Jumat, Juni 12, 2009

OEMAR BAKRI BERTEATER KEMBALI!



-mengenang proses KLINIK SENYUM -

Gairah berkesenian teaterku kembali bergeliat setelah berkunjung pada kawan lama, banyak kesamaan antara aku dan kawan satu ini, -semuanya berawal dari pertemuan pada sebuah kota yang bernama JOGJAKARTA, diantaranya; sama-sama mantan mahasiswa dari Propinsi B tepatnya Kota S yang kuliah di Jogjakarta, kampus yang sama pula! Bernaung di satu atap kos terpencil yang sama di tengah-tengah sawah-sawah –hampir mirip sarang penyamun, begitu komentar setiap kawan-kawan yang berkunjung ke kos kami, sama-sama aktif pada sebuah LSM advokasi HIV-AIDS untuk anak jalanan, waria, PSK, gay dan lesbian, sama-sama menyambung hidup dengan cara mengamen disepanjang jalan Jogjakarta jika tanggal tua, -dalam hati kami sering menyanyikan lagu plesetan “HAMPIR MATI DI JOGJA, ketika kiriman tak tiba….” sama-sama sering berkostum serba hitam, sama-sama berguru teater dengan seniman ‘gila’ asal Perancis; Alain Papin (baca; Alang Papang!) dan kesamaan terakhir, ternyata kami ditakdirkan menjadi kaum Oemar Bakri! (alias Guru), kembali mengabdi pada kampung halaman kami di Propinsi B Kota S, hanya bedanya kawanku ini menjadi Guru kesenian di sebuah SMK, sementara aku hanya ‘asisten Guru’ di sebuah Universitas.


Atas banyak kesamaan ini maka sangat mudahlah benih-benih ‘percintaan’ kami mulai tumbuh kembali. Dia ambil resiko untuk `berselingkuh` mengabaikan istri dan anaknya, `bermesraan` denganku, mengumbar `sahwat` dan `gelora purba` kami pada sebuah gubuk persitirahat di belakang rumahnya diantara tanaman singkong, pepaya, jambu, kami `bercinta` dalam dunia seni! Bukan dunia sex! Bukan! Tidak sama sekali! Menikmati kembali setiap detik deru nafas kami yang tersengal ketika bahasa seni menggelora, jauh lebih nikmat dari sex, setidaknya itu ungkapan kawanku yang telah mengimplementasikan `gelora purba`nya pada sang istri. Aku hanya bisa menduga saja, tanpa bisa merasakan komparasi itu, yang kuketahui hanya nikmatnya `bercinta` di dunia seni, sial!


Selepas magrib perbincangan kami sekedar basa-basi keparat! Rutinas kerja, permasalahan rupiah di kantong, politik, kontruksi sosial blaa..bla..blaa, betapa keparatnya! Ketika teh NASGITEL; paNAS, Sepet, leGI tur kenTEL (parameter kenkmatan teh khas Jogja) dan singkong rebus mengepul di sajikan sang istri, topik perbincangan bergeser pada dunia filsafat. Oh My God! betapa telah lama aku tak dapat lawan tanding dalam perbincangan seperti ini, tapi aku terkapar, K.O oleh kedalaman pikirnya! Socrates, Plato, Aristoteles, Heraclitus, Anaximenes, Spinoza, Karl Max, Nietsczhe, Hegel, Freud, Sartre, Al Ghazali, St. Agustinus, Kahlil Gibran dan beratus nabi filsafat yang duduk teratur dalam otaknya dan keluar berbaris rapi lewat mulutnya memukuli jidatku satu persatu yang di dalamnya hanya berisi FILSAFAT PANCASILA! Kepa#*$ sekali bukan? Bentuk apologizeku; ”yang aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa!” Hahahaha, pasti Socrates marah besar jika malam itu hadir karena petikan ucapannya hanya kujadikan tameng. Keparat bukan?


Teh NASGITEL tandas, sisa beberapa potong ubi rebus menggoda untuk dilahap, maka pada ronde kedua dihadirkan kopi hitam dengan pasangan rokok kretek berplat kuning dengan nomor seri 234, mantap! Kepalaku berdenyut mendengarkan segala sesuatu berbau filsafat. Terus terang aku belum siap saat itu kawan! Kualihkan perbincangan kearah kerinduanku pada sebuah dunia bebas merdeka; TEATER! Gayung bersambut, ember berisik, sikat berambut! (apa cobaaa, kacau). Matanya berbinar-binar karena kawanku ini selain kesulitannya dalam mengajar mata pelajaran kesenian tapi juga ada rasa rindu saat di Jogja pada masa-masa berguru dengan Master bahkan Doktor Teater berkebangsaan Perancis, menurut pengakuan ’Sang Guru’ sih S1 hingga S3-nya ubek-ubek di dunia teater belaka di Perancis sana! Wallahu alam bissawab, deh.


