Jumat, Maret 26, 2010

Kabar kematian

”Assalamualaikum warrahmatullahiii wabarakattuuuuh… Innalillahi wainna lillahi rojiiuunnn…. Innalillahi wainna lillahi rojiiuunnn….” Suara khas itu berkumandang lewat pengeras suara Langgar Syaban, memecah kesunyian dini hari serta membangunkan nyenyak tidur warga kampung Cijuru. Siapapun dan dalam kondisi terlelap bagaimanapun pasti akan terbangun tiba-tiba, menunggu dan berharap cemas semoga asal suara yang berkumandang dari Langgar Syaban yang terletak di ujung barat kampung ini tidak menyampaikan kabar kematian nama keluarga, kerabat atau orang terdekat mereka.

”Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita yang bernama Syahru Muadzin Khairul Rizal bin Ahmad Zaelani. Hari ini pada pukul kosong satu lewat delapan belas menit. Sekali lagi... Innalillahi wainna lillahi rojiiuunnn…. Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita yang bernama Syahru Muadzin Khairul Rizal bin Ahmad Zaelani. Hari ini pukul kosong satu lewat delapan belas menit....” kabar kematian itu tidaklah lengkap seperti biasanya kami dengar jika tersiar kabar kematian lewat pengeras Langgar kampung ini.

Aku memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidurku, kulihat penunjuk waktu pada telepon genggamku, pukul dua tepat dini hari. Rupanya memang sedang padam listrik, meskipun baru terbangun dengan separuh kesadaranku tapi aku yakin sebelum memejamkan mataku, saklar lampu kamar tidak kumatikan. Novel Epitaph karya seorang kawan masih tergeletak di sebelah bantalku, pertanda aku tertidur saat membaca novel itu.

Dibantu penerangan ala kadarnya dari sinar telepon genggam, aku bergerak sempoyongan menuju rak buku mencari-cari senter, kepalaku serasa dihantam mobil truk setiap kali harus terbangun dalam keadaan terkejut,. Ahh, sial betul! Mengapa selalu sulit mencari benda yang dibutuhkan, seolah-olah raib ditelan bumi atau disembunyikan jin, seingatku senter berwarna kuning itu selalu ada diantara sela-sela buku.

Kubasuh terlebih dahulu wajah mengantuk ini, setidaknya air segar dini hari ini dapat mengembalikan kesadaranku secara penuh dan dapat memangil kembali potongan-potongan ruh ku yang masih melayang-layang di gerbang mimpi. Segelas air putih tandas kutenggak. Sudah sepekan ini kampung kami harus merasakan kembali mundur pada jaman sebelum bola lampu listrik ditemukan oleh Thomas Alfa Edisson. Pemadaman listrik bergilir yang disebabkan kurangnya pasokan energi untuk wilayah pulau Jawa ini sangat merepotkan sekali.

Pancaran sinar lampu senter tidak memuaskan daya penglihatanku, kali ini aku kesulitan mencari lampu tempel, baru kemarin malam kugunakan, sekarang aku harus mengobrak-abrik seisi rumah kecil ini, entah jin dari golongan mana yang gemar sekali menyembunyikan barang terpenting yang harus digunakan saat ini juga!

Lampu tempel sudah kutemukan, aku masih terduduk di bangku bambu ruang makan sambil mengingat-ingat petikan berita kematian tadi. Syahru Muadzin Khairul Rizal bin Ahmad Zaelani, tiga kali kuulangi nama almarhum yang baru saja diumumkan oleh Pak Iing, merbot tua pengurus langgar kampung. Seingatku tidak ada nama Syahru Muadzin Khairul Rizal atau Ahmad Zaelani di kampung yang hanya berjumlah dua ratus tiga puluh jiwa ini.

