Jumat, Juni 05, 2009

Jalan Lantang





Bajin#@*%**n!!! Ayo sopo meneh sing wani? Ayo maju, ass#*! Nek wani ojo seko mburi, karo `cah cilik meneh, juanc*k!” gelegar teriakan lantang dan menggema di sepanjang Jalan Pajeksan dini hari itu seolah tidak dapat berhenti menggetarkan nyali siapa saja yang kebetulan berada di sekitar daerah Pajeksan. Aroma sisa lapen -alkohol racikan khas Jogja, yang seharusnya menguap namun tertahan oleh udara dingin bahkan berubah menjadi embun di sepanjang trotoar dan aspal. Pajeksan dini hari itu tidak lagi seramai malam tadi.



Usaha Kang Jasbo, dedengkot wilayah Pajeksan yang memiliki wajah mirip dengan Sawung Jabo menjadi sia-sia, tak mampu menahan emosi Lantang yang telah melampaui batas kemarahannya. Wirog dan kecoro saja takut untuk muncul dari celah selokan-selokan bawah tanah, parang sepanjang 140 sentimeter berkilau dengan tambahan motif karat yang tercipta dari darah kental mengering, sudah banyak korban yang harus menyerah pada ayun dan kelebat pedangnya yang terbuat dari besi tempa suspensi mobil truk yang terjungkal masuk jurang saat membawa sayuran di daerah Gunung Kidul. Entah sudah berapa korban, baik mati karena luka sayat panjang hingga terkena organ vital atau mungkin korban kemudian mati akibat infeksi yang disebabkan karat pada bilah besi panjang ini. Belum termasuk anjing-anjing kampung, darahnya juga turut memberikan corak karat disitu, sementara dagingnya ludes menjadi santapan alternatif ditemani alkohol, masuk kedalam perut, mencipta desir darah semakin panas.



Erangan panjang, diburu napas pendek dan berat mengantarkan Percil masuk kedalam dunia bawah sadar, Percil pingsan bersandar pada pagar besi. Seolah tak masuk akal bagi tubuh sekecil itu memiliki pasokan darah yang lumayan banyak namun sia-sia tumpah membasahi aspal, satu lagi cairan turut memberi kesan hitam aspal keras karena hidup memang keras. Sejauh lima puluh meter Lantang berlari kearah Percil, dihempaskan pedang itu, melenting beradu pagar besi, cukup kiranya dini hari itu tiga korban terkapar. Lantang terus berlari mendekap Percil, tak perlu lagi ditanyakan keadaan diri Percil. Lebih cepat lagi dia berlari seolah tidak membawa bobot seberat 30 Kg, tubuh mungil itu tidak lagi jelas berwarna hitam keling, taburan panu di beberapa bagian tubuhnya dan tattoo naga menyemburkan api dari mulutnya menjadi hilang kegarangannya tertutup warna merah darah yang mengalir dari luka di punggung Percil yang menganga lebar, pemilik tubuh mungil itu berharap pasrah.



Dua menit tiga puluh detik waktu yang dibutuhkan Lantang menempuh jarak Pajeksan hingga Rumah Sakit PKU, dalam batin Lantang bukan lagi Vodka 40% dengan campuran Kratingdaeng yang membuatnya mampu berlari secepat itu, melainkan darah panas Percil yang menjadi cambuk bagi seluruh sel dalam tubuhnya agar cepat melakukan kontraksi motorik bagi otot betis dan pahanya, hasilnya Lantang mampu berlari cepat sekali demi menyelamatkan bocah kecil dalam dekapannya itu.



Masuk kedalam halaman parkir, Sapto, juru parkir rumah sakit itu secara spontan membanting motor yang sedang dia susun rapi berjajar setelah melihat Lantang yang berlumuran darah. Menahan pintu masuk terbuat dari kaca agar kawannya ini dapat masuk. Tidak lagi dihiraukan Satpam penjaga rumah sakit, terlebih muka sinis petugas administrasi yang dalam bahasa diamnya saja sudah berteriak berapa banyak uang yang anda bawa sekarang. Tangan kanannya menghempas Satpam bertubuh kekar dan berkumis lebat, sementara lengan kirinya seolah tidak ingin melepas tubuh cilik yang bersandar pada bahunya, tak akan dilepas kecuali dokter UGD sudah siap untuk menangani tubuh Percil yang kritis.



Menyusul masuk Satpam yang kemudian diketahui namanya Kuat Warsito, tertera jelas bordiran huruf yang merangkai namanya pada seragam putih itu. ”Hooii Mas daftar dulu kalau ma..” Pukulan mantap lengan kanan Lantang bersarang pada rahang Kuat Warsito yang tak lagi kuat menahan serangan cepat itu, tersungkur setelah menabrak salah satu kursi roda di ruang UGD dan semaput. Melihat kekacauan, petugas paramedik dan dokter jaga cepat mendekat, itupun setelah teriakan Lantang menggema, memangil siapa saja yang dapat dipercaya untuk segera menangani Percil. Sebelah ranjang yang terpisah kain hijau, mengerang seorang perempuan kira-kira berusia 25 tahun sementara sosok suaminya terlihat lebih gugup, mukanya pucat, rambutnya semrawut mengesani umur jauh lebih tua, gemetar tidak dapat melakukan apapun selain menggenggam erat telapak tangan istrinya, sudah saatnya melahirkan dini hari ini tapi belum juga ada dokter yang menangani.



