Kamis, Februari 04, 2010

REPORTASE JALANAN


REPORTASE JALANAN


Pemuda di hadapan kami ini berperawakan standar saja, tidak terlalu tinggi, berkulit hitam legam, bisa jadi diperparah oleh paparan matahari dan tak tersentuh air sama sekali, bisa kuterka hanya terpaut beberapa tahun saja atau bahakan berselang bulan dengan usiaku. Potongan rambutnya botak dengan beberapa aksesoris pitak tersebar di kepalanya, mirip sekali trend potongan rambut yang biasa dikerjakan oleh Oknum anggota Kepolisian dan TNI dalam memberikan pelayanan potongan rambut gratis untuk tahanan mereka tapi tentu saja karena mereka tak pernah dilatih oleh instruktur dari penata rambut professional sekelas Rudi Hardi Suwarno, jadi yaa… setiap tahanan hanya bisa pasrah saja. Hey, siapa tahu model rambut seperti ini bisa menjadi trend rambut tahun 2010 atau tahun-tahun berikutnya? kita tak pernah bisa menebak alur maju-mundur trend masa kini bukan?



Kenapa saya tidak langsung mengambil kesimpulan mengenai pemuda di hadapan kami yang tengah menikmati sajian teh panas, kopi, susu jahe, pisang baker, ceker bakar, tahu mendoan dan sego kucing ala angkringan Jogja ini di sebuah sudut alun-alun Kota S. pengunjung dan penikmat kuliner lesehan di sebelahku meberikan kode kepada teman dekatnya dengan symbol membuat garis menyilang dengan telunjuknya tepat di dahinya, sebuah tanda yang kemudian diakui oleh umum bahwa orang yang dituju jelas-jelas orang gila, teman yg diberi kode itu cekikikan setelah melihat telunjuk itu.



Mari kita buktikan kawan-kawan!



Pemuda di hadapan kami (selanjutnya kusingkat menjadi PDHK) ini, sejak mendatangi kami yang duduk lesehan beralaskan tikar memang sudah mulai melakukan MONOLOG (sebuah seni pertunjukan teater seorang diri, seniman Butet Kerta Redjasa, ahli di bidang ini). PDHK berkicau tidak jelas awalnya, ini karena perhatianku separuh masih terhipnotis oleh Pencakar Langit karya NH Dini, namun lama kelamaan, kuperhatikan pertunjukkan Monolognya menjadi sangat menarik terlebih PDHK ini menyertakan seekor tikus kecil... yaaa, SEEKOR TIKUS KECIL!! Sebagai lawan mainnya. Seolah ramalan itu menjadi kenyataan malam ini: Parturient montes, nascetur ridiculus mus - Mountains will be in labour, and an absurd mouse will be born.


Mari kita perhatikan beberapa adegan PDHK yang sempat terekam dalam memori biologisku ini: ...................



Setting Panggung: Pinggir jalan, penonton berada di atas trotoar

Lighting: Lampu Penerangan Jalan Raya (LPJR)

Properties: Tiga mobil terparkir di sebelah barat, lima motor berjejer di timur, gerobak angkringan, di ujungtimur

Pemeran tambahan: tiga orang pelayan angkringan, seorang tukang parkir dan empat anak pengamen jalanan

Tata suara: suara kendaraan lalu lalang

Penata Musik: empat anak pengamen jalan


*PDHK muncul dari sebelah barat panggung, mengelapi mobil avanza hitam, mulai monolog dengan suara tidak jelas*



PDHK: ”Siapa...siapa diantara kita-kita ini yang paling kaya? Siapa yang paling kaya di dunia ini? Siapa?!”

*PDHK berbicara serius dengan tikus kecil yang di letakan di telunjuk kanannya, sesekali mengelus dan seperti mencium tikus kecil itu*



PDHK: *mengambil posisi jongkok lalu menaruh tikus kecil di aspal*

“aku ingin menjadi orang paling kaya sedunia semiskin-miskinnya… yaa! Aku ingin kaya semiskin-miskinnya!!”

