Selasa, Januari 27, 2009

MENERTAWAKAN KDRT LEWAT TONTONAN SSTI





Sore ini seperti biasanya para suami kompleks perumahan berkumpul di pos ronda, bersekongkol merancang strategi agar dapat bertemu dengan pujaan hati mereka, Pretty, seorang janda tanpa anak yang memiliki tubuh sexy. Pak RT Sarmili posisinya dalam status sosial dilingkungan kompleks perumahan selalu didaulat menjadi ketua regu para Suami-suami Takut Istri (SSTI) dalam merancang strategi agar setiap usaha mereka lolos dari pengamatan para istri, terutama istrinya sendiri, -Sarmila-. Sudah dapat dibayangkan hukuman apa yang akan mereka derita jika strategi mereka bocor hingga ketahuan isterinya yang juga berperan sebagai kepala regu para istri kompleks perumahan.



Melalui kompleks perumahan ini seolah kita bisa melihat karakter (sebagian) Indonesia secara mini, jika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menyajikan mini-nya Indonesia lewat miniatur bentuk kepulauan nusantara lengkap dengan rumah adat dan berbagai kebudayaan Indonesia, maka lewat komedi situasi Suami-suami Takut Istri SSTI yang ditayangkan oleh salah atu stasiun televise maka kita bisa melihat miniatur karakter masyarakat Indonesia, meskipun tulisan ini tidak bermaksud men-generalisir keadaan sosiologis masyarakat Indonesia lewat karakter tokoh-tokoh yang disajikan dalam SSTI.



Perkumpulan para suami dalam komedi situasi SSTI adalah gambaran kecil keadaan (yang mungkin ada) dalam masyarakat kita. Mereka sering berkumpul di pos ronda, main catur atau kartu sambil membicarakan tentang pekerjaan mereka masing-masing tapi hal itu menjemukan bagi mereka, lain hal jika membicarakan pertemuan mereka dengan perempuan selain istri-istri mereka sendiri, terutama jika topik pembicaraan mengarah pada perempuan idaman para suami kompleks perumahan yaitu Pretty. Begitu juga perkumpulan para istri yang diciptakan sedemikian rupa oleh penulis skenario sebagai perwakilan tipikal ibu-ibu kompleks yang sering ber-gosip ria sambil sesekali arisan bergilir dari satu rumah ke rumah yang lain atau sekedar masak bersama sebagai sarana untuk memperbincangkan pertemuan mereka dengan lelaki selain suami mereka yang tidak menggairahkan bagi setiap istri yang ada dalam komplek perumahan.



Mari kita berkenalan lagi dengan masing-masing penghuni kompleks perumahan. Sebagaimana umumnya tatanan sosial terkecil dalam wilayah Indonesia maka kompleks perumahan inipun dikepalai oleh seorang Ketua RT, dalam hal ini diperankan oleh Sarmili, seorang betawi tulen yang digambarkan sebagai seorang bisnisman (tukang obyekan/makelar) barang apapun specialis tanah dan mobil. Status sosialnya dalam komplek dapat diterka karena Sarmili adalah putra daerah asli Betawi yang notabene `penguasa` tanah Betawi (baca; Jakarta). Isterinya, Sarmila, terkadang memiliki kekuasaan lebih dibanding suaminya yang secara de facto dan de jure sebagai Ketua RT dalam lingkungan ini, namun posisi istri secara de facto lebih berkuasa dalam rumah tangga mereka, parahnya kekuasaan ini merembet hingga lingkup kompleks perumahan, hal ini juga dapat kita lihat juga dalam duia nyata, jika ada istri pejabat pemerintahan maka dia akan menjadi ketua dalam organisasi perkumpulan istri dalam instansi/departemen tersebut. Anak mereka Lila (gabungan akhir suku kata dari Sarmili dan Sarmila) juga merupakan tipikal remaja seusianya: tak bisa lepas dari handphone, minta uang pulsa, pacaran sembunyi-sembunyi (back street), dll.



