Jumat, Maret 26, 2010

Kabar kematian

”Assalamualaikum warrahmatullahiii wabarakattuuuuh… Innalillahi wainna lillahi rojiiuunnn…. Innalillahi wainna lillahi rojiiuunnn….” Suara khas itu berkumandang lewat pengeras suara Langgar Syaban, memecah kesunyian dini hari serta membangunkan nyenyak tidur warga kampung Cijuru. Siapapun dan dalam kondisi terlelap bagaimanapun pasti akan terbangun tiba-tiba, menunggu dan berharap cemas semoga asal suara yang berkumandang dari Langgar Syaban yang terletak di ujung barat kampung ini tidak menyampaikan kabar kematian nama keluarga, kerabat atau orang terdekat mereka.

”Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita yang bernama Syahru Muadzin Khairul Rizal bin Ahmad Zaelani. Hari ini pada pukul kosong satu lewat delapan belas menit. Sekali lagi... Innalillahi wainna lillahi rojiiuunnn…. Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita yang bernama Syahru Muadzin Khairul Rizal bin Ahmad Zaelani. Hari ini pukul kosong satu lewat delapan belas menit....” kabar kematian itu tidaklah lengkap seperti biasanya kami dengar jika tersiar kabar kematian lewat pengeras Langgar kampung ini.

Aku memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidurku, kulihat penunjuk waktu pada telepon genggamku, pukul dua tepat dini hari. Rupanya memang sedang padam listrik, meskipun baru terbangun dengan separuh kesadaranku tapi aku yakin sebelum memejamkan mataku, saklar lampu kamar tidak kumatikan. Novel Epitaph karya seorang kawan masih tergeletak di sebelah bantalku, pertanda aku tertidur saat membaca novel itu.

Dibantu penerangan ala kadarnya dari sinar telepon genggam, aku bergerak sempoyongan menuju rak buku mencari-cari senter, kepalaku serasa dihantam mobil truk setiap kali harus terbangun dalam keadaan terkejut,. Ahh, sial betul! Mengapa selalu sulit mencari benda yang dibutuhkan, seolah-olah raib ditelan bumi atau disembunyikan jin, seingatku senter berwarna kuning itu selalu ada diantara sela-sela buku.

Kubasuh terlebih dahulu wajah mengantuk ini, setidaknya air segar dini hari ini dapat mengembalikan kesadaranku secara penuh dan dapat memangil kembali potongan-potongan ruh ku yang masih melayang-layang di gerbang mimpi. Segelas air putih tandas kutenggak. Sudah sepekan ini kampung kami harus merasakan kembali mundur pada jaman sebelum bola lampu listrik ditemukan oleh Thomas Alfa Edisson. Pemadaman listrik bergilir yang disebabkan kurangnya pasokan energi untuk wilayah pulau Jawa ini sangat merepotkan sekali.

Pancaran sinar lampu senter tidak memuaskan daya penglihatanku, kali ini aku kesulitan mencari lampu tempel, baru kemarin malam kugunakan, sekarang aku harus mengobrak-abrik seisi rumah kecil ini, entah jin dari golongan mana yang gemar sekali menyembunyikan barang terpenting yang harus digunakan saat ini juga!

Lampu tempel sudah kutemukan, aku masih terduduk di bangku bambu ruang makan sambil mengingat-ingat petikan berita kematian tadi. Syahru Muadzin Khairul Rizal bin Ahmad Zaelani, tiga kali kuulangi nama almarhum yang baru saja diumumkan oleh Pak Iing, merbot tua pengurus langgar kampung. Seingatku tidak ada nama Syahru Muadzin Khairul Rizal atau Ahmad Zaelani di kampung yang hanya berjumlah dua ratus tiga puluh jiwa ini.

Sinar lampu senter dalam genggamanku meredup perlahan dan akhirnya padam, kupukul-pukul gagangnya sedetik menyala lalu tak menunjukkan lagi sisa energi dari battere kering seukuran jari kelingking ini. Lagi-lagi sial! Belum sempat kunyalakan lampu tempel tadi kini aku harus gerayangan meraba-raba permukaan dinding dan memaksimalkan sensitifitas telapak kakiku menuntun menuju kamar tidurku. Kali ini aku kesulitan tanpa setitikpun panduan cahaya untuk mencari korek api meskipun aku ingat betul letak terakhir korek itu, pasti tak jauh dari bungkus rokok, tidak diragukan lagi berada disebelah asbak yang tergolek di meja bacaku.

Aku tertawa geli sendiri mengingat lelucon teka-teki kawanku; ”Kalau sedang padam listrik dan di hadapan kalian ada lilin, lampu tempel, korek api dan petromak, maka yang terlebih dahulu kalian nyalakan yang mana?” seorang kawanku yang terpancing jebakan dengan sigap menjawab, ”lilin!” sudah keras, sok yakin, masih salah pula. Pertanyaan konyol macam apa itu? Aku hanya menyunggingkan senyumku sambil menjawab datar ketika si penanya menantangku untuk menjawab, sudah pasti korek api terlebih dulu yang harus dinyalakan! Untuk kasusku kali ini korek api yang terakhir kali harus kucari.

Lama kuperhatikan kerlip ujung mata api dari lampu tempel sembari mengingat-ingat lagi nama-nama warga Cijuru. Rumah paling barat pinggir sungai batas kampung dihuni oleh Pak Ahwan beserta istrinya dan tiga anaknya yang masih kecil; Marni, Rani dan Ridwan. Lalu kemudian Pakde Tukijan seorang diri, disusul Aswandi dan kakak perempuannya terus hingga pemilik rumah di batas kampung sebelah timur. Ahh, mungkin almarhum merupakan kerabat dari warga kampung yang akan dikebumikan di tanah wakaf pekuburan kampung kami, lagi pula tadi Pak Iing memberikan informasi tidak lengkap kabar kematian itu.

Warga kampung selalu merindu suara khas Pak Iing yang syahdu, empuk dan panjang tanpa tergangu helaan nafas jika setiap kali mengumandangkan adzan pertanda masuk waktu shalat, getaran suaranya yang mendamaikan itu tak akan mampu terkalahkan oleh godaan setan yang mengajak warga agar absen beribadah tapi jangan harap warga menanti-nanti suara khas Pak Iing jika diluar waktu shalat seperti selepas isya atau sebelum masuk waktu subuh, dapat dipastikan jika bergaung pengeras suara dari langgar maka tersiarlah kabar kematian di seantoro kampung Cijuru.

