Rabu, Maret 17, 2010

cukup panggil kawanku ini; Mu`uk... (lanjutan)




Satu lagi insiden yang membuat malaikat pencabut nyawa tercoreng reputasinya jika harus berhadapan dengan Mu`uk. Tikungan depan rumahku pernah menjadi TKP, nyawa Mu`uk meregang setelah tertabrak sepeda motor dari belakang dan menggelepar di selokan, tapi lagi-lagi, malaikat pencabut nyawa gagal! Sore itu tikungan depan rumah cukup lengang, warga kampung rata-rata tengah menikmati waktu istirahat, lelaki produktif baru saja pulang kerja, para ibu mungkin tengah masyuk di depan televisi setelah lepas dari perkakas dapur dan sebagian anak-anak tengah belajar di sekolah kedua mereka, madrasah. Suara derit ban dan bunyi tubrukan menghenyak warga kampung dari ketentraman waktu istirahat.


Kakak ipar Mu`uk berteriak sejadinya, tak dapat berbuat apa-apa, hanya berteriak dan menangis melihat adik kesayangannya terkapar pada selokan tepat pinggir warung nasinya. Mu`uk baru saja meminta jatah makan di warung itu, melangkah keluar dengan asap rokok Djarum Coklat mengepul dari bibirnya yang menghitam, ekstase tertinggi zat adiktif nikotin terlampau tinggi, sampai-sampai Mu`uk hampir menyentuh nirwana. Tunggu dulu! Bukan karena racun nikotin itu yang membuat Mu`uk sampai pada langit ketujuh kenikmatannya.


Aku orang kedua setelah Kakak ipar Mu`uk yang menemukan dirinya terkapar, mengejang-ngejang di selokan kering itu, aku pun tak dapat berbuat banyak. Darah dari kepala itu merubah warna kaos kampanye partai berlambang pohon beringin yang dikenakannya. Kurangnya pengetahuanku akan pertolongan pertama pada kecelakaan justru menghentikan niatku untuk mengangkat tubuh Mu`uk dari selokan itu. Aku lebih memilih mengamankan pelaku tabrak yang hendak lari ini, bocah pelajar sekolah menengah pertama itu tentu saja mengalami ketakutan hebat ketika tangannya kugenggam kuat, bukan karena dominasi usia antara bocah itu dengan aku yang masih berseragam sekolah menengah atas, aku baru saja pulang dari sekolah setelah penambahan jam pelajaran untuk menghadapi ujian kelulusan, tapi aku yakin psikologis bocah itu mengalami shock luar biasa akibat desakan rasa bersalah saat melihat korbannya menggelepar serupa ayam baru saja disembelih.


Pemuda-pemuda kampung tanpa komando satu persatu memaki, menampar, memukul bocah itu yang direbut paksa oleh ketua pemuda kampung dari cengkaraman tanganku. Mu` uk masih berada di selokan itu, posisi tubuhnya, tangan dan kakinya yang tak wajar membuat warga kampung hanya menjerit, menangis, berdoa bercampur jengkel menunggu datangnya mobil ambulans. Memang ada beberapa orang, terutama kakak-kakaknya Mu`uk yang memaksa untuk mengangkat tubuh Mu`uk tapi Pak Mantri Puskesmas yang kebetulan melintas mencegah tindakan itu, akibatnya akan jadi bertambah fatal jika kita gegabah menangani korban tabrakan dengan luka parah di kepala terlebih posisi tubuh Mu`uk di selokan kering itu yang... yaa ampun, aku sampai tak tega memberikan gambarannya.


Pihak keluarga dan pemuda kampung sempat menggerutu keras ditujukan pada Pak Mantri setelah melihat penanganan petugas ambulan seorang perawat muda dan supir yang menggotong keluar tubuh Mu`uk terkesan serampangan. Jika hanya menggotong keluar seperti itu warga kampung tak perlu miris menunggu cukup lama bercampur harap-harap cemas akan kehadiran malaikat pencabut nyawa. Keselamatan jiwa Mu`uk, kami pasrahkan ketika mobil ambulan itu meraung-raung meminta kelonggaran arus lalu lintas, ada jiwa yang tengah terancam di dalam mobil itu. Raungan itu serupa tangis-doa keluarga dan warga kampung yang mencintai Agus Mulyono.