Kawanku ini meminta naskah-naskah teater untuk anak atau remaja karena dia tahu aku dan kawan-kawan Komunitas Seko Nol pernah terlibat berproses teater dengan anak-anak korban gempa Jogja. Kuceritakan beberapa penggal proses berkesenian dengan anak-anak korban gempa itu, mengingat aku dan kawan-kawan lain yang sama berguru pada mahluk unik asal Perancis itu hanya diajarkan teater alam, teater forum dan teater jalanan maka kamipun dalam memfasilitasi proses kesenian dengan anak-anak itu, yaa dengan metode yang sama pula. Tanpa patokan naskah kaku karena semua dialog, gerakan, musik bahkan kostum sepenuhnya anak-anak itulah penciptanya, kami sekedar memfasilitasi saja dalam project kami; KLINIK SENYUM yang mendapat dukungan kawan-kawan Australia (Emily, Monique n friends), Inggris (Jeanny n Circle), Afrika Selatan (Reinhane) dll. Semboyan kami; KITA SEMUA BERGEMBIRAAA!!


Project berkesenian dengan metode sederhana namun berkekuatan luar biasa itu sangat efektif dilaksanakan pada beberapa titik desa (setidaknya ada 5 desa) yang kami dampingi dalam proses kesenian di lokasi gempa itu. Terlebih kami merasa berguna bagi mereka ketika para orang tua anak-anak itu menceritakan betapa drastisnya perubahan psikologis pada anak mereka yang semula mengalami trauma berat setelah mengalami goncangan gempa kini menjadi anak seperti sediakala, bahkan mereka betul-betul melupakan bahwa tempat yang sekarang mereka gunakan berproses teater; mencipta dialog, mengatur gerak, merancang kostum dari dedaunan sekitar, bermusik dari kaleng bekas-sendok atau apapun yang mereka temukan dan kegiatan lainnya, tempat itu dulunya adalah rumah mereka yang kini hanya bersisa lantai saja tanpa dinding dan atap. Awalnya mereka meratapi rumah mereka yang hancur kemudian menjadikan dunia baru yang mereka nikmati ketika berproses, masih pada titik yang sama!



Kali ini kawanku yang terpukuli jidatnya karena tidak turut menikmati proses itu, dia lebih dulu di `deportasi` dari Jogja setelah wisuda. Kuceritakan lagi, tak hanya itu; bahwa bibit pergerakan teater pada desa-desa di Bantul-Jogjakarta masih terus tumbuh, bergerak, ber-revolusi, progresif dan dahsyat (setidaknya dalam penilaianku) dilakukan oleh kawan-kawan Kasongan. Terbukti pergerakan teater desa yang masih mengadopsi teater alam, teater forum dan teater jalanan ini masih tetap hidup setelah aku yang di `deportasi` dari Jogja. Bangga kuterima kabar, ternyata kawan-kawan masih melebarkan sayap pendampingan teater anak pada desa-desa yang jauh lebih terpencil lagi, anak sekolah bahkan hingga memenangkan juara satu dalam lomba teater tingkat pelajar, dahsyat bukan?



Kawan-kawan pergerakan teater desa ini juga korban gempa, hanya saja mereka berusia pemuda. Aku ingat betul ketika pertama kali bersama kawan-kawan komunitas memfasilitasi proses pemuda-pemudi korban gempa ini. Semangat dan keberanian beberapa diantara mereka masih harus di dorong dengan pasokan alkohol mulai dari awal latihan hingga dibalik panggung saat pementasan ketika menunggu gilirannya naik pangung sesuai perannya, cairan dari botol kaca gepeng itu justru lebih banyak dihabiskan oleh si pemeran utama; pemuda berambut gondrong-gimbal. Juancuk!

Penghormatan luar biasa diberikan dari masyarakat korban gempa (penonton), tapi justru rasa salut kami terhadap mereka-mereka yang berproses karena mereka juga korban gempa tapi sanggup menghibur keluarganya satu kampung, sementara kami hanya jadi pemantik dan figuran belaka. Hanya mengibar-ngibarkan plastik panjang `seolah-olah` menggambarkan visualisasi efek gempa. Itu saja! Tapi kemudian mereka berubah menjadi agen pergerakan teater alam, teater forum dan teater jalanan.