Tenang melangkah tubuh tegap, muda, putih, berkacamata, terlihat lebih putih lagi dengan jas yang dikenakannya. Dokter Bandi Tampubolon, semoga tak salah dalam batin Lantang membaca nama dokter peranakan sumatera utara itu, semoga bukan BANDIT berbaju putih orang yang berdiri dihadapannya ini. Lantang menarik lengan dokter muda itu, masih saja dengan ringannya dokter muda ini berulangkali mengucapkan tenang... sabar...tenang saja, ingin rasanya kepalan tangan Lantang turut mampir di salah satu bagian tubuh dokter muda, tapi tidak, seolah darah Percil yang cepat mengering itu mencegah dan berkata, `percayakan raga ini padanya, sampai disini dulu perjuanganmu kawanku, abangku yang perkasa..`



Sprei berwarna hijau pada ranjang tempat tubuh lemah Percil sulit dikenali lagi warnanya, darahnya bukanlah warna yang sedang disapukan pada kanvas hijau oleh seorang pelukis, masih juga mengalir darahnya. Setidaknya ada empat luka mengangga pada punggung tubuh si bocah akibat menjadi korban tusukan bayonet milik preman tengik yang memaksa Percil menjual ganja milik mereka, penolakan Percil memposisikan dirinya menjadi korban. Tajam pandangan mata Lantang mengikuti setiap gerakan dokter muda, seolah menjadi dokter senior yang tengah mengawasi dokter baru dalam menangani operasi kecil sebagai prasarat kelayakannya menangani pasien.

Lantang masih berdiri di samping tubuh bocah kritis walau berkali-kali perawat mengusulkan untuk duduk di bangku tunggu, cukup dengan isyarat tatapan mata yang menyempit tajam, perawat itu kembali surut beberapa langkah kebelakang. Datang lagi satu perawat, lelaki kali ini juga berniat memperingati Lantang, namun gertakan Lantang cukup menyibakkan ujung kaosnya hingga nampak sebilah rencong berwarna hitam, souvenir yang dia dapatkan tertancap di perut pemiliknya ketika duel dua tahun lalu. Tak perlu diucapkan secara verbal, gerakan Lantang tadi sudah memberi peringatan, jangan sampai rencong ini kembali membuat bisu jiwa yang bersarang pada tubuh hanya karena banyak omong, perawat itu perlahan bergeser mundur, seolah ada tugas lain yang harus dikerjakan.



Entah berapa lama Lantang berdiri di samping Percil, rasa lelah mulai menyerang tubuhnya, berjalan gontai menuju sebuah pojokan, terduduk lunglai, suara terakhirnya tetap saja keras, “Jangan kau tutup tirai itu! Aku akan tetap mengawasi kalian, awas jangan macam-macam!!” terasa napas pendeknya panas memburu, sebentar pandangannya goyah, citra yang terlihat terpecah menjadi dua berbayang. Digelengkan kepalanya dan memaksa matanya agar tetap terbuka, berkali-kali, hawa panas tubuhnya semakin surut menghantarkan rasa kantuk maha dahsyat. Alam pikirannya cepat memutar memori tepat pada setting kejadian tiga tahun lalu, ketika pertama kali Lantang menemukan Percil dini hari pukul 2.30.



***



Waktu itu dini sekitar pukul 2.30


Jelas dini hari itu hanya sepi dan dingin yang ada tapi tidak bagi Lantang, entah berapa persen alkohol tercampur dengan darahnya hingga membuat dirinya terpaksa melepas jaket berbahan denim bertabur aksesoris sobekan disana-sini. Gang sempit panjang penginapan-penginapan kelas melati itu serasa tak berujung, semestinya hanya tujuh menit untuk mencapai Jalan Tegal Panggung pada sebuah kontrakan milik seorang kawan lama sewaktu SMA dulu. Kali ini Lantang betul-betul memerlukan sebuah peristirahatan yang layak, bukan trotoar, setidaknya untuk dini hari ini saja. Sekelebat, antara sadar atau bahkan pengaruh alkohol lebih dominan menghantarnya pada ketidakjelasan pandangan dan sedikit kesadaran, mobil kijang hitam itu berhenti di pertemuan gang kecil sebelah Optik Akur - Jalan Mataram.



