Minggu, Februari 14, 2010

REPORTASE JALANAN II


(sebuah catatan menikmati week end dan novel Ali Topan dengan cara gue!)


Apa yang terbersit dalam benak kawan-kawan ketika besok pagi adalah penghujung minggu (week end)? Bagi kebanyakan orang atau keluarga, bisa saja telah mengisi agenda week end-nya dengan merencanakan untuk pergi ke pantai, puncak, mall, museum, villa keluarga, atau hanya berdiam diri di rumah karena week end adalah waktu yang paling tepat untuk berhibernasi.


Bagi saya, dalam sebulan ini adalah the most longest week end dalam agenda kerja tahunan. Kebetulan kampus sedang masa libur paska UAS, sementara tidak ada kegiatan perkuliahan seperti Semester Pendek karena semester ini merupakan awal tahun ajar, meskipun di rumah melakukan persiapan tulisan untuk jurnal fakultas, tapi tetap saja bulan ini merupakan week end terpuanjaaangg!


Kebiasaan saya ketika di Jogja kembali saya lakukan, yaitu mencari tempat terdamai untuk sekedar menikmati segelas kopi, beberapa batang rokok, sambil mendengarkan musik lewat pemutar lagu di hand phone. Sewaktu di Jogja, saya punya seorang teman akrab yang pasti akan datang jika saya kirim pesan singkat berisi “Bersediakah kawan menikmati pergantian sore hari ini dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok?” maka beberapa menit kemudian kawan akrab itu sudah menghampiri saya yang sudah lebih dulu nongkrong di angkringan dekat perempatan Jalan Soedirman, tepatnya seberang Toko Buku Gramedia. Tidakkah indah jika kita memiliki kawan yang dapat diandalkan pasti datang di sela kesibukan kerja hanya untuk sekedar menikmati pergantian hari dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok, setelah itu kembali lagi beraktifitas?


Dengan mengendarai sepeda motor (nyemplak motor klo bahasanya Ali Topan seh) yang menghantarkan saya pada sebuah Kompleks Stadion Olahraga di Kota S, entah mungkin ini karena kerinduan saya pada kebiasaan dalam menikmati sore hari seperti sewaktu di Jogja dengan nongkrong di angkringan depan Stadion Olahraga Mandalakrida, tepatnya di halaman sebuah instalasi kesehatan bagi manula milik UGM. Salah satu tempat favorit saya, pekarangan itu teduh sekali dengan rimbunan pohon-pohon sejenis cemara berdaun serupa jarum, cericit burung-burung pipit dan burung gereja bahkan jika beruntung saya dapat melihat beberapa pasang tupai yang turun kebawah jika saya lempar kacang rebus dekat batang pokok cemara.


Akhir pekan kali ini saya nikmati di Komplek Stadion Olahraga Kota S. Sengaja saya mencari warung kopi tidak pada tempat yang ramai, di pojokan sebelah timur saya menentukan pilihan, memesan segelas kopi, beberapa penganan dan tentunya sebungkus tembakau lintingan perusahaan HM Sampoerna. Ahhh, cuaca mendung siang menjelang sore ini begitu sempurna untuk ber-mellow-mellow begini rupa, tendangan kopi hitam, hembusan racun nikotin ditemani buku Ali Topan Wartawan Jalanan karya Teguh Esha, dan lagu-lagu lewat earphone yang terhubung pada hand phone… pas sekali untuk melawan udara semi dingin ini.



