Minggu, Juni 07, 2009

TIME MACHINE 1



(part one)*

Arya merasa menjadi cucu tersial jika dibandingkan dengan cucu-cucu lain Eyang Toro. Radit, sepupu tertuanya mendapatkan warisan puluhan hektar perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Putra, sepupu terdekatnya dipercayakan menjalankan usaha percetakan besar yang telah dirintis sang kakek. Belum lagi sepupu-sepupu lainnya yang membuat dirinya menjadi semakin sakit hati jika mengingat kembali jatah masing-masing warisan itu. Tidak adil baginya yang hanya mendapatkan warisan sebuah gedung tua; perpustakaan umum yang sangat jarang dikunjungi orang di jaman cyber ini.



Sudah lebih dari tiga bulan Arya belum juga mengunjungi gedung tua itu setelah pembagian harta warisan mendiang kakeknya. Arya masih juga menimang-nimang kunci tua pembuka gedung perpustakaan milik kakeknya. Hari ini hampir seluruh anggota keluarga dari Trah Raden Nuswantoro Notonegoro berkumpul untuk acara arisan bulanan. Arya memilih mengurung diri dalam kamarnya sementara di ruang tengah semua keluarga membanggakan warisan yang mereka dapatkan masing-masing. Tante Marie yang bermulut bawel itu suaranya membahana, memamerkan perhiasan peninggalan nenek, tidak hanya membanggakan diri, sifat buruknya yang sejalan dengan sikap buruk lainnya adalah merendahkan orang lain, kali ini Arya menjadi bahan gunjingan. Arya yang sejak kecil selalu dianggap sebagai cucu kesayangan Eyang Toro hanya mendapatkan gudang buku-buku tua. “Cucu kesayangan kok cuma dapat buku bekas! Dijual ke pasar loak saja pasti tidak laku tuh!” lagi-lagi suaranya membahana, semua anggota keluarga mendukung Tante Marie dengan turut tertawa lepas.



Arya hanya sendiri, kedua orang tuanya meninggal dunia sejak dia masih kecil, mungkin ini sebabnya Eyang Toro lebih sayang dia ketimbang pada cucu-cucunya yang lain. Arya lebih memilih menyendiri di kamarnya, salah satu kamar besar dari rumah tua peninggalan kakek. Dinding kamarnya penuh dengan foto-foto bersama kakek tercintanya, hanya ada satu bingkai foto Arya dengan kedua orang tuanya, itupun ketika Arya masih kecil sekali, sisanya foto bersama kakek sewaktu memancing, pergi ke museum, benteng-benteng tua, keraton-keraton seluruh nusantara dan bingkai-bingkai foto lainnya.



Arya masih menimang-nimang rangkaian kunci yang bergantung pada rantai kuningan di depan matanya, sesekali menghela nafas dan menunduk lagi. Pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati berukuran hampir dua meter terketuk dari luar, Arya enggan membuka pintu itu, terlebih jika sosok Tante Marie yang hanya ingin memperolok dirinya. Setelah ketukan ketiga pada pintu terdengar suara dari pengetuk itu, kepalanya sudah nongol dari balik pintu.



Cah bagus, Eyang boleh masuk?” Eyang Timur, adik kembar Eyang Nuswantoro ini masuk lalu duduk tepat di sebelah Arya yang masih malas untuk bergabung dengan keluarga lainnya. “Kenapa kamu masih bersedih toh Cah bagus? Nanti Eyangmu ikut sedih loh! Iklaskan saja kepergiannya.” Suara Eyang Timur hampir serupa dengan Eyang Toro, begitu juga wajah, perawakan bahkan kegemaran mereka sama persis, mereka kembar identik. Sebenarnya Arya pun tidak terlalu kangen ditinggalkan Eyang Toro karena ada sosok serupa yang masih hidup.



“Arya ndak sedih atas meninggalnya Eyang Toro. Arya ndak kuat ada di ruangan tengah itu Eyang, mereka sepertinya senang dengan meninggalnya Eyang Toro. Sombong dengan kekayaan yang seolah turun dari langit, padahal itu semua hasil jerih payah Eyang Toro.” Arya tidak sanggup melihat sosok Eyang Timur jika dia berada di ruang tengah turut dalam pesta pora itu, melihat Eyang Timur yang hanya duduk di kursi goyang sama seperti dia melihat arwah Eyang Toro yang merasa sedih melihat anak-cucunya hanya bangga menjadi penikmat warisan belaka. Eyang Timur menggosok-gosokkan tangannya di pundak Arya, persis seperti yang biasa dilakukan Eyang Toro jika dia bersedih.