Derit ban mobil terkesan dipaksa untuk melaju cepat mencipta suara melengking, suara itu membuatnya kembali fokus untuk terus berjalan walau tak lepas telapak tangannya pada tembok gang menjadi penuntun jalan, bergeser senti-demi-senti. ”Astaga!” hampir saja Lantang menginjak sesosok tubuh kecil, mengejang tak bersuara, matanya terbelalak dan ada buih di sela-sela bibir bocah cilik itu. Untuk dapat memastikan apa yang dihadapannya, cepat tangannya merogoh saku jaket dekil itu, dibantu sedikit nyala api mancis seribu rupiah barulah dia yakin dihadapannya seonggok daging hidup sama spesies dengan dirinya; homo sapiens, MANUSIA!!



Dada bocah cilik itu diraba-raba sementara kepalanya entah berapa kali menengok kanan-kiri, tak ada homo sapiens lagi selain mereka berdua. Jaket dekilnya menutupi tubuh bocah cilik, rupanya masih ada sedikit tingkat kesadaran meski pengaruh alkohol lebih dominan dalam dirinya, akal sehatnya bergerak, diselipkan mancis itu diantara geligi bocah yang gemertak itu.



Tepat dipertemuan Jalan Mas Suharto, Lantang memaki pada jalan Tegal Panggung yang sedikit menanjak. Rumah tua berpagar besi tujuannya pasti selalu ada kehidupan pada dini hari begini rupa. Langsung saja Lantang masuk dan membaringkan bocah itu, tinggal sipemilik rumah bengong tetap pada meja komputer, di layar monitor terlihat desain sebuah rumah tugas akhir kuliahnya. ”Wooyyy!!”



”Wooyyy!! Jangan diam saja, ayo cepat! Piye iki?? Aku ra paham iki!!” lawan bicaranya masih juga terdiam persis seperti program Autocad pada komputernya itu yang menunggu tombol mouse tertekan. Klik! Untuk menjalankan program kesadaran kawannya, Lantang melempar bantal mendarat tepat pada mukanya, gugup Indra memperbaiki letak kacamatanya.



”Siapa ini, Tang? Kenapa bocah ini? Kamu apain dia, kok bisa kejang-kejang gitu?” terlihat sekali air muka panik itu. ”Bukan waktunya aku jawab pertanyaan bodohmu, kau pikir kau ini reserse yang baru tangkap residivis apa!” Belum sempat mereka berbuat sesuatu disela adu panik mereka, tubuh bocah cilik yang semula mengejang itu surut melemah, tenang. Mancis seribu perak terjatuh dengan sendirinya dari sela mulut, tercetak bekas geligi meninggalkan kesan penderitaan disitu.



***



Rencong hitam itu terlepas dari genggaman tangan Lantang, denting besi campuran kuningan pada lantai membuatnya tersadar, sepuluh menit Lantang tertidur akibat rasa lelah pertarungannya. Punggungnya bersandar pada kursi, dihadapannya terlihat dokter dan beberapa perawat menjahit luka punggung bocah dekil, mungkin dua belas, bisa jadi lima belas jahitan untuk menutup luka mengangga itu maka bertambah lagi hiasan tubuh Percil.

Sisa tenaga Lantang dipacu agar keluar oleh rasa ingin tahu melihat keadaan Percil, semula dia ragu untuk berdiri, dipaksakan, pandangannya kembali terpecah, kini berbayang tiga. Goyah seperti anak baru belajar berjalan, ada sesuatu yang janggal pada perut sebelah kirinya terasa panas dan perih luar biasa. Telapak tangannya terangkat sejajar wajahnya, baru dia sadari ada luka sobek di bagian kiri perutnya, yakin warna merah pada telapak tangannya bukan milik Percil, tetapi darah segar yang keluar dari pembuluh darahnya akibat luka itu. Lantang jatuh pingsan.



***



”Kau ingat Lantang, beratus-ratus tahun lalu Plato pernah berkata; `jiwa rindu terbang pulang dengan sayap-sayap cinta menuju dunia ide. Ia ingin dibebaskan dari rantai badan...` wahai Lantang kawanku, `kan kemana jiwamu terbang jika ia merindu? sementara kau tak lagi memiliki sayap itu!” gema suara itu perlahan menghilang. ”Siapa kau? Tunjukkan wujudmu! Keluar!” tak ada jawaban, hanya ada satu lingkaran terang, asal cahaya itu tepat berada jauh di atas ubun-ubunnya, entah di luar lingkaran itu, gelap pekat, entah berada dimana dirinya kini? Pertanyaan itu tidak membuatnya memberanikan diri untuk keluar dari lingkaran cahaya. Tersilau matanya ketika coba melihat keatas, jatuhan sinar pada permukaan retina memaksanya agar takluk dan tak lagi mencoba.



Samar di hadapannya berjarak sekitar dua puluh meter, lingkar cahaya yang sama menyinari sesosok tubuh, semakin mendekat jaraknya, barulah dia ketahui asal suara itu walau masih ragu untuk menerka siapa orang itu, setidaknya Lantang pernah mendengar suara itu, ingatannya menggiringnya pada satu kesimpulan; Arius `wong gendeng Bulak Sumur`. Kawan lamanya, seorang mahasiswa filsafat yang menghabiskan hidupnya berkelana disepanjang trotoar Malioboro tertutup debu jalan dan polusi asap kendaraan, tapi Arius sudah mati! Bagaimana bisa dihadapan Lantang?