Merbot tua itu tergolong pendatang baru meskipun sudah puluhan tahun tinggal di kampung kami. Konon menurut cerita Kakek, awal kedatangannya disini karena Iing kecil yang yatim-piatu itu diasuh oleh almarhum Kyai Mahdum, sesepuh kampung kami. Pak Iing sejak remaja selalu aktif mengurusi kebersihan dan keperluan langgar ini, bukan karena Kyai Mahdum sebagai pendiri langgar diatas tanah miliknya yang diwakafkan tapi karena didikan agama yang didapatkan langsung dari Kyai Mahdum yang begitu sayang terhadap Pak Iing sejak kecil.

Warga kampung tak pernah mendengar suara kesedihan mendalam yang pernah keluar dari mulut Pak Iing selama dia menyiarkan kabar kematian selain ketika harus mengabarkan kematian Kyai Mahdum, ayah angkatnya. Sontak seluruh warga kampung menangis begitu mendengar kabar itu, bukan karena suara Pak Iing muda yang begitu menyayat hati melainkan rasa kehilangan atas sosok sesepuh karismatik Kampung Cijuru. Pak Iing sejak saat itu kembali menjalani hidup sendiri lagi. Keperluan hidupnya didapatkan dari sepetak sawah kecil peninggalan Kyai Mahdum yang dipercayakan pada dirinya dan pemberian makanan ikhlas dari warga kampung jika belum tiba masa panen.

Kenapa pula tiba-tiba aku jadi teringat Pak Iing selepas shalat malam ini? Memang sudah tiga hari ini Pak Iing terlihat sakit-sakitan tapi meski demikian dia selalu menjadi muadzin dan memimpin shalat lima waktu karena memang langgar kami terletak pada pekarang rumah peninggalan almarhum Kyai Mahdum yang jaraknya hanya beberapa belas meter saja.

Masih berbalut sarung, aku melanjutkan membaca novel yang judulnya mengambil istilah dari tulisan pada batu nisan; Epitaph. Kabar kematian...lagi-lagi kabar kematian! Hujan deras dini hari menjelang subuh dan tanpa penerangan listrik ini begitu syahdu menganyam kabar kematian.

Hujan deras datang lagi, o betapa nikmatnya kembali menarik selimut hangat, melingkarkan tubuhku dan tidur lelap hingga siang hari tapi itu hanya impian belaka karena selepas subuh nanti aku sudah harus pergi kerja. Sudah pukul lima lewat sepuluh, seharusnya sudah masuk waktu shalat subuh tapi belum kudengar suara Pak Iing mengumandangkan adzan. Ah, Betapa bodohnya aku! Lampu tempelku masih menyala, bukankah itu pertanda yang nyata bahwa listrik belum menyala?

Kutimang-timang helmku, mesin motor sudah menyala menunggu panas yang cukup, membiarkan oli melumasi sela-sela mesin. Berangkat...Tidak... Berangkat... Tidak... Berangkat!! Pakaian kerja masih terlipat rapi di dalam tas ranselku, lebih baik kukenakan kaos dan celana pendek lalu jas hujan agar tidak basah kuyup di kantor nanti, hujan masih juga belum menandakan akan reda. Aku pun menerobos keheningan subuh hari terguyur hujan lebat.

Melintasi depan Langgar kulihat sosok tubuh menunduk Pak Iing keluar dari langgar, kutekan tombol klaksonku sebagai tanda sapaan. Langgar sepi sekali, biasanya selepas subuh masih ada beberapa orang membaca kitab suci atau sekedar ngobrol-ngobrol di depan langgar hingga matahari memancarkan sinarnya, subuh ini terlihat lengang mungkin karena hujan lebat pikirku.

Telepon genggamku berdering, kutenggak minuman fruit tea langsung dari botolnya untuk mendorong nasi dan lauk makan siang yang masih menyangkut di sepanjang tenggorokanku. Telepon genggamku terjatuh dari tanganku, badanku melemas, shock luar biasa begitu aku mendengar kabar dari lawan bicara via telepon genggamku. Aku memerlukan bersandar pada kursi dan menghisap rokok untuk menenangkan diri.

Pikiranku mengaitkan keping-keping puzzle misteri dini hari tadi. Lalu siapa yang mengumumkan kabar kematian itu? Pengeras suara langgar kampung itu, bukankah semalam hingga pagi tadi listrik masih padam di kampung kami?! Jadi yang kusapa lewat klakson selepas subuh tadi siapa orangnya?! Wandi baru saja mengabarkan bahwa Pak Iing ditemukan telah meninggal dunia setelah warga mendatangi rumah peninggalan Kyai Mahdum karena Pak Iing tidak mengumandangan adzan dhuhur. Selepas ashar seluruh warga kampung mengumandangkan adzan perpisahan dari lubang kubur muadzin kampung kami.

Syahru Muadzin Khairul Rizal, mengabarkan kematian dirinya sendiri....


-Koelit ketjil-
Kota S, 20 Maret 2010, pukul dua-tiga dini hari
(berharap pengeras suara mushola kampungku tak berbunyi)

Rabu, Maret 17, 2010

cukup panggil kawanku ini; Mu`uk... (lanjutan)




Satu lagi insiden yang membuat malaikat pencabut nyawa tercoreng reputasinya jika harus berhadapan dengan Mu`uk. Tikungan depan rumahku pernah menjadi TKP, nyawa Mu`uk meregang setelah tertabrak sepeda motor dari belakang dan menggelepar di selokan, tapi lagi-lagi, malaikat pencabut nyawa gagal! Sore itu tikungan depan rumah cukup lengang, warga kampung rata-rata tengah menikmati waktu istirahat, lelaki produktif baru saja pulang kerja, para ibu mungkin tengah masyuk di depan televisi setelah lepas dari perkakas dapur dan sebagian anak-anak tengah belajar di sekolah kedua mereka, madrasah. Suara derit ban dan bunyi tubrukan menghenyak warga kampung dari ketentraman waktu istirahat.