Saatnya interogasi pelaku tabrak yang hendak lari! Pemuda kampung harus menahan emosi karena Pak RW kali ini menjadi petugas interogasi, mengorek jati diri bocah pelaku tabrakan itu. Ketua pemuda berlari kecil menuju telepon umum koin tak jauh dari TKP setelah bocah itu memberikan nomor telepon rumahnya untuk memberikan kabar kejadian pada orang tua bocah itu.


Hanya berselang sepuluh menit sebuah mobil patroli datang pada lokasi TKP, sebagian warga bergumam bakal menjadi repot nasib bocah itu jika sudah berurusan dengan institusi pemilik mobil patroli itu, tamat sudah karirnya sebagai pelajar sekolah bahkan ada beberapa yang berceloteh akan kemampuan radar ’duit’ ditujukan pada yang baru saja datang itu.


Alangkah terkejutnya sebagian besar pemuda kampung, diam-diam ada yang surut kebelakang dan menghilang entah kemana setelah bocah itu menghambur kearah salah seorang yang keluar dari mobil itu, berseragam lengkap, si bocah memeluk erat pada sosok tegap itu. Cukup terdengar satu patah kata ”Paaah..!!!” lalu bocah itu menangis sesegukan di balik seragam Ayahnya. Pelaku interogasi a la pemuda kampung tiba-tiba menghilang semua, kecuali Ketua Pemuda, entah karena mempertahankan reputasi atau karena memang mentalnya yang telah teruji, itu sebabnya pemuda kampung memilih Kang Yadi sebagai ketua mereka.


Kali ini warga kampung hanya melihat dari kejauhan sambil menerka-nerka hasil perbincangan Pak RW, Ketua Pemuda dan orang tua bocah itu, sementara tiga orang petugas berpangkat rendah mengangkat motor bebek barang bukti karena rantai motor itu terkunci oleh sebuah gembok yang rencananya akan dijadikan sebagai jaminan tanggung jawab pelaku tabrakan itu. Warga kampung tak ada satupun yang memberikan informasi siapa pemilik kunci gembok, aku menjadi semakin mantap menutup erat mulutku, degup jantungku kembali normal, sebelumnya betapa khawatirnya aku karena gembok itu biasa kugunakan untuk mengamankan sepedaku. Kunci gembok masih terselip aman di saku celana seragam pramukaku.


Ibu-ibu kampung berkumpul menenangkan Kakak Ipar Mu`uk, siapapun orangnya yang pertama kali mendapati korban dengan kondisi seperti itu pasti terguncang jiwanya terlebih korban merupakan adik kesayangannya, meskipun adik ipar. Sebagian warga yang masih berkumpul mengingat-ingat kembali semua insiden kecelakaan di tikungan sepanjang tak kurang dari lima puluh meter ini, jalan aspal depan rumahku yang menikung tak tajam namun kerap melenakan siapapun yang melintas disini. Bagi yang melintas dari arah barat maka akan terbawa ke sisi kanan jalan sementara bagi yang melintas dari arah timur akan terbawa terbawa kearah titik yang sama, maka bagi yang tak mampu mengendalikan kendaraannya pasti kendaraan mereka akan bertemu pada satu titik, bertubrukan.


Semula warga kampung berharap setelah ditebangnya pohon tanjung besar yang tumbuh di halaman rumah Oom Imron itu maka tidak ada lagi insiden kecelakaan. Aroma mistis selalu menyeruak setiap kali pohon besar berbunga, ribuan kelopak kecil berwarna putih yang berguguran seolah memberikan nuansa habis turun salju di kampung kami. Serupa wewangian bunga melati tapi jauh lebih menusuk. Beberapa saksi-korban yang selamat dari kecelakaan atau hanya terluka ringan selalu saja sama kesaksian penyebab kecelakaan mereka, yaitu melihat sosok seorang nenek di pinggir jalan tengah memunguti bunga tanjung yang berguguran di bawah pohon raksasa itu, kejadian kecelakan yang paling sering terjadi adalah selepas magrib dan selepas subuh.


