Kamis, Juni 11, 2009

TIME MACHINE (sejenis lanjutan gitu deh)

Hari kedua, setelah menyelesaikan pembayaran tunggakan rekening PLN dan administrasi pasang instalasi baru untuk melepas segel meteran. Arya kembali lagi pada gedung tua itu. Senter dan lampu elektrik portable mirip petromak tidak lupa dibawanya karena di negara ini segala sesuatu tidak bisa terjadi begitu saja seperti sulap, terlebih dalam hal urusan pelayanan publik, mungkin seminggu lagi instalasi listrik gedung tua ini kembali pulih. Berdiri tepat di titik tengah gedung, Arya mempersiapkan keperluannya. Menatap yakin pada pintu ruangan khusus eyangnya.


Kunci ruangan khusus Eyangnya terlihat sangat kuno tapi didesain secara khusus pula rupanya. Pintu tua berderak, senter dan lampu badai elektrik membelah kegelapan ruangan itu. Berbeda dengan ruangan utama, disini sama sekali tidak tercium aroma apek-pengap. Dugaan Arya ternyata salah, semula dia menduga ruangan ini jauh lebih parah dari ruangan utama, dilepasnya scarf penutup hidung dan mulutnya. Aroma khas kayu cendana, meranti dan jati yang menjadi perlengkapan rak, meja dan kursi ini yang menyebabkan ruangan ini jauh dari kesan apek tak terurus, selain itu juga ventilasi udara yang cukup baik dengan alat kipas pada dinding yang dapat berputar jika terkena angin sangat membantu sirkulasi udara dalam ruangan ini.

Arya selalu takjub jika masuk ruangan ini, rak buku besar lengkap dengan koleksi buku-buku tua yang masih terawat dengan baik. Lampu portable membantu dirinya memeriksa ratusan buku di balik rak kaca, beberapa diantaranya terlihat; Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving) yang disusun oleh RM. Hoesein Djajadiningrat tahun 1913. Sarjana pertama Bumiputera Indonesia yang mempertahankan disertasinya di hadapan guru-guru besar Universitas Leiden, banyak dibantu oleh mentornya; Snouck Hurgronje.

Pada rak berikutnya berjajar buku-buku karangan A.J Bernet Kemper; Herstel In Eigen Waarde; Monumentenzorg in Indonesie dan Ageless Borobudur. N.J Krom; Inleiding tot de Hindoe-Javaanesche Kunst. Denys Lombard; Le Carrefour Javanais, buku asli dan terjemahannya; Nusa Jawa; Silang Budaya. Ada juga buku karangan Raffles mengenai sejarah Jawa: The History of Java dan buku-buku serta gulungan kertas atau kulit hewan lainnya yang tidak dapat dimengerti olehnya.

Arya membuka jendela besar yang berada dibelakang meja dan kursi singgasana Eyangnya, jendela besar itu terdiri dari dua bagian, kayu jati besar pada bagian terluar dan sejenis partisi berengsel pintu yang biasa terlihat pada bar jaman cowboy, hanya bedanya partisi ini didesain sedemikian indahnya dengan ornamen kaca mozaik warna-warni melukiskan armada kapal laut di tengah samudera. Udara segar memasuki ruangan, Arya membersihkan kursi dan meja lalu duduk menikmati kopi panas dari termos kecilnya, kali ini Arya meminta ijin Eyangnya untuk dapat meminum kopi di meja besar berlandaskan marmer putih susu.

’Apa yang akan aku lakukan? Jika aku menjadi Eyang Toro langkah apa yang harus aku ambil?’ pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Kepalanya tenggelam pada meja pualam, tangannya yang masih memegang senter, memain-mainkan nyala senter itu dari bawah meja, cahayanya tembus berpendar pada permukaan pualam putih seperti efek sorot lampu halogen mobil di jalan berkabut. Pandangannya tertuju pada miniatur armada kapal laut Pinishi dan bingkai foto bergambar Eyang Putri berkebaya dan satu bingkai lagi foto seluruh keluarga besar Trah Nuswantoro Notonegoro; istri, anak, menantu dan cucu-cucunya semua lengkap berpakaian destar dan kebaya.