Sinar lampu senter dalam genggamanku meredup perlahan dan akhirnya padam, kupukul-pukul gagangnya sedetik menyala lalu tak menunjukkan lagi sisa energi dari battere kering seukuran jari kelingking ini. Lagi-lagi sial! Belum sempat kunyalakan lampu tempel tadi kini aku harus gerayangan meraba-raba permukaan dinding dan memaksimalkan sensitifitas telapak kakiku menuntun menuju kamar tidurku. Kali ini aku kesulitan tanpa setitikpun panduan cahaya untuk mencari korek api meskipun aku ingat betul letak terakhir korek itu, pasti tak jauh dari bungkus rokok, tidak diragukan lagi berada disebelah asbak yang tergolek di meja bacaku.

Aku tertawa geli sendiri mengingat lelucon teka-teki kawanku; ”Kalau sedang padam listrik dan di hadapan kalian ada lilin, lampu tempel, korek api dan petromak, maka yang terlebih dahulu kalian nyalakan yang mana?” seorang kawanku yang terpancing jebakan dengan sigap menjawab, ”lilin!” sudah keras, sok yakin, masih salah pula. Pertanyaan konyol macam apa itu? Aku hanya menyunggingkan senyumku sambil menjawab datar ketika si penanya menantangku untuk menjawab, sudah pasti korek api terlebih dulu yang harus dinyalakan! Untuk kasusku kali ini korek api yang terakhir kali harus kucari.

Lama kuperhatikan kerlip ujung mata api dari lampu tempel sembari mengingat-ingat lagi nama-nama warga Cijuru. Rumah paling barat pinggir sungai batas kampung dihuni oleh Pak Ahwan beserta istrinya dan tiga anaknya yang masih kecil; Marni, Rani dan Ridwan. Lalu kemudian Pakde Tukijan seorang diri, disusul Aswandi dan kakak perempuannya terus hingga pemilik rumah di batas kampung sebelah timur. Ahh, mungkin almarhum merupakan kerabat dari warga kampung yang akan dikebumikan di tanah wakaf pekuburan kampung kami, lagi pula tadi Pak Iing memberikan informasi tidak lengkap kabar kematian itu.

Warga kampung selalu merindu suara khas Pak Iing yang syahdu, empuk dan panjang tanpa tergangu helaan nafas jika setiap kali mengumandangkan adzan pertanda masuk waktu shalat, getaran suaranya yang mendamaikan itu tak akan mampu terkalahkan oleh godaan setan yang mengajak warga agar absen beribadah tapi jangan harap warga menanti-nanti suara khas Pak Iing jika diluar waktu shalat seperti selepas isya atau sebelum masuk waktu subuh, dapat dipastikan jika bergaung pengeras suara dari langgar maka tersiarlah kabar kematian di seantoro kampung Cijuru.

Merbot tua itu tergolong pendatang baru meskipun sudah puluhan tahun tinggal di kampung kami. Konon menurut cerita Kakek, awal kedatangannya disini karena Iing kecil yang yatim-piatu itu diasuh oleh almarhum Kyai Mahdum, sesepuh kampung kami. Pak Iing sejak remaja selalu aktif mengurusi kebersihan dan keperluan langgar ini, bukan karena Kyai Mahdum sebagai pendiri langgar diatas tanah miliknya yang diwakafkan tapi karena didikan agama yang didapatkan langsung dari Kyai Mahdum yang begitu sayang terhadap Pak Iing sejak kecil.

Warga kampung tak pernah mendengar suara kesedihan mendalam yang pernah keluar dari mulut Pak Iing selama dia menyiarkan kabar kematian selain ketika harus mengabarkan kematian Kyai Mahdum, ayah angkatnya. Sontak seluruh warga kampung menangis begitu mendengar kabar itu, bukan karena suara Pak Iing muda yang begitu menyayat hati melainkan rasa kehilangan atas sosok sesepuh karismatik Kampung Cijuru. Pak Iing sejak saat itu kembali menjalani hidup sendiri lagi. Keperluan hidupnya didapatkan dari sepetak sawah kecil peninggalan Kyai Mahdum yang dipercayakan pada dirinya dan pemberian makanan ikhlas dari warga kampung jika belum tiba masa panen.