Aku masih ingat suatu kejadian, pernah ada sepasang muda-mudi menjadi korban kecelakaan yang terkapar tepat di bawah pokok pohon itu, seorang tewas, justru perempuan yang dibonceng di jok belakang, sementara si pengemudi sepeda motor terluka parah pada bagian wajah, lengan dan kaki. Kesaksian korban selamat; menghindar dari sesosok nenek yang menunduk memunguti bunga tanjung. Seminggu kemudian gegerlah warga kampung karena setiap kali melintas di depan pohon tanjung kerap mendengar suara perempuan merintih pedih, konon ini disebabkan penjual jamu keliling dengan gerobak dorongnya yang membuang sisa air jeruk nipis hangat sebagai penawar rasa pahit jamu yang diminum pelanggannya. Air itu dibuang tepat di sisa bercak darah korban. Mitos mengenai kedahsyatan air jeruk nipis yang mampu mengundang suara rintih korban kecelakaan bukan hanya di kampung kami saja dan tidak hanya berlaku bagi manusia, hewanpun bisa.


Begitu nyatanya fenomena ini, akhirnya warga kampung bermufakat untuk menebang pohon raksasa itu. Pemilik rumah yang masih kerabatku ini sempat menggelar doa selepas isya, entah untuk apa keperluannya. Keesokan harinya, petugas penebang dengan gergaji mesin telah siap. Ranting-ranting kecil telah dipapas habis, anak-anak kecil sudah siap di bawah setiap kali rimbunan ranting itu jatuh, tak lain untuk menyelamatkan anak-anak pipit dalam sarang itu. Cabang-cabang besar setelah diikat tali tambang dan beberapa pemuda kampung bertubuh kekar siap menahan dan menarik sekedar mengurangi gaya gravitasi atau mengarahkan pada titik jatuh yang diinginkan, ternyata menebang pohon bisa sedemikian rumitnya, jauh dari ke-simple-an bayanganku.


Insiden kecil terjadi tapi untungnya tubuh yang pasrah oleh hukum gravitasi itu berdebam di atas genting warung milik Oom Imron, delapan meter sudah merupakan ketinggian cukup potensial unutk menyebabkan derajat luka serius. Giliran batang utama menjadi sasaran mesin gergaji, setelah mengisi bahan bakar, operator mesin menarik tali untuk menyalakan mesin gergaji itu tapi sebelum sampai kulit terluar batang itu terkoyak tiba-tiba mesin mati, dinyalakan lagi lalu mati lagi, hingga kali ketiga. Sialnya percobaan keempat membuat operator mesin tiba-tiba jatuh, menggeliat-bergelinjangan, matanya melotot, seluruh otot dan persendian tubuhnya menjadi kaku, menggelepar-gelepar, meraung-meracau tak jelas.


Aku belum begitu paham atas apa yang terjadi, warga yang berkerumun berkesimpulan operator itu kesurupan penunggu pohon tanjung. Kami yang berukuran kecil tersisihkan oleh kerumunan warga jadi hanya mendengar raungan tak jelas, memanjat pohon jambu air milik Tante Lilis seberang rumah Oom Imron pun percuma, tak mendapatkan gambaran jelas.


Masa kanak-kanak kami tak lepas dari pohon tanjung raksasa itu. Anak-anak perempuan kerap memunguti bunga tanjung untuk dirangkaikan dengan benang jahit menjadi untaian kalung, gelang dan mahkota bunga. Kami bocah-bocah lelaki sering kali menemukan sarang burung yang terjatuh beserta anak-anak burung pipit yang masih memerah, lalu kami rawat sampai mereka bisa terbang. Remaja-remaja tanggung, setiap sore mencari hiburan dengan hanya berbekal bongkahan batu sekepal yang dilempar kearah ranting pohon tanjung rimbun yang menjorok kearah jalan, jika lemparan tepat, tinggal tunggu saja sedetik kemudian puluhan burung pipit berhamburan terbang bergerombol karena terusik kenyamanannya, semakin banyak burung yang berhamburan semakin riuh tepuk tangan kami.