Kali ini perhatian Arya beralih pada satu laci besar yang menempel pada kaki meja tapi terkunci. Diantara belasan kunci yang menjadi satu pada rantai di tangannya tidak ada satupun yang cocok, semua berukuran besar. Arya mengingat kembali petikan isi warisan yang dibacakan saat pembagian harta warisan eyang, bahwa gedung perpustakaan beserta isi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perpustakaan menjadi hak Arya sepenuhnya, lalu mengapa Arya tidak mendapatkan kunci kecil itu?

’Eyang beri petunjuk bagi cucumu ini’ saat ini Arya memerlukan jawaban dari Eyang Toro meskipun Eyang Timur masih hidup. Angin cukup kencang bertiup, menabrak partisi pada jendela di belakangnya, menggerakan kedua lembar partisi berornamen indah itu. ’Ahha! Terimakasih Eyang!’ Arya yakin angin tadi memberikan pertanda dari Eyangnya. Tanggan kanannya memegang mantap miniatur armada kapal laut Pinishi, memperhatikan dengan seksama kapal mini itu. Ragu mengangkat salah satu tiang utama Pinishi maka terbukalah lambung kapal mini itu.

Tepat dugaannya bahwa didalam situ pasti terdapat kunci yang dia cari tapi ada dua kunci berbeda; satu lebih kecil dibanding kunci lainnya. Kunci terbesar dimasukan pada lubang laci itu, dialamnya terdapat beberapa tumpukan arsip, surat-surat dan satu kotak kayu jati tanpa ukiran bergembok kecil pada penutupnya, kini terjawab sudah mengapa dia menemukan dua kunci dalam lambung kapal miniatur itu. Arya masih mengira-ngira isi dalam kotak kayu itu, akhirnya mengambil keputusan untuk membuka dengan kunci yang lebih kecil. Alangkah terkejutnya Arya begitu membuka kotak kayu berukuran tiga puluh kali dua puluh senti meter itu; TIME MACHINE!

Arya masih belum mengerti maksud Eyangnya yang membuat Time Machine, bukankah ini berarti mesin waktu. Arya menatap tajam kearah bingkai foto, tepat ditengah-tengah seluruh anggota keluarganya sosok sang Eyang duduk berwibawa dengan tongkatnya. Seolah dalam foto itu Eyangnya bergerak, berdiri menunjuk dengan tongkatnya itu kearah Arya dan berkata; ”In het heden ligt het verdelen, in het wat komen zal. Kamu paham cucuku? Di masa kini terletak masa lalu, di masa sekarang terkandung masa depan! Camkan itu! Dan satu lagi Historia docet, bahwa sejarah mengajarkanmu banyak hal.” Arya masih shock melihat fenomena tadi, dia paham betul itu suara Eyang Toro yang sangat fasih berbahasa Belanda tapi ini jelas tidak mungkin.

Benda itu diangkat dalam genggamannya, menelan ludahnya sendiri, ragu membuka. Arya masih memperhatikan benda yang menakjubkan itu, belum juga ada reaksi apapun tapi lambat laun seolah terkena sihir perhatiannya tidak bisa lepas, bola matanya berbinar-binar ada rasa menakjubkan meletup-letup dalam dirinya. Arya tersedot oleh benda yang baru saja dia temukan, terlempar pada suatu daerah dan jaman yang sangat berbeda dengan jamannya.

****

Tubuh Arya berdebam pada tumpukan jerami, terdengar ringkikkan suara kuda-kuda yang panik. Rupanya Arya berada dalam sebuah istal, tak kalah paniknya dengan kuda-kuda itu, terlebih dia hadir di tempat itu tanpa balutan busana sama sekali. Terdengar derap suara sepatu-sepatu lars memasuki kandang kuda, bertambah lagi kepanikan Arya, dilihatnya ada beberapa potong pakaian dalam buntalan kain, mungkin milik pengurus istal ini. Arya langsung menyambarnya dan cepat mengenakan baju yang jarang sekali dilihatnya ini. Langkah kaki semakin mendekat, Arya menjadi lebih panik lagi, tak tahu apa yang harus dia lakukan.