Kakak ipar Mu`uk berteriak sejadinya, tak dapat berbuat apa-apa, hanya berteriak dan menangis melihat adik kesayangannya terkapar pada selokan tepat pinggir warung nasinya. Mu`uk baru saja meminta jatah makan di warung itu, melangkah keluar dengan asap rokok Djarum Coklat mengepul dari bibirnya yang menghitam, ekstase tertinggi zat adiktif nikotin terlampau tinggi, sampai-sampai Mu`uk hampir menyentuh nirwana. Tunggu dulu! Bukan karena racun nikotin itu yang membuat Mu`uk sampai pada langit ketujuh kenikmatannya.


Aku orang kedua setelah Kakak ipar Mu`uk yang menemukan dirinya terkapar, mengejang-ngejang di selokan kering itu, aku pun tak dapat berbuat banyak. Darah dari kepala itu merubah warna kaos kampanye partai berlambang pohon beringin yang dikenakannya. Kurangnya pengetahuanku akan pertolongan pertama pada kecelakaan justru menghentikan niatku untuk mengangkat tubuh Mu`uk dari selokan itu. Aku lebih memilih mengamankan pelaku tabrak yang hendak lari ini, bocah pelajar sekolah menengah pertama itu tentu saja mengalami ketakutan hebat ketika tangannya kugenggam kuat, bukan karena dominasi usia antara bocah itu dengan aku yang masih berseragam sekolah menengah atas, aku baru saja pulang dari sekolah setelah penambahan jam pelajaran untuk menghadapi ujian kelulusan, tapi aku yakin psikologis bocah itu mengalami shock luar biasa akibat desakan rasa bersalah saat melihat korbannya menggelepar serupa ayam baru saja disembelih.


Pemuda-pemuda kampung tanpa komando satu persatu memaki, menampar, memukul bocah itu yang direbut paksa oleh ketua pemuda kampung dari cengkaraman tanganku. Mu` uk masih berada di selokan itu, posisi tubuhnya, tangan dan kakinya yang tak wajar membuat warga kampung hanya menjerit, menangis, berdoa bercampur jengkel menunggu datangnya mobil ambulans. Memang ada beberapa orang, terutama kakak-kakaknya Mu`uk yang memaksa untuk mengangkat tubuh Mu`uk tapi Pak Mantri Puskesmas yang kebetulan melintas mencegah tindakan itu, akibatnya akan jadi bertambah fatal jika kita gegabah menangani korban tabrakan dengan luka parah di kepala terlebih posisi tubuh Mu`uk di selokan kering itu yang... yaa ampun, aku sampai tak tega memberikan gambarannya.


Pihak keluarga dan pemuda kampung sempat menggerutu keras ditujukan pada Pak Mantri setelah melihat penanganan petugas ambulan seorang perawat muda dan supir yang menggotong keluar tubuh Mu`uk terkesan serampangan. Jika hanya menggotong keluar seperti itu warga kampung tak perlu miris menunggu cukup lama bercampur harap-harap cemas akan kehadiran malaikat pencabut nyawa. Keselamatan jiwa Mu`uk, kami pasrahkan ketika mobil ambulan itu meraung-raung meminta kelonggaran arus lalu lintas, ada jiwa yang tengah terancam di dalam mobil itu. Raungan itu serupa tangis-doa keluarga dan warga kampung yang mencintai Agus Mulyono.


Saatnya interogasi pelaku tabrak yang hendak lari! Pemuda kampung harus menahan emosi karena Pak RW kali ini menjadi petugas interogasi, mengorek jati diri bocah pelaku tabrakan itu. Ketua pemuda berlari kecil menuju telepon umum koin tak jauh dari TKP setelah bocah itu memberikan nomor telepon rumahnya untuk memberikan kabar kejadian pada orang tua bocah itu.


Hanya berselang sepuluh menit sebuah mobil patroli datang pada lokasi TKP, sebagian warga bergumam bakal menjadi repot nasib bocah itu jika sudah berurusan dengan institusi pemilik mobil patroli itu, tamat sudah karirnya sebagai pelajar sekolah bahkan ada beberapa yang berceloteh akan kemampuan radar ’duit’ ditujukan pada yang baru saja datang itu.


Alangkah terkejutnya sebagian besar pemuda kampung, diam-diam ada yang surut kebelakang dan menghilang entah kemana setelah bocah itu menghambur kearah salah seorang yang keluar dari mobil itu, berseragam lengkap, si bocah memeluk erat pada sosok tegap itu. Cukup terdengar satu patah kata ”Paaah..!!!” lalu bocah itu menangis sesegukan di balik seragam Ayahnya. Pelaku interogasi a la pemuda kampung tiba-tiba menghilang semua, kecuali Ketua Pemuda, entah karena mempertahankan reputasi atau karena memang mentalnya yang telah teruji, itu sebabnya pemuda kampung memilih Kang Yadi sebagai ketua mereka.


Kali ini warga kampung hanya melihat dari kejauhan sambil menerka-nerka hasil perbincangan Pak RW, Ketua Pemuda dan orang tua bocah itu, sementara tiga orang petugas berpangkat rendah mengangkat motor bebek barang bukti karena rantai motor itu terkunci oleh sebuah gembok yang rencananya akan dijadikan sebagai jaminan tanggung jawab pelaku tabrakan itu. Warga kampung tak ada satupun yang memberikan informasi siapa pemilik kunci gembok, aku menjadi semakin mantap menutup erat mulutku, degup jantungku kembali normal, sebelumnya betapa khawatirnya aku karena gembok itu biasa kugunakan untuk mengamankan sepedaku. Kunci gembok masih terselip aman di saku celana seragam pramukaku.


Ibu-ibu kampung berkumpul menenangkan Kakak Ipar Mu`uk, siapapun orangnya yang pertama kali mendapati korban dengan kondisi seperti itu pasti terguncang jiwanya terlebih korban merupakan adik kesayangannya, meskipun adik ipar. Sebagian warga yang masih berkumpul mengingat-ingat kembali semua insiden kecelakaan di tikungan sepanjang tak kurang dari lima puluh meter ini, jalan aspal depan rumahku yang menikung tak tajam namun kerap melenakan siapapun yang melintas disini. Bagi yang melintas dari arah barat maka akan terbawa ke sisi kanan jalan sementara bagi yang melintas dari arah timur akan terbawa terbawa kearah titik yang sama, maka bagi yang tak mampu mengendalikan kendaraannya pasti kendaraan mereka akan bertemu pada satu titik, bertubrukan.