*mendekatkan wajahnya kearah tikus kecil dengan mimik muka meyakinkan lawan bicaranya*



PDHK: ”Kamu tau teman kecil... aku ini orang kaya! Tapi aku tak pernah sombong kawan.. hey kau dengar tidak?!”

*mengangkat tikus kecil dalam genggamannya dan mendekatkan kearah wajahnya*



PDHK: ”Hey.. meski bentukku begini rupa, aku orang kaya loh! Sungguh! Aku orang paling sedunia semiskin-miskinnya.. yaaa.. orang paling kaya semiskin-miskinnya di dunia ini… Kau percaya bukan kawan?

*menganggukan kepala tikus kecil itu dengan jari telunjuk kirinya lalu menaruhnya lagi ke aspal, tikus itu tidak pergi sama sekali*



PDHK: *berdiri, merentangkan tangannya, menarik nafas dalam-dalam lalu tersenyum manis kearah tikus kecil*

”Hahhh... apa kawan?? Darimana aku bisa kaya katamu?

*badannya hanya sedikit membungkuk kearah tikus kecil*



PDHK: ”hahahaa.. baiklah! Akan aku ceritakan.. hhummm... aku menjadi kaya karena aku selalu menang judi...selalu! tak pernah aku kalah sekalipun! Kamu ingin tahu bagaimana aku bisa menang kawan?”

*kali ini posisi badannya jongkok mendekati tikus kecil*



PDHK: ”karena aku pandai berhitung kawan..dan kamu tahu siapa lawan-lawan judiku? Mereka semua orang bodoh! Yaaa..bodoh dalam berhitung, tak kenal sama sekali yang namanya M . A .T . E . MAAA . T . I . K . A!!

*tiba-tiba berdiri dan tertawa keras*


PDHK: ”hahahahaaa…hhahaa.hhaaa… aduhh.. sampai geli aku setiap kali aku selesai bermain judi dengan orang-orang bodoh BUTA MATEMATIKA itu! Hahahha..hahaa...”



PDHK: *mendekati telinga tikus kecil dengan posisi tidur*

”bagaimana mungkin mereka bisa menang judi kalau mereka tak kenal matematika... tak pandai berhitung! Sementara kamu tahu sendiri setiap permainan judi kartu kita harus pandai berhitung, itu syarat mutlak! Selebihnya yaaa... gertak dan strategi..kekekekekkkk..bodoh betul mereka itu!”

*menari-nari kecil dengan puas*



PDHK: ”Hahhh!! Apa??

*mengangkat tikus kecil dalam gengamannya*

“Hey teman kecil meskipun kita baru bertemu dan kita sudah berteman baik! Eh..looo...loohh.. masak kamu meragukan kemampuan berhitungku! Baik! Silakan kamu bertanya?”

*mukanya serius melihat kearah tikus kecil lalu tertawa singkat*



PDHK: ” bahh!! Kalo Cuma sekedar tiga kali tujuh itu sih mudah! Yaa dua puluh satu lah.... empat kali tujuh mah dua puluh delapan...

nah kalo lima kali tujuh, jelas tiga puluh lima! Ato begini saja kuberitahu kau bahwa delapan kali tujuh itu sama dengan lima puluh enam..

ato kuberi tahu yang lebih sulit lagi lima belas jika dikalikan dengan lima puluh maka sama dengan TUJUH RATUS LIMA PULUH!!

Bagaimana kamu masih meragukan aku?

*seolah menunggu jawaban tikus kecil dengan posisi satu tangannya berkcak pinggang*



(aku sampai harus memastikan hasil perkalian itu dengan mengambil handphoneku dan mengatur mode menjadi kalkulator...ternyata tepat!)