Kehidupan Rumah tangga Karyo-Sheila bisa jadi juga oleh penulis skenario dijadikan tipikal keadaan rumah tangga tertentu yang ada dalam masyarakat Indonesia. Karyo yang bekerja sebagai karyawan kantoran swasta yang merasa tertekan dengan istrinya yang menjalani kehidupan ala artis, meskipun selalu gagal casting, tapi tetap penampilannya tidak mau kalah dengan bintang iklan atau sinetron terkenal. Selalu sibuk dengan tatanan rambut, make up, akesoris dan pakaian ngejreng. Hal ini coba diturunkan kepada anaknya, Karla (gabungan nama Karya dan Sheila). Sheila menerapkan adagium yang dikenal dalam masyarakat kita; ”buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” atau di negeri paman sam sana ”like mother like daughter”, dia berusaha mencitrakan anaknya yang harus satu image dengan dirinya; dimulai dari gengsi, tatanan rambut yang sama, pakaian yang hampir sama dan sering diproyeksikan menjadi bintang cilik baik dalam lingkup RT, RW maupun Kelurahan, meskipun akhirnya bernasib sama seperti ibunya.



Kehidupan Rumah tangga Tigor-Welas juga tidak kalah menariknya, karakter khas yang coba ditawarkan oleh penulis skenario bisa jadi pen-citra-an terhadap orang Medan yang biasa keras dalam ucapan dan tubuhnya besar (terkesan menyeramkan) tapi kemudian tidak diimbangi dengan nyali yang dimiliki, meskipun bekerja sebagai bodyguard dan mantan preman namun hal itu tidak mampu dia buktikan jika ada masalah terjadi dalam kompleks mereka sementara setiap orang berharap banyak agar Tigor si Tiger yang notabene berbadan kekar dapat mengatasinya. Karakter Welas yang sejatinya manutan sebagaimana tipikal perempuan Jawa, namun akhirnya dia berani menentang suami hal ini yang sebenarnya `tabu` bagi perempuan Jawa (bahkan dulu berkembang sikap dalam perempuan Jawa bahwa `suwargo nutut-neraka katut` ketika mengabdi terhadap suami) namun akhirnya terkena pengaruh ibu-ibu kompleks lainnya, latar belakangnya sebagai orang kampung menciptakan kesan ketinggalan jamannya (baca: `tulalit`), sementara ibu-ibu kompleks lainnya lebih dahulu tinggal lama di kota, karenanya terkadang tidak dapat mengimbangi pemahaman ibu-ibu yang lain, ke-`tulalit`-annya ini membuat kesan paling menarik perhatian di mata pemirsa, tingkah lakunya tak jarang lebih membuat tawa di banding penokohan yang lain.



Menarik juga jika kita tilik kehidupan rumah tangga Uda Faisal-Deswita, kentalnya logat melayu mereka mau tidak mau mengingatkan kita bagaimana tipikal suku Minang (Padang dan sekitarnya) ketika di perantauan. Prinsip hidup irit (bahkan kesan pelit lebih dominan) jelas ditonjolkan oleh penulis skenario, lemahnya posisi suami dalam rumah tangga bisa jadi ditarik dari sistem matriakal yang hidup dalam kampung Uda Faisal, terlebih ketika Pamannya datang berkunjung seolah mengambil alih semua kendali, sebagaimana penghormatan mereka terhadap `ninik mamak` mereka. Uda Faisal yang tidak pernah lepas dari pantun setiap kali hendak berbicara adalah perlambang yang kuat atas budaya Minang, lebih-lebih backsound yang disajikan ketika kamera menuju keadaan rumah tangga Uda Faisal seolah mengingatkan kita dengan theme song film Siti Nurbaya.



Keadaan rumah tangga Dadang dengan tiga istrinya mungkin saja benar-benar ada dalam masyarakat kita, tidak kita pungkiri kehidupan poligami sering kita temukan. Ketiga istrinya yang berasal dari tiga suku yang berbeda bahkan dengan panggilan masing-masing yang berbeda pula, Ibu (pangilan umumnya untuk istri Jawa), Ambu (sebagaimana orang Sunda) dan Mamah (yang diwakilkan oleh Memey dari etnis Tionghoa) namun yang menarik adalah kemudian pilihan karakter Dadang yang berasal dari tatar suku Sunda yang sering kali dipandang negatif dalam masyarakat kita sebagai `tukang kawin`, pesan yang coba ditonjolkan dari kehidupan poligami Dadang adalah bisa rukun tapi dengan konsekuensi kehidupan cukup sengsara. Karier Dadang sebagai SATPAM kompleks jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, karena itu strategi `ngobyek` atau `mengiba` bahkan tak jarang `memeras` sering dia lakukan disekitar kompleks. Kedekatannya dengan dua kubu (suami-istri) yang saling berlawan terkadang lebih sering dimanfaatkan oleh Dadang demi meraih keuntungan dari kedua belah kubu. Kubu Suami yang berharap Dadang bisa mengamankan dari setiap rencananya terlebih tekanan `atasan` dari Pak RT dan imbalan rupiah tapi kemudian Dadang sering tidak dapat berkutik dibawah ancaman dan tentunya sogokan uang dari kubu para Istri. Desakan kondisi ekonomi keluarga menyebabkan Dadang harus hijrah ke negeri orang menjadi TKI, -kemudian posisinya digantikan oleh Ki Daus yang tidak jauh berbeda- juga merupakan gambaran masyarakat yang merasa tidak dapat mengais rejeki di negeri sendiri maka pilihan menjadi TKI/TKW adalah solusi.