Semula warga kampung berharap setelah ditebangnya pohon tanjung besar yang tumbuh di halaman rumah Oom Imron itu maka tidak ada lagi insiden kecelakaan. Aroma mistis selalu menyeruak setiap kali pohon besar berbunga, ribuan kelopak kecil berwarna putih yang berguguran seolah memberikan nuansa habis turun salju di kampung kami. Serupa wewangian bunga melati tapi jauh lebih menusuk. Beberapa saksi-korban yang selamat dari kecelakaan atau hanya terluka ringan selalu saja sama kesaksian penyebab kecelakaan mereka, yaitu melihat sosok seorang nenek di pinggir jalan tengah memunguti bunga tanjung yang berguguran di bawah pohon raksasa itu, kejadian kecelakan yang paling sering terjadi adalah selepas magrib dan selepas subuh.


Aku masih ingat suatu kejadian, pernah ada sepasang muda-mudi menjadi korban kecelakaan yang terkapar tepat di bawah pokok pohon itu, seorang tewas, justru perempuan yang dibonceng di jok belakang, sementara si pengemudi sepeda motor terluka parah pada bagian wajah, lengan dan kaki. Kesaksian korban selamat; menghindar dari sesosok nenek yang menunduk memunguti bunga tanjung. Seminggu kemudian gegerlah warga kampung karena setiap kali melintas di depan pohon tanjung kerap mendengar suara perempuan merintih pedih, konon ini disebabkan penjual jamu keliling dengan gerobak dorongnya yang membuang sisa air jeruk nipis hangat sebagai penawar rasa pahit jamu yang diminum pelanggannya. Air itu dibuang tepat di sisa bercak darah korban. Mitos mengenai kedahsyatan air jeruk nipis yang mampu mengundang suara rintih korban kecelakaan bukan hanya di kampung kami saja dan tidak hanya berlaku bagi manusia, hewanpun bisa.


Begitu nyatanya fenomena ini, akhirnya warga kampung bermufakat untuk menebang pohon raksasa itu. Pemilik rumah yang masih kerabatku ini sempat menggelar doa selepas isya, entah untuk apa keperluannya. Keesokan harinya, petugas penebang dengan gergaji mesin telah siap. Ranting-ranting kecil telah dipapas habis, anak-anak kecil sudah siap di bawah setiap kali rimbunan ranting itu jatuh, tak lain untuk menyelamatkan anak-anak pipit dalam sarang itu. Cabang-cabang besar setelah diikat tali tambang dan beberapa pemuda kampung bertubuh kekar siap menahan dan menarik sekedar mengurangi gaya gravitasi atau mengarahkan pada titik jatuh yang diinginkan, ternyata menebang pohon bisa sedemikian rumitnya, jauh dari ke-simple-an bayanganku.


Insiden kecil terjadi tapi untungnya tubuh yang pasrah oleh hukum gravitasi itu berdebam di atas genting warung milik Oom Imron, delapan meter sudah merupakan ketinggian cukup potensial unutk menyebabkan derajat luka serius. Giliran batang utama menjadi sasaran mesin gergaji, setelah mengisi bahan bakar, operator mesin menarik tali untuk menyalakan mesin gergaji itu tapi sebelum sampai kulit terluar batang itu terkoyak tiba-tiba mesin mati, dinyalakan lagi lalu mati lagi, hingga kali ketiga. Sialnya percobaan keempat membuat operator mesin tiba-tiba jatuh, menggeliat-bergelinjangan, matanya melotot, seluruh otot dan persendian tubuhnya menjadi kaku, menggelepar-gelepar, meraung-meracau tak jelas.


Aku belum begitu paham atas apa yang terjadi, warga yang berkerumun berkesimpulan operator itu kesurupan penunggu pohon tanjung. Kami yang berukuran kecil tersisihkan oleh kerumunan warga jadi hanya mendengar raungan tak jelas, memanjat pohon jambu air milik Tante Lilis seberang rumah Oom Imron pun percuma, tak mendapatkan gambaran jelas.


Masa kanak-kanak kami tak lepas dari pohon tanjung raksasa itu. Anak-anak perempuan kerap memunguti bunga tanjung untuk dirangkaikan dengan benang jahit menjadi untaian kalung, gelang dan mahkota bunga. Kami bocah-bocah lelaki sering kali menemukan sarang burung yang terjatuh beserta anak-anak burung pipit yang masih memerah, lalu kami rawat sampai mereka bisa terbang. Remaja-remaja tanggung, setiap sore mencari hiburan dengan hanya berbekal bongkahan batu sekepal yang dilempar kearah ranting pohon tanjung rimbun yang menjorok kearah jalan, jika lemparan tepat, tinggal tunggu saja sedetik kemudian puluhan burung pipit berhamburan terbang bergerombol karena terusik kenyamanannya, semakin banyak burung yang berhamburan semakin riuh tepuk tangan kami.


Obrolan warga akhirnya mengulas kejadian paling fenomenal yang pernah terjadi di tikungan depan rumahku. Korban adalah penyiar favorit yang bekerja untuk sebuah radio swasta, suara khasnya menjadikan dirinya sebagai idola bagi remaja-remaja putri terlebih mereka pernah melihat wajah penyiar favorit ini pada acara off air di alun-alun kota kami. Wajah penyiar muda favorit itu sama sekali tak menunjukkan ketampanannya setelah terlindas truk pengangkut sampah. Tanteku masih merinding jika mengingat kembali suara gemertak batok kepala itu yang terdengar sampai dapur rumahku yang berjarak hampir empat puluh meter.


Warga kampung tak ada satupun yang berani mengumpulkan ceceran isi kepala yang berhamburan di aspal hitam dan pinggiran jalan, hanya Mu`uk yang dengan telaten sambil sesekali menutupi bercak darah dengan pasir bahkan sebiji bola mata korban ditemukannya di halaman gedung dakwah Muhammadiyah tepat seberang rumahku. Siapa kan menyangka bertahun-tahun kemudian Mu`uk pun menjadi korban ditempat yang sama ini, meski selalu lolos dari cengkraman malaikat maut.