*empat anak pengamen jalanan masuk panggung ; satu anak memainkan gitar kecil (kencrung),satu memegang botol yakult berisi pasir, dua lagi menyanyi sambil bertepuk tangan sementara PDHK tetap melakukan monolognya. Hadirnya pengamen ini seolah membuat suara PDHK menjadi fade out*


Pemusik: “ masuk hidup di jalanan sejak aku dilahirkan… tembok putih jadi saksi..kami hidup di jalanan… penuh dengan kekerasan… penuh dengan pemerasan yang merajalela dijalanan…yang meraja lela di jalanannn….”

*seorang pemusik mengulurkan bungkus plastic agak besar bekas permen*


(kebetulan aku masih hafal lagu yang biasa kudengar ketika bercengkrama dengan kawan-kawan jalanan di Jogja itu tapi ketika aku request lagu GARUKAN dan DARAH JUANG para pemusik saling bertatapan, mengangkat dagu mereka sebagai tanda minta konfirmasi lalu menjawab tidak hafal..sedikit kecewa memang tapi tak apalah, toh, aku juga tengah menjadi penikmat seni monolog PDHK saat ini)



PDHK: *menatap sinis kearah para pemusik karena salah satu dari mereka menggoda tikus kecilnya*

Apa liat-liat hahh ?!! biar tikus begini dia kawan aku... dia mau berbicara dengan aku! Kalian apa pernah mau ngobrol dengan aku hahhh!!”


*tukang parkir datang melerai mereka*


T Parkir: ”Heyy!!heyyy!!.. jangan ribut disni! Ayo pada pergi! Ganggu yang lagi makan saja! Pergi sana!!”

*mengusir para pemusik dan PDHK lalu tersenyum-senyum kaku kearah pengunjung, mungkin sebagai tanda pemakluman*



(dalam hati aku justru mengutuki tukang parkir itu karena telah mengganggu pementasan monolog PDHK, kulihat PDHK misuh-misuh kearah tukang parkir sambil beranjak pergi. Sialan!)



PDHK: *sambil ngeloyor pergi meninggalkan panggung jalanan*

Hey tukang parkir sombong! Aku lebih baik mengurus lima ratus tikus daripada ngurus kamu! Gak berguna! Hayooo siapa yang mau mengurus tikus? Hanya aku tau! Kalo perlu aku kan mengurus tikus yang ada di seluruh dunia! Percuma kalian jadi orang kaya tapi Cuma mentingin perut sendiri!

*setelah menendang motor kawazaki ninja, PDHK pergi sambil tetap melakukan monolog berjalan... fade out..*



Wooowww!!!! Betapa aku telah disuguhkan satu pertunjukkan monolog terbaik yang pernah aku lihat! Seniman Butet Kertaredjasa saja kalah kuat kehadiran dan keaktorannya ketimbang Pemuda di hadapan kami (PDHK) tadi itu! Teriakan terakhirnya itu membungkam kesombongan kita; Non Gradus Anus Rodentum! Bahkan kita tak lebih baik dari pantat tikusnya! Melihat pertunjukkan monolog live dari PDHK itu aku jadi teringat ketika masih di Jogja dengan nuansa budaya dan seni yang begitu kental, pernah juga sempat berproses dengan seniman Perancis dan belajar dari dia tentang teater jalanan yang sering dia lakukan selama di Perancis, negaranya itu. Teater jalanan atau teater forum memang tidak asing untuk kalangan seniman Eropa yang sering dipertunjukkan ditempat-tempat umum seperti jalanan, alun-alun kota, metro (kereta bawah tanah) dengan skenario seadanya sesuai dengan kondisi lapangan. Di Jogja yang aku tahu hanya Teater Garasi dan Teater Gardanala yang pernah coba menerapkan metode teater jalanan atau teater forum ini.



