Selasa, Februari 16, 2010

REPORTASE JALANAN II


-->


(SAMBUNGAN….sebuah catatan menikmati Ali Topan dengan cara gue!)


Saya merasa novel ATWJ ini bisa saja dijadikan rujukan sejarah untuk mengetahui kondisi kehidupan atau fenomena keluarga-sosial-budaya-politik Republik ini pada era 70an akhir dan awal 80an. Secara subjektif bisa saja saya katakan demikian karena saya memang tidak mengetahui bagaimana kondisi Republik ini pada era Ali Topan secara langsung dan kenyataannya saya memang dilahirkan di akhir tahun 1970an sementara di awal tahun 1980an jelas saya masih imut-imut dan lucu-lucunya (setidaknya saya pernah imut-imut), tapi semoga dengan kita membaca bersama maka akan terjadi kesimpulan-kesimpulan subjektif dalam pikiran kita yang pada akhirnya menjadi kesimpulan objektif (metodologi ilmiah macam apa ini!)


Ali Topan dan Fenomena Kondisi Keluarga

Ali Topan bukanlah satu-satunya korban dari keluarga broken home saat itu dan saya masih melihat fenomena ini sepanjang hidup saya maka bisa jadi hal ini masih tetap akan terjadi di masa depan, tiada maksud dalam diri saya untuk mendahului kehendak Tuhan, namun jika kita mau jujur, membuka mata, menajamkan pendengaran bisa jadi di dunia maya ini saja banyak sekali kecenderungan-kecenderungan yang mengarah pada penyebab fenomena broken home ini. Secara pribadi saya juga telah membuat beberapa tulisan saya yang bergaya serampangan (Putera Para Monster, Audi et Alteram Partem, Audiatur et altera pars, Menertawakan UUPKDRT Lewat Tontonan SSTI, Jalan Lantang). Kali ini saya berkata jujur bahwa sumber inspirasi tulisan tersebut adalah 70% fakta dan sebelum saya up load terlebih dulu saya mintakan ijin dari orang bersangkutan, selebihnya sekedar imajinasi saya belaka. Niatan saya tidak hanya sekedar menyajikan potret buram ini melainkan rencana besar saya yaitu; mari berdiskusi bagi kepentingan terbaik untuk anak-anak.


Harry membiarkan Ali Topan dalam kegalauan perasaannya sendiri. Ia sungguh heran. Ia banyak mendengar istilah broken home dan generation gap di Koran, tapi baru kali ini secara telak disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri buktinya. Sepasang mata Ali Topan berubah-ubah sorotnya. Redup dan garang saling bergantian. Tragik banget. (halaman 92)

Apakah kita harus tertampar secara telak seperti Harry, kawan akrab Ali Topan ini untuk mengakui adanya fenomena yang nyata-nyata ada di hadapan kita? Terkadang kita merasa harus iba, simpati atau empati terhadapa satu fenomena tragik yang jaraknya jauh dari diri kita, maka tepatlahkiranya pepatah lama mengatakan ”gajah di depan pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan jelas terlihat”.


Ali Topan berontak bukan sekedar ikut-ikutan generasinya tapi memang terciptakan dalam kondisi sedemikian rupa yang sangat tidak nyaman dalam kehidupan keluarganya. Mari kita menjadi saksi bagaimana sosok seorang Ali Topan ketika berada dalam rumah orang tuanya.


Kamar itu kamar pribadi, kamar perenungan. Poster ”A house is not a home” masih menempel di dinding ----- Deretan kaset-kaset Koes Bersaudara, The Beatles dan The Rolling Stones tertata rapi di rak kaca. Buku kumpulan syair Bob Dylan --- Dihidupkannya radio, Donna-donna Prambors Rasisonia memenuhi ruangan kamar. (halaman 17)

Remaja yang memiliki kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya bisa jadi akan menempelkan tulisan “Home Sweet Home” atau setidaknya kalimat manis itu selalu menempel dalam kalbunya, sehingga dia selalu kangen untuk pulang karena home adalah sebuah place atau space tempat kita tinggal dan kembali pulang, bukan sekedar bangunan house belaka!