Arius, kawannya ini pernah beranggapan sudah saatnya mengakhiri peran penipuan diri, cukup sudah manusia menjadi boneka kehidupan dengan tali-tali takdir mencengkram kuat jiwa manusia, belum lagi raga –baginya- adalah penjara paling ketat penjagaannya, sekalipun Alcatraz sombong mengaku sebagai penjara terhebat di dunia dengan sistem super maksimum security-nya, masih tak sebanding dengan dengan raga manusia.

Lantang tetap beranggapan Arius terlampau bodoh, terlebih ketika dia temukan kawannya, Arius, tergolek mati konyol. Tiba-tiba Arius sudah berada di atas gedung BNI tepat sebelum perayaan sekaten digelar. Mungkin bekal diksar pecinta alam yang membawanya pada atap gedung tua tepat diperempatan Malioboro itu. Keras kepalanya terkalahkan setelah beradu dengan kerasnya aspal jalan, mati konyol hanya ingin membebaskan jiwanya terbang dari penjara raga.



Lantang yang saat itu tengah mengatur jajaran sepeda motor yang terparkir dalam batas wilayah kekuasaannya, tak kuasa menahan rasa jengkel terhadap kawannya yang tewas bunuh diri setelah terjun dari gedung tua peninggalan kompeni itu, ”Dasar bodoh kau Arius!!!... Kau pikir kau ini malaikat Seth hah!!! Bodoh!!” teriakan lantangnya memudar dari lengkingan tinggi hingga tak bersuara sama sekali meskipun mulutnya masih menganga lebar. Lantang masih ingat ketika Arius begitu bersemangatnya menceritakan satu adegan film City of Angel ketika malaikat pencabut nyawa bernama Seth terjun dari gedung tinggi menanggalkan keabadiannya menjadi manusia fana hanya demi merasakan satu sentuhan, dipikirnya jika manusia melakukan hal yang sama maka akan bertukar posisi menjadi malaikat. Satu gagasan konyol.



”Lantang kawanku, akhirnya kaupun menyusulku. Sudah bosan rupanya dengan duniamu yang heroik atau kaupun sama bodohnya seperti aku? Kau pikir aku tak dengar teriakanmu pagi itu? Aku bahkan sempat memukulmu agar diam tapi ternyata baru kusadari atom penyusun ragamu tak dapat kusentuh! Ada apa kawan? Rindukah kau atas kawanmu si gendeng ini?” Jarak yang ada membuat Lantang tak berucap.



”Apa ini Arius? Dimana...” belum sempat Lantang mengakhiri ucapannya ”Ruang penantian kawan! Sebuah dimensi lain, Tuhan telah ungkap misteri kegaiban zat kuasaNya, dimensi tanpa batas ini yang ada hanya hampa dan sinar terang itu kawan!” Tangannya merentang lebar, kepalanya menengadah seolah menikmati jatuhan sinar. Detik itu juga Lantang betul-betul melihat sayap Arius.



”Kau tahu kawan, beruntung aku dapat bertemu dengan dirimu, selama ini aku tak pernah bertemu zat selain gelap dan terang tapi sekarang aku tengah melihat kawanku dihadapanku. Disini hanya ada hening, hening ini yang kucari kawan.” terkadang sinar yang jatuh pad sosok Arius redup-terang mengikuti tekanan suaranya. ”Kawanku Lantang, kukira disini bukan duniamu, tak kan kau temui Lapen, Vodka, Wiski bahkan pedang kebanggaanmu tak kan kau genggam lagi disini kawan! Hanya ada sunyi disini, jelas bukan tempatmu kawan.. bukan!”



”Aku kagum dengan keberanianmu, tak bisa aku sepandai kau dalam mengayunkan pedang, tak pernah pula kutikam tubuh orang lain atas dasar apapun, meski dengan mudahnya kau katakan; atas dasar solidaritas! Persaudaraan! Seorang bijak jauh pada masa lampau pernah berkata; `saat debu-debu menghilang, kau kan tahu, kudakah yang kau tunggangi ataukah keledai?` kawan sekarang sadarkah kau tengah menunggangi apa?” bahkan pada dimensi antah-berantah ini, Arius masih juga mengoceh hal yang sama.



Sosok Arius dibawah sorotan cahaya itu semakin menghilang. Serupa efek lighting dalam pementasan teater, lampu fade out dan monolog pun selesai. Belum sempat Lantang berkata, kawannya kini menghilang entah kemana. Tersadari berada sendiri ditengah dimensi yang belum juga dia pahami, Lantang bertumpu lemah pada lututnya. Meraung gejolak dalam dadanya, ”Dimana aku?!!” fade out, gelap.