Lumayan lama saya menikmati suasana sore di warung kopi ini, lalu tiba-tiba hand phone yang saya gunakan untuk terkoneksi dengan dunia maya dan mendengarkan musik terganggu dengan adanya panggilan masuk. Rupanya seorang kawan menelepon jauh-jauh dari Negeri J, cukup lama obrolan kami via telepon itu, dari menanyakan kabar masing-masing, hingga semacam studi banding keadaan Kota S dengan Kota T di Negeri J sana. Terus terang saja saya sebagai putera daerah asli Kota S ini cukup merasa miris dengan perkembangan kota kami ini yang jaraknya hanya sepelemparan batu saja dari Ibu kota Republik ini namun kota kami terhitung lambat perkembangannya tetapi di satu sisi juga kehilangan wajah aslinya akibat tak kenal lagi kearifan local daerahnya. Kawan dari Negeri J itu bertanya mengapa bisa sedemikian rupa? Saya hanya bisa menjelaskannya dengan singkat karena secara umum kondisi Propinsi B ini masih dikuasai oleh Klan / Keluarga tertentu yang berlatar belakang JAWARA, mengenai ini semoga saya mampu menyajikan tulisan tersendiri di lain kesempatan.



Perbincangan kami sempat terganggu karena kereta api melintas dekat warung kopi tepat saya nongkrong ini. Ada yang menarik dari fenomena ini, bahwa pintu masuk-keluar kompleks stadion olahraga ini terbelah oleh Rel Kereta Api tapi ajaibnya tidak ada satu pun pintu penghalang lintasan kereta api, petugas penjaga maupun signal tertentu atau rekaman suara orang yang memberikan peringatan ketika kereta api melintas, padahal stadion ini cukup ramai dikunjungi warga terlebih jika ada event olahraga tingkat kota maupun propinsi. Kondisi yang jauh berbeda dengan Kota Jogja misalnya, bahkan di pelosok desa dan jalan yang hanya selebar ukuran satu mobil saja jika terbelah oleh lintasan kereta api sudah memiliki pintu palang, itupun otomatis! Kawan penelpon itu cukup merasa terkejut bercampur aneh dan mungkin sedikit geram, mengetahui kondisi yang saya ceritakan ini.



Terlebih ketika saya cerita di Kota S ada bukit yang cukup cantik tempat penjual durian dan kita bisa menikmatinya durian itu di tempat, tapi sayangnya bebratus meter dari situ terdapat Tempat Pembuangan Akhir Sampah, parahnya TPA itu mengambil titik terindah dari bukit ini. Saya ceritakan hal itu karena beberapa jarak di depan saya ada beberapa bak sampah. Tiba-tiba dari sana ada seekor kucing tengah menggondol sesuatu berlarian kearah saya lalu bersembunyi di bawah amben tempat saya duduk. Ternyata kucing itu sedang memakan kepala biawak! Lumayan besar bahkan lebih besar dari kepala kucing itu!




Sebagaimana salah satu kebiasaan saya dalam menikmati membaca buku seringnya tidak dilakukan dalam kamar. Saya lebih memilih menikmati buku di tempat terbuka, menikmatinya dengan atmosfer segar dan tetap ditemani sajian lagu-lagu dan rokok kretek. Novel Ali Topan Wartawan Jalanan (ATWJ) telah saya pilih dari koleksi saya yang sedikit itu. Novel karya Teguh Esha ini pada awalnya berjudul Ali Topan Detektif Partikel, terbitan Cypress pada tahun 1978, namun setelah direvisi dan diterbitkan oleh PT. Visi Gagas Komunika berganti judul menjadi Ali Topan Wartawan Jalanan (ATWJ). Halaman berjumlah sebanyak 331 halaman, gaya penulisan yang mengalir dengan memberikan nuansa dan setting lokasi begitu detailnya yang membuat saya selalu rindu untuk membacanya berulang-ulang kali, selain itu juga kisah hidupnya yang kreatif dan mandiri hidup di jalanan yang menginspirasi saya pribadi dan beberapa kawan-kawan jalanan, karena dulu sering saya pinjamkan kepada kawan-kawan di Malioboro dan sekitarnya bahkan ada beberpa kawan yang minta di bacakan di halaman berumput museum Vredeburg Jogja.