Saya menduga penulis skenario dalam menempatkan posisi Dadang diantara ketiga istrinya ini sebelumnya telah melakukan sejenis penelitian `sos-antro` atau `survey` atau paling tidak ada `polling` untuk memperkuat keyakinannya dalam menempatkan Dadang dan tokoh-tokoh SSTI lainnya sebagaimana kita saksikan namun tentunya proses kreatif dari penulis skenariolah yang lebih dominan. Lantas apa kaitannya antara SSTI dengan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT)? Media massa terutama berupa media audio visual sebagaimana diterangkan oleh banyak pakar komunikasi dirasakan memang telah menjadi sarana paling efektif dalam melakukan transformasi informasi yang sedikit banyak dapat merubah pola pikir dan prilaku masyarakat. Tak jarang juga tontonan tertentu dijadikan sebagai media propaganda dalam menyampaikan pesan atau program tertentu melalui berbagai format atau konsep yang telah diusung oleh rumah produksi atau oleh masing-masing stasiun televisi. Film, sinetron atau komedi situasi juga memiliki peran sebagai kritik sosial dalam melihat fenomena yang ada dalam masyarakat.



Ada alasan tertentu bagi saya memilih judul diatas, meskipun tidak dipungkiri program televisi tersebut juga menjadi salah satu program terfavorit bagi saya pribadi karena memang sangat menghibur namun bukan berarti lepas dari pengamatan saya ada beberapa point penting yang cukup meresahkan hati saya (setidaknya) mungkin juga beberapa pemirsa yang turut menyaksikan program acara tersebut. Komedi situasi SSTI yang berdurasi hampir dua jam ini (plus iklan) hampir 70 % dari keseluruhan porsinya memberikan tayangan yang kurang baik dalam hal pembelajaran bagi masyarakat yaitu dalam hal KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA tapi sebelum berbicara adegan yang bisa kita temukan yang mengandung unsur KDRT, ada baiknya kita lihat Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dalam hal ini sebagai barometer pembanding adegan dalam SSTI.



UUPKDRT merupakan usaha besar kawan-kawan yang tergabung dalam elemen perlindungan perempuan, pemerintahan dan unsur-unsur lain yang terlibat secara langsung atau tidak. Perjuangan panjang ini membuahkan hasil dengan disahkannya UU tersebut namun bukan berarti hal ini menjamin kekerasan khususnya yang terjadi dalam rumah tangga bisa hilang begitu saja, tetap diperlukan pemantauan dan kerja keras serta kesadaran semua pihak untuk mencegah timbulnya kekerasan ini. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1: ”Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan” jika kita melihat definisi ini kita belum dapat mengambil kesimpulan siapa saja pelaku dan korban atau batasan yang jelas tentang lingkup yang lebih mengerucut lagi.



Untuk menjawab keraguan di atas maka sebaiknya kita cermati isi Pasal 2; Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
b. sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Batasan yang paling tegas menurut UUPKDRT adalah semua orang yang berada dalam rumah tangga tersebut baik keluarga inti (suami, istri dan anak) namun dapat juga diluar itu seperti saudara/kerabat bahkan pembantu rumah tangga juga termasuk didalamnya selama dalam rentang waktu tersebut berada dalam rumah tangga, sebagaimana dijelaskan Pasal 2 angka 2. Dari sini kita bisa melihat siapa saja yang rentan menjadi korban atau pelaku atas tindak KDRT, namun yang perlu dicatat adalah setiap orang - tidak mengenal jenis kelamin ataupun status sosial- tidak bisa lepas dari hukum jiak dia melakukan kesalahan.