Berkas-berkas cahaya kembali terlihat, seperti tersesat dalam padang pasir tak berujung kemudian melihat oase dihadapan, Lantang berlari mengejar menuju asal cahaya tujuannya. Dimensi absurd ini masih juga belum menyadarkan dirinya, asal cahaya yang terlihat tak juga kunjung dia capai. Sekali lagi Lantang bertumpu pada lututnya tak berdaya sekalipun tak merasa lelah sama sekali namun dia merasa jengkel seolah dipermainkan oleh dimensi ini. Kedua pahanya basah oleh tetes airmata, baru kali ini airmata itu kembali menetes semenjak dia dikhitan, baginya anak yang telah dikhitan telah melewati masa kanak-kanak maka pantang baginya menitikkan airmata setelah itu.



Bola matanya yang masih terselimuti air mata samar melihat berkas cahaya dekat sekali dihadapannya, hanya berjarak satu pahanya. Kaki tak beralas, coklat tua, ornamen body painting natural menghiasi kaki itu. Serupa tulang ular mulai pangkal kaki keatas terus ia ikuti jejak natural body painting, yang terbuat dari getah pepohonan dan proses tanpa bantuan dinamo kecil berlistrik dari batu batere, tidak pula menggunakan jarum logam, sejenis duri atau mungkin tulang binatanglah media yang digunakan untuk membentuk pola itu. Pemilik tato berdiri tenang dengan rambut lurus panjangnya yang terikat ayaman tali rami. Badan kurus berwarna coklat tua itu dia kenali.



Rimata Kariasanu, sosok tenangnya tak dapat dilupakan, hutang nyawa baginya tak mungkin dapat hilang dalam memori bututnya, jika saat itu Rimata Kariasanu tidak sedang berburu, dapat dipastikan Lantang mati tak dikenali di tengah hutan belantara. Saat ditemukan badan Lantang menggigil tapi kaku, warna kulitnya menjadi pucat bahkan hijau lebih dominan, dua lubang kecil di bagian betis kirinya yang menyebabkan kondisinya melemah. Entah kemana perginya melata pembuat dua lubang kecil pada betisnya itu? Lantang pun tak tahu ular jenis apa yang menggigitnya sementara dia tertinggal jauh dari rombongan pecinta alam yang melakukan ekspedisi menuju suku Mentawai. Rimata Kariasanu cepat bertindak, dihisapnya bekas lubang kecil itu, disemburkan darah dari dalam mulutnya, tiga kali Rimata lakukan, setelah yakin dilepasnya kulit pohon yang dia jadikan sebagai busur untuk mengikat pangkal betis, kemudian menghilang dilebatnya hutan membawa Lantang.



Huma besar itu terkesan lenggang, hanya ada asap memenuhi hampir sebagian rumah besar adat suku Mentawai ini. Rimata Kariasanu hanya seorang diri dalam huma, seluruh keluarganya bahkan sebagian besar anggota sukunya punah akibat terjangkit penyakit aneh. Rimata merasakan panas dan gatal tak tertahan pada seluruh tubuhnya yang bertaburan benjolan kecil berwarna merah. Tak kuat menahan Rimata berlarian tak tentu arah kemudian menceburkan diri kedalam sungai yang hampir kering, hanya lumpur yang ada. Tiga hari tak sadarkan diri terendam dalam lumpur.



Lantang mendengarkan dengan takzim cerita Rimata Kariasanu, kepala keluarga dalam huma besar, meskipun mereka berdua hanya menggunakan bahasa Tazan, beruntung Lantang memahami inti cerita itu berkat gerak tubuh Rimata dalam menjelaskan ceritanya.



***



Pundak Lantang tersentuh dengan lembut, kini dia temui lagi sosok penyelamat dirinya dalam dimensi antah-berantah ini. Badannya semula terduduk lemah, mulai merasakan ada sesuatu yang merambat menjalari seluruh tubuhnya setelah tersentuh Rimata. Ada aliran energi hangat berasal dari telapak tangan sosok di hadapannya, Lantang masih tercengang.



”Berdirilah, kau laki-laki harus tangguh, dimanapun alam yang kau hadapi. Kau ingat pohon sagu yang pernah kita tebang untuk kita ambil sagunya? Bukankah pohon itu tumbuh kokoh pada pada tepi rawa berlumpur, batang itu menjadi besar meskipun penopangnya hanya lumpur lembek. Namun yang terpenting dari batang kokoh itu dapat memberi kehidupan, tegarlah Lantang, hadapi semua bentuk perjuanganmu karena kehidupanmu masih berguna!”



Tambah lagi keheranan Lantang, selam tiga minggu lebih dia tinggal bersama Rimata tak pernah ia pahami dengan jelas kata perkata yang terucap, hanya perkiraan belaka, bahkan sampai pada saat tim SAR menemukannya dan membawanya pulang tetap tak dia pahami sebait kalimat yang diucapkan Rimata berulang-ulang ketika helikopter penjemputnya mulai terbang yang ia yakini; sampai berjumpa lagi, mungkin.