Kuceritakan lagi pada kawanku, ketika suatu waktu aku kembali ke Jogja setelah lebih dari satu setengah tahun paska bencana gempa, tujuan pertamaku Kasongan-Bantul, tempat titik nol aku bersama kawan-kawan para tokoh-tokoh pergerakan teater alam ini. Kebetulan sekali ketika aku datang kesitu bertepatan dengan hari pementasan teater anak hasil proses pendampingan mereka, letaknya luar biasa terpencil; Propinsi DIY, Kabupaten Bantul, Piyungan, Bukit Ijo. Sebuah perkampungan di ujung bukit terpencil, jalan menuju kesana terlebih dahulu harus memotong hutan kecil dan tanjakan terjal hampir enam puluh derajat, jauh sekali dari pusat kota.

Betapa perasaan hati ini begitu meluap-luap penuh kebahagian ketika pertama kali melihat puluhan anak berkumpul di depan panggung kecil dengan setting panggung penuh dedaunan. Diatas panggung itu berdiri seorang pemuda berambut gondrong-gimbal menguasai mikrophone, menyambut kehadiranku lewat perantara mikrophonenya dan memprovokasi seluruh anak-anak agar berteriak; KITA SEMUAAA BERGEMBIRAAAAA!!!!! Yel-yel yang dulu diciptakan salah satu kawan dalam komunitasku; Ofie Mix, yang selalu kami teriakan bersama anak-anak korban gempa sejak awal pendampingan, masih bergema hingga saat itu! Saluttt...saluttt!!!

Setiap perwakilan kelompok kecil bergiliran mementaskan kemampuannya; menyanyi, menari, berpuisi, dan terakhir memainkan teater anak dengan lakon; YUYU KANGKANG. Rasanya jiwa ini begitu kaya melihat anak-anak bersukacita mementaskan hasil berposes, anak-anak itu tidak hanya menjadi penonton melainkan penghibur!


Kuceritakan lagi pada kawanku sepenggal pengalamanku ketika beberapa bulan menjadi Guru bantu pada sebuah sekolah dasar dekat rumahku, kuterapkan beberapa metode KLINIK SENYUM pada murid-murid SD (yang juga sekaligus menjadi ’guru’ku karena justru aku banyak belajar dari anak-anak SD ini), semboyan itu bergema setiap hari karena akubertanggung jawab dari kelas satu hingga kelas enam. Kawanku menghentikan ceritaku, berkata; ”Sudah cukup kau membuat hatiku berontak iri! jadi kapan kita mulai berproses dengan murid-murid sekolahku?” Aku hanya menjawabnya dengan senyuman yang sama meriahnya ketika menjalani setiap detik berproses bersama anak-anak korban gempa sewaktu di Jogja. Bergemuruh dalam dadaku meneriakan: ”Kawan-kawan, nantikan dari Propinsi B, Kota S ini akan bergema hingga Jogja teriakan; KITA SEMUAA BERGEMBIRAAAA!!!!”



# Koelit Ketjil #

- PropinsiB, Kota S, Jl. RM. H. Djajadiningrat, jauh dari Jogjakarta-

12 Juni 2009, pukul 02. 00 – 05. 14, satu lagi produk insomnia!

Also posted in; www.komunitasseni-sekonol.blogspot.com

















5 komentar:

  1. komen..komen.. hihihi...di Jogja ada yang seru gitu yah?

    sayang aku belum lagi kenal betul sisi Jogja..

    sekk..daripada komen kebanyakan di hari ini..mending aku mbaca2 ndisik...

    salam,
    hesra

    BalasHapus
  2. Judulnya sudah pasti harus adalah: "...Keparat..."

    Hehehehe... isinya keparat sekali... :-p dan itu adalah pujian, haiyah, keduluan Hezra.

    BalasHapus
  3. @Hezra: itu baru secuil dari jogja yg melimpah ruah kegiatan ygseru! selamat mebaca.. silakan cari titik perbedaannya. hahaha.
    @G: ooopss sebuah kata pujian yg sangat yaa ampun tuh!
    maklumlah yg muda yg gesit..yg gak gesit yg....
    yang... yang... kursi goyang... kursi goyang.. pasling asik duduk di kursi goyang..goyang2.. (mending nyanyi drpd dikutuk ama yg gak gesit!) wakakakakakak

    BalasHapus
  4. Membacanya sampai nahan nafas, too much information, padat dan bergizi. :)

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!