Tentang kecelakaan Mu`uk itu, selain persediaan nyawa yang tak terduga jumlahnya, kami juga kagum dengan kemampuan cepat pulihnya Mu`uk, hanya berselang empat jam, Agus Mulyono sudah berjalan di sepanjang pinggiran tikungan itu. Duduk-duduk di pagar semen depan rumahku lengkap dengan aksesoris perban di kepala dan kain penyangga lengan kirinya, lengan terkuatnya. Meski warga tak pernah meragukan urusan nyawa adalah hak prerogatif Tuhan, tapi jika melihat kondisi Mu`uk saat terkapar rasanya sulit untuk mempercayai kemungkinan Mu`uk kali ini mampu lolos dari malaikat maut. Jangan-jangan Mu`uk ini serupa Wolverine, tokoh mutant dalam karakter super hero X-Men, yang memiliki berkah quick self-healing!


Belum sempat luka kepalanya mengering betul, Agus Muyono alias Mu`uk, tiba-tiba mengetuk pintu belakang rumahku. Menyodorkan bungkusan plastik hitam, entah apa isinya, dia hanya berbicara beberapa patah kata saja, ”yeuh, mayan..mayan jan digoyeng!” setelah kubuka rupanya puluhan ikan wader hasil tangkapan pancingnya. Mu`uk hanya ngeloyor pergi dengan batang bambu bersenar dua meteran dengan kail dan pemberat timah di ujungnya. Yaa.. lumayan juga jika digoreng bisa jadi kudapan teman minum kopi. Selepas magrib, Mu`uk yang biasa nangkring di depan rumah ku tawarkan minum kopi, tentu tak pernah dia lewatkan tawaran seperti ini. Kopi hangat, wader goreng dan kepulan asap Djarum Coklat menjadi pemantik keceriaan senda gurau bagi keluargaku yang dihibur oleh kepolosan model perbincangan khas Mu`uk, bicara apa adanya, hal yang pertama kali terlintas dalam pikirannya maka itu yang terucap. Tawaran uang penganti ikan wader yang disodorkan bunda ditolak oleh Mu`uk maka sebagai penggantinya Mu`uk cukup merasa terhormat dengan sebungkus rokok Djarum Coklat, meskipun aku yakin dia tak pernah ada niatan untuk imbalan pengganti.


Musim perayaan hari kelahiran Rasullulah menjadi berkah tersendiri bagi Mu`uk, jika Mu`uk sudah berpakaian hem terbaik dan tersanding peci hitam di kepalanya dan tak lupa plastik hitam besar terselip di saku celana belakang, maka Agus Mulyono siap berjibaku dengan puluhan orang yang memperebutkan nasi berkat, jika di Jogja dikenal dengan sebutan gunungan dan traisi grebeg maulud, maka di kampung kami sebutan itu menjadi ngeropok’. Kesigapan Mu`uk sudah terkenal seantero kelurahan maka tak heran Mu`uk pasti membawa pulang beberapa batang bambu yang terhias oleh kertas berwarna yang diujung bambu itu tertancap telur ayam rebus terhias menyerupai bunga merekah indah. Sudah sejak awal dia berniat memburu telur-telur itu sejumlah keponakannya, perkiraannya tak pernah meleset bahkan lebih sering mendapatkan lebih. Telur-telur indah itupun diberikan satu persatu untuk seluruh keponakannya, sementara paket sembako diberikan kepada Kakak Iparnya. Keceriaan mereka sudah sangat cukup menjadi imbalan dari usaha berjibakunya. Mu`uk sangat senang jika eksistensinya diakui.



Aku baru sadari bahwa waktu terus berjalan dan merubah apapun yang terkena radiasi pergerakan masa. Sosok Mu`uk pun tak luput dari radiasi itu, rambutnya mulai didominasi warna kelabu, jelas terlihat ketika aku berada pada cabang pohon lebih tinggi dari posisi Mu`uk bertengger kelelahan. Faktor usia rupanya berpengaruh besar bagi kesigapan dan stamina Mu`uk, sore ini aku menemani Mu`uk yang mendapatkan proyek membenahi dapur rumahku. Bapak memberikan instruksi agar Mu`uk terlebih dahulu memangkas cabang-cabang pohon alpukat yang menimpa atap dapur. Awalnya Mu`uk bergerak dengan sigap, hanya diperlukan tiga detik sudah berada pada titik yang ditentukan, parang yang tergigit pada mulutnya adalah ciri khas jika dia memanjat pohon.


Tak hanya pada pohon alpukat ini, Mu`uk kerap membawa parang dengan gayanya itu, ketika memanjat pohon kelapa, maka tak heran jika tiba-tiba kelapa muda jatuh sudah tanpa air karena ludes ditenggaknya di atas. Begitu juga jika kami bersepakat untuk menikmati gayam rebus yang tumbuh menjulang tinggi di pekuburan kampung, kami hanya menunggu biji-biji gayam yang sudah terkelupas oleh parang Mu`uk dari atas sana, sementara kami telah siap dengan kaleng susu bekas, tinggal tambahkan air sungai dan membakar ranting-ranting kering maka saat Mu`uk turun kami tinggal menyantap pulennya gayam rebus. Terkadang Mu`uk tertidur diatas pohon gayam karena kelamaan menunggu.


Aku gantikan tugasnya menebang batang alpukat yang cukup besar dan posisinya cukup sulit setelah kulihat kaki Mu`uk bergetar cukup hebat, mukanya pucat dan keringat mengalir deras dari dahinya, bahkan menyerahkan parang kebanggannya pun terlampau lelah hampir saja terlepas, padahal Mu`uk sudah makan sebelum memulai proyeknya ini. Bunda pun tak pernah tega menyuruh Mu`uk tanpa terlebih dulu mengajaknya makan, sekuat apapun usaha Mu`uk menolak tapi rayuan bunda tak pernah kalah.


Selesai memangkas batang dan cabang yang tidak diinginkan, kami memerlukan istirahat, menyuruput kopi hitam panas dan menghisap rokok. Kuperhatikan Mu`uk sempat memijati sendiri lengan kirinya yang dominan digunakan sehari-hari seperti untuk makan, memacul, merokok, menggergaji, mengayunkan parang, semua menggunakan lengan kiri, kidal. Banyak orang bilang, tidak baik menggunakan tangan kiri karena sering diasosiasikan sebagai tangan setan tapi hal itu tidak berpengaruh bagi Mu`uk. Justru berkat lengan kirinya semua pekerjaan kampung dapat dia tangani. Kuburan mana yang tidak tergali oleh Mu`uk, setiap kali berkumandang pengumuman kematian warga dari mushola kampung maka Mu`uk yang pertama kali sigap dengan pacul dan sekopnya.