Untuk menyakinkan diri akan pendapat ini, saya bahkan memerlukan membuka kamus Oxford yag tebalnya menandingi paha gajah itu. Di halaman 595 terdapat penjelasan mengenai;

Home/haum/ n 1 (a) [C, U] place where one lives, esp with one`s family (mungkin seperti ini terjemahannya; tempat dimana seseorang hidup/tinggal. Bahkan contoh kedua dari kata ini dalam penggunaaan kalimat saja sudah sangat sesuai sekali dengan gambaran kegalauan hati Ali Topan, “He left home (ie left his parents and began and independent life) at sixteen. Bisa jadi maksudnya adalah “Dia meninggalkan orang tuanya dan mulai mandiri ketika berusia enam belas tahun” mungkin demikian, but correct me if i`m wrong. Mari kita lihat apa definisi ‘house’ dalam kamus ini pada halaman 605.
House/haus/ n (pl~ s/ hauziz/0 1 [C] (a) building made for people to live in, usu for one family or for a family and lodgers. Kita bisa ketahui secara sekilas saja bahwa arti dari building adalah bangunan secara fisik, bukan begitu?


Keyakinan saya diperkuat lagi setelah membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia, JS. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, pada halaman 1183-1185 terdapat 52 frase kata yang dimasukan dalam istilah ”rumah” yang menarik 48 pengertian disitu kesemuanya menerangkan tentang bangunan fisik belaka seperti; rumah bordil, rumah jagal, rumah sakit, rumah jompo dan lain-lain, sementara sisanya; 3 merupakan bagian awal dari peribahasa, satu lagi menerangkan tentang rumah tangga.


Sejak pertama kali saya membaca ATWJ ini, terus terang saya sudah merasa tertohok oleh tulisan poster di kamar Ali Topan itu, karena sepengetahuan saya yang awam ini hanya pernah mendengar istilah ”home sweet home” itu pun diterjemahkan oleh warga Republik ini menjadi ’rumahku istanaku’ tapi ’a house is not a home’ baru kali ini saya temukan itupun dalam sebuah novel ini, fiksikah ini? Entahlah yang pasti saya pribadi merasa tertohok oleh slogan itu.


If children lives with acceptance and friendship
They learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
mereka belajar menemukan cinta dalam kehidupan)


Salah satu nukilan dari sebelas tawaran tulisan Dorothy Law Nolte ini, bagi gerakan perlindungan anak sering kali dianggap sebagai pedoman atau ‘kitab kuning’ bagaimana seharusnya orang dewasa yang mengaku sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya.


Hal ini senada dengan tulisan Heri Purwanto, dalam buku Pengantar Prilaku Manusia, halaman 25, “Pengaruh orang tua dan lingkungan masa kanak-kanak ini tidak berhenti pada masa kanak-kanak saja, tetapi berlangsung terus, kadang-kadang sampai seumur hidup, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman-pengalaman yang menegangkan, menakutkan dan menggoncangkan, membahayakan dan lain-lain.”

Muhibbin Syah dalam dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru memasukan dalam pengertian perkembangan itu dengan merujuk Dictionary of Psychology sebagai The Progressive and continous change in the organisme from birth to death, (halaman 42)

Ali Topan tidak menemukan figure yang tepat dari lingkaran terdekat dirinya, jika kita meninjau dari kacamata psikologi anak maka dalammasa perkembangannya anak akanmengalami fase identifikasi, dimana anak membutuhkan sesosok tokoh agar menjadi sama dengan orang lain itu. Masih dalam buku yang sama, Heri Purwanto lebih lanjut menerangkan “Pada anak, biasanya tokoh yang ingin disamai (tokoh identifikasi) adalah ayah dan ibunya. Dalam proses identifikasi ini, anak mengambil alih (biasanya dengan tidak disadari oleh anak itu sendiri) sikap-sikap, norma-norma, nilai dan sebagainya dari tokoh identifikasinya.” (PPM, halaman 26)

Ali Topan remaja sebenarnya adalah sosok yang wajar saja jika dia melakukan pencarian jati diri, hal ini juga dimahfumi dalam dunia psikologi.


