Senin, Februari 28, 2011

Titising Hening

“Jatuhan sah untuk sudut biru!!!” menggema seantero gedung Gelanggang Remaja dari pengeras suara milik pengawas pertandingan, disambut teriakan riuh para supporter menambah semangat bagi Arya untuk kembali mencari point. Penuh suka cita tercermin lewat senyum kemenangan, Arya menyambut tanda yang diberikan wasit pertandingan; tangan kiri menunjukkan jempol yang mengarah kebawah kehadapan lawannya dan tangan kanan memberikan petunjuk bahwa Arya yang telah berhasil menjatuhkan lawannya. Jurus bantingan karung dia keluarkan setelah lawannya melakukan tendangan sabit yang keras namun berhasil diantisipasi oleh Arya lewat cengkraman kuatnya ketika kelebatan tendangan mengarah rusuknya dengan sigap dia tangkap menggunakan lengan kiri lalu kemudian disusul lengan kanannya mengincar bagian pinggul lawannya, kaki kanan turut menyapu kaki penumpu tubuh lawannya kemudian dia angkat sambil sedikit memutar tubuh lawannya yang terpelanting dan bummm!!

Seperti seonggok karung berisi beras, lawannya jatuh berdebum kesakitan. Arya masih mengingat betul instruksi dari pelatihnya mengenai prinsip bantingan, yaitu; tangkap-angkat-sapu-hempas. Empat point sudah dia kantongi dalam satu tindakan, tepuk tangan suporter dari sekolahnya belum juga berhenti semakin memberikan gairah semangat bagi dirinya. Pandangan mata melirik kearah pelatihnya di sudut gelanggang matras, tanda jempol diacungkan kearahnya.

Suara peluit menghentikan pertandingan babak pertama. Kedua pesilat kembali ke sudut masing-masing, merah dan biru. Kedua pelatihnya memberikan arahan singkat yang harus dia lakukan pada babak kedua. Tiga, empat strategi sekiranya disarankan oleh pelatihnya tetapi Arya tidak sepenuhnya mendengarkan arahan-arah itu. Matanya masih liar menyapu sekeliling gedung Gelanggang Remaja ini, masih belum juga tertemui yang ditunggu ketika berharap matanya bertumbu pada sebuah sosok. Pacu adrenalin, denyut ringan pada tulang kering, buku-buku jemari dan lengan akibat beradu fisik serta yang terakhir harap-harap cemas penantian bercampur aduk dalam dirinya. Kepalanya merasakan sensasi segar guyuran air yang mengembalikan konsentrasinya untuk kembali bertempur. Suara peluit kembali bergema, Arya telah berubah menjadi sesosok yang jauh berbeda dari kesehariannya, aura fighter meledak menyelimuti sekujur tubuh.

Ditentangnya pandangan mata pesilat di hadapannya, rasa sakit dan malu akibat bantingan tadi seolah berubah menjadi dendam pembalasan, Arya harus waspada kali ini, wasit memberikan aba-aba bagi kedua pesilat untuk saling menyerang. Tenang saja, Arya melakukan kembangan dari batas lingkaran gelanggang bergerak mendekati lawannya, senyum dingin khasnya kembali ditusukan kearah lawan, senyum yang diakui oleh lawan dipertandingan sebelumnya sebagai senyum menakutkan, menggetarkan nyali siapapun bagi yang sedang berhadapan di tengah gelanggang, menciptakan ciut dan membekukan segala kemampuan hasil gemblengan latihan berbulan-bulan, setidaknya itu yang diakui oleh Sapto, lawan tanding sebelumnya yang dia kalahkan lewat Techinal Knock Out, setelah menerima bantingan dari Arya.