Batang-batang bambu usuk yang melapuk hanya terpotong lima batang saja dari dua puluh batang penyangga rangkaian genteng atap dapur rumahku yang harus digantikan, sisa lima belas batang lagi aku yang selesaikan. Kukira hanya sejenak saja aku meninggalkan kampung halamanku, rupanya sudah delapan tahun telah terlewatkan. Kurun waktu delapan tahun itu entah apa yang telah terjadi? Kejadian apa yang melunturkan kesigapan Mu`uk? Mungkinkah ada kecelakaan lagi yang menimpa Mu`uk hinga merampas kekuatannya yang selalu kukagumi? Atau ini semata konspirasi malaikat maut bekerjasama dengan pergerakan waktu yang merenggut segala kejayaan sosok Agus Mulyono?

-koelit ketjil-

cukup panggil kawanku ini; Mu`uk

Agus Mulyono, kawan akrabku ini memang tak seumuran denganku. Tante keduaku bilang dia pernah satu kelas dengan Agus Mulyono, begitu juga tante ketigaku dan oom bungsu tapi Agus Mulyono selalu beruntung karena setiap tahun selalu dicintai oleh wali kelasnya, walhasil sampai dengan keluar kumis dan jenggot, Agus Mulyono masih juga memakai hem putih dan bercelana merah meski bulu-bulu kakinya melebat luar biasa.

Agus Mulyono, kami satu kampung cukup memanggil namanya dengan sapaan; Mu`uk, semata-mata kami hanya mengikuti lidahnya yang melafalkan namanya sendiri. Yaa, perkembangan kemampuan otaknya yang menyebabkan dia sulit menyebut namanya sendiri, berkah dari Tuhan ini pula yang membuatnya dia selalu tinggal kelas, karenanya Mu`uk selalu menjadi kawan sebaya bagi orang yang terlahir satu jaman dengannya, begitu juga manusia lain yang lahir jauh tahun setelah dirinya, tak hanya itu, Mu`uk juga menjadi sebaya bagi seumuran bapak kami dan kakek-nenek kami, sebabnya dia supel terhadap semua generasi di kampung kami. Dia paling komunikatif dengan keterbatasan pelafalan huruf konsonan dan hampir semua kata dia singkat dan selalu mengulang-ulang kalimat yang dia ucapkan, meski diulang-ulang tak jarang kami sulit memahami sepenuhnya maksud ucapannya. Agus Mulyono alias Mu`uk, orang terspesial di kampong kami!

Begitu spesialnya Mu`uk sehingga seluruh warga kampung mengenal sosoknya bahkan Pak RT saja iri karena kalah pamor. Warga kampung baru tahu Pak RT jika mengurus surat pengantar pembuatan KTP saja, itupun sebelumnya bertanya beberpa kali letak rumahnya, tak jarang warga bertanya letak rumah Pak RT justru langsung pada manusia berkumis tebal yang kerap duduk-duduk di pos ronda ini.

Mu`uk, manusia teraktif di kampung kami! Urusan apa yang tak sanggup ditangani panggil saja Mu`uk lalu sebut saja; proyek! Maka Mu`uk akn menerimanya dengan mata berbinar-binar dan semangat meletup-letup. Yaa, bagi dirinya semua urusan dia anggap sebagai proyek walau sekedar betulkan genteng bocor, ahh Mu`uk hanya menjentikkan jari terkecilnya, urusan kebersihan kampung? Mu`uk sudah siap dengan kendaraan pribadinya; gerobak dorong, minta diambilkan kelapa muda? Bahkan Mu`uk kerap beratraksi turun dari batang pohon kelapa dengan posisi kepala terlebih dahulu sementara kedua kakinya mencengkram erat batang pohon itu, tapi pepatah ‘sepandai tupai melompat akhirnya jatuh juga’ pernah berlaku untuk kelihaiannya ini. Dua gigi yang rontok tak pernah memadamkan nyalinya, tak ada satupun pohon tinggi yang belum dia panjat di kampung kami ini.

Satu lagi yang membuat Mu`uk menjadi special, banyak warga kampung yang percaya jika Mu`uk mempunyai nyawa sembilan, bahkan lebih bisa jadi! Insiden terjun bebas dari pohon kelapa, dua kali dia alami, tak ada tulang yang patah pada kerangka tubuhnya, sekalipun retak tak pernah menjadi soal, buktinya Mu`uk sudah cengar-cengir dua-tiga hari berikutnya di bawah gawang lapangan bola, posisi penjaga gawang tak pernah tergantikan. Kecanggihan Mu`uk dalam menerkam bola yang menuju arah gawangnya selalu menciptakan decak kagum pemain lawan dari kampung sebelah, bagi teman satu team hanya geleng-geleng kepala saja, pasalnya bola yang menggelinding pelan dan menyentuh permukaan tanah saja, Mu`uk selalu sigap menerkam. Abangku, satu team dengan Mu`uk saja pernah menjadi korban. Pelipis mereka sama-sama robek, ketika kepala mereka beradu, niat abang mengamankan bola lewat tandukan kepalanya, tiba-tiba abangku pingsan setelah melihat kelebatan di hadapannya, sementara Mu`uk, tetap dengan senyum khasnya meskipun pelipisnya berlumuran darah.

Kampung kami sempat gempar ketika Mu`uk tak kunjung timbul setelah melompat dari jembatan, sementara aku dan kawan-kawan yang lain hanya menyusuri tanjakan batu cadas dan siap mengambang dengan karet ban truk, ‘kanyut-kanyutan’ adalah kebiasaan anak-anak kampung dalam menikmati aliran sungai justru ketika air sungai berada pada puncak tertinggi dan terderas debit airnya. Aku dan kawan-kawan menggigil kedinginan atau ketakutan lebih dominan yang menciptakan gemertak gigi dan gerakan otomatis lutut dan tremor ringan pada bibir ungu kami ketika kami harus melapor kepada kakak tertua Mu`uk. Hampir seluruh pemuda kampung terjun kealiran sungai dan menyusuri pinggiran sungai namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Mu`uk. Magrib mereka hiraukan, nyawa Mu`uk jauh lebih penting ketimbang bersujud pada Sang Pencipta, bahkan Tuhan pun dibuat iri oleh Mu`uk, bisa jadi malaikat pencabut nyawa pun kerap kecelek dengan stok nyawa Mu`uk.