”Tepat dugaanku pada saat terakhir kali kita berpisah, kita akan bertemu lagi walau dalam dimensi berbeda. Disini tidak ada pohon sagu, burung ataupun kijang yang kita buru seperti di Mentawai dulu, kita bertemu lagi. Kau belum layak ada disini Lantang, alur hidupmu masih panjang, belum lagi kau atasi kerumitan tali nasib, sekarang kau sudah ada disini. Kau harus kembali Lantang...”



Lantang masih belum bisa menemui jawaban misteri dihadapannya. Rimata Kariasanu melepaskan bandul di lehernya, dipegang erat telapak tangan kiri Lantang. Berdua mereka menggenggam bandul yang sama, cepat bergetar lengan mereka yang bergenggaman, kilatan plasma keluar dari arah bawah bersulur panjang berwarna putih perak, terang, menyilaukan.



****



Bola matanya bereaksi ketika senter kecil diarahkan pada bola mata sebelah kanannya. Kedua matanya membuka lemah, samar-samar terlihat sosok putih dihadapannya, menjadi semakin jelas dan yakinlah Lantang bahwa dihadapannya adalah dokter yang sama menangani Percil. ”Selamat anda telah melewati masa kritis tapi anda harus banyak beristirahat terlebih dahulu sampai kondisi betul-betul pulih” terlihat kesan bangga campur haru pada raut wajah dokter muda itu.



”Percil...dimana Percil?!” kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulutnya, terasa perih, kering, suaranya terdengar parau. Seorang perawat menyuguhkan segelas air putih, habis dalam satu tegukkan. ”Bapak tenang saja, tidak perlu khawatir, bocah itu selamat kok. Percil sekarang berada di bangsal Shofa, sedang istirahat.” Lembut suara perawat ini, manis pula wajahnya, mungkin berusia dua puluh dua tahun.



”Bapak sekarang berada di bangsal ICU setelah delapan hari tak sadarkan diri, jadi bapak jangan banyak pikiran dulu, kalau perlu sesuatu tekan saja tombol ini, Insya Allah saya datang. Jangan lupa banyak berdoa agar bapak cepat sembuh karena hanya Allah yang menyembuhkan ketika kita sakit. Permisi, saya harus ke bangsal lain untuk mengganti infus pasien lainnya. Semoga cepat sembuh, Assalamualaikum.” Damai rasanya mendengarkan suara gadis manis berjilbab itu.



Dasar Lantang pemberontak, baru saja diberi anjuran untuk tidak banyak memikirkan hal yang berat, otaknya sudah berontak, dalam benaknya muncul kembali perkataan perawat tadi `hanya Allah yang menyembuhkan kita ketika sakit` ..... Allah..... betapa aku telah lama melupakan penciptaku. Lantang mencegah perawat itu, memaksa agar dipindahkan pada bangsal yang sama dengan Percil.



Sepanjang lorong dari bangsal ICU hanya dominan warna putih yang Lantang lihat, pakaian seragam perawat berwarna hijau dan aroma karbol yang menguap dari lantai, nuansa khas rumah sakit. Pagi hari ini masih sepi, pengunjung belum diperbolehkan masuk dalam lingkungan rumah sakit milik salah satu yayasan berbasis agama Islam ini. Bangsal Shofa terbuka, belum sempat Lantang mencari bocah dekil itu tiba-tiba sebutir jeruk berwarna kuning terang melayang dan mendarat tepat di perutnya, hampir saja terkena bekas jahitan luka. Percil berlari mendekat, sementara perawat kedua bertampang kecut mencegahnya.



”Bang kemana aja sih? Kok lama betul semaputnya! Manja nih, begitu muncul kok didorong oleh suster cantik dan suster monster!” ceplas-ceplos gaya khas Percil inilah yang dirindukan Lantang, suster yang diberi gelar cantik semakin menunjukkan senyum manisnya sementara perawat yang diberi gelar monster oleh Percil semakin memperlihatkan taring panjangnya. Percil bersembunyi dibalik perawat cantik mencari perlindungan.



Pelayanan Kesehatan Umum milik Muhammadiyah yang berlokasi di pertigaan Jalan Bayangkara dan Jalan Ahmad Dahlan ini mulai ramai dikunjungi penjenguk yang berdatangan membawa rantang makanan mungkin berisi soto Taman Sari atau gudeg kendil Wijilan, sekeranjang buah-buahan dan segenap harapan agar kerabatnya hari ini dapat sembuh dan segera pulang karena semakin lama pasien dirawat maka biaya pengobatan akan semakin membengkak.



”Cil, kamu sudah sehat toh? Berapa lama kita masuk PKU ini Cil? Hebat juga kamu Cil masih hidup, aku kira wis modar kowe ki! Nduwe nyowo piro toh?” Lantang terkekeh geli melihat respon Percil. ”Bajigur! Berarti Abang kepingin aku mati toh, enak wae!” kali ini apel merah itu melayang dan hampir mendarat di jidat Lantang. ”Eh Cil, ini apel, jeruk terus susu kotak semua ini dari siapa Cil? Jangan-jangan kamu ngutil dari kamar sebelah ya?” ringan sudah canda Lantang dan Percil dengan gaya bahasa `waton njeplak` karakter khas mereka yang terbiasa hidup dijalanan.