Kuda-kudanya ringan namun mantap, tangannya selalu saja sengaja dibiarkan tidak memberikan perlindungan bagi tubuhnya yang menjadi sasaran serang penghasil point bagi lawan tanding, sebuah undangan yang menantang. Lawannya menggertak menggebrak matras dengan telapak kaki, Arya tetap tenang dengan kuda-kudanya. Serangan pertama berupa pukulan jab lurus mengarah dadanya dengan mudah dia elakkan sambil cepat melancarkan counter sabit kearah rusuk lawan. Buukk!!! Body protector seolah meledak akibat dobrakan kaki kanannya. Juri segera menghitung dua point bagi Arya. Lawannya kembali melakukan reaksi dengan tendangan depannya namun sia-sia, bukan jarak serang, dengan cepat Arya merebahkan tubuhnya menempel matras, tubuhnya berotasi, kakinya menjulur mengarah pada tumpuan tubuh lawannya, rupanya sang lawan tak kalah tangkas, tubuhnya melanting ringan lalu langsung melancarkan tendangan rendah kearah tubuh Arya yang masih merebah di matras, beruntung lengan kanannya sigap membuat proteksi tangkisan, jurus circle memang mengincar kaki tumpuan tapi rumus bakunya adalah tangan kanan harus siap mengantisipasi serangan lawan. Bakkkk!! Tangan kanannya beradu dengan ayunan kaki, pelatih Arya mengaum mengajukan protes. Pelanggaran cukup serius bagi pesilat yang menyerang lawan tandingnya yang sedang berada di posisi melancarkan tendangan circle rebahan. Wasit memperingatkan pesilat lalu telunjuknya melayang keatas, pertanda potongan satu point bagi pesilat.

Arya kembali menyeringai dingin, tangannya belum merasakan rasa sakit memang, endomorphin dalam tubuhnya berfungsi sebagai pain killer saat ini, mungkin nanti malam menjelang tidur atau pagi hari barulah terasa. Pelatihnya memberikan arahan-arahan dari sudut sana, perhatian Arya terpecah ketika dia melihat-lihat sekelliling gedung, wasit memberikan aba-aba bagi kedua pesilat agar saling mendekat menuju titik pusat gelanggang. Arya masih belum juga menemukan yang dia cari. Wasit memanggil Arya dengan isyarat tepukan tangan untuk mendekat, rupanya Arya masih larut dalam pencariannya sehingga tidak fokus dalam pertandingan. Teguran wasit hanya ditanggapi dengan sedikit tundukan kepala dengan kedua telapak tangan yang bersatu sebagai isyarat maaf.

Satu tendangan depan menusuk ulu hatinya, Arya tak sempat mengelak, tubuhnya limbung terdorong beberapa jarak kemudian disusul sebuah tendangan belakang memutar yang tak dapat diantisipasi, Arya terjerembab jatuh. Gelora teriakan suporter lawan sebagai penanda Arya kehilangan banyak point, kali ini Arya disodorkan isyarat jempol menukik kebawah dihadapannya dari Wasit, Arya mengerang bukan sakit fisik, hatinya serasa terbakar oleh kekeh puas lawannya yang berhasil menyarangkan dua tendangan telak bahkan berhasil meruntuhkan kuda-kudanya. Kedua pelatihnya dengan geram memberikan arahan pada Arya yang juga tidak mau menengok kearah mereka.

Mau tidak mau akibat serangan tadi sempat membuat dirinya down, emosinya tidak terkontrol, matanya nanar membidik korban, Arya melesak melancarkan serangan, pukulannya hanya memukul angin dan tendangan sabit hampa, sedetik kemudian.. buuuumm!!! Tubuhnya kembali berdebam menghujam matras, kali ini balasan bantingannya jauh lebih keras, kepalanya terasa berat, pandangan mengabur, seolah lampu-lampu penerangan dan exhaus fan pada atap gelanggang berjumlah tiga kali lipat dari jumlah seharusnya, badannya melemas. “Petarung yang emosional adalah pecundang sesungguhnya! Camkan itu!” petuah pelatihnya bergaung keras, memudar bersamaan dengan kesadarannya.

Kilatan potongan kenangan tiba-tiba meruak.