Meskipun UU ini tidak secara tegas menyebutkan siapa yang dapat menjadi pelaku namun kita bisa melihat definisi lingkup rumah tangga yang dapat menandakan siapa saja subjek yang dimaksud menurut UU ini. Lain halnya dengan korban, dalam Ketentuan Umum ditegaskan bahwa Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga, karenanya menurut penilaian saya UU ini memiliki perspektif korban (victim) dimulai dari pengertian KDRT itu sendiri (Pasal 1angka 1) yang lebih memuat siapa yang menderita atas tindak KDRT dan efek yang diderita. Pengertian korban (Pasal 1 angka 4), Asas dan Tujuan (Bab II); demi perlindungan korban, batasan kekerasan yang diderita korban (Pasal 5-8), perihal penelataran korban (Pasal 9), Hak-hak Korban (pasal 10), Kewajiban Pemerintah dan Unsur lain dalam melindungi korban (Bab V-VI), dan Pemulihan Korban (Bab VII) semua ini dalam kerangka perlindungan korban maka dapat saya simpulkan UU ini sangat berperspektif korban, aturan mengenai Pelaku hanya tertera pada Ketentuan Pidana (Bab VIII) yang sudah pasti memberikan batasan hukuman bagi pelaku yang melanggar UU ini.



Kita ulangi kembali pertanyaan diatas, “Lantas apa hubungan UUPKDRT dengan SSTI?.” Sebagaimana sedikit disingung diatas, sebagian besar adegan dalam SSTI banyak menggambarkan kekerasan yang mana telah dilakukan oleh hampir setiap tokoh yang masuk kedalam ranah rumah tangga, maka saya berkeyakinan (itu sebabnya saya membuat tulisan ini) bahwa perlu ada penilaian dan kritik tertentu mengenai tontonan yang menghibur namun juga memberikan tuntunan buruk sebagaimana adegan dalam SSTI, media massa tidak dapat dipungkiri bak pedang bermata dua, di satu sisi memberikan keuntungan namun di sisi lain dapat merugikan masyarakat. Mirisnya lagi kita (penonton) seolah meng-amin-i setiap kekerasan dengan tertawa cukup keras dan tetap terus menonton komedi situasi ini bahkan lebih parahnya lagi jika dalam satu episode saja tidak ada adegan kekerasan yang dialami suami (seperti dibentak, diancam, dijewer, dicubit, dikurung dalam kamar mandi, dihukum agar bertindak seperti binatang dll) seolah ada yang kurang dan sangat tidak menarik sama sekali, dalam kesimpulan serampangan saya, bisa jadi penonton menjadi `ketagihan` akan adegan kekerasan tersebut. Bis repetita placent, hal yang membuat kita senang adalah tindakan yang berulang-ulang (Horace).



Mari kita bandingkan lagi adegan dalam SSTI dengan ketentuan UUPKDRT, sebagaimana telah saya paparkan diatas bahwa ranah kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga, hal ini juga terjadi dalam rumah tangga Sarmili-Sarmila, Karyo-Sheila, Tigor-Welas, Faisal-Deswita, bahkan Dadang dan ketiga istrinya meskipun dibuat kesan mereka menjadi korban keadaan ekonomi. Batasan korban dalam UU ini tidak menegaskan gender tertentu atau usia tertentu yang dapat menjadi korban, meskipun dalam Pasal 1 angka 1 diberikan perhatian khusus dengan menambahkan kalimat ”terutama perempuan” tapi bukan berarti hanya perempuan yang dapat menjadi korban, siapapun dapat menjadi korban, sayangnya dalam hal ini (SSTI) yang selalu menjadi korban adalah para suami.