Obrolan warga akhirnya mengulas kejadian paling fenomenal yang pernah terjadi di tikungan depan rumahku. Korban adalah penyiar favorit yang bekerja untuk sebuah radio swasta, suara khasnya menjadikan dirinya sebagai idola bagi remaja-remaja putri terlebih mereka pernah melihat wajah penyiar favorit ini pada acara off air di alun-alun kota kami. Wajah penyiar muda favorit itu sama sekali tak menunjukkan ketampanannya setelah terlindas truk pengangkut sampah. Tanteku masih merinding jika mengingat kembali suara gemertak batok kepala itu yang terdengar sampai dapur rumahku yang berjarak hampir empat puluh meter.


Warga kampung tak ada satupun yang berani mengumpulkan ceceran isi kepala yang berhamburan di aspal hitam dan pinggiran jalan, hanya Mu`uk yang dengan telaten sambil sesekali menutupi bercak darah dengan pasir bahkan sebiji bola mata korban ditemukannya di halaman gedung dakwah Muhammadiyah tepat seberang rumahku. Siapa kan menyangka bertahun-tahun kemudian Mu`uk pun menjadi korban ditempat yang sama ini, meski selalu lolos dari cengkraman malaikat maut.


Tentang kecelakaan Mu`uk itu, selain persediaan nyawa yang tak terduga jumlahnya, kami juga kagum dengan kemampuan cepat pulihnya Mu`uk, hanya berselang empat jam, Agus Mulyono sudah berjalan di sepanjang pinggiran tikungan itu. Duduk-duduk di pagar semen depan rumahku lengkap dengan aksesoris perban di kepala dan kain penyangga lengan kirinya, lengan terkuatnya. Meski warga tak pernah meragukan urusan nyawa adalah hak prerogatif Tuhan, tapi jika melihat kondisi Mu`uk saat terkapar rasanya sulit untuk mempercayai kemungkinan Mu`uk kali ini mampu lolos dari malaikat maut. Jangan-jangan Mu`uk ini serupa Wolverine, tokoh mutant dalam karakter super hero X-Men, yang memiliki berkah quick self-healing!


Belum sempat luka kepalanya mengering betul, Agus Muyono alias Mu`uk, tiba-tiba mengetuk pintu belakang rumahku. Menyodorkan bungkusan plastik hitam, entah apa isinya, dia hanya berbicara beberapa patah kata saja, ”yeuh, mayan..mayan jan digoyeng!” setelah kubuka rupanya puluhan ikan wader hasil tangkapan pancingnya. Mu`uk hanya ngeloyor pergi dengan batang bambu bersenar dua meteran dengan kail dan pemberat timah di ujungnya. Yaa.. lumayan juga jika digoreng bisa jadi kudapan teman minum kopi. Selepas magrib, Mu`uk yang biasa nangkring di depan rumah ku tawarkan minum kopi, tentu tak pernah dia lewatkan tawaran seperti ini. Kopi hangat, wader goreng dan kepulan asap Djarum Coklat menjadi pemantik keceriaan senda gurau bagi keluargaku yang dihibur oleh kepolosan model perbincangan khas Mu`uk, bicara apa adanya, hal yang pertama kali terlintas dalam pikirannya maka itu yang terucap. Tawaran uang penganti ikan wader yang disodorkan bunda ditolak oleh Mu`uk maka sebagai penggantinya Mu`uk cukup merasa terhormat dengan sebungkus rokok Djarum Coklat, meskipun aku yakin dia tak pernah ada niatan untuk imbalan pengganti.


Musim perayaan hari kelahiran Rasullulah menjadi berkah tersendiri bagi Mu`uk, jika Mu`uk sudah berpakaian hem terbaik dan tersanding peci hitam di kepalanya dan tak lupa plastik hitam besar terselip di saku celana belakang, maka Agus Mulyono siap berjibaku dengan puluhan orang yang memperebutkan nasi berkat, jika di Jogja dikenal dengan sebutan gunungan dan traisi grebeg maulud, maka di kampung kami sebutan itu menjadi ngeropok’. Kesigapan Mu`uk sudah terkenal seantero kelurahan maka tak heran Mu`uk pasti membawa pulang beberapa batang bambu yang terhias oleh kertas berwarna yang diujung bambu itu tertancap telur ayam rebus terhias menyerupai bunga merekah indah. Sudah sejak awal dia berniat memburu telur-telur itu sejumlah keponakannya, perkiraannya tak pernah meleset bahkan lebih sering mendapatkan lebih. Telur-telur indah itupun diberikan satu persatu untuk seluruh keponakannya, sementara paket sembako diberikan kepada Kakak Iparnya. Keceriaan mereka sudah sangat cukup menjadi imbalan dari usaha berjibakunya. Mu`uk sangat senang jika eksistensinya diakui.