”Enak aja ngutil! No way! Gengsi dong! Ini dari mbak Damai, dia tadi kesini Bang. Sebenarnya sih dari hari pertama tapi tiap kesini pasti nangis, abis gak boleh masuk ruangan ICU, tapi kalo dengan aku pasti ketawa terus. Siapa dulu... Percil!!” senyumnya meriah, ada sedikit perubahan dalam diri Percil terutama giginya tidak lagi sekuning dan sebau seperti biasanya, pasti perempuan bernama Damai itu merawat Percil dengan telaten. ”Siip Cil! Besok kamu gantiin Gogon di Srimulat ya, soalnya dia mau pensiun tuh, oke!” Percil langsung turun dari ranjang hanya untuk menirukan gaya khas Gogon. Badannya yang hitam keling banyak ditutupi perban putih, hampir mirip dodol Garut.



”Sekarang Mbak Damai kemana Cil? Kok gak ada, jangan-jangan masih nangis bombay di depan ruang ICU! padahal aku kan sudah pindah kesini.” Dalam hati Lantang ada juga rasa rindu begitu mendengar Damai ada disini. ”Mbak Damai bilang sih mau mandi dulu, tadi abis solat subuh pamit, nanti kesini lagi sekitar jam sepuluh. Tau gak bawa apa nanti?” Percil menggoda Lantang dengan tebakan yang sebenarnya mereka berdua mengetahui jawabannya.



”Burjo dan roti tawar!!” mereka berdua serempak menyebutkan yang akan dibawa oleh Damai. Bubur yang terbuat dari kacang hijau (burjo) dan roti tawar adalah menu sarapan favorit mereka bertiga yang biasa disantap di warung burjo milik Aa Ipit khas Kota Kuningan. Hampir setiap pagi mereka sudah nongkrong di warung kecil yang berada di Jalan Wirobrajan, seberang kampus dekat galeri seniman besar Jogjakarta milik Amri Yahya.



”Bang, ini ada titipan dari perawat, katanya sih dipegang Abang waktu mau operasi. Susah tuh dilepasin dari genggaman Abang! Padahal Abang waktu itu semaput toh!” Percil menyodorkan sesuatu yang terbungkus potongan perban putih yang dia ambil dari meja kemudian mondar-mandir sambil membawa tiang penyangga botol infus yang hanya seperempat lagi isinya.



”Apa ini Cil?” Lantang masih menerka isi di balik perban itu terlebih keterangan dari Percil tadi yang membuat dirinya semakin penasaran, terlihat dari raut muka dan kedua alis tebalnya hampir bertemu pada pangkal hidungnya. ”Mana aku tahu Bang! Liat aja sendiri, aku gak berani itu kan punya Abang.” Sikap inilah yang Lantang banggakan dalam diri Percil, jika memang bukan haknya maka Percil tidak akan berani untuk coba mengusik, terlebih untuk dimiliki.



Benda terbungkus perban putih itu masih dipandangi sambil menduga-duga isinya. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan membingungkan terjawab kini Lantang masih disodorkan sebuah misteri lagi. Bagaimana bisa benda itu ada dalam genggamannya ketika operasi? Perlahan Lantang mulai membuka lembar demi lembar kain kasa pembungkus itu, pada lembar terakhir dia sibak kain putih itu bertambah lagi keheranan Lantang, benda sebesar ibu jari terbungkus kain hitam! Lantang mengenali benda itu, serupa bandul kalung pembawa keselamatan yang biasa melingkar di leher anak kecil. Bukankah benda ini yang diberikan oleh Rimata Karisanu ketika dia berada pada dimensi antah-berantah itu!



”Ssstt.. Bang! Mbak Damai datang tuh!” Percil berlari kecil dari pintu kamar Shofa yang terdiri dari dua ranjang dengan pembatas sehelai kain hijau lebar dan panjang warna khas rumah sakit milik Muhammadiyah ini. Lantang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. ”Assalamualaikum Cil! Gimana kabarmu hari ini? Wah Jogja hari ini macet total Cil, didepan tadi ada demo dari temen-temen anak sekolah yang katanya menolak disahkannya RUU SISDIKNAS. Sepertinya sih mereka gak terlalu ngerti masalah demo gituan deh! Buktinya tetap aja tuh yang gerakin mereka mahasiswa juga. Eh, ngomong-ngomong kamu sudah makan Cil? Nih Mbak bawain makanan kesukaan kamu, dua bungkus burjo. Satu bungkus untuk kamu, satu bungkus lagi untuk Mbak, abis si gondrong pemangsa burjo satu lagi masih keenakan semaput di ruang ICU sih! Sebentar ya Cil, Mbak ambil mangkuk dan sendoknya.” Damai pergi menuju dapur umum.