Penonton harus waspada terhadap reaksi yang dilakukan oleh para istri terhadap suaminya semata-mata karena tindakan nakal dari para suami yang telah menggoda si janda cantik Pretty, sehingga seolah-olah wajar saja para isteri memberikan hukuman dengan melakukan tindakan kekerasan terhadap suami. Ingat dalam kehidupan nyata banyak dijumpai kasus kekerasan terhadap anak dengan alasan si anak nakal, tidak mau menurut sehingga orang tua sah-sah saja menghukum anak tersebut dengan dasar pembenar: memberi pendidikan pada anak atau kekerasan terhadap istri karena menolak permintaan suami untuk melakukan hubungan badan layaknya suami-istri sehingga suami naik pitam dan semena-mena melakukan kekerasan dengan dasar pembenar: kewajiban istri adalah melayani suami. Korban tetaplah korban apapun alasan yang digunakan sebagai dasar pembenar namun bukan berarti ketika ada kesalahan dari suatu pihak kemudian adalah sah jika dibalas dengan kekerasan lagi (tak jarang lebih parah lagi), sebagaimana pepatah (adagium) Latin mengatakan; ”Commodum ex iniuria sua nemo habere debet - No person ought to have advantage from his own wrong.” Pelaku KDRT menurut UU ini bisa siapa saja dalam rumah tangga (Istri terhadap suami, suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, bahkan ada juga kekerasan anak terhadap orang tua dan tidak menutup kemungkinan majikan terhadap pembantu), inilah yang hendak saya tegaskan sebagaimana penegasan dalam Pasal 5; ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.”



Bagaimana batasan suatu tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai KDRT? UUPKDRT tidak secara rinci menjelaskan bahwa tindakan tertentu terhadap seseorang dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan namun secara umum ada lingkup tertentu yang dapat dijadikan patokan bahwa telah terjadi KDRT manakala timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan, jadi secara garis besar terdapat tiga ranah yaitu;
1. Kekerasan secara fisik: perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6).
2. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). Menurut hemat saya ancaman dan pemaksaan melakukan perbuatan diluar kehendak masuk kedalam ranah ini.
3. Kekerasan seksual (Pasal 8) meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu



Mari kita bandingkan adegan dalam SSTI dengan aturan ini. Perbuatan para istri ketika menghukum para suami dengan tindakan mencubit, menjewer, mengurung dalam kamar mandi, dll, apakah setara dengan yang diterangkan pada Pasal 6 diatas? Kemudian ketika suami mendapat hukuman berupa bentakan (teriakan keras), ancaman tidak diperbolehkan masuk rumah atau tidak mendapatkan makan, disuruh melakukan tindakan seperti binatang (jalan bebek, lompat katak) adalah setaraf dengan aturan Pasal 7 diatas? Culpam poena premit comes - Punishment closely follows crime as its companion, hukuman sangat dekat dengan kejahatan, sebagaimana dikatakan oleh Horace.



Sayangnya dalam UU ini mengalami kemunduran dalam memberikan batasan kekerasan seksual yang sebenarnya dapat lebih dalam lagi memberikan batasan atas tindakan tertentu masuk kedalam ranah kekerasan seksual, terlebih dalam UUPKDRT setiap kekerasan yang terjadi (fisik, psikis dan seksual) merupakan delik aduan (Pasal 51-53), dimana jika telah nyata-nyata Tindak Pidana Kekerasan itu telah terjadi namun belum ada aduan atau pihak korban (keluarga) tidak melapor kepihak yang berwenang maka hal ini dianggap tidak ada. Berikut ini saya sertakan sebagai bahan perbandingan luasnya kategori kekerasan seksual yang didefinisikan oleh banyak LSM dan lembaga studi di Yogyakarta memberikan kategori lain yang masuk kedalam kekerasan seksual, salah satunya adalah Center for Population and Policy Studies Universitas Gadjah Mada memberikan pandangan lain seperti; Ditatap penuh nafsu, disenyumi nakal, disiuli, diajak berbicara cabul, ditelepon seks, diintip dengan maksud seksual, dicolek, dicubit, diraba bagian tubuh, dipaksa memegang bagian tubuh pelaku, dicuri cium/peluk, dipertontonkan alat kelamin, dipertontonkan foto/benda porno, diserang untuk diperkosa, diperkosa. Meskipun tindakan-tindakan ini merupakan tipikal yang biasa dilakukan oleh laki-laki (namun tidak menutup kemungkinan siapapun dapat melakukan), sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para suami dalam tokoh SSTI.