Ali Topan yang dalam interaksinya banyak bersinggungan dengan orang-orang pasar dan terminal baik pedagang maupun preman ini kerap menggunakan bahasa preman Jakarta, yang mana bahasa preman ini sebenarnya digunakan oleh preman maupun residivis sebagai bentuk komunikasi agar tidak terpahami oleh intel (Polisi yang menyamar seperti preman), di akhir buku, penulis juga menyisipkan beberapa kosakata preman itu, contohnya;

Ji so kam = dji sam soe

Plokis = Polisi

Prokem = preman

Beceng = pistol

Godfather = Kapolri


Sebuah pembelajaran yang menarik bagi saya yang sewaktu di Jogja banyak berinteraksi dengan kawanan-kawan jalanan yang juga kerap menggunakan bahasa preman ala Jogja yang disebut bahasa walikan (karena menggunakan suku kata hanacaraka yang dibalik/digantikan penggunaan suku katanya dengan baris ketiga dari bahasa ini). Contohnya;

Daladh dab! = mangan mas = makan mas!

Pabu saciladh = asu bajingan = yang pasti ini umpatan


Entah mengapa tidak pernah direncanakan sebelumnya, terkadang suasana dalam buku dan lokasi serta kejadian yang saya alami hampir ada kesamaan. Mari kita buktikan!


Dihidupkannya radio. Donna-donna, Prambors Rasisonia memenuhi ruang kamar. Ali Topan masuk dan duduk di lantai berkarpet Iran, Ali Topan merokok kretek. Dinikmatinya setiap hisapan dan dipandanginya asap rokok yang mengepul... (halaman 17)


Boleh percaya...boleh curiga... pemutar lagu dari handphone saya juga memutarkan lagu yang sama, salah satu lagu favorit saya (dan juga Soe Hok Gie); Donna-donna yang didendangkan oleh Sita. Hanya saja perbedaannya Ali Topan mendengarkan lagu itu dari pelantunnya langsung yaitu Joan Baez, selain itu juga saya sedang berada di luar kamar, sementara kami sama-sama menikmati kepulan asap rokok kretek yang sama yaitu JISOKAM (bahasa preman Jakarta untuk Dji Sam Soe).



Kompleks Stadion olahraga Kota S ini memang salah satu tempat yang sering dikunjungi warga Kota S, berbagai aktifitas cukup banyak bisa saya perhatikan, seperti mobil lalu lalang dengan kecepatan sedang bahkan tersendat-sendat karena saya yakin di dalamnya si pengemudi baru belajar menyetir mobil, keyakinan saya bertambah dengan adanya plang di atas mobil itu dengan tulisan “Belajar” ada juga beberapa yang menggunakan mobil dinas baik berplat merah maupun berplat hijau, saya rasa hampir di semua kompleks stadion olahraga dimanapun pasti dijadikan ajang latihan mengemudi. Selain itu juga pada bagian kompleks ini ada satu gedung Gelanggang Remaja tepat di seberangnya ada sekolah tingkat atas, jadi tak aneh jika di seputaran sini banyak remaja masih berpakaian pramuka, karena hari jumat dan sabtu anak sekolah wajib mengenakan seragam itu.


Gelanggang Remaja mulai ramai oleh anak-anak sekolah yang ngiseng kesitu. Kebanyakan mereka mereka adalah siswa-siswa SMA Bulungan I dan SMA Bulungan II yang sedang istirahat. Diantara mereka ada yang ngiseng saja, ada pula yang nyari tempat untuk merokok sekaligus berdaling-darlingan. Ali Topan hapal dengan kelakuan mereka. Dia acuh tak acuh saja... (halaman 67)


Sebuah kebetulan juga, tepat di depan saya berbincang via telepon dengan kawan saya dari J ini ada beberepa remaja tengah nangkring di motor mereka, membicarakan seputar pacar mereka, kenalan-kenalan mereka dari facebook, rencana mereka melanjutkan sekolah dan kekhawatiran harus berpisah dengan pacarnya paska lulus sekolah, saya bisa menduga mereka kelas tiga karena memang sebentar llagi mereka akan menghadapi Ujian Nasional.