”Hey kowe bujang! Kenapa kowe masih juga disitu utak-atik itu rumput?! Cepat kowe siapkan kuda!” suara Belanda totok yang sudah fasih berbahasa Indonesia itu memberi perintah kepada Arya, beruntung Arya pernah besar di lingkungan peternakan milik Eyangnya. Arya yang semula membelakangi Belanda itu terpaksa harus menghadapinya dengan sikap menggapurancang layaknya bujang dihadapan tuannya, meninggalkan garu rumput dan memasang sadel pada punggung kuda berwarna putih besar itu. Semoga pilihannya tepat dari belasan kuda yang ada dalam istal itu.

Arya terpaksa menjalankan perannya sebagai bujang, menggiring kuda putih itu ke halaman rumah besar berarsitektur Belanda. Kekagumannya terhadap bangunan dan situasi yang ada saat ini cepat-cepat diusirnya karena Arya harus terus berjalan mengikuti Belanda yang menunggangi kuda itu, tidak ada titik balik saat ini, no point of return at all!.
Dua kilo meter sudah Arya berjalan mengikuti kuda itu, entah sudah berapa kali kepalanya menengok kebelakang mencari sosok siapa saja yang mungkin dia kenal, namun sepanjang perjalanan yang dilalui banyak orang yang dia temukan semuanya menunduk hormat pada sosok berwibawa diatas kuda itu. Rakyat jelata yang mengggunakan pakaian sangat sederhana sekali, kesadarannya perlahan menyadarkan dirinya bahwa saat tengah berada pada jaman ketika kolonialisme Belanda masih berpengaruh diatas tanah yang dia pijak.

Kuda putih itu berbelok kiri menuju halaman luas dengan bangunan utama yang hampir sama dengan bangunan pertama yang dia lihat. Belanda berpakaian rapi berbahan khaki, bersepatu boot setinggi lutut itu memberikan perintah pada Arya agar memasukan kuda pada istal dan cepat masuk kedalam ruangan dengan tas kulit yang terikat pada pelana kuda. Arya hanya menunduk sebagai tanda paham akan perintah yang diberikan.

Arya tergopoh-gopoh lari kecil menuju bangunan besar itu, seorang opsir bersandangkan senapan panjang pada bahunya mencegat Arya, memeriksa barang bawaan dan bertanya tujuannya masuk gedung itu. Arya hanya menjawab ”Tuan Menir!” maka opsir itu mengijinkannya masuk. Untung saja Arya tidak coba menerka-nerka nama orang Belanda tadi, kalau salah bisa habis nyawanya di tangan opsir itu meskipun sebangsa dengan dirinya. Suara beberapa orang asing menuntun dirinya pada ruangan yang dituju, ada enam orang tengah berbincang-bincang, masing-masing mereka memegang gelas kristal berisi minuman anggur atau sejenis rum.

”Well.. Tuan-tuan semuanya, saya rasa perlu untuk berterimakasih atas kerja keras kalian. Saya angkat gelas ini untuk anda Tuan Boogh, untuk anda juga Tuan Douglas, Tuan Sarvaas, Tuan de Wilde dan tentunya Tuan Blumberger. Selamat menikmati anggur terbaik dari negeri Holland yang baru saja sampai di Batavia ini!” Arya baru mengetahui nama-nama pembesar dihadapannya itu, kini dia dapat menjawab dugaanya mengenai nama ’Tuan’nya ini setelah nama yang disebutkan terakhir mengangkat gelas kristal itu. Tuannya memberikan tanda agar Arya membawa masuk tas miliknya.

Tuan besar itu mengeluarkan beberapa berkas dari tas miliknya kemudian memberikan pada tuan rumah yang mungkin lebih tinggi jabatannya. Satu kertas bergambar mula-mula dia mintai pendapat pada kolega-koleganya. Pembawa berkas itu menjelaskannya. ”Tuan Gubernur Gonggryp, biar saya jelaskan kembali arti lambang ini.” Gambar sebuah lambang perisai berlatar warna biru laut dipertunjukkan pada mereka. ”Ini lambang milik kota Semarang, ditetapkan oleh Tuan Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignies pada 29 Mei 1827. Pada bagian tengah Tuan-tuan bisa lihat ada perempuan memegang kepala singa ”De Nederlandse Leeuw”, tentunya saja perempuan itu berani memegang kepala singa karena sesungguhnya tidak ada singa di negeri Holland sebagaimana pada lambang negeri Holland itu sendiri.” Tuan Blumberger tersenyum lalu meminta maaf atas kelakarnya namun disambut tawa renyah semua orang dalam ruangan itu kecuali Arya karena hanya dia yang tidak paham betapa singa menjadi lambang negeri Belanda meskipun tidak ada singa disana.