Tingginya angka kekerasan dalam wilayah domestik (rumah tangga) dengan perbandingan kasus kekerasan lainnya ternyata cukup fantastis, sebagaimana data yang saya dapatkan dari situs resmi Riffka Annisa, sebuah LSM yang bergerak dibidang perlindungan perempuan terutama korban kekerasan; bahwa dari Januari sampai Juli 2002 Rifka Annisa WCC telah menangani 248 kasus. Seperti pada bulan dan tahun-tahun sebelumnya Kekerasan terhadap istri menempati angka tertinggi (146 kasus) kemudian diikuti kekerasan dalam pacaran (60 kasus), perkosaan (31 kasus), Kekerasan dalam keluarga (8 kasus) dan terakhir Pelecehan Seksual(3 kasus). Data ini dapat dilihat melaui www.rifka-annisa.or.id tertanggal 01 Desember 2005. Melihat banyaknya kasus kekerasan yang menempatkan perempuan sebagai korban merupakan suatu hal yang tragis dan kemungkinan hal ini akan terus terjadi dalam masyarakat. Hal ini harus segera dihilangkan namun tidak dipungkiri diperlukan kerja keras semua pihak, harus dapat dimulai dengan cara merubah pola pikir masyarakat dalam memandang pola hubungannya (relasi) antara laki-perempuan, suami-istri, orang tua-anak, pemerintah-warga, pemberi informasi (media massa)-penonton dan masyarakat secara luas.



Tapi apa yang terjadi jika masyarakat (yang didalamnya termasuk pejabat pemerintah, aparat hukum bahkan korban) disuguhi tayangan yang justru mengaburkan nilai-nilai harapan itu? Lagi-lagi muncul dugaan nakal saya secara subyektif setelah mencermati tayangan SSTI, bisa jadi tayangan ini ingin merubah pola pikir masyarakat bahwa kekerasan dalam wilayah domestik (rumah tangga) adalah urusan masing-masing keluarga sehingga orang diluar rumah tangga mereka hanya dapat menertawakan kekerasan yang kita lihat, dalam hal ini adalah sebagai penonton belaka. Dalam beberapa kali diskusi ala kedai kopi dengan beberapa kawan yang aktif dalam perjuangan keadilan gender di Yogyakarta, bisa jadi ada skenario besar dibalik tayangan SSTI yang coba merusak citra perempuan (yang telah diperjuangkan oleh lembaga perlindungan perempuan) melalui tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan perempuan (baca;istri dalam tokoh SSTI). Ada upaya sesat pikir secara terstruktur oleh kaum kapitalis (melalui tayangan SSTI) bahwa perempuan juga dapat memiliki kekuasaan diatas laki-laki sehingga dapat bertindak sesuka hati namun hal ini (baca; adegan) seharusnya tidak akan meraih simpati masyarakat bahkan perempuan itu sendiri tapi ironisnya karena dibungkus dengan tampilan menarik dan menawan hati (dengan adegan lucu) seolah hal tersebut adalah wajar-wajar saja.



Sejatinya perjuangan kesetaraan gender bukan berarti mendukung jenis kelamin tertentu (laki-laki atau perempuan dsb) sementara mendholimi jenis kelamin tertentu, idealnya adalah kesetaraan kedua belah pihak, adapun keberpihakan seharusnya ditujukan kepada orang yang menjadi korban tanpa melihat jenis kelaminnya. Pergerakan perlindungan perempuan sesungguhnya sudah menunjukkan arah peningkatan, sebagaimana telah disinggung oleh Istianah Za, S.H., M.Hum, seorang aktivis perempuan Aisiyah yang juga anggota DPRD Yogyakarta, dalam sebuah kesempatan menjelaskan bahwa dalam perspektif perundang-undangan, sesungguhnya perempuan telah mendapat perlindungan yang cukup memadai, meskipun belum dapat dikatakan sempurna, dari berbagai tindak diskriminatif, marginalisasi dan tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan berupa pelecehan sexual. Namun lebih jauh Istianah juga menegaskan bahwa diperlukan Political Will dari pemerintah dan kesungguhan dari seluruh penegak hukum, disamping itu juga diperlukan tingkat kesadaran hukum yang tinggi dari seluruh warga masyarakat. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa perlindungan perempuan dan lebih jauh lagi kesetaraan gender akan menjadi sia-sia jika masyarakat sendiri tidak bijak dalam memahami persoalan sosial yang ada, akan tetapi hal ini juga menjadi sangat kompleks jika masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah kearah itu justru semakin dikaburkan dengan tayangan-tayangan yang kurang mendidik serta mengalihkan semangat itu sebagaiman kekhawatiran saya diatas.