Arya melihat dirinya meringkuk di sebuah sel Kantor Polres depan sekolahnya hanya karena dia tak tahan diejek oleh kawan sekolahnya ketika dia terkalahkan dalam acara balapan liar trek lurus di kompleks stadiun Kota S. Balapan itupun dipicu oleh hal sepele, memperebutkan hati seorang perempuan, tapi baginya hal tersebut bukan hal sepele sama sekali, tragisnya kekalahannya justru akibat perayaan kemenangan yang prematur, belum lagi sampai pada garis finish, Arya sudah melakukan selebrasi dengan membalikkan badan hanya untuk menunjukkan jari tengahnya kearah pesaingnya yang tertinggal beberapa meter di belakang tapi sial dia tidak memperhatikan seekor kucing yang sering kali melintas dari timbunan sampah, akibatnya motor yang tengah melaju kencang itu menabrak bak truk sampah kuning. Tiga hari masuk rumah sakit, hari keempat kembali sekolah, hari yang sama masuk sel Polres karena memukul kawannya yang mengejek kekalahannya.

Ayahnya sudah muak berurusan dengan Kepolisian hanya untuk mengeluarkan Arya yang terlampau sering membuat onar, minggu kemarin soal balapan liar, minggu sebelumnya bikin masalah akibat teler di depan sekolah, tiga hari sebelumnya merusak motor guru matematika yang terkenal killer, belum lama setelah itu tawuran dengan sekolah teknik musuh bebuyutannya. Ayahnya sempat mengira ini adalah buah karma kelakuan masa mudanya yang hampir persis sebagaimana dia pernah lakukan bersama Si Roy, partner in crime, kawan gejolak masa mudanya yang telah melegenda seantero Kota S.

Kenakalan dan sifat palyboynya kali ini terkena batunya, hobby usilnya kembali muncul saat melintas di hadapannya seorang gadis bertubuh ramping, padat berisi dengan mengenakan topi sport yang menyembulkan rambut hitam sebahu dari lubang bagian belakang topi itu. Teguran usilnya tak berbuah respon dari gadis itu, semakin penasaran Arya memacu perlahan motor matic modifikasinya untuk mengejar gadis manis yang tengah jogging sore itu di kawasan stadiun tempatnya nongkrong. Manuver mengangkat ban depan motornya dia tunjukkan untuk menarik perhatian, masih juga belum berhasil, gadis itu masih asyik berlari santai sambil mendengarkan musik lewat ear phone. Kali ini Arya melintas perlahan di samping sang gadis sambil tiduran diatas sadel, sang gadis justru mempercepat langkahnya. Tak habis akal, atraksinya jauh lebih nekat, dia mengangkat ban depan sambil memutari sang gadis yang mau tidak mau berhenti, Arya tersenyum santai sambil melempar hormat gaya militer melihat sasarannya akhirnya mengakui keberadaannya tapi begitu ban itu menyentuh aspal, sang gadis dengan cueknya kembali jogging.

Tambah naik pitamlah Arya, dia memacu motor melewati beberapa puluh meter lalu kemudian berputar berlawan arah menuju sang gadis, Arya menambah kecepatan, sang gadis di hadapannya menghentikan langkah, Arya semakin mendekat tanpa mengurangi kecepatan lalu tiba-tiba menekan rem mendadak menciptakan manuver motornya berdiri menungging dengan ban depan sebagai tumpuan. Gadis ini tidak gentar, sebelum motor itu menyentuh kulitnya tiba-tiba kakinya menendang keras sehingga Arya kehilangan keseimbangan dan terjatuh, sesungguhnya Arya pun sudah memperkirakan motornya akan berhenti tepat beberapa senti di depan sang gadis.