”Itu sebabnya Eyangmu sayang kamu cah bagus, cucuku; Arya Banyu Samudra. Kalau Eyangmu ndak sayang pasti kamu juga sudah diberikan warisan-warisan mewah itu.” Mendengar ucapan Eyang Timur, muncul kekecewaan Arya akan ketidak adilan yang didapatnya. ”Kenapa Arya tidak mendapatkan warisan yang layak? Putra dapat perusahaan, Radit dapat perkebunan, Anwar menikmati mobil antik Eyang, belum lagi yang lainnya! Eyang Toro tidak adil! Cucu kesayangan apa kalau hanya dapat gudang buku tua?!” selepas memuntahkan kekesalannya, Arya mendadak menyesal. Eyang Timur hanya menggeleng-gelengkan kepala lemah, perasaan sesal ini muncul karena dihadapannya tadi bukan lagi Eyang Timur melainkan Eyang Toro, terlebih wejangan Eyang Timur menyadarkannya. Arya masih bersimpuh diantara kedua lutut Eyang Timur, menyesali ucapannya.



Keesokan harinya Arya memutuskan pergi menuju perpustakaan umum yang telah sah menjadi haknya dengan penetapan notaris yang ditunjuk keluarga besarnya. Gedung tua itu tidak terurus hampir dua tahun lebih semenjak Eyang Toro sakit keras. Petugas penjaga perpustakaan awalnya masih setia menjaga-merawat perpustakaan meskipun tiga bulan tidak mendapatkan gaji namun mereka juga perlu uang. Ini semua karena Pakde Jarwo yang ditunjuk sebagai pengurus keuangan seluruh usaha peninggalan Eyang Toro tidak memperhatikan keberlangsungan perpustakaan hanya karena dianggap tidak memberikan keuntungan sama sekali.



Perlahan Arya membuka pintu tua itu, aroma apek-pengap langsung menyerbu hidungnya. Lantainya penuh dengan debu tebal begitu juga pada seluruh meja dan kursi, sarang laba-laba menutupi setiap pojokan dinding dan beberapa rak buku yang tertutup kaca. Atap berkubah kaca mozaik tepat di tengah ruangan membiaskan spektrum warna cahaya teduh tapi tidak cukup menerangi seluruh ruangan karena belum ada satupun jendela yang terbuka dan lampu yang menyala. Arya masih ingat, tepat di bawah kubah kaca inilah titik favoritnya ketika membaca buku sewaktu kecil dulu, duduk di lantai ubin tua berwarna merah, kuning dan motif bunga yang dirangkai sedemikian rupa. Tidak ada seorangpun yang dapat menggangu dirinya jika sudah membaca di titik ini.



”Eyang, tolong beri saya petunjuk, apa yang harus saya lakukan dengan peninggalan Eyang ini?” Arya berjalan menuju saklar lampu, berharap pihak PLN tidak memutuskan jaringan listrik pada gedung tua ini, ternyata betul, seluruh lampu ruangan tidak ada yang menyala. Arya hanya membuka satu jendela saja sekedar memasukan oksigen dalam ruangan pengap ini. Berjalan perlahan mengelilingi setiap rak buku yang berjajar rapi dengan tatanan buku sesuai tatanan Dewey Decimal System, memastikan buku-buku itu dalam keadaan utuh. Beruntung Eyang memikirkan pengamanan buku dari serangan tikus dengan memberikan kaca pada setiap rak, ada ribuan buku dalam ruangan ini tapi Eyang akan marah besar jika ada satu saja buku yang rusak.



Arya menggelar matras karet dari tas ransel yang selalu dibawanya, duduk tepat di titik favoritnya, mengeluarkan termos stainless kecil berisi kopi panas, menyeruput kopi hitam itu sambil membakar sebatang rokok. ”Eyang, tolong beri saya petunjuk!” matanya berkeliaran dari satu rak ke rak yang lainnya hingga tertuju pada satu pintu di pojokan ruangan, ruangan khusus Eyang Toro. Disanalah ruang koleksi buku khusus milik Eyang, tidak sembarang orang yang boleh masuk. Seingat Arya hanya beberapa orang asing dan profesor-profesor tua saja yang pernah diajak Eyang masuk ruangan itu.