Aku baru sadari bahwa waktu terus berjalan dan merubah apapun yang terkena radiasi pergerakan masa. Sosok Mu`uk pun tak luput dari radiasi itu, rambutnya mulai didominasi warna kelabu, jelas terlihat ketika aku berada pada cabang pohon lebih tinggi dari posisi Mu`uk bertengger kelelahan. Faktor usia rupanya berpengaruh besar bagi kesigapan dan stamina Mu`uk, sore ini aku menemani Mu`uk yang mendapatkan proyek membenahi dapur rumahku. Bapak memberikan instruksi agar Mu`uk terlebih dahulu memangkas cabang-cabang pohon alpukat yang menimpa atap dapur. Awalnya Mu`uk bergerak dengan sigap, hanya diperlukan tiga detik sudah berada pada titik yang ditentukan, parang yang tergigit pada mulutnya adalah ciri khas jika dia memanjat pohon.


Tak hanya pada pohon alpukat ini, Mu`uk kerap membawa parang dengan gayanya itu, ketika memanjat pohon kelapa, maka tak heran jika tiba-tiba kelapa muda jatuh sudah tanpa air karena ludes ditenggaknya di atas. Begitu juga jika kami bersepakat untuk menikmati gayam rebus yang tumbuh menjulang tinggi di pekuburan kampung, kami hanya menunggu biji-biji gayam yang sudah terkelupas oleh parang Mu`uk dari atas sana, sementara kami telah siap dengan kaleng susu bekas, tinggal tambahkan air sungai dan membakar ranting-ranting kering maka saat Mu`uk turun kami tinggal menyantap pulennya gayam rebus. Terkadang Mu`uk tertidur diatas pohon gayam karena kelamaan menunggu.


Aku gantikan tugasnya menebang batang alpukat yang cukup besar dan posisinya cukup sulit setelah kulihat kaki Mu`uk bergetar cukup hebat, mukanya pucat dan keringat mengalir deras dari dahinya, bahkan menyerahkan parang kebanggannya pun terlampau lelah hampir saja terlepas, padahal Mu`uk sudah makan sebelum memulai proyeknya ini. Bunda pun tak pernah tega menyuruh Mu`uk tanpa terlebih dulu mengajaknya makan, sekuat apapun usaha Mu`uk menolak tapi rayuan bunda tak pernah kalah.


Selesai memangkas batang dan cabang yang tidak diinginkan, kami memerlukan istirahat, menyuruput kopi hitam panas dan menghisap rokok. Kuperhatikan Mu`uk sempat memijati sendiri lengan kirinya yang dominan digunakan sehari-hari seperti untuk makan, memacul, merokok, menggergaji, mengayunkan parang, semua menggunakan lengan kiri, kidal. Banyak orang bilang, tidak baik menggunakan tangan kiri karena sering diasosiasikan sebagai tangan setan tapi hal itu tidak berpengaruh bagi Mu`uk. Justru berkat lengan kirinya semua pekerjaan kampung dapat dia tangani. Kuburan mana yang tidak tergali oleh Mu`uk, setiap kali berkumandang pengumuman kematian warga dari mushola kampung maka Mu`uk yang pertama kali sigap dengan pacul dan sekopnya.


Batang-batang bambu usuk yang melapuk hanya terpotong lima batang saja dari dua puluh batang penyangga rangkaian genteng atap dapur rumahku yang harus digantikan, sisa lima belas batang lagi aku yang selesaikan. Kukira hanya sejenak saja aku meninggalkan kampung halamanku, rupanya sudah delapan tahun telah terlewatkan. Kurun waktu delapan tahun itu entah apa yang telah terjadi? Kejadian apa yang melunturkan kesigapan Mu`uk? Mungkinkah ada kecelakaan lagi yang menimpa Mu`uk hinga merampas kekuatannya yang selalu kukagumi? Atau ini semata konspirasi malaikat maut bekerjasama dengan pergerakan waktu yang merenggut segala kejayaan sosok Agus Mulyono?

-koelit ketjil-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!