”Kemana dia Cil?” volume suaranya diperkecil hampir seperti berbisik. ”Lagi pinjam mangkuk ke dapur umum Bang. Ssstt... dia masuk lagi Bang!” Percil menunjukkan tampang polos tidak berdosanya dihadapan Damai. ”Eh Cil, di sebelah ini ada pasien baru lagi ya? Siapa cil? Kapan dia masuk?” mangkuk yang tadi dibawanya kini berisi bubur kacang hijau hangat. Percil sudah tidak sabar ingin melahap bubur kesukaannya.



”Oh, itu Ibu Putri. Dia tadi masuk gak lama setelah Mbak Damai pulang subuh tadi. Eh Mbak, dia itu sebentar lagi mau melahirkan loh! Tadi katanya suaminya sih dah sekitar delapan bulan lebih, berarti sebentar lagi mau melahirkan ya Mbak?” Percil memberi info sekenanya, mereka berdua memang paling cocok untuk urusan ngerjain orang, partner in joke!



Tawa Lantang hampir saja meledak, tapi dia tahan demi misi usil dengan skenario dadakan ini, Percil kali ini sebagai sutradara insidentalnya. ”Oooh.. terus suaminya kemana Cil? Kok ditinggal sendirian sih?” Damai sempat melirik kearah kain pembatas yang sedikit tersibak. ”Oo.. ehh.. anu... eh.... anu mbak, eh suaminya lagi kebagian keuangan! Iya lagi ngurus keuangan dulu katanya.” Percil sempat kebingungan menentukan dialog improvisasinya. Lantang senyum menahan suara.



Bagus Cil! Dalam hati Lantang mengacungkan jempol atas peran dadakan dan usilnya Percil. ”Eh Mbak, tau gak? Ibu itu sering merintih-rintih loh Mbak! Kayaknya sakit banget deh, udah gitu suaminya lama lagi datangnya. Aku sih gak bisa bantu. Pokoknya hampir setiap sepuluh menit pasti merintih. Liat aja nanti, sebentar lagi pasti Mbak tau deh. Apa seperti itu kalo orang mau ngelahirin Mbak?” mimik polos Percil berhasil meyakinkan korban target misi usil Agen Percil dan Agen Lantang. Kali ini Lantang yang kebingungan memainkan perannya sebagai ibu hamil!



”Sial si item jelek itu! Bisa saja tuh anak!” seperti mendapatkan arahan sutradara gadungan dari balik layar itu Lantang mempersiapkan pita suaranya, merintih-rintih layaknya ibu hamil tua. ”Ehhh.. aduuuhh...duuhh.... mas...masss....”



”Tuh kan! Betulkan Mbak apa kata Percil tadi! Gitu terus tuh dari tadi Mbak. Kayaknya mules banget ya Mbak? Udah waktunya kali mbak!” Percil menebarkan teror psikologis pada korbannya mahasiswi psikologi tingkat akhir ini. Dapat dilihat kesuksesan Percil pada raut wajah Damai yang kebingungan. ”Gimana nih Cil? Aduh suaminya mana ya?” gadis manis mahasiswi Fakultas Psikologi ini terlihat tambah manis dalam kepanikannya. ”Ya udah, Mbak tolongin aja!” Percil seolah puas menambahkan bumbu kepanikan dalam wajah Damai.



Suara rintihan panjang dari mulut Lantang semakin menjadi. Damai ragu menyibak kain hijau pembatas, menengok sejenak meminta dukungan mental dari Percil, sementara bocah hitam itu hanya memberi kode agar terus mendekati arah suara itu. Pasien itu terbaring berselimut dengan rambut panjangnya terurai membelakangi Damai. ”Eeh... maaf Ibu baik-baik saja bu? Ada yang bisa saya bantu?” suara Damai bergetar kaku sementara si `Ibu` hanya diam, bukan menahan sakit melainkan menahan tawa yang dapat meledak kapan saja.



”Bu.. mau saya panggilkan perawat?.. aduhhh gimana ini!” perlahan si `Ibu` memutar badannya dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya, siap dengan ekspresi tawa puasnya. ”Ahhhh..... Lantanggg!! Iihh... sebeell..sebelllll!!!” suara tawa meledak dari mulut Lantang dan Percil tapi tidak bagi Damai yang menarik-narik rambut panjang itu dengan jengkel sambil mencubit dan memukul-mukul meluapkan kekesalannya pada tubuh Lantang hingga akhirnya tepat mengenai bagian perut sebelah kiri. ”Aaarrgggggghhh!!!!...” rintihan kesakitan ini asli, bukan bagian dari peran. Teriakan kesakitan ini membahana dalam rumah sakit, melebar menggetarakan keseluruh Jogjakarta!.... Pulau Jawa!!.... Nusantara Endonesa!!.... Benua Asia!!!... dan bergema pada seluruh penjuru bumi!!!!........... ”Aaarrgggggghhh!!!!...”


Namun bumi tetap berotasi!




-Jogjakarta, Medio 2003-

-Diketik ulang (ditransfer dari `buku ajaib`ku); 29 Januari 2009, selesai 4 Juni 2009-

Inspired by; mereka yang hidup dijalanan Jogja, Damai, Poe, Jat, Eve!

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!