Kawan-kawan genknya mendekat, membantu Arya, seseorang diantara mereka ada yang emosi dan meminta ijin Arya untuk menabrak dari belakang tapi Arya melarang karena dia sudah terlanjur jatuh hati oleh seorang gadis yang baru saja membuatnya jatuh dari motornya. Arya berteriak kearah sang gadis, yang dituju menengok sedetik, Arya melemparkan tanda ciuman, sang gadis melenggos cuek tapi Arya cukup puas terlebih dia mengenali badge kecil di celana training gadis itu, lambang sebuah perguruan pencak silat yang kebetulan menjadi salah satu kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya.

Perjuangannya melacak keberadaan sang gadis berbuah hasil, lewat adik tingkatnya di sekolah didapatkan info bahwa perguruan pencak silat tersebut berada di beberapa sekolah. Sudah beberapa sekolah yang dia lacak, pertama sekolahnya tentu saja, tapi tidak ditemui gadis itu, lalu MAN 2 Kota S, hasilnya nihil! SMA BT juga tidak ada! SMK Negeri 1 juga tak terlihat batang hidung imutnya, sampai pada gerbang sekolah yang paling dia benci, SMK Negeri 2 alias STM! Arya sempat menimbang-nimbang apakah harus masuk sarang macan ini atau pergi tanpa hasil? Desakan rasa rindunya mengalahkan kekhawatirannya, dia memasuki sarang macan itu sendiri saja tanpa kawan-kawannya.

Baru saja dia memarkirkan motornya tiba-tiba segerombolan anak mendekatinya, tanpa ada permisi dan aba-aba, mereka telah menggeroyok Arya. Dua, tiga orang terjengkang jatuh akibat pukulannya, dua orang lainnya menyergap dari belakang lalu mengunci tangannya, anak yang semula terjatuh kini dengan leluasa menyarangkan bogem mentahnya di bagian ulu hati Arya, kemudian mukanya terhempas ke kiri akibat tinju dari arah kanan, disusul tendang kearah perut dan yang terakhir balok kayu mendarat di kepalanya. Arya tersungkur bersimbah darah namun hal itu tidak menghentikan mereka untuk menendangi tubuh Arya. Gadis idaman Arya muncul menghentikan gerombolan itu, mereka menolak bahkan salah satu dari mereka mendorong gadis itu. Sang Gadis kembali maju tapi sayang pipi halusnya terkena tamparan! Anak yang menampar tadi harus menerima ganjaran yang setimpal, pukulan telak mendarat di dadanya, menghentikan sejenak detak jantungnya dan terbatuk-batuk. Satpam sekolah datang, gerombolan liar itupun lari tunggang langgang

Gadis manis itu yang merebut hatinya, gadis itu pula yang mengajarkan arti mengelola emosi lewat gerakan silat dan olah napas. Gadis ini yang membuatnya jatuh cinta pada tiga hal; pencak silat, kesabaran dan gadis itu sendiri tentunya.

“Satu...duuaaa....tigaaa... empatttt....” citra sang Wasit perlahan menjernih, gerakan tangan menghitung itu belum dia sadari. “Tujuh... delapan” Wasit menghentikan hitungan sejenak memberikan kesempatan bagi Arya untuk bangkit. Ucapan wasit tidak sepenuhnya dia pahami. “Aryaaa.. ayo bangkitttt!! Ayooo Aryaaa!! Kamu harus bangkit! Kamu harus kembali mengejar point. Bangun Aryaaaa!!!” suara itu.. teriakan ituu.. yaaa.. ini yang Arya tunggu sedari tadi. Seolah hempasan ombak semangat berdebur di dalam dadanya, darahnya mendesir, jantungnya berdetak penuh gelora. Arya kembali berdiri tegap dalam kuda-kudanya. Menghirup napas dalam-dalam, menyimpannya dalam perut dan membiarkan kundalini mengolahnya menjadi energi. Aku siap! Mungkin itu yang dia ucapkan dalam bahasa diam lewat kuda-kuda kukuhnya di hadapan wasit.

KK. 25-26.02.2011

-dari salah satu sisi Stadiun Kota S-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!