Arya mengeluarkan rangkaian kunci tua itu, mengangkatnya kearah kubah kaca, hanya ada dua sumber cahaya di ruangan ini; jatuhan bias sinar matahari teduh yang tersaring kubah kaca mozaik warna-warni dan satu lagi dari jendela yang terbuka. Asap rokoknya terlihat jelas dari berkas sinaran cahaya yang masuk lewat jendela itu, menciptakan nuansa senyap. ”Eyangmu pasti marah besar kalau ada yang merokok dalam ruangan ini Cah bagus!” suara Eyang Timur memecah kesunyian, menciptakan degup jantung tak beraturan pada dada Arya. ”Sudah Eyang duga kamu pasti akan kesini hari ini!” senyumnya meriah dengan hiasan cangklong gading di sela bibirnya.



Mereka berdua bersepakat untuk menikmati suasana hening ini dengan ditemani kopi dan rokok karena Eyang Timur juga tidak pernah bisa lepas dari racikan tembakau-cengkeh yang terbakar pada cangklong gadingnya, selagi Eyang Toro tidak ada, alasan mereka. ”Cah bagus, kamu mengerti kenapa Eyangmu ngotot kasih namamu; Arya Banyu Samudra?” Arya menggelengkan kepala sebagai jawabannya. ”Eyangmu kepingin kelak kamu menjadi Pangeran Penguasa Samudera karena jika kamu bisa menguasai samudera maka kamu akan memiliki banyak ilmu, tak terbatas! Ilmu pengetahuan menyebar melalui ekspedisi para pelaut-pelaut pemberani, Cah bagus. Itu sebabnya intisari ilmu itu sebagian kecil ada dalam ruangan ini, berbentuk buku dalam armada kapal laut yang telah mengarungi luasnya samudera.” Eyang Timur bersemangat menceritakan hal ini pada Arya.



Mendengar cerita ini, Arya jadi teringat buku terfavorit Eyangnya, kemudian menjadi buku terfavorit baginya juga ketika Eyang Toro memperlihatkan sebuah buku tua berjudul; Geillustreerde Encyclopedia van Nederlandsch-Indie, pada sisi sampulnya terdapat gambar kapal laut besar dan yang membuat buku ini menjadi istimewa karena di dalamnya terdapat gambar bermacam-macam lambang perisai kotapraja di Hindia-Belanda seperti; Batavia, Soerabaja, Makassar, Amboina, Buitenzorg yang kemudian dikenal sebagai Bogor dan lambang kotapraja lainnya, semua lambang ini berwarna! Buku berwarna yang masih langka, mengingat buku ensiklopedia ini tercetak pada tahun 1934 di Negeri Leiden, ketika percetakan saat itu belum mengenal secara luas teknik mencetak gambar berwarna. Ensiklopedia ini disusun oleh G.F.E Gonggryp yang pernah menjabat Gubernur Sumatera Barat. Mungkin ini sebabnya Eyang ngotot memberiku nama Arya Banyu Samudra karena terinspirasi buku itu!



Sepanjang hari mereka membicarakan masa lalu dan rencana kedepan mengurus perpustakan umum ini, gudang ilmu peninggalan paling berharga dari Eyangnya. Arya tersenyum geli saat bibirnya menyentuh penutup termos kecil yang berfungsi sebagai gelas untuk kopinya, dalam benaknya berkata; `untuk apa bertanya pada Eyang yang sudah meninggal jika masih punya satu Eyang lagi yang masih hidup, sama persis pula!`



(maaf ceritanya bersambung dulu yaa.... ;) *


******


# Koelit ketjil #

- Propinsi B, Kota S, Desa Kaloran Hj. Jaenab, Jln. RM. Hoesein Djajadiningrat, 5-6 Juni 2009 -


Satu lagi produk insomnia! Inspired by; Dari Buku Ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, disusun oleh P. Swantoro dan Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving) disusun oleh RM. Hoesein Djajadiningrat tahun 1913. What a great recommended historical books! Must read!!


*terpaksa aku harus menunda letupan-letupan di kepalaku yang memaksa untuk ”lanjutkan!” menulis. Sengaja kubuat bersambung saja tulisan ini, agar tidak menjadi terlalu panjang. Banyak yang protes setiap notes-ku; duuooooowwoooo tennnannnn!* hahahahahahaha

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!