Senin, Januari 13, 2014

BUKU PEMBUNUH


Sob, pernahkah kau berpikir seperti ini?
Apa jadinya jika buku-buku yang Ayah baca justru pemicu ancaman kematian putra kesayangannya? Deretan buku yang tersusun rapi di rak buku itu, yaa! Hadiah kecil yang selalu disambut dengan lonjakan kecil dan teriakan histeris diterima Ryan setiap kali Ayah pulang daridinas luar kota. Maklum Kabupaten tempat Ryan tumbuh dan berkembang bukanlah kota yang pesat dalam perkembangan ekonomi, toko buku  yang ada hanya menjual buku-buku paket sekolah, perlengkapan sekolah dan seragam.

Apakah ini semua salah Ayah yang selalu membacakan cerita dalam setiap malam penghantar tidur Kami di kamar berukuran secukupnya ini Kami harus berbagi ruang gerak dan alam imaginasi? Ryan selalu memilih sisi terdekat Ayah, kemenangan bagi si bungsu, tak apa, justru beradadi sisi terdekat tembok membuat khayalku semakin liar. Semua yang Ayah ceritakan begitu jelas muncul dalam bayang imajiku, persis seperti tengah menonton layartancap. Tanganku tak kuasa tertahan untuk terus bergerak, walhasil goresanku memenuhi tembok buram pemisah ruang tidur dengan ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang makan, ruang belajar bahkan terkadang Bunda menyiangi sayuran pun itu ruang yang sama.

Tepatnya dua lembar kayu tripleks, bukan tembok, bukan. Awalnya Aku hanya menggambarkan kecil saja, itu pun pada bagian terbawah dari penyekat ruangan ini bahkan Aku harus menutup dengan buntalan kain yang berisi pakaian-pakaian Kami, lemari kayu Kami terlalu kecil untuk menampung pakaian Kami. Ayah lebih memilih membuat rak buku yang cukup. Hingga pada suatu pagi ketika Ayah membangunkan Kami untuk sekolah, tentunya Ayah tidak akan pernah marah menemukan Aku mencoret penyekat ruangan itu karena memang sudah buram jadi tidak sah jika Aku dianggap membuat kotor dinding kayu lapis itu.

Ayah paham semua yang kucoretkan di dinding buram itu adalah semua karakter dan tempat dari semua yang Ayah ceritakan setiap malam. Aku baru mengetahui hal itu ketika suatu sore Ayah pulang membawa satu kotak pensil berwarna, Aku tak pernah meminta itu karena sadar betul, bagi Kami pensil berwarna adalah barang mahal, tapi tidak untuk buku, Ayah rela menyisihkan beberapa rupiah untuk membeli buku. Bahkan sebatang pensil pun Kami harus berbagi, Ryan mendapatkan bagian belakang berpenghapus karet merah di ujungnya, walhasil Aku harus bekeras agar tidak salah menulis,dari sinilah mungkin ketelitian dan perhatianku terhadap segala hal detail mulai terasah.

“Gambarmu itu tidak ceria kalau hanya satu warna, Nak…” senyum Ayah sama persis ketika Aku berhasil menyabet rangking dua setiap kali pembagian raport. Sementara Ayah paham betul dengan kondisi Ryan, lagi pula baru dua tahun ini Ryan masuk sekolah, Aku kelas empat.

Ahh, Ryan! Yaa, Ryan… Kenapa Aku jadi demikian narsis menceritakan perihal masa kecilku? sejak awal Aku harusnya menceritakan Ryan kepadamu, Sob. Hmmm, Aku rasa dengan keyakinan serampanganku ini, ehhmm… Ryan adalah dirimu, Sob. Yaa!

Duhai, kekuatan memori, dari mana seharusnya Aku memulai?

Buku, yaa, buku. Buku-buku itulah pengancam kematian Ryan! Jika saja Aku diberi celah untuk menuntut para pengarang buku-buku itu sudah pasti akan Aku lakukan, tapi jika hal itu kulakukan maka Ayah Kami pun dapat terlibat dalam persekongkolan percobaan pembunuhan berencana terhadap Ryan. Tak perlu kau mendebat tuduhanku, cukuplah kau mengernyitkan dahi dan menaikan satu alis tebalmu itu, Sob, gaya khasmu setiap kali tak mampu mendebat setiap kicauanku yang hanya sepatah dua patah kata, bukan begitu, Sob?

Aku tahu kau pasti tengah tersenyum membaca baris tadi, beruntung Aku tidak di sampingmu, beruntung pinggangku tidak menjadi sasaran penganiayaan cubitan gemasmu. Ahh.. naaahh..nahhh! Kau tersenyum lagi, Sob! Ohh, tidak! Aku salah, dirimu pasti terkikik sambil sesekali melihat kondisi sekitar, khawatir disangka orang gila, senyum-senyum dan tertawa sendiri. ahh, kali ini Aku bersyukur jarak menjadi jurang pemisah. Amansudah pinggang ini dari lebam-lebam jejas penganiayaanmu, bisa saja kujadikan bukti visum untuk menjeratmu.