Pertanyaan berikutnya yang muncul dalam benak saya adalah, Apa yang kemudian harus dilakukan (oleh siapa?) ketika melihat fenomena `sahnya` KDRT dalam tayangan SSTI?
Segala produk yang disajikan melalui media massa (terutama televisi) sedikit-banyak mampu mempengaruhi masyarakat (penonton) baik itu melalui iklan komersil, berita, gosip, film, sinetron, acara debat dan lain-lain. Contoh kecil melalui iklan pemutih yang diperankan oleh model yang cantik, berkulit kuning langsat, tinggi dan langsing, maka bagi penonton yang mendambakan tubuh ideal seperti model itu akan berusaha membeli produk tersebut (atau setidaknya sejenis) meskipun hal tersebut menjadi mustahil karena jika melihat gen yang diwariskan kepadanya tidak mendukung impiannya, parahnya masyarakat yang tidak didukung finansial cukup, akan mengambil cara cepat dengan membeli produk murah (palsu) yang justru membahayakan kesehatannya. Berita juga dapat mempengaruhi masyarakat sedemikian rupa sebagaimana maraknya berita telah diketemukan tambang emas yang begitu mudahnya disepanjang pinggiran sungai disebuah daerah di Sulawesi, maka masyarakat berbondong menuju lokasi tersebut tanpa mempedulikan pengalamanannya dalam mendulang emas. Lewat film mengenai mahluk luar angkasa (Alien) misalnya, tidak sedikit orang menjadi percaya dan terobsesi untuk mendapatkan bukti otentik mengenai Alien bahkan ada banyak yang mengakui telah diculik dan dibawa kesuatu tempat oleh piring terbang, terlepas kebenaran hal tersebut namun hal ini sangat dipengaruhi oleh industri film.



Di Indonesia tayangan yang marak menghibur penonton adalah berupa sinetron, jika anda tidak percaya sinetron dapat merubah pola pikir masyarakat bahkan menuju perubahan prilaku, bisa kita lihat banyaknya keluhan para artis sinetron yang sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari penonton ketika sang aktor/aktris berada dalam dunia nyata, seperti misalnya mencubit karena gemas setelah melihat sang aktor/aktris yang berperan sangat kejam sebagai tokoh antagonis, ada juga kasus artis yang sampai diludahi oleh penonton ketika dia berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, meskipun hal ini kasusistis tentu saja namun dapat kita lihat begitu besarnya dampak yang ditimbulkan sehingga penonton tidak dapat memilah yang mana dunia nyata-yang mana dunia maya.



Pola duplikasi (peniruan) yang rentan terjadi sesunguhnya berada pada penonton yang berusia anak dan remaja yang belum mampu secara penuh membedakan baik-buruknya sebuah tayangan. Kita pasti masih ingat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak setelah menonton tayangan Smack Down dan sejenisnya bahkan tak jarang kejadian tersebut merengut korban jiwa. Saya mengajak kembali para pembaca untuk fokus terhadap tema tulisan ini, bagi yang sering melihat komedi situasi SSTI pasti tidak lupa karakter Karla (anak pasangan Karyo-Sheila) yang begitu senang melihat Ayahnya (Karyo) jika mendapat berbagai hukuman dari Sheila (Ibunya), begitu juga Lila (anak pasangan Sarmili-Sarmila) yang telah masuk usia remaja, sangat menikmati melihat Babehnya kena hukuman Enyaknya, bahkan seusia Lila terkadang mencari kesempatan dengan cara bersekongkol dengan kedua belah pihak (Babeh-Enyaknya) jika hal itu mendatangkan keuntungan bagi dirinya seperti mendapatkan uang untuk membeli pulsa sementara ujung-ujungnya dia terkadang menari diatas penderitaan Babehnya. Anak-anak Dadang pun melakukan pola duplikasi sebagaimana perbuatan Bapaknya, berbagai cara dilakukan asalkan dapat menghasilkan uang.



Komedi situasi SSTI ini ditayangkan pada jam keluarga menikmati waktu istirahatnya di rumah atau dalam istilah pertelevisian prime time, berarti tayangan ini ditonton oleh orang dewasa dan anak-anak. Saat menonton tayangan ini selayaknya orang tua mendampingi, memang saat itu orang tua menonton bersama anak-anak namun kemudian apa jadinya jika orang dewasa saja sulit untuk mencerna bahwa adegan tersebut kurang baik bagi perkembangan pemahaman anak jika dilenakan oleh `bungkusan` lucu yang membuat tertawa orang dewasa dan parahnya lagi saat tayangan ini pihak stasiun televisi sedikitpun tidak berusaha menyadarkan orang dewasa dengan rambu-rambu yang selayaknya muncul disudut layar televisi sebagai tanda bahwa adegan tersebut kurang baik untuk anak dan perlu penjelasan orang tua yang menontonnya.