Lucunya kekhawatiran remaja sekolah ini juga dialami oleh Ali Topan dengan kekasihnya; Anna Karenina. Ali Topan harus rela melepaskan kepergian pacarnya untuk melanjutkan kuliah fashion di Singapura sana, sementara Ali Topan tengah mengalami pergolakan batin bahkan pemberontakan terhadap orang tuanya, siap mengambil jalur anti kemapanan orang tua dengan tinggal di jalanan, di seputaran gelanggang remaja Bulungan lah tempat singgah sementara Ali Topan.

”Aku mau sekolah di Singapur,” kata Anna Krenina.

”Sekolah apa?” tanya Ali Topan.

”Kecantikan dan fashion.”

”Kenapa kesitu?”

”Maksud kamu?”

”Saya baru tahu kalau kamu memilih sekolah kecantikan dan fashion. Saya pikir kamu enggak punya bakat di bidang itu.” (halaman 22)


Karakter Ali Topan memang terkenal keras dengan idealismenya. Sosok pemuda seperti ini sempat menjadi tawaran solusi bagi pemuda pada era 80an, dimana pada jaman itu terjadi ketimpangan sosial yang cukup kontras, yang sebenarnya masih terjadi hari ini di Republik ini. Realitas hidup; yang kaya makin kaya - yang miskin makin miskin, sebagaimana didendang Rhoma Irama, serta sulitnya mencari lahan pekerjaan sementara jutaan manusia usia produksi bersaing mencari pekerjaan, bukan menciptakan lahan itu. Ali Topan adalah sosok pemuda mandiri, kreatif, membumi, peduli dengan lingkungan sosialnya, solidaritas tinggi namun tidak gentar dalam melakukan kritik sosial. Mari kita cari tahu sosoknya lewat buku ATWJ ini;


Bagi kaum kecil sosok Ali Topan terkadang diperlukan sebagai pencerah dan pembela;

”Dia ini Ali Topan orang baek. Dia pernah kasih tulung besar sama gua. Waktu toko gua mau dirampok orang jahat! Lu liat tangannnya ada bekas bacokan golok. Dia tulungin gua tangkepin rampok sampe dianya kena bacok! Gua utang budi sama dia! Gua sudah angkat sudara sama dia!.....” (halaman 4)


Bagi kawan-kawan akrabnya Alidikenal dengan solidaritasnya yang tinggi;

Harry merasakan semangat Ali Topan itu menghantam kemelut di dalam kalbunya. Sesuatu yang hangat terasa memenuhi dadanya, menguatkan hati.

”Terimakasih, Paan....” bisik Harry. (halaman 128)


Bagi orang tuanya Ali dianggap sebagai pembangkang;

“Goblok kamu! Ini rumah, rumah Papa! Seisinya papa yang beli! Kok bilang papa gak di rumah.. memangnya ini rumah kamu apa?! Papa mau ada di rumah atau tidak di rumah apa lantas kamu boleh sembarangan?!” gerutu Pak Amir.

Ali Topan berdiri. Perasaannya nggak enak mendengar gugatan ’kepemilikan’ itu... (halaman 20)


Sementara di hadapan kekasihnya Ali Topan sangat membingungkan meski begitu Anna Karenina sangat mencintainya;

”Ah, sudahlah. Kamu nggak ngerti saya,” kata Ali Topan

”Kalau kamu nggak kuliah, kamu jadi apa nanti?” tanya Anna, penuh perhatian.