Perihal Ryan, tidak pernah kuceritakan selama ini, bergaul dengan dirimu sama persis layaknya Aku menghabiskan waktu bersama Ryan. Mulai dari berebut buku yang sama, membacanya dengan posisi berbaring, tangan kiri menopang dagu, kedua kaki mulai dari lutut hingga ujung jemari ditegakkan, digoyang-goyang bahkan jika usil Kami mulai merasuki, kaki kananku beradu dengan kaki kiri Ryan. Sama persis bukan!  Hanya saja pembedanya, Ryan kencing berdiri dimana pun dia inginkan, sementara dirimu tentu saja tidak akan melakukan hal itu. Hey, tak usah kau senyum-senyum sendiri, nanti perawat lihat loh!

Pembeda Kami yang paling mencolok adalah; Ryan begitu lincah dalam setiap gerakan ketika menunjukkan ekspresi hatinya, sementara Aku terkesan pendiam, lewat goresan tangan kutuangkan ekspresi hati ini. Ryan dengan spontan menirukan setiap suara, gerak bahkan kerap membuat segala pernak-pernik terkait segala cerita Ayah. Bisa kaubayangkan ketika Ayah mendongengkan legenda Tangkuban Perahu, tiba-tiba Ryan meloncat dari posisi tidurnya lantas menendang ember plastik berisi pakaian kotor Kami. Seolah terasuki roh Sangkuriang menendang perahu yang berubah menjadi gunung, Kami tertawa terbahak-bahak tapi kemudian seketika itu juga Kami terdiam seribu bahasa mana kala Ryan mencari Dayang Sumbi untuk diperiksakan adakah pitak di kepalanya. Dayang Sumbi Kami telah lebih dahulu pulang menuju kahayangan.

Saat itulah kelihaian Ayah diuji, mengarang dongeng dadakan untuk menghibur Kami.  

Kami yang selalu disajikan dongeng-dongeng nusantara sudah sedemikian hebatnya tergambar dalam benak kecil Kami. Sudah hampir penuh dinding kayu lapis itu menjadi kanvas ekspresi jiwaku, sudah bertumpuk segala mainan bambu, pelepah daun pisang berwujud kuda, pedang, senapan, mahkota dari rangkaian daun jamblang hasil kreativitas Ryan.



Pada suatu malam Ayah menceritakan dongeng yang berbeda, bukan dari tanah leluhur Kami. Kisah tentang seorang Pangeran Kecil dari planet yang tidak kuketahui namanya saat itu, Pangeran Kecil yang tersesat di padang pasir yang membuat sibuk seorang pilot karena terus merengek meminta untuk digambarkan domba. Sementara Ryan tengah terbang dengan tangan kecilnya yang merentang, berkeliling di kamar sempit ini, mengikatkan sarung pada lehernya dan mengambil pedang pelepah pisang, persis seperti sosok Pangeran Kecil bersyal itu. Aku sibuk dengan coretan di dinding.



Esok hari barulah Aku diajak berbicara serius dengan Ayah, semuanya perihal coretan-coretanku di dinding,jika selama ini sebisaku Aku berusaha menggambar gunung, kuda, laut, burung sesuai dengan apa yang telah kulihat di dunia nyata. Pagi itu Ayah membuka buku Pangeran Kecil, baru kuketahui di dalam buku itu terdapat beberapa gambar, tiba pada sebuah gambar, Aku terkejut.



Bagaimana mungkin Aku yang malam itu mendengarkan Ayah mendongeng, pada saat bersamaan Aku hanya menggambarkan sebuah kotak dengan tiga lubang. Begitu sama persis dengan gambar Sang Pangeran Kecil yang merengek-rengek meminta digambarkan seekor domba! Entah mengapa perasaan yang sama juga kurasakan ketika Sang Pangeran Kecil protes setiap kali digambarkan domba dalam wujud yang dirimu lihat, begitu juga Aku lihat dalam dunia nyata, berbulu keriting, berkaki empat dan tanduk kecil. Domba itu terlalu kuruslah, terlampau gemuk, seperti domba sakitlah, rengekan anak kecil.




Aku lebih memilih sebuah kotak dengan tiga lubang disitu, agar Aku bisa melihat sang domba beristirahat, cukup ruang untuk berlarian, tumpukan rumput segar tersedia pada pojokan, persis seperti keinginan Sang Little Prince, Sob!
Aih, sudah jam berapa ini? Sana, minum dulu Glivecmu itu, Sob! Pasti kusambung lagi nanti, Sob.



KOELIT KETJIL
-Semarang, Tiga belas hari telah berlalu dari awal tahun ini. Esok Sang Rasul merayakan ulang tahunnya yang ke 1443-

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!