“Dia sudah bertekad, sejak lulus SMA lepas pula ketergantungan ekonominya dari orang tua. Dia mau cari hidup sendiri. Dan hidup itu berarti makan, minum, rokok, tempat berteduh dan kemajuan pribadinya (ATWJ, halaman 21)


Muhibbin Syah masih dalam dalam bukunya yang sama memberikan karakteristik Tugas-tugas Perkembangan masa remaja, tepat kiranya pada point ke lima dan ke enam dalam pemaparannya;
5. Mencapai kemerdekaan/kebebasan emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya dan mulai menjadi seorang ‘person’ (menjadi dirinya sendiri).
6. mempersiapkan diri untuk mencapai karier (jabatan dan profesi) tertentu dalam bidang kehidupan ekonomi. (PPdPB, halaman 54) *loh kok.. tulisannya jadi sejenis skripsi gini ya??!!*
Itu sebabnya Ali Topan dipaksa menjadi kreatif dengan mulai bekerja apa saja; merangkai bunga pada kiosnya Munir, belajar menjadi fotografer diajarkan oleh kawan akrabnya, Harry bahkan mulai menjadi menulis artikel dalam surat kabar dengan bimbingan wartawan senior, GM! Lalu yang menjadi pertanyaan dalam diri saya pribadi adalah; ”Apakah Teguh Esha sebagai penulis, telah memahami dasar-dasar keilmuan psikologi dalam menciptakan karakter Ali Topan sebagai jiwa yang bebas ini, hingga bisa sedemikian berkesuaian dengan teori-teori psikologi?.


Rasa salut saya tujukan pada beliau yang mampu membuat tulisan sedemikian detail baik dalam hal imaging pembaca masuk kedalam lokasi yang dia gambarkan secara gamblangnya dari berbagai dimensi baik dari ukuran, aroma, arah mata angin, benda-benda berdekatan dengan objek, suhu ruangan, laju kecepatan bahkan dalam penggambaran gejolak batin (kejiwaan) yang berdasar pada keilmuan terkait. Jika saya lihat biografi singkatnya pada lembar terakhir buku ini, ternyata beliau pernah kuliah di tiga kampus berbeda dengan tiga jurusan yang berbeda pula; arsitektur, publisitik, dan ilmu sosial, namun sayangnya tak ada satu pun yang selesai. Luar biasa!


Konflik batin dengan orang terdekatnya yang nota bene sedarah dan sedaging dengan dirinya begitu hebatnya. Terutama ketika vis a vis dengan Ayahnya yang telah dia dakwa sebagai Ayah yang gagal karena telah mendasari hubungan Ayah-anak semata-mata hubungan kepemilikan, bahwa jika hubungan serupa ini tidak ada ubahnya dengan bisnis semata, maka berontaklah Ali Topan jika hubungan Ayah -Anak sekedar disamakan dengan urusan bisnis. (ATWJ, halaman 21)


Amarah yang tidak sepatutnya diluapkan oleh seorang Ayah pada anaknya jauh lebih tidak patut lagi dipertunjukkan ketika Ali Topan tengah bersama kawan akrabnya;

Pandangan matanya redup menatap sepasang mata ayahnya yang bersorot angkuh. “Konci motornya jugasudah Ik terima, tapi kamu lupa belum mengasihkan STNK-nya. Awas jangan kamu gadaikan surat itu, anak buajingan!” ucap pak Amir. Sambil meludah kearah Ali Topan. ”Cuiiih!”
Saddiss! Gumam harry spontan. Ia samapai bengong terlongong-longong mendengar ucapan dahsyat itu. Dipandangnya adegan ganjil antara ayah dan anak. (ATWJ, halaman 91)

(bersambung lagi..ahhh)
-Koelit ketjil-
Kota S, 14 Februari 2010

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!