada pangeran kecil anak kawanku, ada kakek dan pamannya begitu juga Mang Udin yang selalu mengantarkan kalian dalam mobil mewahmu. Apa Menteri kalian mau mengurusi dan bertanggungjawab terhadap mereka?


Sebenarnya perhatianku tidak kukhususkan kepada si kakek, paman atau Mang Udin sang sopir tetapi jika kau tanyakan pada siapa penekananku? Maka tegas kukatakan; ANAK! Karena aku cukup menghormati dengan kalian memasukan Ketentuan Pidana yang tidak hanya dikenakan pada pelaku dengan gender laki-laki (suami) tapi juga perempuan (istri), berarti kalian dapat melihat secara objektif bahwa yang salah harus diberi hukuman tanpa melihat gender tertentu. Berilah perhatian lebih pada anak, toh mereka anak kalian sendiri, kalian yang melahirkan dari rahim kalian sendiri, bukan?


Apa kalian masih berkelit bahwa kalian telah menaruh perhatian pada anak? Lihat kembali dari beribu-ribu kata yang tercantum dalam undang-undang ini, hanya tiga kali... TIGA KALI saja kalian menuliskan kata; ANAK!! Itu pun, dua kali kalian sebutkan pada pasal mengenai pelaporan ke pihak Kepolisian, apa kalian gila membiarkan anak kalian melaporkan sendiri ke pihak Kepolisian ketika menjadi korban? Tentu saja kalian tidak segila itu! Jadi kalian katakan ini sebagai bentuk perhatian kalian terhadap anak?


Bukankah anak-anak justru korban sesungguhnnya dari pertikaian kalian wahai Bapak (lelaki) wahai Ibu (perempuan)? Apa bedanya anak kalian dengan rumah, mobil, tanah, perusahaan ketika kalian perebutkan? Apa bedanya? Beri aku satu saja perbedaannya! Sama saja seperti HAK MILIK bukan? Bahkan kalian meminta perlindungan undang-undang dan membayar pengacara termahal sekalipun untuk memperebutkan anak kalian.


Salah seorang dari mereka mendekatiku, menangis lalu menamparku. Plakkkk!!!!!


Kuusap pipiku, ada darah pada telapak tangan yang kugunakan untuk mengusap pipiku dan juga satu bangkai nyamuk yang gemuk menghisap darahku. Ahhh untung hanya.....





-Propinsi B, Kota S, Kecamatan S, Desa Kaloran Hj. Jaenab-
Lagi-lagi satu tulisan yang tertunda di tengah jalan (2 Mei – 29 Mei 2009)
Kali ini terprovokasi oleh; para penelpon ditengah malamku, G, dan Herlina Tiens... but thanks!









4 komentar:

  1. Ehem... di sini ajah protesnya.. itu looh penelpon tengah malam tu loh.. kayaknya gimana gituh tante2 telponin anak muda yak??? *ngakak abissss*

    BalasHapus
  2. gila ini cerita kok bisa bagus sih?

    ANAK
    ANAK
    ANAK
    kapan mereka yang menjadi SUBYEK ya?
    (I hate gender!)

    BalasHapus
  3. @ikkyu_san: itulah..selama anak hanya dianggap sebagai Hak milik bagi para orang tua maka selama itulah posisi anak dpt diperebutkan kesana-kemari

    seandainya para orangtua sadar kebutuhan anak akan kasih sayang yg penuh...

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!