”Kalau kamu kuliah, kamu jadi apa?” balas Ali Topan. Merah wajah Anna mendengar ceplosan itu. (halaman 28)


bagi perempuan-perempuan yang kebetulan melintas di hadapannya pasti dalam hatinya bergumam, dia adalah sosok pejantan ideal;

terbukti setiap cewek yang lewat di depannya, tak peduli nyonya atau peran sekolahan, pasti memampirkan pandangan ke wajahnya yang jantan. Dan mereka sama sekali tak berusaha menyembunyikan perasaan kesemsem pad si anak muda. (halaman 1)


Tapi di balik kegaharan sosoknya ternyata bersemayam sisi lemah seorang Ali Topan;

”Mamaku nggak pernah memanggilku nak kepadaku, Mbok...tapi hari in Mbok Yem memanggilku nak. Aku bahagia dengerinnya, Mbok. Terimakasih...dan mulai hari ini aku menjadikan Mbok Yem ibu angkatku. Aku anakmu, Mbok...” kata Ali Topan lembut penuh ketulusan

”Iyo, Nak.. iyo, Mbok terima...” kata Mbok Yem dengan air mata berlinang-linang (halaman 46)


Terus terang ketika membaca adegan ini mata saya pun berkaca-kaca! Saya dapat rasakan betapa kondisi psikologis seorang anak dari keluarga broken home, dimana sang Ayah selalu sibuk dengan urusan pekerjaan sementara sang Ibu lebih mirip Maddame Defisit jaman barok yang hanya senang dengan kemewahan yang didapat dari suami tapi tidak mendapatkan kenikmatan gairah seksual hinga akhirnya menjadi tante girang. Sosok Mbok Yem yang sederhana dan bersahaja justru menjadi pengobat sakit hatinya terhadap orang tua, bahwa Mbok Yem lah orang tua sesungguhnya, dia pembantu di keluarga Amir (orang tua Ali Topan) meski berkali-kali Ali meminta agar si Mbok tidak memanggilnya dengan sebutan Den Bagus tapi berkali-kali juga si Mbok selalu lupa;


”Ada apa Den Bagus, eh Ali Topan?” (halaman 42)


Meski demikian rasa hormatnya Ali Topan terhadap si Mbok tapi kekerasan hatinya tetap tidak dapat dilunturkan oleh si Mbok ketika Ali Topan memutuskan untuk pergi dari rumahnya.

”Ali Topaan! Tunggu Naakk!” seru Mbok Yem.--- Ali Topan berhenti. Panggilan ”nak” itu menyentuh nuraninya.

”Bawa ini buat sangu, Nak!: kata Mbok Yem sambil menaruh gelang dan uang ke telapak tangan Ali Topan.

”Nggak usah, Mbok, nggak usah!” kata Ali Topan begitu tahu apa yang ada di telapak tangannya. Ia cepat memberikan gelang dan uang tersebut ke Mbok Yem, tapi Mbok Yem menolak.

“Mbok ikhlas, Nak…. Bawa deh, buat jaga kalo ada apa-apa nanti. Mbok ikhlaaas...” (halaman 45)


Subhanallah... puji Tuhan... Saya dapat merasakan betapa Ali Topan dicurahkan berjuta galon air kasih sayang yang iklas dari Mbok Yem, hal yang jauh berbeda dia terima dari orang tuanya. Demi menghargai bentuk sayang seorang ibu, akhirnya Ali Topan hanya mengambil uangnya saja sementara gelang emas itu diberikan kembali kepada si Mbok. Keputusannya tepat, dia tidak mau si Mbok kecewa, terlihat wajah Mbok Yem sedikit cerah karena pemberiannya ada yang diterima Ali Topan.

...Bersambung....


*untuk menghindari komentar ”Duoowooo tenan” maka saya rasa cukupkan sekian dulu. Tulisan berikutnya bagi yang masih penasaran dengan sosok AliT sopan.. eh Ali Topan ini, bagaimana bahasa prokem jakarta tempo 80an, bagaimana kisah investigasi Ali Topan, bagaimana reportase Ali Topan, bagaimana Ali Topan melakukan kritik sosial dan sisi lain dari Ali Topan, bisa ditunggu up load berikutnya*


Terimakasih telah bersedia membaca... mitrakasih :)


-Koelit ketjil-

Kota S, 13-14 Februari 2010

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!