Akhirnya Pak RT sebagai Komandan SAR kampung menghubungi Ustadz Syahroni, selepas Isya dengan bantuan penerangan petromak, ustadz melepas sebotol air mineral yang telah didoakan. Dikomandani Pak RT pemuda tertangguh kampung yang masih kuat menahan tubuh yang menggigil terus mengikuti botol itu mengalir, aneh bin ajaib! Botol yang terikat pada tali raffia yang terpegang erat di tangan Pak Ustadz itu hanya terhanyut perlahan saja padahal aliran sungai tengah meluap-luap dan begitu derasnya.

Botol terhenti pada suatu pusaran air, titik itu, warga kampung tak terlalu heran jika botol itu berhenti pada titik itu. Konon di titik itu pada dasarnya terdapat palung, warga kampung cukup menyebutnya; sumur rit yang tersohor dengan reputasi angka korban yang tewas pada titik itu. Mang Ais, sudah siap terjun meskipun menjelang maghrib tadi sudah dua kali dia mencapai dasar sumur itu, nihil! Dia tak pernah ragu jika Pak Ustadz memerintahkan dirinya karena bukan sekali-dua kali dia menarik tubuh terkulai dari dasar itu, menyusuri tali raffia menuju botol mineral yang tenggelam, sungguh di luar batas kewajaran.

Telapak tangan Pak Ustadz telah menyeka wajah keriputnya, diikuti helaan nafas amien, itu kode bagi Mang Ais untuk terjun dan menyelam. Teriakan Allahu akbar dan Alhamdulilah membahana dari pinggir sungai tepat tengah malam. Tubuh Mu`uk terkulai lemah tapi ajaib, masih bernafas! Padahal Pak Ustadz membaca doa saja lebih dari lima belas menit ketika kami berhenti pada titik itu, entah berapa lama Mu`uk berada di titik itu mengingat kami berada di air sejak selepas dhuhur. Lagi-lagi malaikat pencabut nyawa kecewa karena gagal membawa serta Mu`uk, malaikat itupun harus tertunduk lesu melaporkan kegagalan tugasnya.

Satu lagi insiden yang membuat malaikat pencabut nyawa tercoreng reputasinya jika harus berhadapan dengan Mu`uk. Tikungan depan rumahku pernah menjadi TKP, nyawa Mu`uk meregang tertabrak motor dari belakang dan menggelepar di selokan tapi lagi-lagi, malaikat pencabut nyawa gagal!



*mau tahu lagi kisah kejar-kejaran Mu`uk dengan malaikat pencabut nyawa lainnya? Nanti aja ahhh.. ternyata capek ngetik langsung dari kotak catatan facebook plus sambil menjepit handpone diantara telinga dan bahu demi berbincang dengan teman *


Koelit ketjil
Kota S, 16 (22.30) -17 (00.10) Maret 2010

Rabu, Maret 10, 2010

aku = ego = bego = baku!


membiarkan diri mengaku aku
desing bising kicau kacau
aku mengaku aku
agar menjadi baku

biarkan biara biru membara
rupa dupa dada papa
rapal aral mantra jantra
aku = ego = bego = baku!


REVOLUSI a la MIE INSTANT


I`m gonna start a revolution from my bed!”

suaraku masih serak tapi terpaksakan keluar. Sepotong lagu Oasis itulah yang pertama kali keluar dari mulutku hari ini. Rambut gondrongku masih berantakan, mata begitu perihnya menerima sinar matahari, diantara ambang kesadaran dan belum terkumpulnya seluruh potongan nyawa-nyawaku yang masih bergentayangan di luar tubuh ini, jendela kayu kubuka, sisa asap rokok sepanjang malam berebutan keluar dari kamar sempit. Sudah sangat siang rupanya, bagaimana tidak jika aku baru mnutupkan kelopak ini pukul sembilan! Lagu Oasis baru saja meninggalkan radio bututku, pesan terakhirnya;

But don`t look back in anger, don`t look back in anger, I heard she say

yah, aku juga dengar kau, Galager!


So, aku telah putuskan dari kasur busa setebal lima senti ini yang penuh dengan bercak cairan mulut yang mengalir deras ketika tertidur juga bercak cairan lain yang keluar tak sengaja, yaa, revolusi hidupku akan kumulai dari titik ini!


Runutan jalur hidup harus kurubah total, doktrin lagu semasa kecil yang membodohkanku harus kugubah! Bangun tidur seharusnya bersihkan dulu tempat tidur terlebih dahulu bukan lalu meneruskan mandi dan gosok gigi, logika runutan aktifitas macam apa itu?! Tempat tidurku tak layak disebut ranjang karena tanpa dipan kayu sama sekali, hanya berupa busa dan sprei dari bahan seragam pengabdi negeri kiriman ayahanda yang tak sempat beliau jadikan pakaian karena telah masuk masa purnabhakti.


Pukul dua belas siang, waktunya sarapan bagiku yang mana jam biologis telah terkacaukan oleh gangguan insomnia. Aku telah merancang agenda revolusi hidupku seketika potongan tempe mendhoan dan tahu susur lumat kumamah dalam mulutku meluncur menuju lambung oleh pergerakan peristaltic tenggorokan setelah itu biar enzim-enzim dalam lambung merubahnya menjadi energi berkat proses kimiawinya menyumbang sedikit pasokan Adenosin Tri-Pospath mungkin ada pula yang berubah menjadi simpanan endomorphin-ku yang akan keluar sewaktu-waktu jika rasa laparku menyiksa, biar pembius alamiku yang menangani rasa perih itu.


Kang Otong, sudah paham jika tanggal tua begini rupa, jika aku hanya memesan menu tempe mendhoan dan tahu susur dengan nasi yang menggunung serta semangkuk mie instant seolah menjadi pengganti sayur dengan volumenya yang hampir menandingi tumpukan nasi itu, maka aku adalah anggota ‘pramuka’ sejati dihadapan Kang Otong pada masa seperti ini.


