Sabtu, Januari 18, 2014

TERKUNCI

 (picture edited n taken from: http://commons.wikimedia.org)


“Tunggu dulu! Boleh Aku bertanya sebentar saja, apa alasan Mas ini menodong Aku?” dada ini semakin kencang degupnya, bukan karena takut, sebentar lagi aku pasti mengetahuinya.

“Heyyy, apa urusanmu pake tanya-tanya segala! Kakehan cangkem, kowe!!!” belati itu sudah pasti tajam, dari kilaunya dan ujungnya meruncing, semakin didekatkan menuju tubuhku, semakin kencang degup ini. Sekali lagi bukan karena takut.

“Aku perlu tau, Mas!” tanganku melebar, sekedar menunjukkan bahwa aku tidak berniat untuk melindungi tas kecil incaran penodong ini.

Lantas kowe arep opo? Hahh!!  Mau kupake minum kek! Maen judi kek! Kuarepku tho!!!” tangannya menjulur ke arah tali tasku, sementara belati itu kuyakini siap terayun kapan saja.

Andrenalinku meletup, getar tubuh yang selalu kurasakan setiap kali menghadapi situasi yang mengancam keselamatan, sekali lagi bukan karena ketakutan.

Segera kutangkap tangan kiri yang mendekat itu, kucengkram kuat dengan kedua tanganku telapak tangannya, jemari gemeretak kupaksa menghadap ke atas, kuhentakan seketika ke arah bawah, masih kucengkram. Dapat kuterka otot pada pangkal lengannya kejang, sendi-sendi mulai dari pergelangan tangan, sikut dan pangkal lengan berderak. Masih dalam hitungan detik, aku hanya membutuhkan sedikit gerak saja, setengah langkah maju menyamping ke arah punggung si penodong, tangan kanan yang masih tidak melepaskan cengkraman kuarahkan menuju pinggangnya sementara tangan kiriku sigap menelusup pada sudut sikut, merangsek ke atas menembus belikat lalu mencengkram sama kuat pada bahu kiri.

Aku sudah memprediksi lintasan tangan kanan berbelati si penodong, aman posisiku berada di balik punggungnya, ditambahkan lagi bentuk siksaan ketika tangan kiri terpitingnya itu semakin membentuk sudut yang aneh, terlipat merapat di balik punggung, semakin dia mencoba melawan, tinggal kunaikkan saja tangan kirinya ini. Tak perlu banyak tenaga kukeluarkan hanya memanfaatkan gerakan lawan, cukup kuhentakan maju kaki kananku tubuhnya sudah limbung, pasrah oleh hukum gravitasi. Kujejak dengan lutut kanan yang menekuk menekan kuat pada tangan kanannya, belati tajam itu melenting sedari tubuhnya berdebam pada aspal basah gang gelap ini.

Wajah penodong itu setengah tenggelam pada genangan air.

“Kau pikir aku akan begitu saja merelakan uangku untuk kau gunakan menenggak minuman keras, lantas kau mabuk dan birahi semakin tak terkendali sampai akhirnya kau culik cewek-cewek yang melintas sendirian, hahhh!!!” rasa jengkel memuncak ketika teringat si penodong dengan tengiknya menjawab pertanyaanku dengan bentakan.

“Kalau saja tadi kau bilang untuk kasih makan anakmu, sudah pasti kuberikan. Sekalipun kau menipuku! Sekalipun kau menipuku!!!” tubuh terkunci itu semakin kubenamkan pada aspal, pada genangan air hujan sisa sore tadi.   






-Koelit Ketjil-
*Pukul tiga kosong-kosong Ibu Kota Jawa Tengah semakin sepi. Satu lagi bentuk pengalihan perhatian dan kepenatan, meletup di dini hari ini bertepatan dengan dilaksanakannya Operasi Badai Gurun Pasir, Perang Teluk mulai berkecamuk, 23 tahun yang lalu*

1 komentar:

apa yang ada dikepalamu? apa yang menyumbat tenggorokanmu? apa yg membekukan jari-jarimu?... LONTARKAN!!