Bahkan Joned Suryatmoko dari Teater Gardanala pernah mementaskan sebuah pertunjukkan dengan Judul ”Jalur 17” yang dipentaskan betul-betul diatas sebuah bus angkutan umum Jalur 17 di Kota Jogja, yaa meskipun setting, properties, musik (pengamen bus) bahkan penonton sudah mereka setting tapi yang baru saja kutonton ini adalah pertunjukkan monolog agung langsung tanpa setting sedikitpun oleh sutradara yang berwujud manusia...kali ini SANG SUTRADARA tak dapat kita lihat... entah berada di bagian mana dari panggung ini... panggung kehidupan yang sedang kita perankan bersama ini!



Malam ini dari sudut alun-alun Kota S, tepat di seberang sebuah kompleks pendidikan dari Yayasan Mardi Yuana (dahulu ketika masih SMP, aku dan kawan-kawan dekatku pernah mengunakan cat semprot mencoret huruf D pada plang kompleks sekolah itu sehingga terbaca menjadi ”TK, SD, SMP, SMA MAR*I YUANA”). Malam ini yang kurasakan menjadi begitu sentimentil namun menghentak keras, realistik tapi terbaca absurd, seolah aku berada pada batas antara nyata dan imaji!




Betapa tidak kawan-kawan.... sebelum PDHK itu hadir, aku tengah membaca Pencakar Langit karya penulis favoritku; NH. Dini, gaya penulisannya yang begitu detail seolah membawa kita pada venue yang tengah digambarkan oleh NH Dini dan menculik kita lalu menelantarkan tepat berada di tengah-tengah Kota Manhattan. Merasakan kebisuan dini harinya di sela-sela ratusan gedung-gedung pencakar langit, bergentayangan pada Jalan ketujuh (7th Street) dari satu tong sampah plastic ke tong sampah berikutnya terus menyusuri jalan menggigil kedinginan sampai pada jalan ketiga (3rd Street) hanya untuk mengais-ngais sisa-sisa makanan berebut dengan tikus-tikus agar perutku tidak mendendangkan konser keroncongan dan merasakan kebahagiaan yang teramat sangat ketika menemukan pakaian tebal dengan robek di bagian ketiak karena tubuh menggigil ini sangat membutuhkan kehangatan tanpa pembakaran kalori dalam tubuh sama sekali. Betapa aku tertohok oleh adagium: Non est vivere sed valere vita est bahwa kehidupan tak sekedar hidup belaka melainkan dalam keadaan [lebih] baik


Lalu lewat tulisan NH Dini ini seakan aku turut merasakan tamparan angin pagi hari pada wajahku dari tempat tertinggi ujung gedung World Trade Centre (WTC) yang terkenal itu. Aku pun tiba-tiba merasakan tubuhku begitu lemah tapi harus terus bergelayutan pada huruf-huruf perangkai kata nama gedung lambang supremasi ekonomi Amerika ini, di dalam gedung ini isi kepala manusianya sama, yaitu; Pecvniate obedivnt omnia - All things obey money. Money makes the world go round. Kemudian tiba-tiba kesadaranku terhenyak dan niatku bunuh diri dengan terjun dari gedung WTC ini menjadi gagal total karena seorang keponakanku tiba-tiba hadir dipuncak gedung itu setelah melihat aksi nekadku lewat televisi, dan lebih gilanya lagi keponakanku itu bahkan ikut-ikutan nekad akan terjun jika Polisi, Petugas Pemadam Kebakaran dan Pendeta melarang dirinya mendekat kearahku, pamannya yang depresi berat tanpa pekerjaan sementara beban hidup dan peluang semakin mencekik.