Kenapa pula tiba-tiba aku jadi teringat Pak Iing selepas shalat malam ini? Memang sudah tiga hari ini Pak Iing terlihat sakit-sakitan tapi meski demikian dia selalu menjadi muadzin dan memimpin shalat lima waktu karena memang langgar kami terletak pada pekarang rumah peninggalan almarhum Kyai Mahdum yang jaraknya hanya beberapa belas meter saja.

Masih berbalut sarung, aku melanjutkan membaca novel yang judulnya mengambil istilah dari tulisan pada batu nisan; Epitaph. Kabar kematian...lagi-lagi kabar kematian! Hujan deras dini hari menjelang subuh dan tanpa penerangan listrik ini begitu syahdu menganyam kabar kematian.

Hujan deras datang lagi, o betapa nikmatnya kembali menarik selimut hangat, melingkarkan tubuhku dan tidur lelap hingga siang hari tapi itu hanya impian belaka karena selepas subuh nanti aku sudah harus pergi kerja. Sudah pukul lima lewat sepuluh, seharusnya sudah masuk waktu shalat subuh tapi belum kudengar suara Pak Iing mengumandangkan adzan. Ah, Betapa bodohnya aku! Lampu tempelku masih menyala, bukankah itu pertanda yang nyata bahwa listrik belum menyala?

Kutimang-timang helmku, mesin motor sudah menyala menunggu panas yang cukup, membiarkan oli melumasi sela-sela mesin. Berangkat...Tidak... Berangkat... Tidak... Berangkat!! Pakaian kerja masih terlipat rapi di dalam tas ranselku, lebih baik kukenakan kaos dan celana pendek lalu jas hujan agar tidak basah kuyup di kantor nanti, hujan masih juga belum menandakan akan reda. Aku pun menerobos keheningan subuh hari terguyur hujan lebat.

Melintasi depan Langgar kulihat sosok tubuh menunduk Pak Iing keluar dari langgar, kutekan tombol klaksonku sebagai tanda sapaan. Langgar sepi sekali, biasanya selepas subuh masih ada beberapa orang membaca kitab suci atau sekedar ngobrol-ngobrol di depan langgar hingga matahari memancarkan sinarnya, subuh ini terlihat lengang mungkin karena hujan lebat pikirku.

Telepon genggamku berdering, kutenggak minuman fruit tea langsung dari botolnya untuk mendorong nasi dan lauk makan siang yang masih menyangkut di sepanjang tenggorokanku. Telepon genggamku terjatuh dari tanganku, badanku melemas, shock luar biasa begitu aku mendengar kabar dari lawan bicara via telepon genggamku. Aku memerlukan bersandar pada kursi dan menghisap rokok untuk menenangkan diri.

Pikiranku mengaitkan keping-keping puzzle misteri dini hari tadi. Lalu siapa yang mengumumkan kabar kematian itu? Pengeras suara langgar kampung itu, bukankah semalam hingga pagi tadi listrik masih padam di kampung kami?! Jadi yang kusapa lewat klakson selepas subuh tadi siapa orangnya?! Wandi baru saja mengabarkan bahwa Pak Iing ditemukan telah meninggal dunia setelah warga mendatangi rumah peninggalan Kyai Mahdum karena Pak Iing tidak mengumandangan adzan dhuhur. Selepas ashar seluruh warga kampung mengumandangkan adzan perpisahan dari lubang kubur muadzin kampung kami.

Syahru Muadzin Khairul Rizal, mengabarkan kematian dirinya sendiri....


-Koelit ketjil-
Kota S, 20 Maret 2010, pukul dua-tiga dini hari
(berharap pengeras suara mushola kampungku tak berbunyi)

2 komentar:

  1. Kematian salah satu rahasia Ilahi. Ikut dukacita. Salam

    BalasHapus
  2. aku suka tulisanmu yang ini, selain Mu'uk juga. Hubungan antar manusia yang begitu indah.

    aku selalu suka biografi... dan aku lebih suka lagi kisah tentang orang-orang pinggiran, orang-orang yang mungkin tidak akan pernah bisa menerbitkan/diterbitkan "biografi"nya. Karena setiap orang pasti punya kisahnya sendiri.

    Well, selayaknya kita belajar dari semua orang....

    BalasHapus

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!