”Well, Gubernur Jenderal saat itu bilang ini lambang sebagai bentuk penghargaan bagi inlander-inlander yang turut berperang melawan Diponegoro. Mari kita lihat lambang kota lainnya. Lambang tertua yang pernah ada di Hindia-Belanda ini, dibuat pada 15 Agustus 1620. Tuan-tuan pasti kenal ini lambang. Batavia! Ucapan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen telah dijadikan semboyan ini kota; ’Diespereert Niet’ satu semboyan yang membuat kita tetap bersemangat bukan?” Tuan Blumberger mengangkat tinggi kepalan tangan kanan setelah menjelaskan lambang Batavia.

”Ya..ya.. seperti juga ucapan lain dari Tuan Pieterszoon ‘daer can in indien wat groots verricht’ bahwa di Hindia-Belanda ini kita dapat melaksanakan hal-hal besar, itu sebab dia bilang jangan putus asa pada itu lambang!.” Tuan Boogh, kapiten infanteri ini dengan gagahnya turut berkomentar. Mereka semua tertawa hingga memerah wajahnya, mungkin juga pengaruh minuman anggur itu mulai bekerja. Asisten residen itu menjelaskan lagi arti lambang-lambang kota lainnya dengan gaya kelakarnya, terutama ketika menjelaskan lambang kota Cirebon, lidahnya yang hanya terbiasa makan roti dan keju itu berulang-ulang menyebutkan kata ‘rebon’ hingga tepat pelafalannya, jelas membuat tawa para koleganya, ditambah lagi keheranannya tentang mengapa gambar udang di masukan dalam lambang perisai. “Apa tiga ekor udang kecil Charibon ini bisa menangkis peluru?” semua orang tertawa terbahak-bahak tidak terkecuali Arya meski harus menahannya.

Lambang berikutnya, Tuan Blumberger memasang muka serius kali ini, “Tuan-tuan, ini lambang Soerabaja punya, menurut cerita inlander-inlander sana dahulu kala ada ikan sura bertarung dengan seekor buaya atau inlander bilang; ‘boyo’, itu sebab kedua binatang itu dimasukan sebagai nama ini kota tapi maaf saya belum yakin dengan nama itu ikan sura? Mungkin hiu! Ada lagi saya belum pahami istilah inlander ini; ‘Suro ing boyo’ mungkin Tuan-tuan paham?” Tuan Blumberger tidak mendapatkan jawaban dari mereka.

Kenapa tidak kita tanya sama ini inlander? Hey kowe bujang ngerti itu istilah ’Suro ing boyo’?” Gubernur Gonggryp menunjuk Arya untuk menjelaskan arti yang dimaksud. Sikap gapurancang dan sedikit menunduk, Arya menjelaskan singkat saja, ”Maaf Tuan-tuan, kalau tidak salah, istilah itu berarti ’berani menghadapi bahaya’ sekali lagi maafkan hamba jika salah.” Arya tidak berani menatap wajah mereka, mungkin seperti tekanan psikologis yang dialami para pendahulunya saat jaman penjajahan.

”Well... well... ’dapper in het gevaar’ pantas saja saya punya pasukan susah pukul mundur itu inlander-inlander Surabaya!” komentar Tuan Boogh selalu berapi-api mungkin karena latar belakang militernya. Perbincangan mereka setelah itu didominasi oleh bahasa Belanda, Arya menyesal tidak pernah berniat untuk mempelajari bahasa asing itu pada Eyangnya.