Menonton tayangan komedi situasi Suami-suami Takut Istri bagi saya pribadi adalah melihat miniatur tatanan sosial di Indonesia dengan segala dinamika kehidupan yang banyak menampilkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di hampir setiap adegan dan setiap episodenya, lantas apa yang harus kita lakukan? Apakah tertawa spontan atau tertawa namun tetap mencerna efek negatif yang terus dicekoki kehadapan kita? Atau pembaca mempunyai pendapat lain? Kebijakan dan kearifan diperlukan dalam setiap memandang permasalahan hidup.



Amare et sapere vix deo conceditur - Even a god finds it hard to love and be wise at the same time (bahkan Tuhan pun sulit untuk mencinta dan menjadi bijak pada saat yang bersamaan)



Kaloran Pena, 27 Januari 2009

4 komentar:

  1. Menertawakan KDRT atau apapun istilahnya dalam SSTI, sejatinya adalah menonton sekaligus menertawakan diri kita sendiri sembari tersenyum kecut. Lha, siapa coba di dunia ini yang kagak takut sama istri. Dan,ini adalah sebuah keniscayaan. Kepada istri kita memang mesti "takut". Dan lebih baik takut kepada istri daripada takut kepada preman, perampok, maling, begundal, hantu, setan, pejabat, mertua, dan seterusnya. Takut pada istri berarti nyadar pada institusi rumah tangga yang dengan susah payah kita bentuk dan yang memang seyogyanya kita hormati. Ini jelas ada manfaat daripada mudaratnya. Dan kalo ada suami yang ngaku-ngaku kagak takut sama istrinya, itu pasti suami yang takut mengakui keabsahannya sendiri sebagai seorang suami. Dan, SSTI menyajikannya untuk kita semua hehehehe... (kalo para istri membaca komentarku ini aku pasti dapat award hohohoho... gubrak!!!!)

    BalasHapus
  2. hahaha... aku duluan deh yg kasih award kang! "the best housband in cyber world"... tau deh klo didunia nyata coz aku bukan istrimu.
    diskusi saya (yg belum ber-istri) sebenarnya ingin ngobrol ttg kekerasan dlm rumah tangga itu sendri, yg dpt dilakukan oleh siapapun, kebetulan saja SSTI mnampilkan `superioritas` para istri..tp menarik memang, stidaknya bisa mjadi pelajaran (gak ktahuan istri klo ada rencana godain janda) wakakakakk. becanda..becanda

    BalasHapus
  3. Merenungkan dampak kekerasan, praktek dan lingkungan yang penuh kekerasan terhadap anak-anak melalui karya perupa Haris Purnomo dan budayawan Sindhunata

    Menunggu Aba-aba : Bayi Bertato, Kepompong dan Pisau Sangkur

    Bagi saya karya-karya Haris Purnomo dalam pameran Kaum Bayi : Alegori Tubuh-tubuh yang Patuh ini merupakan kritik atas peradaban, kekerasan dunia orang dewasa, kekerasan tatanan masyarakat baik di lapangan politik, ekonomi, budaya, teknologi terhadap alam dan sesama manusia. Bumi air tanah tumbuh bayi-bayi mungil dengan tato sekujur tubuh, dalam bedong ber-pisau sangkur. Hangat kepompong dalam proses metamorfosis menjadi bentuk lain, kepribadian lain.

    Mereka Menunggu Aba-aba!!!!

    grekgrek, grekgrek, grengkek, grekgek atau seperti bunyi orang mengasah sangkur

    grek grek suara motor penggerak pisau sangkur menghipnotis ruang bentara budaya yang temaram mencabik kenyamanan, membuat ngeri, seperti dengkur pasukan perang, tentara pembunuh ...... alien, mutan, monster...

    atau seperti bunyi orang mengasah sangkur

    Mereka Menunggu Aba-aba!!!

    bayi-bayi lelap dan jaga yang menimbulkan sayang dan haru itu, menyembul harap dan bahagia dan kengerian di sekitarnya, kontradiksi pedih, kemanusiaan abad ini....

    silah kunjung ….

    http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/05/menunggu-aba-aba-bayi-bertato-kepompong.html

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!