Bahkan lewat penggambaran detail oleh NH Dini, aku seolah betul-betul menjadi seorang anak miskin yang mempunyai seorang ibu tengah sakit-sakitan hingga untuk membuang air besar saja harus berlari kearah gedung tidak terpakai tanpa harus repot menyiram kotoran. Sampai-sampai aku seolah tak kuasa menahan diri ketika hendak di bawa kedalam ambulan lalu puluhan orang memakiku hanya karena aku tidak jadi bunuh diri. Kalian tahu kawan-kawan, betapa mereka murka hingga aku persis betul-betul merasakan sakitnya terjatuh dari brankar (ranjang dorong biasa ada dalam ambulan) hanya karena aku telah dijadikan OBJEK TARUHAN mereka, tepat ketika aku berjuang antara harus bunuh diri atau harus terus menjalani hidup, mereka menjadikanku serupa bahan perjudian hidup-matiku.



Sampai-sampai aku harus menangis ketika keponakanku yang turut nekad hendak akan terjun bersama, didalam ambulan bertanya dengan polosnya; ”Mengapa mereka menyebut kita anjing Portoriko, Paman Jack?” (Pencakar Langit, NH Dini, halaman 21). Perempuan penulis dahsyat kelahiran Kota Semarang, 29 Februari 1936 ini memang pantas menduduki jajaran penulis dahsyat yang pernah dimiliki jagad Sastra Indonesia. Membaca Pencakar Langit berulang berapakalipun emosiku tetap sama, sambil sesekali kulayangkan kutukan bagi kawan-kawanku yang tidak mengembalikan novel-novel NH Dini koleksiku terbaikku, entah kemana ”La Barka” ku, ditangan siapa aku lupa ”Pada Sebuah Kapal” itu, kusesali meminjamkan ”Namaku Hiroko”, ”Pertemuan Dua Hati” pemberian seorang kawan ’dicuri’ kawan yang lain, ”Padang Ilalang di Belakang Rumah Kami” juga dibabat entah oleh siapa. Seolah Publius Syrus berbisik langsung di telingaku; “Occasio aegre offertur, facile amittitur, bahwa keberuntungan datang dengan penawaran manisnya begitu sulit tapi kehilangan itu seperti menjetikkan jemari! Ctiiikk!!




Entahlah apa kesimpulan pembelajaran malam ini yang bisa kutangkap karena aku masih tergagap-gagap dengan kesamaan benang merah yang telah NH Dini tuliskan dan pementasan monolog karya SANG SUTRADARA hidup yang baru saja dipertunjukkan di depan hidungku. Betapa persinggungan kesamaan itu begitu nyata; ada manusia yang sama-sama harus berbagi makanan dengan tikus, bahwa hidup mereka menjadi taruhan pada meja perjudian, bahwa ada si kaya dan si miskin, bahwa saat itu juga aku mendapatkan kabar dari seseorang yang memberi kabar bahwa ’keponakanku’ sudah berangsur pulih dari sakitnya sementara NH Dini menghadirkan seorang keponakan yang memulihkan kesadaran seorang Paman Jack agar tetap menjalankan hidupnya.



Biar proses pembelajaran yang kudapatkan malam ini menjadi kesimpulan yang perlu kucerna lagi karena aku harus bisa membedakan mana diantara keduanya; apakah melodi sentimentil ataukah kerasnya hentakan hidup yang tengah kudengarkan lewat hatiku? Ataukah pementasan monolog inilah yang justru absurd ketimbang realitas hidup yang telah direportasekan NH Dini lewat sebuah jalan di Amerika sana, sementara aku di pinggirjalan ini hanya menjadi penikmat teh panas dan belajar sendiri saja dari Kampus Alam termegah ini...

Seneca pernah berujar; Non scholae sed vitae discimus - We do not learn for school, but for life……dan bagiku the greatest university is universe!


-Mitrakasih-



Koelit Ketjil

-Reportase Tengah Malam dari sebuah sudut alun-alun Kota S-

* 3 Februari [22.30(an)] – 4 Februari [02.20]. masih di Tahun 2010 *


sengaja aku tidak ambil gambar saat PDHK ber-monolog karena bisa jadi nyala blitz akan membuat dia marah

2 komentar:

  1. pengalaman yang menarik sekali dan pandainya memadukan dengan review tulisan NH Dini. Bravo!

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!