****

Selepas magrib setelah memasukan kuda dalam istal, pekerjaan berikutnya sudah diperintahkan Tuan besar. Arya mengetuk dan memohon ijin dengan takzim pada tuannya, masuk kedalam ruang tengah. Tuan besar itu bersantai pada kursi goyang menatap keluar jendela, Arya memperhatikan kursi yang serupa milik Eyang Toro itu lalu mendekatkan diri pada tuannya, bertanya tas kulit itu diletakkan dimana nantinya. Tuannya hanya memberi perintah agar diletakkan di meja tengah sementara tangannya memegang belati kecil membuat ukiran pada lengan kursi goyangnya. Arya mencuri pandangan pada kegiatan tuannya, lalu tuannya berdiri menancapkan belati itu kemudian berjalan masuk kamarnya.

Rasa penasaran Arya mendesaknya untuk mendekati kursi goyang itu, memperhatikan ukiran pada lengan kursi dan belati yang tertancap, terdapat inisial; J.T.P.B. Tidak salah lagi! Kursi goyang milik Eyang Toro adalah kursi yang sama persis dengan kursi ini, milik; J. Th. Petrus Blumberger! Dia masih ingat sejak kecil kedua Eyangnya bergantian sering mendongengkan cerita setiap siang hari di kursi itu. Arya kecil selalu meraba inisial nama J.T.P.B dan satu lubang kecil bekas tertancapnya belati tepat di atas inisial itu sambil mendengarkan cerita kedua Eyangnya hingga tertidur. Arya tengah berada diantara kompleksnya dunia masa lalu-masa kini yang saling berkaitan. In het heden ligt het verdelen!

Tuannya kembali pada ruang tengah membawa beberapa lembar kertas. Duduk pada kursi jati dengan anyaman rotan sebagai pengganti busa, menekuri tulisan-tulisan itu sambil menghisap cerutu berukuran sedang. Arya meminta ijin untuk undur diri dari hadapan tuannya tapi dicegahnya. “Kowe bujang bisa baca tulis?” kali ini pandangannya kearah Arya langsung. Selalu ada ragu untuk menjawab pertanyaan tuannya ini, “Sahaya mampu membaca-tulis hanya sedikit sekali Tuan.” Mungkin ini jawab paling diplomatis dan teraman bagi Arya. Tuannya menganggukan kepalanya pelan, ada semacam keraguan sekaligus salut terpancar dari wajahnya.

“Berapa kamu punya umur sekarang?” kali ini pandangan tak lepas pada arsip-arsip yang tengah dibacanya. ”Sekitar dua puluh lima tahun, Tuan” Arya menduga-duga maksud pertanyaan tuannya. ”Ini coba kowe baca ini tulisan!” tangan kirinya memberikan secarik kertas, sebuah tulisan tangan serupa dengan model tulisan tangan Eyangnya dan orang tua jaman dulu, bersambung dan rapi. Setidaknya ada tiga bahasa yang digunakan; Belanda, Inggris dan bahasa Indonesia. Judul tulisan itu; De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie, door J. Th. Petrus Blumberger. The Communist Movement, by J. Th. Petrus Blumberger.



Arya sengaja membaca tulisan itu dengan terbata-bata bahkan terkesan mengeja setiap kata-per-kata, untuk menghilangkan kesan kemampuan baca-tulisnya di hadapan Tuannya, terlebih pada kalimat yang menggunakan bahasa asing. Belum selesai pada akhir tulisan, Tuannya meminta agar Arya menjelaskan arti dari tulisan itu. Kembali Arya memainkan peran sebagai orang yang tidak tahu sama sekali arti tulisan itu tapi Tuannya memaksa. ”Tuan maafkan sahaya atas ketidak mampu sahaya dalam memahami isi tulisan Tuan tapi sahaya hanya memahami sedikit saja bahwa tulisan itu berkaitan dengan pergerakan golongan komunis di negeri ini, itu saja Tuan, tidak lebih, maafkan sahaya.” Arya menunduk dalam, memohon atas kelancangannya dihadapan Tuan besar itu karena sepenuhnya dia paham hanya golongan Bumiputera tertentu saja yang mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan.