Jadi sabaraha Kang? Biasanya Kang, tulis wae diteun buku pramuka!”[1] senyum meriahku dibalas senyum kecut Kang Otong, mungkin ada penyesalan kesamaan suku yang merantau di daerah suku yang berbeda setiap kali dia sadar ini adalah hari tua, hari ‘pramuka’ bagi anak kos karena dia harus mencatat nama-nama mereka dalam buku kecil catatan hutang bersampul gambar tunas kelapa itu. “Ahh, si Aa mah sok kitu ah! Tapi tong lila teuing mayarna! Bisa bangkrut atuh urang ieu. Tah si A Yipa, A Bimo, A Adni geus tilu bulan can mayar hutang, nganjuk deui..nganjuk deui! Iraha boa rek mayarna..”[2] Kang Otong tidak pernah bisa memaksa kami membayar hutang, karena dia paham, kami dari suku yang sama inilah pemasok terbesar aliran penghasilan dari usaha warung nasi dan bubur kacang ijo (burjo) milik boss-nya, terkadang dia juga yang melindungi kami jika ada inspeksi mendadak terhadap neraca pemasukan warung burjo.


Si Boss mungkin juga tidak terlalu memusingkan kami para anggota ‘pramuka’ ini, karena berkat kecanggihan upaya lobby kami kepada kantor perwakilan perusahaan mie instant terbesar dalam republik ini yang membuat usaha warung burjonya jadi berkembang dan memiliki cabang di berbagai kantong-kantong lokasi kos-kosan terbesar di Jogja ini. Bahkan setiap menjelang lebaran mereka telah disediakan beberapa armada bus untuk mudik kampung halaman dari perusahaan mie instant itu, secara gratis! Berkat kami, mahasiswa afkiran tanpa ancaman D.O ini yang sudah fasih merayu perusahaan kapitalis yang telah menyedot keuntungan terbesar justru dari kaum termiskin dari republik ini, betapa kami yang tak mampu membeli bahan makanan pokok, beras, cukup membeli mie instant tanpa perlu khawatir memusingkan anggaran membeli bumbu-bumbu dapur. Mau dengan citarasa apa? Semua tinggal pilih; soto koya, kari ayam, super pedas, dan lain-lainnya semua dengan harga yang sama, soal asupan gizi, tak pernah menjadi perhitungan yang utama ada pembakaran dalam tubuh, indikatornya keringat mengucur setelah menyantap mie instant, itu sudah!


“Oooo…Nasib anak kos kadang hanya makan mie, gimana gak kurang gizi?”

grup Padhayangan Project ini juga pernah mengalami nasib serupa kami. Buktinya mereka juga menjadi orang sukses berkat mie instant, itu sebabnya aku harus memulai revolusi hidupku, dimulai saat ini, setelah semangkuk mie instant telah tandas kami cerna!


Melangkah pasti keluar dari warung burjo, berderap bersama tiga kawan senasib-sepenanggungan, semua mulut kami seperti terbakar ketika asap-asap tembakau menyembul dari rokok bermerk dagang Djarum Coklat, yang tidak tersedia di warung rokok manapun di seputaran Jogja karena perusahan itu membagi penyebaran varian produknya yang sama ini hanya di Jogja dan sekitarnya, namun berbeda merk dagang; Djarum 76. Kami yang terbiasa dengan cita rasa Djarum Coklat, meminta secara khusus agar selalu tersedia stok rokok itu di warung burjo yang sengaja dikirim langsung dari daerah asal kami, tatar pasundan.


Aku telah merancang revolusi hidupku, setelah ini kan kukayuh sepeda onthel menuju rumah dosen pembimbing skripsi, sudah tiga bulan terbengkalai. Agenda cuci gudang bagi angkatan lama yang ditawarkan kampus telah disambut dengan suka cita bagi kami angkatan tua tanpa ancaman D.O ini. Bimo sudah mendaftarkan empat mata ujian remedial hari ini, betapa program yang menguntungkan, tanpa perlu ikut masuk dalam kelas semester regular atau semester pendek, hanya tinggal ujian bagi matakuliah yang berada pada garis terbawah nilai buruk! Begitu juga Adni, dia hanya tinggal mengurus Sertifikat Sya`adah, bagi angkatan tua hanya diberikan ujian baca surat terpendek dan tidak perlu diperhatikan aturan membaca al-quran yang tepat, cukup menandakan bahwa kami ini masih muslim yang kuliah di kampus milik yayasan ormas Islam terbesar ini, itu sudah! Lalu Piya, bagaimana dengan agenda revolusinya? Rupanya pagi tadi dia tidak membersihkan kasur, bantal dan gulingnya yang bau iler!


KAPAN WISUDA KAWAN?



1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999 1999

2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000

2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001 2001

2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002

2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003

2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004

2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005

2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006

2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007

2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008 2008

2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009 2009

.......................................... N O ..........................................

.......................................... D O ..........................................


-untuk kawan A.H, Februari 25, 2009-
bahkan sekarang sudah 2010!



- Koelit Ketjil -

Kota S, 10 Maret 2010

Produk Insomnia, memori biologis mengajakku pada masa revolusi a la mie instant yang mengangkatku dari bayang kelam dan gelar ’mahasiswa abadi’



[1] “Jadi berapa kang? Biasalah kang, tulis saja di buku pramuka!”

[2] “Ahh, si Aa (panggilan mas untuk orang sunda) sih suka gitu ah! Tapi jangan terlalu lama bayarnya! Bisa bangkrut saya neh. Tuh si aa Yipa, A Bimo, A Adni sudah tiga bulan belum bayar hutang, ngutang lagi..ngutang lagi. Kapan mau bayarnya..”

Selasa, Maret 02, 2010

- rumah buku -


(picture taken from: http://djunaedird.blogspot.com/2008_04_01_archive.html)


....
perempuan
seorang ibu
penumpuk ratusan buku
memanjati puncaknya, memandangi harta karunnya

ahh... satu lagi terkumpul!
sepertinya aku harus membangun satu rumah lagi
khusus untuk buku-buku ini
lalu kubuka pintu lebar-lebar

matanya memejam
dadanya mengembang
oksigen memenuhi dadanya
impian memenuhi asanya

...

fur; IEVC and AY

-koelit ketjil-
Kota S, 2 maret 2009