Tuan Blumberger melihat kembali kertas itu, hanya tiga baris kalimat saja yang dibacakan secara terbata-bata oleh Arya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi keheranan. ”Kowe bujang mau menipu!” tubuh tinggi besarnya berdiri tegap dengan tangan kiri dipinggang dan tangan kanannya menunjuk pada wajah Arya, si bujang bergetar mendengar gelegar suara Tuannya. ”Siapa kowe sebenarnya? Bagaimana kowe Bujang bisa tahu ini tulisan tentang pergerakan komunis di negeri ini?!” Blumberger bisa menuduh demikian karena dia tidak menulis istilah tentang pergerakan dalam bahasa Indonesia pada kalimat-kalimat yang telah dibacakan oleh Arya.

Arya duduk bersimpuh memohon beribu maaf di hadapan Tuannya, kebodohan Arya adalah menunjukkan kepintarannya dalam bahasa Inggris, meskipun dia tidak memahami arti ”Beweging” tapi dia paham arti ”Movement” padahal dalam kalimat yang dia baca tidak ada istilah ”pergerakan” sama sekali dan hanya orang terpelajar saja yang mengetahui Nederlansch-Indie adalah istilah lain dari negeri Indonesia (Hindia-Belanda).

Kemarahan Tuan Blumberger menjadi surut meskipun Arya tetap menutupi jati diri sesungguhnya karena sangat tidak mugkin dia menjelaskan bahwa dirinya berasal dari tahun 2009 yang tersedot pada tahun 1931 setelah membuka kotak milik Eyangnya atau menjelaskan bahwa dirinya adalah cucu dari pemilik kursi goyang yang sama digunakan tuannya itu, hanya saja terpaut puluhan tahun dari masa depan. Blumberger menunjukkan sikap moderatnya sebagai ilmuwan, dia justru bangga dengan kemampuan baca-tulis Bujangnya ini terlebih jika memang benar memiliki kemampuan bahasa asing maka akan sangat membantu dirinya nanti.

Blumberger menceritakan proyek besarnya dalam membuat ensiklopedia namun dia hanya membantu Tuan Gonggryp, lain halnya dengan tulisannya mengenai pergerakan kaum komunis di Hindia-Belanda yang sepenuhnya dilakukan sendiri maka dia bebas merdeka bahkan dia sempat mengungkapkan keinginannya membuat tulisan mengenai Pergerakan Nasional di Hindia-Belanda, kelak setelah tulisannya mengenai komunis ini selesai. Dia mengangkat tangannya seolah membentuk judul tulisan, sambil berkata; De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie, door J. Th. Petrus Blumberger, kemudian disambut tepuk tangan meriah dirinya sendiri, Arya turut bertepuk tangan setelah diberi kode oleh Tuannya. Rupanya Tuan besar ini seorang penulis yang narsistik!

Kali ini Blumberger menunjukkan sebuah foto pada Arya, jari telunjuknya mengarah pada salah seorang dari dua belas orang dalam foto itu. ”Kowe tahu siapa ini orang?” Arya memperhatikan dengan sungguh-sunguh pada sosok itu, dalam hatinya dia menjawab ’Tan Malaka!’ tapi bibirnya berkata; ”Sahaya tidak tahu Tuan.” Blumberger menjelaskan siapa orang yang dia tunjuk itu bahkan dia berkali-kali mengatakan; ’gedelegeerde van Java’. Arya hanya mengetahui Tan Malaka lewat beberapa kali diskusi maupun bedah buku MADILOG karya Tan Malaka sewaktu di kampusnya.

”Tan Malaka, gedelegeerde van Java! Diantara para Oosterche volkeren. Ini orang merupakan utusan dari Jawa diantara utusan bangsa Timur lainnya en kowe perlu tahu ini foto diambil pada tahun 1922 tepatnya di Negeri Moskow saat kongres Komintern. Coba kowe tulis itu!” Tuannya secara resmi menjadikan Arya sebagai juru tulisnya. Arya pun menulis setiap perintah Tuannya menggunakan model tulisan sambung yang tidak rapi, bukan karena berpura-pura tapi memang kenyataannya dia tidak terbiasa menulis sambung.

Panjang dan lebar Blumberger menjelaskan mengenai Organisasi Komunis, Internationale yang merupakan organ terselubung sistem pemerintahan Sovyet yang bergerak secara terorganisir dengan tujuan untuk meruntuhkan kemampanan sistem keamanan dan ketertiban umum di setiap daerah jajahan dan daerah setengah jajahannya. Arya kerepotan mengikuti ucapan Blumberger yang bersemangat sehingga terkadang mengucapkan dengan bahasa Belanda, berkali-kali Arya meminta maaf untuk dijelaskan dalam bahasa yang dia mengerti. ”Oh maaf Bujang, crypto organisme itu semacam organ terselubung. Kowe ngerti?” Asap cerutunya tiada henti mengepul dari mulutnya.

Berjam-jam lamanya Arya mendengarkan celoteh Tuannya diselingi perintah-perintah agar menuliskan setiap kalimat yang dia anggap penting. Berlembar-lembar kertas telah penuh dengan tulisan tangannya, sebenarnya tangannya sudah terasa lelah, begitu juga kaki-kakinya. Belum sempat dia menikmati istirahat setelah berjalan di belakang kuda kini dia harus menikmati siksaan duduk bersimpuh berjam-jam yang menciptakan yang kram dan kesemutan pada kaki. ”Kowe liat ini dokumen tentang laporan peristiwa di Sumatra Barat, ’geheim voor de dienst’, ini rahasia! Jangan kowe berani baca ini dokumen!” Tuannya memperlihatkan dokumen berlak dengan cap pemerintahan kolonial, hanya untuk kepentingan dinas. Tuannya berdiri dari kursi rotan, meluruskan setiap sendi tulang belakangnya yang bergemeretak kemudian undur diri masuk kamarnya. Arya terlihat begitu lega terbebas dari siksaan itu.

Lembaran kertas berserakan pada meja dia rapikan kembali begitu juga foto-foto, beberapa bundel majalah Koloniale Studien dari tahun 1917 sampai 1919, perhatian Arya tertuju pada dokumen penting hasil pemilihan Kongres PKI di Kota Gede,Yogyakarta Desember 1924, dia tidak mengira ternyata Kota Gede yang pernah menjadi lokasi Kuliah Kerja Nyata bersama sembilan kawan kampusnya memiliki sejarah penting bagi partai politik yang dilarang keras pada masa pemeritahan Orde Baru di jamannnya. Tepat di bawah tumpukan dokumen itu terdapat laporan Gubernur Jenderal terbatas hanya bagi kalangan Volksraad dan Parlemen Belanda tertanggal Januari 1927 yang menyatakan bahwa PKI termasuk kedalam ’Seksi Internasionale ke-3’ dan dokumen lainnya yang dianggap rahasia.

Sebelum Arya memasukkan hasil tulisannya kedalam tas kulit milik Blumberger, dia membaca kembali lembar demi lembar. Perhatiannya penuh tertuju pada tulisan tangannya sendiri, dia membalikkan setiap lembar berikutnya, semakin dalam konsentrasinya, kemudian tubuhnya bergetar hebat.
Kilatan cahaya menghantamnya!

***
Suara teriakan membahana memecah kesunyian alam, ”Waaa...aaa...aaaaaaaaaa!!!!!” lalu terdengar suara dentuman benda jatuh dari ketinggian pada permukaan air, menciptakan cipratan air cukup tinggi. Sepotong kepala menyembul di permukaan air sungai, pemilik kepala itu masih kebingungan. Beberapa jarak darinya, yang masih berendam dalam air, terdengar suara perempuan-perempuan beraktivitas di pinggiran sungai cukup jauh dari lokasi jatuh dirinya. Tidak mungkin Arya mendekati asal suara yang berlawanan arus sungai karena lagi-lagi Arya tidak berbusana sama sekali. Badannya menggigil bersembunyi pada sebongkah batu besar, tak lama berselang terdengar teriakan perempuan-perempuan panik dari bagian hulu sungai. Beberapa potong pakaian terlihat melintas di hadapan Arya, tanpa ragu Arya langsung menyambar pakaian-pakaian itu, hanya mengambil pakaian yang paling pantas lalu langsung menghilang di tengah rimbunnya hutan bambu.

# Koelit ketjil #
Jl. RMH Djajadiningrat, 10-11 Juni 2009

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!